Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Wildan Ibnu Walid
"Isu tentang perubahan identitas etnis Tionghoa pasca Orde Baru sangat penting dikaji untuk melihat bagaimana perubahan batasan etnis serta upaya membangun relasi dengan etnis lain. Dalam tulisan ini, penulis membahas bagaimana upaya warga etnis Tionghoa Cirebon merekonstruksi identitas kulturalnya untuk mempertegas kembali batasan etnisnya. Proses rekonstruksi identitas etnis kultural etnis Tionghoa dibentuk dari praktik ziarah makam Ong Tien. Memori kolektif pengalaman sosial diskriminasi Orde Baru mendorong warga etnis Tionghoa Cirebon untuk mengatur ulang relasinya dengan warga lokal. Pada studi ini, citra Ong Tien dibentuk sebagai simbol kultural dan simbol sejarah untuk membangun relasi yang lebih harmoni dengan etnis lain. Merujuk pada kajian sebelumnya yang membahas implikasi kebijakan Orde Baru, penelitian ini aspek lain bagaimana etnis Tionghoa Cirebon menegaskan kembali posisinya di ruang sosial. Melalui metode kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa praktik ziarah makam Ong Tien mengalami perubahan dari sebelum dan pasca Orde Baru. Agar batasan identitas etnis Tionghoa tetap bertahan, aktor perubahan di kalangan etnis Tionghoa Cirebon melakukan pemeliharaan identitas dengan cara melembagakan praktik ziarah makam Ong Tien sebagai perayaan budaya tahunan. Strategi dimaksudkan agar pesan-pesan makna simbolik Ong Tien tersampaikan kepada masyarakat luas.
......The issue of changing Chinese ethnic identity in Post-New Order is one of the most important to see how ethnic boundaries change and how to build relationships with other ethnicities. In this paper, the author discusses how the efforts of the Cirebon Chinese ethnic community to reconstruct its cultural identity to reaffirm their ethnic boundaries. The process of reconstructing ethnic Chinese cultural identity shaped from the practice of Ong Tien's grave pilgrimage. The collective memory of the New Order's social experiences of discrimination encouraged Cirebon Chinese citizens to reorganize their relations with local residents. In this study, Ong Tien's image shaped as a cultural symbol and a historical symbol to build more harmonious relations with other ethnicities. Referring to the previous study that discussed the implications of the New Order policy, this research is another aspect of how Cirebon Chinese people reaffirm their position in the social space. Through qualitative methods, this study found that the pilgrimage practice of Ong Tien's grave had changed from before and after the New Order. In order to maintain the boundaries of Chinese ethnic identity, change actors among the Cirebon Chinese ethnic group have maintained their identity by institutionalizing the practice of the Ong Tien tomb pilgrimage as an annual cultural celebration. The strategy intended to convey Ong Tien's messages of symbolic meaning to the wider community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Asrinda
"Etnis Cina adalah salah satu dari beragam etnis yang ada di Singapura pada mass kolonialisme Inggris. Kedatangan imigran-imigran Cina ke Singapura adalah untuk menetap sementara mencari kemakmuran, sehingga aspek-aspek sosial seperti pendidikan tidak diperhatikan. Pada perkembangan kemudian, dengan semakin stabilnya komunitas imigran Cina di Singapura, beberapa tokoh komunitas Cina di Singapura mulai mengangkat masalah pendidikan. Di antara tokoh-tokoh tersebut terdapat nama Tan Kah Kee, seorang pengusaha sukses di Singapura yang berasal dari Fujian. Keterlibatan Tan Kah Kee pada pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor yang terdapat di Singapura dan di Cina. Selain faktor-faktor intern dan ekstern tersebut, motivasi Tan Kah Kee sendiri juga mempengaruhi keterlibatannya dalam masalah pendidikan etnis Cina di Singapura. Motivasi yang melatarbelakangi tindakan Tan Kah Kee tersebut perlu diperhatikan karena menyebabkan Tan Kah Kee, yang sebelumnya adalah pengusaha, menjadi seorang yang sangat memperhatikan masalah pendidikan sehingga seakan-akan mengabaikan bisnisnya. Pendidikan berbahasa Cina di Singapura sendiri sebelumnya merupakan pendidikan yang kurikulumnya masih berdasarkan kurikulum tradisional Dinasti Qing. Lama kelamaan kurikulum tersebut mengalami modernisasi dan pelajaran-pelajaran yang masih berdasarkan kurikulum tradisional dihilangkan sama sekali. Selain itu, kurikulum sekolah berbahasa Cina di Singapura juga mendapat penyesuaian dengan kondisi domisili di Singapura."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12100
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library