Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Sofhian Mile
Abstrak :
Keberadaan teknologi informasi (TI) disamping memberi harapan di masa depan, juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru dengan munculnya bentuk kejahatan baru (cyber crime) yang lebih canggih. Carding merupakan kejahatan baru dengan cara mencuri dan menipu suatu website e-commerce untuk mendapatkan produk yang ditawarkan. Berbagai cara dilakukan carder untuk mendapatkan kartu kredit milik orang lain, antara lain dengan membobol kartu kredit dari situs komersial. Kejahatan carding banyak menimpa warga asing, terutama di Yogyakarta dan di Bandung. Pada umumnya sarana yang digunakan kejahatan penggunaan kartu kredit secara tanpa hak adalah warung internet (Warnet). Meskipun dalam perundangan tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai kejahatan komputer, namun pelaku kejahatan carding dapat dipidana dengan menggunakan pasal-pasal dalam perundangan nasional melalui penafsiran ekstensif. Pelaku dapat dipidana jika pelaku memenuhi delik yang tercantum dalam Pasal 167 KUHP. Pasal 22 UU No. 36/1999 dapat digunakan untuk akses ilegal terhadap jaringan sistem telekomunikasi atau jaringan internet, serta Pasal 38, 40, Pasal 42 UU 35/1999. Namun pasal ini belum memadai untuk diterapkan bagi pelaku akses ilegal terhadap jaringan internet. Belum memadainya pasal-pasal dalam perundangundangan nasional diintegrasikan dalam RUU ITE. Dalam RUU ITE pembahasan permasalahan kejahatan carding dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (2) RUU ITE, bahwa menggunakan kartu kredit orang lain tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh keuntungan merupakan tindakan yang dilarang. RUU KUHP Pasal 378 huruf b menjelaskan: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Kategori IV, setiap orang yang mengakses dengan Cara apapun kartu kredit secara tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh keuntungan. Penegakan hukum kejahatan carding terdapat dua kendala yaitu teknis dan non -teknis. Kendala teknis meliputi alai bukti elektronik secara fisik mudah hilang. Kurang pahamnya masyarakat tentang cara"mengamankan" barang bukti jenis ini. Hambatan teknis meliputi biaya penyidikan yang mahal. Belum adanya prosedur yang tetap dan jelas dari pihak issuing bank untuk mengeluarkan kartu kredit bila terjadi credit card fraud. Ketentuan hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) mengenai alat bukti dan barang bukti secara limitatif dapat diterapkan dalam kasus carding di Indonesia. Kehadiran alat bukti dan barang hukti dalam kejahatan di dunia maya ini berbeda karakteristiknya dengan kejahatan biasa. Dalam cybercrime, alat bukti elektronik memiliki kedudukan yang khusus. Sebagai bukti suatu aktivitas yang menggunakan komputer dengan diperkuat keterangan ahli sehingga memiliki kekuatan hukum di depan pengadilan. Kendala-kendala ini perlu diintegrasikan dalam RUU ITE. Pemerintah bersama DPR perlu segera mengantisipasi maraknya kejahatan di Internet ini. Dengan mendorong RUU Informasi dan Transaksi Elektronik untuk segera di undangkan. Sehingga tersedia payung hukum untuk melakukan .penydakan terhadap pelaku tindak pidana cyber crime.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joana Maleriluah
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai yurisdiksi negara dalam menangani tindak pidana hacking internasional bedasarkan Convention on Cybercrime. Metode penentuan yurisdiksi tindak pidana hacking dalam Convention on Cybercrime memakai prinsip teritorialitas, nasionalitas, dan prinsip lainnya yang diakui oleh peraturan domestik negara anggotanya. Bedasarkan analisis yang telah dilakukan, praktik negara-negara anggota Convention on Cybercrime pada utamanya memakai prinsip teritorialitas dan nasionalitas dalam menentukan yurisdiksi atas tindak pidana hacking. Dalam praktik di Indonesia, penentuan yurisdiksi terhadap tindak pidana hacking memakai prinsip teritorialitas dan nasionalitas yang dikaitkan dengan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana hacking tersebut. ......The focus of this study is about determining a state jurisdiction in international hacking offences according to Convention on Cybercrime. In determining the jurisdiction, Convention on Cybercrime recognizes territoriality principle, nationality principle and other principles recognized by the member states? domestic laws. From the analysis, it is seen that most member states? practices use the territoriality and nationality principle in determining the jurisdiction for hacking offences related to the damage caused to one state. The regulations and practices of jurisdiction to international hacking offences in Indonesia shows that Indonesia recognizes the same principles as the Convention on Cybercrime.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Binsar Daniel
Abstrak :
ABSTRAK Skripsi ini membahas mengenai bagaimana perkembangan makar yang terjadi sebelum dan ketika era disruptif berlangsung. Era disruptif berkaitan dengan abad ke- 21 (dua puluh satu) dimana pengaruh dan perkembangan teknologi menjadi aspek utama. Perkembangan makar ditinjau dari 2 (dua) aspek yaitu hubungan makar dan cybercrime serta hubungan makar dan beberapa tindak pidana di era disruptif. Makar pada dasarnya merupakan tindak pidana penyerangan secara fisik namun dengan berkembangnya teknologi maka berkaitan dengan cybercrime yang menjadi media dalam melakukan tindak pidana makar. Makar dan beberapa tindak pidana yang berkaitan dengan era disruptif menunjukkan bahwa terdapat hubungan berupa perbarengan tindak pidana dalam bentuk concursus idealis (eendaadse samenloop).
ABSTRACT This undergraduate thesis discusses how makar transforms before and in disruptive era. Disruptive era relates to the 21st (twenty first) era where the technology is its priority aspect. The transformation can be seen from 2 (two) aspects, the relation between makar and cybercrime with the relation between makar and several criminal acts in disruptive era. The concept of makar is the physically attack act then related with technology as the media in committing that act. Then the relation between makar and several criminal acts in disruptive era shows that there is joinder of offenses in form of concursus idealis (eendaadse samenloop).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library