Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alvina Christine
"ABSTRAK
Penyakit jantung bawaan (PJB) mengakibatkan morbiditas yang signifikan pada anak dan merupakan penyebab kematian utama dari antara kelainan kongenital lainnya. Usaha preventif PJB dengan cara identifikasi faktor risiko maternal diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas PJB.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) karakteristik (usia saat pertama kali terdiagnosis, jenis kelamin, status gizi, dan status ekonomi keluarga) penderita PJB anak di Poliklinik Kardiologi Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), (2) faktor risiko maternal yang diperkirakan mempengaruhi terjadinya PJB pada anak, yaitu: merokok aktif dan pasif selama kehamilan, diabetes melitus, obesitas, infeksi rubela saat kehamilan, usia saat kehamilan, dan pendidikan.
Metode. Penelitian kasus kontrol dengan consecutive sampling dilakukan di Poliklinik Kardiologi IKA RSCM pada bulan Januari-Maret 2014. Pemeriksaan klinis, ekokardiografi, dan wawancara dilakukan terhadap 68 subjek PJB (kelompok kasus) dan 68 subjek anak sehat (kelompok kontrol).
Hasil. Jumlah subjek penelitian sebanyak 136 subjek, dengan perbandingan kasus:kontrol adalah 1:1. Median (rentang) usia subjek saat diagnosis PJB adalah 5,5 (0,5-180) bulan, sebesar 80,9% terdiagnosis saat berusia kurang dari 1 tahun. Sebagian besar subjek PJB adalah perempuan (57,4%), mengalami malnutrisi (51,5%), dengan 7,4% di antaranya merupakan gizi buruk, dan memiliki status ekonomi keluarga menengah ke bawah (76,5%). Defek PJB non sianotik terbanyak adalah defek septum ventrikel (44,1%) dan PJB sianotik terbanyak adalah Tetralogi Fallot (14,7%). Faktor risiko maternal yang terbukti berhubungan bermakna dengan PJB anak adalah tingkat pendidikan ibu yang rendah. Faktor risiko merokok aktif dan pasif saat kehamilan, obesitas, dan usia ibu saat kehamilan tidak terbukti berhubungan dengan PJB anak, sedangkan faktor diabetes melitus dan infeksi rubela saat kehamilan tidak dapat dianalisis pada penelitian ini.
Simpulan. Median (rentang) usia subjek saat diagnosis PJB adalah 5,5 (0,5-180) bulan, sebagian besar subjek terdiagnosis saat berusia kurang dari 1 tahun (80,9%). Sebagian besar subjek PJB adalah perempuan (57,4%), mengalami malnutrisi (51,5%), dan 7,4% di antaranya merupakan gizi buruk, dengan status ekonomi keluarga menengah ke bawah (76,5%). Faktor risiko maternal yang terbukti berhubungan bermakna dengan PJB anak adalah tingkat pendidikan ibu yang rendah.

ABSTRACT
Congenital heart defects (CHD) cause significant morbidities and are the leading cause of death among other congenital anomalies. Preventive measures with identification of maternal risk factors are expected to decrease morbidity and mortality rate in children due to CHD.
Objectives. This study aimed to define: (1) characteristics (age at diagnosis, gender, nutritional status, and family’s economy status) of CHD patients in Pediatric Cardiology Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH), (2) maternal risk factors that may influence CHD in children, namely: active and passive smoking in pregnancy, diabetes mellitus, obesity, rubella infection in pregnancy, age at pregnancy, and education.
Method. Case-control study with consecutive sampling was performed in Pediatric Cardiology Clinic CMH in January-March 2014. Clinical examination, echocardiography, and interview were performed in 68 CHD subjects (case group) and 68 healthy subjects (control group).
Results. Total subject in this study was 136, with ratio of case:control is 1:1. Median (range) of subject’s age at diagnosis was 5.5 (0.5-180) months, and 80.9% were diagnosed in the first year of age. Most of the subjects were female (57.4%), were malnourished (51.5%) with 7.4% were severe malnourished, and were from middle to low income family (76.5%). The most prevalent non cyanotic CHD was ventricle septal defect (44.1%), and the most prevalent cyanotic CHD was Tetralogy of Fallot (14.7%). Maternal risk factor that was significantly associated with CHD was low maternal education. Active and passive smoking in pregnancy, obesity, and maternal age at pregnancy were not associated with CHD, whereas diabetes mellitus and rubella infection in pregnancy could not be analyzed in this study.
Conclusion. Median (range) of subject’s age at diagnosis was 5.5 (0.5-180) months, and mostly were diagnosed in the first year of age (80.9%). Most of the subjects were female (57.4%), were malnourished (51.5%) with 7.4% were severe malnourished, and were from middle to low income family (76.5%). Maternal risk factor that was significantly associated with CHD was low maternal education."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Hapsari Suprobo
"Latar Belakang. Kondisi hipoksia kronik pada pasien dengan penyakit jantung bawaan sianotik akan menurunkan oksigenasi jaringan sehingga terjadilah mekanisme adaptasi yaitu eritrositosis sekunder. Besi merupakan substrat yang penting dalam produksi hemoglobin dan cadangan besi untuk menjaga kadar hemoglobin yang adekuat. Namun 50% pasien dengan kelainan penyakit jantung bawaan sianotik mengalami defisiensi besi dan kondisi ini dikaitkan dengan gangguan kapasitas fungsional akibat berkurangnya pengiriman oksigen dan efeknya terhadap metabolisme pada otot rangka. Kadar feritin serum merupakan pemeriksaan yang paling awal dan akurat untuk menilai defisiensi besi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar feritin serum dengan kapasitas fungsional pada pasien Tetralogi Fallot (TF).
Metode. Studi potong lintang dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta pada pasien TF usia 4-8 tahun yang belum menjalani operasi paliatif dan atau operasi definitif. Dilakukan pengumpulan karakteristik dasar, kadar feritin serum, ekokardiografi, serta uji jalan 6 menit. Dilakukan uji korelasi dan analisis multivariat menggunakan uji regresi.
Hasil. Diteliti sebanyak 20 pasien TF dengan rentang usia 51 hingga 98 bulan. Nilai tengah kadar feritin serum adalah 39.75 g/L (kadar terendah 5g/L, kadar tertinggi 246g/L). Nilai tengah kadar hemoglobin adalah 16.4 g/dL, kadar terendah 12 g/dL dan kadar tertinggi 20 g/dL. Limapuluh persen pasien memiliki kadar feritin serum di bawah normal (< 40 g/L). Pada uji korelasi antara kadar feritin serum dengan jarak uji jalan 6 menit didapatkan nilai r = 0.23 dengan nilai p = 0.34. Pada uji regresi linear pada 2 kelompok, ditemukan perbedaan rerata jarak uji jalan 6 menit pada kelompok dengan kadar feritin lebih tinggi (> 40 g/L, n = 10) sebesar 46,83 m dibandingkan dengan kelompok feritin rendah (< 40 g/L, n = 10) dengan koefisien β = 46,83; IK 95 -47,81- 141,47 p = 0,307.
Kesimpulan. Secara klinis terdapat kecenderungan pasien TF dengan kadar feritin serum yang lebih tinggi mampu menempuh jarak uji jalan 6 menit yang lebih jauh walaupun secara satistik tidak bermakna.

Background. Chronic hypoxia in cyanotic congenital heart disease (CCHD) result in reduced of tissue oxygenation, therefore stimulates adaptive mechanism of secondary erythrocytosis. Iron is a vital substrate for hemoglobin production and sufficient iron stores are necessary to achieve and maintain adequate levels of hemoglobin. Unfortunately, 50% of patients with cyanotic CHD are iron-deficient and this condition is associated with exercise intolerance through reduced oxygen delivery and its effect on skeletal muscle cell metabolism Ferritin serum level is the most accurate test to determine iron deficiency. Aim of this study is to evaluate the association between ferritin serum level and functional capacity in patient with Tetralogy of Fallot (TOF).
Methods. A cross-sectional study was done in Department Cardiology and Vascular Medicine, Faculty Medicine Universitas Indonesia / National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in patients with TOF aged 4-8 years old before the palliatif and or definite operation. The data collected from patients including basic characteristic, ferritin serum level and erythocyte index and six minute walk test result. Statistical analysis was done using correlation test and multivariat analysis using regression test.
Result. Twenty subjects of TF aged 51 to 98 months was collected. Median level of ferritin serum level was 39.75 g/L (the lowest level 5g/L, the highest level 246g/L). Median level of hemoglobin level was (the lowest level 12 g/dL, the highest level 20 g/dL). Fifty percent of patients had abnormal feritin serum level (< 40 g/dL). There was a correlation coefficient (r) of 0,23 with p value of 0,34 found on the correlation between ferritin serum level and six minute walk test distance. However, on linear regression test between 2 groups of ferritin serum, 46,83 m mean difference of six minute walk test distance found between higher level of ferritin serum group (> 40 g/d, n = 10), and lower level of ferritin serum group (< 40 g/d, n = 10) with β = 46,83; IK 95 -47,81- 141,47 p = 0,307.
Conclusion. Clinically in patients with higher level of feritin serum there is a tendency able to walk farther on six minute walk test, although statitically not significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Vera Muharrami
"Latar Belakang: Defek septum intraventrikel merupakan salah satu penyakit jantung bawaan yang paling sering ditemukan di Indonesia dengan angka kejadian 3,6-6,5 per 1000 kelahiran hidup atau sekitar 20%-30% dari penyakit jantung bawaan. Sebanyak 32% dari kasus memerlukan dilakukannya operasi penutupan defek septum intraventrikel. Pada operasi penutupan defek septum intraventrikel diperlukan penggunaan mesin pintas jantung-paru atau cardiopulmonary bypass (CPB) yang secara teoritis dihubungkan dengan inflamasi akibat penglepasan mediator proinflamasi yang dapat mengakibatkan kerusakan miokard. Hal ini menyebabkan praktisi dalam tim pembedahan jantung menggunakan strategi untuk mengatasi, antara lain dengan penggunaan steroid. Data dan uji klinis mengenai masalah tersebut masih terus dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek deksametason 1mg/kg (max 15 mg) dibandingkan metilprednisolon 30 mg/kg (max 500 mg) dalam mencegah penurunan kontraktilitas miokard dan peningkatan kadar troponin I pascabedah penutupan defek septum intraventrikel.
Metode: Telah dilakukan penelitian uji klinis acak tersamar tunggal pada 36 pasien anak yang menjalani operasi penutupan defek septum intraventrikel antara bulan Januari 2019 hingga April 2019, yang dialokasikan ke dalam kelompok metilprednisolon (kelompok standar) atau kelompok deksametason. Pemeriksaan ekokardiografi untuk menilai kontraktilitas miokard (fraksi ejeksi, fraksi pemendekan, peak E velocity, peak A velocity dan rasio E/A) dilakukan 1 hari sebelum operasi dan 8 jam pasca-CPB sedangkan pemeriksaan sampel darah untuk menilai kadar troponin I dilakukan pada awal induksi dan 8 jam pasca-CPB. Pemeriksaan troponin I dilakukan dengan metode ELISA. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik yang sesuai.
Hasil: 36 pasien yang menjalani operasi VSD yang memenuhi kriteria penerimaan, 35 pasien dianalisis karena 1 pasien kelompok deksametason meninggal sebelum 8 jam pasca-CPB. Karakteristik demografi, data kontraktilitas miokard dan kadar troponin I praoperatif dan pascaoperatif seimbang pada kedua kelompok. Kontraktilitas miokard pada kelompok metilprednisolon dan deksametason turun bermakna pada 8 jam pasca-CPB. Kadar troponin I 8 jam pascabedah pada kelompok metilprednisolon naik bermakna sedangkan kadar troponin I pada kelompok deksametason berbeda naik tidak bermakna.
Simpulan: Deksametason dapat digunakan dalam upaya mencegah inflamasi sistemik akibat operasi jantung terbuka. Ketersediaan deksametason cukup baik di seluruh Indonesia dan lebih ekonomis dibandingkan metilprednisolon.

Background: Ventricular septal defect is one of the most common congenital heart disease found in Indonesia with an incidence of 3.6-6.5 per 1000 live births or around 20% -30% of congenital heart disease. 32% of cases require ventricular septal defect closure surgery. Surgical closure of the ventricular septal defect requires the use of a heart-lung bypass machine or cardiopulmonary bypass (CPB) which is theoretically associated with inflammation due to the release of proinflammatory mediators which can result in myocardial damage. This caused practitioners in the heart surgery team to use strategies to overcome, including the use of steroids. Data and clinical trials regarding these problems are still ongoing. The aim of this study was to determine the effect of dexamethasone 1mg/kg (max 15mg) versus methylprednisolone 30mg/kg (max 500mg) in preventing a decrease in myocardial contractility and an increase in troponin I levels after surgical closure of ventricular septal defects.
Methods: A single randomized clinical trial study was conducted in 36 pediatric patients undergoing ventricular septal defect surgery between January 2019 until April 2019, which were allocated into the methylprednisolone group (standard group) or dexamethasone group. Echocardiography (baseline) was carried out 1 day before surgery and 8 hours post-CPB to assess myocardial contractility (ejection fraction, shortening fraction, peak E velocity, peak A velocity and E/A ratio). Blood serum examination to assess troponin I levels was done at the beginning of induction and 8 hours post-CPB. Troponin I examination was carried out by the ELISA method. The data obtained were analyzed by the appropriate statistical test.
Results: 36 patients who undergoing VSD surgery who met the admission criteria, 35 patients were analyzed because 1 patient of the dexamethasone group died before 8 hours post-CPB. Demographic characteristics, myocardial contractility data and preoperative-postoperative troponin I levels were balanced in both groups. Myocardial contractility in the methylprednisolone and dexamethasone groups dropped significantly at 8 hours post-CPB. Troponin I levels 8 hours after surgery in the methylprednisolone group increased significantly but troponin I levels in the dexamethasone group increased no significant.
Conclusion: Dexamethasone can be used in an effort to prevent systemic inflammation due to open heart surgery. The availability of dexamethasone is quite good throughout Indonesia and is more economical than methylprednisolone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Waworuntu, David Soeliongan
"Latar Belakang: Infeksi menjadi masalah pada anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB),
terutama pneumonia. Faktor risiko yang mendasari perjalanan pneumonia pada anak adalah:
usia, jenis kelamin, status gizi, pemberian ASI, berat lahir rendah, status imunisasi,
pendidikan orangtua, status sosioekonomi, penggunaan fasilitas kesehatan. Insidens
pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.
Tujuan: Mengetahui insidens pneumonia anak dengan PJB pirau kiri ke kanan dan faktor
risiko yang terkait.
Metode: Penelitian ini adalah studi analitik dengan rancangan cohort retrospective
berdasarkan penelusuran rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun 2015 -
2019, Jakarta. Diagnosis PJB pirau kiri ke kanan berdasarkan echocardiography. Dari hasil
yang ada, dilakukan analisis multivariat dan dilaporkan sebagai odds ratio (OR).
Hasil: Dari 333 subyek dengan PJB pirau kiri ke kanan, 167 subyek mengalami pneumonia
(50,2%). Proporsi jenis PJB pirau kiri ke kanan terbanyak yang menyebabkan pneumonia
adalah defek septum ventrikel (VSD), yaitu 41,9%. Defek ukuran besar berhubungan dengan
angka kejadian pneumonia (p=0,001). Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia
pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan antara lain: status gizi buruk [OR 5,152 (95% CI
2,363-11,234)], status imunisasi tidak lengkap [OR 9,689 (95% CI 4,322-21,721)], status
sosioekonomi rendah [OR 4,724 (95% CI 2,003-11,138)], dan ukuran defek yang besar [OR
5,463 (95% CI 1,949-15,307)].
Simpulan: Insidens pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan sebesar 50,2 %.
Tipe PJB dengan insidens pneumonia terbanyak adalah VSD. Status gizi, imunisasi, status
sosioekonomi dan ukuran besar defek mempengaruhi angka kejadian pneumonia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Resi Citra Dewi
"Latar Belakang: Tatalaksana pasien Penyakit jantung bawaan (PJB) dengan obstruksi Alur Keluar Ventrikel Kanan (AKVK) yang belum dapat dilakukan operasi reparasi adalah tindakan paliatif. Implantasi stent AKVK saat ini mulai menjadi alternatif pilihan.
Tujuan: Mengetahui luaran klinis pasien anak usia 0-18 tahun dengan obstruksi infundibular AKVK dengan shunt ventrikel dibandingkan dengan operasi Modified Blalock-Thomas-Taussig Shunt (MBTTS).
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien obstruksi AKVK disertai shunt ventrikel yang dilakukan implantasi stent AKVK atau MBTTS pada Desember 2019-Oktober 2022 di RS PJNHK. Dilakukan pemantauan selama perawatan, dilanjutkan dengan follow up 30 hari setelah tindakan.
Hasil: Total 87 pasien diinklusikan pada penelitian ini; 29 pasien dilakukan implantasi stent AKVK, dan 58 pasien dilakukan tindakan MBTTS, median usia kelompok stent AKVK 29 (1-220) bulan, dan kelompok MBTTS 25,5 (6-227) bulan (p=0,739). Luaran klinis MACE pada kelompok stent AKVK vs MBTTS tidak berbeda, rehospitalisasi (1(3,4%) vs 0(0%), p=0,333), re-intervensi (3(10,3%) vs 6 (10,3%), p=1,000), kematian dalam 30 hari (3(10,3%) vs 2 (3,4%), p=0,340). Target saturasi oksigen tercapai tidak berbeda pada kedua kelompok stent AKVK vs MBTTS (93,1% vs 96,5 %, p=0,290). Lama rawat ICU pada kelompok stent AKVK dan MBTTS ( 2(0-43) hari vs 3,5(2-9) hari, p <0,001), total lama rawat RS antara kedua kelompok (6,5 (3-41) hari vs 7(4-24) hari, p=0,048) berbeda bermakna.
Kesimpulan: Luaran klinis tindakan stent AKVK pada pasien anak dengan obstruksi AKVK dengan shunt ventrikel tidak berbeda dengan tindakan MBTTS pada MACE, pencapaian target saturasi oksigen paska tindakan, namun berbeda pada lama rawat di ICU dan total lama rawat di rumah sakit.

Background: The main treatment of Congenital heart disease (CHD) patient with right ventricular outflow tract (RVOT) obstruction with ventricular shunt who were unable to undergone surgical repair was palliative procedure. Implantation of RVOT stent has become an alternative option.
Objectives: To determine the characteristics and clinical outcomes of pediatric patients aged 0-18 years with infundibular RVOT obstruction with ventricular shunt compared with Modified Blalock-Thomas-Taussig Shunt (MBTTS) surgery.
Methods: This retrospective cohort study was using secondary data. Basic data was collected through medical records for patients with infundibular RVOT obstruction with ventricular shunt, which underwent RVOT stent implantation or MBTTS in the period of December 2019-October 2022 at the NCCHK. Monitoring was carried out during treatment and continued with follow-up within 30 days after the procedure.
Results: A total of 87 patients were included; 29 patients underwent RVOT stent implantation, and 58 patients underwent MBTTS, median age of RVOT stent group of 29 (1-220) months, and MBTTS group of 25,5 (6-227) months, (p=0,739). Initial clinical outcome of MACE in RVOT stent vs MBTTS group was not different, rehospitalisation (1 (3,4%) vs 0 (0%), p=0,333), re-intervention (3(10,3%) vs 6 (10,3%), p=1,000), and 30-day mortality (3(10,3%) vs 2 (3,4%), p=0,340). Achieved oxygen saturation target was in RVOT stent vs MBTTS was (93,1% vs 96,5 %, p=0,290). ICU length of stay (LOS) in RVOT stent group vs MBTTS was 2 (0-43 days) vs 3,5 (2-9 days), p <0,001, total hospital LOS was (6,5 (3-41 days) vs 7(4-24 days), p=0,048) was different significantly.
Conclusion: Initial clinical outcome in paediatric patients with RVOT obstruction with shunt who underwent RVOT stent or MBTTS was not different in MACE, achievement of oxygen saturation target, but significantly different in ICU LOS, and total hopital LOS
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Komalasari
"Latar belakang: Bedah jantung terbuka pada anak merupakan pembedahan dengan tingkat stress respon yang tinggi. Salah satu komplikasi tersering adalah infeksi pascabedah yang berkaitan dengan hiperglikemia yang terjadi pascabedah dan diperberat oleh resistensi insulin yang terjadi akibat respon stress dan perubahan neurohormonal akibat pembedahan dan puasa. Salah satu cara yang dipikirkan dapat mengurangi resistensi insulin dan kadar gula darah pascabedah adalah pemberian karbohidrat oral prabedah. Beberapa penelitian telah membuktikkan pemberian karbohidrat oral prabedah dapat mengurangi respon stress tubuh akibat puasa dan mengurangi resistensi insulin pascabedah. Pemberian karbohidrat oral prabedah akan meningkatkan kadar insulin pada kadar tidak puasa sehingga menurunkan resistensi insulin yang terjadi pascabedah. Namun, belum ada penelitian pada bedah jantung terbuka pada anak.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal untuk mengetahui efek pemberian karbohidrat oral prabedah dalam mengurangi resistensi insulin dan kadar gula darah pascabedah jantung terbuka pada anak. Terdapat 19 subjek pada masing-masing kelompok. Kedua kelompok menjalani puasa 6 jam prabedah, kelompok pertama mendapatkan maltodekstrin 12,5% dan kelompok kedua mendapatkan air putih hingga 2 jam prabedah. Dilakukan pengukuran HOMA-IR, kadar gula darah, procalcitonin dan pencatatan lama ventilasi mekanik. Hasil: Median kadar HOMA IR kelompok karbohidrat oral prabedah didapatkan selalu lebih tinggi dibandingkan kelompok air putih pada pengukuran saat prabedah, setelah induksi, dan 24 jam pascabedah, namun tidak bermakna secara statistik. Didapatkan perbedaan bermakna penggunaan ventilasi mekanik pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan (p=0,001). Kadar prokalsitonin 24 jam pascabedah didapatkan lebih tinggi pada kelompok kontrol (p=0,018). Simpulan: Karbohidrat oral prabedah dapat menurunkan infeksi dan lama penggunaan ventilasi mekanik pascabedah, namun tidak terbukti menurunkan resistensi insulin pascabedah.

Background: Open heart surgery in children causes metabolic stress and insulin resistance lead to postoperative complication such as infection and prolonged mechanical ventilation. These can be exacerbated by preoperative fasting. One of the measures to improve postoperative outcome is preoperative oral carbohydrate (OCH). Preoperative OCH changes the patient from a fasted state to a fed state and minimize insulin resistance. Many studies have evaluated the effect of preoperative oral carbohydrate on postoperative outcomes, but no study yet on open heart surgery in children. This study was designed to examine the effect of postoperative oral carbohydrate on postoperative insulin resistance, blood sugar level, and postoperative outcome including infection and mechanical ventilation time. Methods: 38 children undergoing elective cardiac surgery were randomly allocated into 2 groups. The control group receive water and the study group receive maltodextrin 12,5% 10 cc/kgBW 2 hours before induction. Blood glucose and HOMA-IR were measured before fasting, after induction, 6 hour and 24 hours postoperative. Procalcitonin as a marker for infection was measured 24 hours after surgery. Time for extubation was recorded.
Results: HOMA-IR in CHO group were higher than control group before fasting, after induction and 24 hours after surgery but not statistically different. Procalcitonin level was significantly lower in OCH group (23.1[0.66-212.8] vs 83.82[0.7-553] (p=0,0180). Patient from treatment group had shorter mechanical ventilation time 1380 [300-14000] vs 5460 [900-17200] (p=0,001).
Conclusion: Preoperative oral carbohydrate in children undergoing cardiac surgery reduce infection and length of mechanical ventilation postoperative. But does not decrease insulin resistance postoperative.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andina Judith
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) pirau kiri ke kanan adalah penyebab penting gagal tumbuh pada anak. Koreksi terhadap defek tersebut diketahui memperbaiki prognosis pertumbuhan berat maupun tinggi badan. Tujuan. Mengetahui korelasi usia koreksi defek dengan pertambahan tinggi badan pada pasien PJB pirau kiri ke kanan pasca-koreksi terhadap prognosis pertumbuhan.
Metode: Penelitian dilakukan secara potong lintang dengan menggunakan rekam medis pada subyek dengan PJB pirau kiri ke kanan yang dikoreksi kurang dari 2 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dengan variabel bebas usia koreksi defek dan variabel terikat z-skor dan Δz-skor TB/U pasca-koreksi. Referensi pertumbuhan menggunakan kurva WHO 2006. Perhitungan korelasi dilakukan menggunakan korelasi Spearman dan kemaknaan ditetapkan dengan p<0,05.
Hasil: Median usia koreksi defek pada penelitian ini adalah 8 bulan dengan usia koreksi terbanyak adalah kurang dari 6 bulan dan usia 6-12 bulan masing-masing sebanyak 11 orang. Defek terbanyak adalah VSD. Usia koreksi defek tidak berkorelasi dengan z-skor TB/U pasca-koreksi berdasarkan uji korelasi Spearman (r= 0,093) dengan nilai p=0,642. Usia koreksi defek dengan Δ z-skor TB/U tidak ditemukan korelasi berdasarkan uji korelasi Spearman (r=0,143) dengan nilai p=0,452.
Kesimpulan: Usia koreksi defek tidak terbukti berkorelasi baik dengan z-skor TB/U maupun Δ z-skor TB/U pasca-koreksi.

Background: Congenital heart disease (CHD) left-to-right shunt is an important cause of growth failure in children. Correction of these abnormalities is known to improve the prognosis of growth in weight and height.
Objectives: Identify correlation between age of defect correction and height gain in patients with left-to-right shunt CHD after correction of growth prognosis Methods. This was a cross sectional study with reviewing medical records on subjects with CHD with left-to-right shunts who were corrected for less than 2 years at Cipto Mangunkusumo hospital with the independent variable being the age of defect correction and the dependent variable were z-score of post-correction height-for-age (H/A) and height gain (Δz-score H/A). The WHO 2006 growth chart were used as the growth reference. The correlation analysis was performed using the Spearman correlation and the significance was determined with p<0.05.
Results: The median age of defect correction in this study was 8 months. Most of the subjects were less than 6 months (11 subjects) and 6-12 months (11 subjects) in corrected ages. The most defects were ventricular septal defects (VSD). The age of defect correction did not correlate with the post-correction H/A z-score based on the Spearman correlation test (r= 0.093) with p value = 0.642 while the defect correction age with z-score H/A was not found to be correlated based on the Spearman correlation test (r = 0.143) with p value = 0.452.
Conclusion: The age of defect correction did not prove correlate with either the z-score for H/A or height gain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Norasyikin A. Wahab
"Co-occurrence of cyanotic congenital heart disease (CCHD) and phaeochromocytoma (PCC) and paraganglioma (PGL) are rare, although some cases have been reported. We report a case of left paraganglioma in a 20-year-old lady with an underlying CCHD who underwent palliative Glenn shunt, subsequently developed polycythaemia and cavernous sinus thrombosis presented with palpitation, sweating, headache and hypertension of 3-months duration at the age of 17. The abdominal CT scan revealed an enhancing left paraaortic mass measuring 5.2 cm x 4.4 cm x 3.8 cm. A 24-hour urine catecholamine demonstrated raised noradrenaline level to six times upper limit of normal and hence diagnosis of left sympathetic (sPGL) was made. In view of the delayed diagnosis and significant morbidity associated with her condition, surgical treatment is no longer an option. Therefore, vigilant screening and early treatment of PCC-PGL in patients with CCHD are crucial in order to avoid significant morbidity and ensure a good quality of life."
Jakarta: Faculty of Medicine University of Indonesia, 2021
610 UI-IJIM 53:1 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Kekurangan gizi merupakan penyebab umum morbiditas pada anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB). Data dari negara berkembang memperlihatkan prevalensi malnutrisi penderita dengan PJB sebelum dioperasi mencapai 45%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil anhropometrik dan prevalensi kekurangan gizi pada anak dengan PJB dengan melakukan pengukuran anthropometrik.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancang bangun cross sectional pada anak berusia 0-2 tahun dengan PJB di RSCM. Pengukuran antropometri (berat badan, panjang badan, lingkar kepala) dilakukan pada seluruh pasien. Kekurangan gizi, failure to thrive/FTT, perawakan pendek, mikrosefali dinilai dengan menggunakan rekomendasi WHO tahun 2006, berupa perhitungan z-skor BB/PB, BB/U di 2 titik, PB/U dan LK/U < -2 SD.
Hasil: Total subyek dalam penelitian ini berjumlah 95 orang, 73 orang dengan asianotik dan 22 orang dengan PJB sianotik. Prevalensi kekurangan gizi sebesar 51,1% dengan 22,3% diantaranya adalah gizi buruk. FTT terdapat pada 64,9%, perawakan pendek pada 49,5% dan mikrosefali pada 37% pasien. FTT ditemukan lebih banyak pada pasien dengan lesi asianotik (72,2%) dibandingkan dengan lesi sianotik (42,9). Pada lesi asianotik, berat badan lebih dipengaruhi daripada panjang badan (72,2% dengan 49,3%). Pasien dengan lesi sianotik, berat dan panjang badan akan dipengaruhi secara seimbang (42,9% dengan 54.5%). Konsultasi diet diberikan kepada pasien dengan kekurangan gizi. Terapi obat-obatan, intervensi transkateter atau bedah diindikasikan pada pasien tertentu.
Kesimpulan: Prevalensi FTT lebih tinggi dibandingkan dengan kekurangan gizi pada anak dengan kelainan jantung kongenital. FTT ditemukan lebih banyak pada pasien dengan lesi asianotik. Pada lesi asianotik, berat badan lebih dipengaruhi daripada panjang badan. Pada lesi asianotik, berat badan lebih dipengaruhi daripada panjang badan.

Abstract
Background: Undernutrition is a common cause of morbidity in children with CHD. Previous data from developing country showed prevalence of preoperative undernutrition in children with CHD was up to 45%. The aim of this study are to determine the anthropometric profi les and prevalence of undernutrition in children with CHD by using the anthropometric measurement.
Methods: A cross-sectional study was carried out in children aged 0-2 years old with CHD in Cipto Mangunkusumo hospital. All patients underwent an anthropometric evaluation (weight, length and head circumference) at presentation. Undernutrition, failure to thrive /FTT, short stature and microcephaly were determined according to WHO, weight-forlength, weight-for-age at 2 points, length-for-age, head circumference-for-age z-score < -2SD accordingly.
Results: We had total of 95 patients, 73 patients with acyanotic and 22 patients with cyanotic lesions. Prevalence of undernutrition in CHD was 51.1%, with 22.3% severe undernutrition. FTT was found in 64.9%, short stature in 49.5% and microcephaly in 37% patients. FTT was found higher in acyanotic (72.2%) compared to cyanotic lesions (42.9%). In acyanotic, weight was affected more than length (72.2% vs 49.3%). In cyanotic, weight and length affected equally (42.9% vs 54.5%). Diet counseling were done in patients with undernutrition. Medicines, transcatheter or surgery intervention were indicated in selected patients.
Conclusions: Prevalence of FTT was higher than undernutrition in children with CHD. FTT was found higher in acyanotic lesions. In acyanotic, weight was affected more than length. In cyanotic, weight and length affected equally. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>