Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Aspar Mappahya
"Pemeriksaan invasif dengan arteriografi koroner selektif dapat memberi informasi akurat tentang lokasi dan luasnya proses aterosklorosis sekaligus memungkinkan visualisasi kolateral. Dengan pemeriksaan ventrikulografi kiri dapat diketahui kemampuan kontraksi ven trikel kiri dengan menganalisa kontraktilitasnya baik Secara regional maupun global.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data awal tentang gambaran morfologi arteri koronaria termasuk distribusi, lokasi dan derajat stenosis serta hubungannya dengan beberapa parameter yang berkaitan erat pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Indonesia umumnya dan di Rumah Sakit Jantung Hara pan Kita khususnya; dan menilai peranan sirkulasi kolateral pada penderita infark miokard anterior dengan obstraksi total dan subtotal pada arteri desendens anterior kiri.
Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 821 penderita yang dirujuk ke Unit Pelaksana Fungsionil Invasif RSJHR dengan suspek atau pasti menderita PIK selama periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1988. Terdapat 126 penderita dengan arteri koronaria yang normal dan sisanya, 695 penderita dianalisa lebih lanjut. Secara keseluruhan dari 821 penderita ditemukan 44,7% distribusi dominan kanan, 40,1% distribusi seimbang, dan 15,2% distribusi dominan kiri. Dari perhitungan berat dan luasnya stenosis ditemukan korelasi bermakna (p <0,01) antara skor stenosis cara AHA dan jamlah pembuluh yang sakit cara GLH. Dari segi umur tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara kelompok umur dengan rata-rata keseluruhan (p>0,05). Tetapi ada perbedaan bermakna (
p <0,05) antara kelompok dibawah 39 tahun dan kelompok 40-69 tahun. Juga tidak ada perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kelompok umur pada mereka dengan penyakit satu maupun dua dan tiga pembuluh.Berdasarkan jenis kelamin tidak banyak perbedaan distribusi jumlah pembuluh yang sakit. Obstruksi total lebih banyak dijumpai pada ke tiga arteri koronaria utama dibanding obstruksi subtotal pada semua kelompok umur kecuali pada kelompok diatas 70 tahun untuk Cx terjadi sebaliknya. Secara umum hipotesis tentang makin banyaknya faktor risiko koroner makin tinggi skor stenosisnya tidak terbukti pada penelitian ini dan hanya hipertensilah satu-satunya terbukti mempunyai pengaruh jelas terhadap beratnya stenosis . Dari gambaran radiologis, terbukti bahwa berat stenosis merupakan salah satu penyebab yang penting untuk timbulnya kardiomegali; selain itu adanya kardiomegali pada penderita PJX bisa meramalkan adanya asinergi dengan sensitivitas 64% dan spesifitas 57%. Berdasarkan gambaran EKG penderita yang diteliti lebih banyak yang telah mengalami infark (56,7%) dibanding yang tanpa infark; dan ada kecenderungan persentase penyakit satu pembuluh lebih dominan pada penderita tanpa infark dan persentase penyakit tiga pembuluh lebih dominan pada penderita infark, sementara penyakit dua pembuluh paling tinggi persentasenya pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara penderita infark transmural dan penderita infark non-Q meskipun skor stenosis pada infark transmural lebih tinggi. Stenosis bermakna pada LMCA lebih banyak ditemukan pada penderita PJK tanpa infark (55%) dibanding yang telah infark, juga persentase bermakna pada LMCA lebih banyak dijumpai.pada penyakit tiga pembuluh. Terdapat 5 (20,8%) dari penderita dengan aneurisma ventrikel yang menunjukkan elevasi. ST dan hany,a 11 (45,8%) yang disertai kolateral. Hasil ULJB pada 267 penderita memperlihatkan kecenderungan hasil positif ringan lebih banyak pada penyakit satu pem buluh dan hasil positif berat lebih banyak pada penyakit tiga pembuluh; sensitivitas pemeriksaan ULTB adalah 85%. Dari beberapa parameter yang berhubungan dengan ventrikulografi terlihat gambaran asinergi lebih sering dijumpai pada penyakit yang lebih luas sedangkan normokinesis lebih sering pada mereka dengan stenosis yang tidak begitu luas. Tnsufisiensi mitral sering dijumpai pada pemeriksaan ventrikulografi dan pada penelitian ini lebih banyak dijumpai (40,8%) pada asinergi inferior; juga paling sedikit ditemukan pada penyakit satu pembuluh.
Penilaian peranan sirkulasi kolateral terhadap PJK umumnya terlihat tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) persentase pemendekan hemi dan longaxis diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral pada 38 penderita PIK dengan obstruksi total dan subtotal -
tanpa infark anterior. Juga tidak ada perbedaan bermakna dalam hal FE, TDAVK dan VDA pada kelompok ini. Adapun pada kelompok penderita yang telah mengalami infark anterior, ternyata ada perbedaan persentase pemendekan hemi dan longaxis yang bermakna, (p<0.01 ), khususnya aksis yang sesuai dengan perfusi LAD, sehingga dapat disimpulkan bahwa makin baik kualitas kolateral makin baik pula fungal ventrikel kiri, meskipun persentase pemendekan tersebut masih lebih rendah dibanding yang ditemukan pada kelompok kontrol. Demikian pula ada perbedaan bermakna (p 0,01) dalam hal FE,dan TDAVK diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral yang selanjutnya memperkuat kesimpulan diatas.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peranan sirkulasi kolateral pada penderita PJK baik yang belum maupun yang telah mengalami infark sangat penting dalam menilai hubungannya dengan fungsi ventrikel k iri serta sangat berguna untuk menentukan tindak lanjut baik yang bersifat konservatif maupun yang bersifat intervensi angioplasti dan bedah pintas koroner.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 4126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilman Zulkifli Amin
"ABSTRACT
Atherosclerosis is a chronic inflammatory disorder involving innate and adaptive immunity process. Effector T cell (Teff) responses promote atherosclerotic disease, whereas regulatory T cells (Tregs) have been shown to play a protective role against atherosclerosis by down-regulating inflammatory responses which include multiple mechanisms. Compelling experimental data suggest that shifting the Treg/Teff balance toward Tregs may be a possible therapeutic approach for atherosclerotic disease, although the role of Tregs in human atherosclerotic disease has not been fully elucidated. In this review, we discuss recent advances in our understanding of the roles of Tregs and Teffs in experimental atherosclerosis, as well as human coronary artery disease."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
610 UI-IJIM 49: 1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmad Isnanta
"ABSTRAK
Latar belakang: Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi penyakit jantung koroner yang dapat menyebabkan kematian mendadak. SKA kebanyakan terjadi pada usia di atas 45 tahun, Namun beberapa tahun terakhir ini angka kejadian infark miokard usia muda meningkat.
Tujuan: Mengetahui perbedaan karakteristik angiografi koroner pada pasien SKA usia ≤45 tahun dengan pasien SKA usia > 45 tahun.
Metode: Beratnya stenosis pembuluh darah diukur dengan Vessel Score (jumlah pembuluh darah koroner yang sakit dengan stenosis ≥ 70%) dan Stenosis Score.
Hasil: Diteliti sebanyak 322 pasien SKA yang telah menjalani angiografi koroner di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai Januari 2008 sampai Desember 2012. Pasien dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok satu adalah pasien usia ≤45 tahun dan kelompok kedua pasien usia>45 tahun. Ditemukan 322 pasien SKA (72 kasus ≤45 tahun dan 250 kasus >45tahun). Distribusi jumlah pembuluh darah yang sakit (vessel score) 1 VD (single vessel diseases) terbanyak pada usia ≤ 45 tahun (43.1 % vs 26.0 % ), sedangkan 3 VD (triple vessel diseases) terbanyak pada usia > 45 tahun (31.6 % vs 18,1 %). Hasil skor stenosis menunjukkan lebih rendah pada usia ≤ 45 tahun dibandingkan usia  45 tahun (median skor stenosis 4 vs 8) dengan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis yang terbanyak adalah Left Anterior Descending baik kelompok usia ≤ 45 tahun dan usia  45 tahun (65.3% and 74.0%). Pembuluh darah Left Circumflex dan Right Coronary Artery lebih sedikit pada usia ≤ 45 tahun dan bermakna secara statistik (26,4% dan 31,9% vs 46,4% dan 57,2%, p=0,002 dan 0,001).
Simpulan: Jumlah pembuluh darah koroner yang sakit (vessel score) dan skor stenosis lebih kecil pada usia ≤ 45 tahun dibanding usia > 45 tahun

ABSTRACT
Background: Acute Coronary Syndrome (ACS) is the manifestation of coronary heart disease which can cause sudden death. ACS mostly occurs at the age > 45 years, but recently the incidence of myocardial infarction increases in yong ages.
Objective: To determine compared between coronary angiography of acute coronary syndrome patients age ≤ 45 years with acute coronary syndrome patients age > 45 years.
Methods: The severety of coronary stenosis was determined by Vessel score and Coronary score. Significant vessel score was defined as stenosis of angiography of more or equal to 70% lumen stenosis by eyeball examination
Results :A total of 322 ACS patients who undergone coronary angiography in ICCU Cipto Mangunkusumo from January 2008 to December 2012. Patients were divided into two groups. One patient group is less or equal to the age of 45 years (72 cases) and the second group of patients over the age of 45 years (250 cases).
Distribution of number of blood vessels disease 1 VD (single vessel diseases) highest in the age group ≤ 45 years (43.1 % vs 26.0 % ), while 3 VD (triple vessel diseases) highest in the age group > 45 years (31.6 % vs 18,1 %). stenosis score was lower at age ≤ 45 years to compare age > 45 years (median stenosis score 4 vs 8) with statistical significant difference (p < 0.001 ). The Left Anterior Descending Artery significant lesion was found high at the both age groups (65.3% and 74.0%). But the significant stenosis lesion was less found in Left Circumflex and Right Coronary Artery at the age ≤ 45 years (26,4% and 31,9% vs 46,4% and 57,2%, p=0,002 and 0,001).
Conclusion :The number of coronary arteries diseases (Vessel score) and Stenosis score is lower at the age ≤ 45 years compared to patients age > 45 years."
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Alfaritsi Hamonangan
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner (BPAK) adalah sebuah prosedur revaskularisasi koroner. Major adverse cardiovascular event (MACE) yang terjadi pascaprosedur BPAK merupakan kombinasi faktor risiko pasien, intraoperatif, dan pascaoperatif dengan insiden mencapai 33,3% Vasoactive Inotropic Score (VIS) adalah sebuah skor yang menilai jumlah topangan farmakologis kardiovaskular yang awalnya dikembangkan untuk pasien pediatrik. Penelitian ini bertujuan untuk menilai VIS sebagai prediktor terjadinya MACE pascaprosedur BPAK pada pasien dewasa.
Metode: Penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan desain kohort retrospektif. Jumlah besar sampel minimal adalah 113 dengan metode sampling konsekutif. Variabel yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, hipertensi, diabetes melitus, GDS, EF, lama operasi, durasi ventilasi mekanik, jenis operasi, nilai VIS, dan MACE (kematian, infark miokardium, gagal napas, gagal ginjal, sepsis). Batas nilai VIS tinggi yang digunakan adalah ≥10.
Hasil: Dari 120 subyek, 34,2% subyek mengalami MACE dan 78,3% memiliki nilai VIS tinggi. Durasi operasi, durasi ventilasi mekanik, jenis operasi, dan nilai VIS berhubungan secara bermakna terhadap MACE. Hubungan nilai VIS dengan ada tidaknya MACE pascaprosedur BPAK memiliki OR 11,6 (IK 95% 4,1 – 32,6, p = 0,001), sensitivitas 48.78% (IK95% 34,25 – 63,52%), dan spesifisitas 92,41% (IK95% 84,4 – 96,47%).
Simpulan: VIS secara tunggal belum dapat disimpulkan dapat memprediksi kejadian MACE dan faktor-faktor risiko MACE yang lain juga perlu dipertimbangkan dalam memprediksi MACE.

Introduction: Coronary artery bypass grafting (CABG) is a coronary revascularization procedure. Major adverse cardiovascular event (MACE) after CABG is a multifactorial process combining patient, intraoperative, and postoperative risk factors with the incidence of 33.3%. Vasoactive Inotropic Score (VIS) is a measurement of pharmacological cardiovascular support that was originally developed for pediatric patients. This study aims to evaluate VIS as a predictor for MACE after CABG in adults.
Methods: This study is a retrospective analytical observation study with minimal sample size of 113 subjects. The research variables are age, gender, hypertension, diabetes mellitus, blood glucose, ejection fraction, operation duration, mechanical ventilation duration, operation technique, VIS, and MACE (mortality, myocardial infarct, respiratory failure, kidney failure, sepsis). The cut off point for VIS used in this study is ≥ 10.
Results: From 120 subjects, MACE incidence is 34.2% and 78.3% of subjects had high VIS. Operation duration, mechanical ventilation duration, and operation technique were significantly associated with MACE. High VIS were significantly associated with MACE (OR 11.6, CI95% 4.1 – 32.6, p = 0.001). The sensitivity of VIS in predicting MACE is 48.78% (CI95% 34.25 – 63.52%) and its specificity is 92.41% (CI95% 84.4 – 96.47%).
Conclusions: VIS alone may not be enough to predict MACE after CABG in adults. Other risk factors should be taken into account to predict MACE.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwisetyo Gusti Arilaksono
"

Obesitas selama ini dikenal sebagai faktor risiko tradisional untuk penyakit kardiovaskular. Pada banyak studi tingginya indeks massa tubuh (IMT) justru memiliki efek protektif terhadap luaran klinis pasien dengan penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung koroner, khususnya infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP). Namun, beberapa studi belum bisa membuktikan adanya fenomena obesitas paradoks ini pada semua populasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan indeks massa tubuh dengan luaran klinis jangka panjang pada pasien IMA-EST yang menjalani IKP. Studi observasional kohort retrospektif pada 400 pasien IMA-EST yang dilakukan intervensi koroner perkutan (IKP) yang diambil dari registri RSPJPDHK. Dilakukan pencatatan tinggi badan dan berat badan dari telaah rekam medis dan registri. Evaluasi luaran klinis setelah 2 tahun paska IKP dilakukan dengan menghubungi pasien dan keluarga serta penelusuran rekam medis. Analisa statistik dilakukan untuk membandingkan luaran klinis pada kelompok BB kurang-normal dengan BB lebih-obesitas. Dari 400 subyek penelitian, didapatkan jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan di kedua grup. Terdapat perbedaan bermakna rerata klirens kreatinin (65.99 vs 82.28; p <0.0001) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (43.82 vs 46.59; p 0.02) pada kelompok BB kurang-normal dan BB lebih-obesitas. Diameter stent dan usia pasien tidak ditemukan perbedaan bermakna di kedua kelompok. BB lebih-obesitas juga secara bermakna memiliki efek protektif pada MACE (OR 0.477 [95% IK 0.311-0.733]; p 0.001), kejadian infark berulang (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001) serta kematian kardiovaskular (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049). Analisis multivariat menunjukkan BB lebih-obesitas sebagai prediktor independen terhadap luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara IMT dengan luaran klinis jangka panjang pasien IMA-EST yang dilakukan IKPP. BB lebih-obesitas memiliki kecenderungan luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang setelah 2 tahun yang lebih baik dibandingkan BB kurang-normal

 


Obesity has been known as a traditional risk factor for cardiovascular disease. In many studies the high body mass index (BMI) actually has a protective effect on the clinical outcomes of patients with cardiovascular disease, including coronary heart disease, especially acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) underwent percutaneous coronary intervention (PCI). However, several studies have not been able to prove the existence of this paradoxical obesity phenomenon in all populations. This study aims to determine the association between BMI and long-term clinical outcomes in STEMI patients underwent PCI. A retrospective cohort observational study of 400 STEMI patients undergoing percutaneous coronary intervention (PCI) was taken from the RSPJPDHK registry. Height and weight were recorded from a review of medical records and the registry. Evaluation of clinical outcomes 2 years after PCI is done by contacting patients and families and tracking medical records. Statistical analysis was performed to compare clinical outcomes in the underweight-normal group with the overweight-obese. In 400 research subjects, there were more men than women in both groups. There were significant differences in creatinine clearance (65.99 vs 82.28; p <0.0001) and left ventricular ejection fraction (43.82 vs 46.59; p 0.02) in the underweight-normal group with the overweight-obese. No significant differences was found in stent diameter and age of the patients between the two groups. Overweight and obesity also has a significant protective effect on MACE (OR 0.477 [95% CI 0.311-0.733]; p 0.001), recurrent infarction events (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001 ) as well as cardiovascular death (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049) Multivariate analysis shows overweight-obesity as an independent predictor of clinical outcome of MACE and the incidence of recurrent infarction. In conclusion, there is an association between BMI and long-term clinical outcomes of STEMI patients undergoing PPCI. Overweight and obese group showed better outcome in MACE and reinfarction within 2 years compared to Underweight-Normal group.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Ekarini
"Karya Ilmiah Akhir ini merupakan analisis dari rangkaian kegiatan praktik residensi Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, dengan penerapan Model The Dynamic Nurse - Patient Relationship Ida jean Orlando pada proses keperawatan pasien gangguan sistem kardiovaskular, penerapan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian, dan melakukan inovasi keperawatan. Pengkajian pasien dengan teori Ida Jean Orlando berfokus pada hubungan dan reaksi antara perawat-pasien. Apa yang perawat dan pasien katakan dan bagaimana pengaruhnya untuk kedua belah pihak. Tindakan keperawatan yang dilakukan diperoleh dari pengalaman pasien yang sifatnya segera dan memerlukan pertolongan cepat. Asumsi utama dalam teori Orlando terdapat tiga dari empat konsep utama yaitu person (manusia), kesehatan dan keperawatan. Konsep keempat, lingkungan tidak termasuk dalam teorinya. Kebutuhan untuk dibantu (diagnosis keperawatan) yang umum terjadi pada pasien antara lain : penurunan cardiac ouput, gangguan pertukaran gas, inefektif bersihan jalan napas, risiko perdarahan, nyeri akut dan risiko infeksi. Pelaksanaan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian, dilakukan untuk pengelolaan nyeri pada pasien post CABG. Intervensi dilakukan dengan memberikan terapi dingin (cold therapy) dengan gel pack selama 20 menit, sebelum latihan napas dalam dan batuk efektif. Pelaksanaan inovasi keperawatan berupa penyusunan format pengkajian keperawatan, identifikasi masalah dan rencana tindak lanjut pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular di unit rawat jalan PJNHK.

This scientific work is analysis from series of practice residency Nurse Medical Surgical Nursing Specialist by implementing The Dynamic Nurse Patient Relationship model by Ida Jean Orlandos theory at nursing process with cardiovascular disorder implementation of nursing practical based on evidence and making innovation in nursing. Assessment to patient with Ida Jean Orlandos theory was focusing on relationship and interaction between nurse patient What are the nurse and patient said and how they affect each other. Nurse action that taken was obtained from patient experience with is urgent and need first aid. The main assumption in Orlandos theory there are at least 3 out of 4 main concepts i e person human health and nurse. The fourth concept is the environment was not included in his theory. The need to get help diagnostic of nursing which generally happened to patient i e decreased of cardiac output impaired gas exchange ineffective airway clearance risk of hemorrhage acute pain and risk for infection. Implementation of nursing practical based on evidence has to done to reducing patient pain Post CABG pain management after bypass surgery. Intervention was done by providing cold therapy with gel pack up to 20 minutes before deep breathing exercise and cough. Implementation of nursing innovation in form of preparation of nursing assessment formats for nursing problem identification follow up plan for patient with cardiovascular system disorder at outpatient unit in cardiovascular hospital Harapan Kita Jakarta.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Suci Yunita
"Latar Belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) disebabkan penyempitan arteri koronaria jantung, terdapat hipotesis mengenai infeksi periodontal yang dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya PJK. Alkaline phosphatase (ALP) sebagai penanda inflamasi akan meningkat pada aterosklerosis dan penyakit periodontal.
Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar ALP dalam saliva pada penderita PJK dan non PJK dengan status periodontal.
Metode: Saliva dari 104 subjek diambil sebanyak 1 ml, kadar ALP dianalisis menggunakan Abbott architect ci4100.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ALP dalam saliva antara penderita PJK dan non PJK.
Kesimpulan: ALP dalam saliva pada penderita PJK lebih tinggi daripada non PJK dan tidak ada hubungan ALP dengan status periodontal.

Background: Coronary heart disease (CHD) is a disease that causes narrowing of the coronary arteries. Currently, there is a hypothesis regarding periodontal infection that increase risk for heart disease. Alkaline phosphatase (ALP) as a marker of inflammation will increase in atherosclerosis and periodontal disease.
Objective: To analyze the relationship between the levels of alkaline phosphatase in saliva with periodontal status in patients with CHD and non CHD.
Methods: saliva of 104 subjects were taken, each 1 ml, and levels of Alkaline Phosphatase was analyzed using Abbott ci4100 architect.
Results: No significant difference of Alkaline Phosphatase levels in saliva between CHD patients and non CHD.
Conclusion: The level of ALP in saliva was higher in patients with CHD and no association between ALP level and periodontal status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bogie Putra Palinggi
"Latar Belakang. Pada lesi stenosis bifurcatio arteri koroner, oklusi akut cabang arterikoroner utama dapat terjadi sebagai komplikasi intervensi koroner perkutan. Peranansudut karina sebagai salah satu bagian karakteristik bifurcatio arteri koroner dalammenyebabkan oklusi akut cabang arteri koroner utama pada tindakan intervensikoroner perkutan elektif masih diperdebatkan.
Tujuan. Menilai hubungan antara sudut karina bifurcatio arteri koroner sebagai salahsatu bagian karakteristik bifurcatio arteri koroner, terhadap kejadian oklusi akut cabangarteri koroner utama pada intervensi koroner perkutan elektif dengan lesi stenosisbifurcatio arteri koroner.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai hubunganantara sudut karina bifurcatio arteri koroner terhadap kejadian oklusi akut cabang arterikoroner utama, pada intervensi koroner perkutan elektif dengan lesi stenosis bifurcatioarteri koroner. Pengukuran sudut karina bifurcatio arteri koroner menggunakanperangkat lunak CAAS 5.1. Penilaian oklusi akut cabang arteri koroner utamadilakukan setelah intervensi koroner perkutan elektif.
Hasil. Sebanyak 113 lesi pada 108 sampel yang memenuhi kriteria inklusi periodeFebruari 2016 hingga Oktober 2016. Jumlah lesi oklusi akut cabang arteri koronerutama 15 13,3 , dengan median sudut karina bifurcatio arteri koroner 19,17.

Background. Side branch occlusion has been implicated as a complication afterpercutaneous coronary bifurcation intervention. The role of carina bifurcation angle asone of the characteristics of the coronary bifurcation lesion in causing side branchocclusion after percutaneous coronary bifurcation lesion intervention is still debated.
Objective. To assess the relationship betweeen carina bifurcation angles one of thecharacteristics of the coronary bifurcation lesion and side branch occlusion in electivepercutaneous coronary bifurcation lesion intervention.
Methods. This is a cross sectional study to assess the relationship between carinabifurcation angle and side branch occlusion in elective percutaneous coronarybifurcation lesions intervention. CAAS 5.1 software was used to measure carinabifurcation angle. Evaluation of acute occlusion of a side branch conducted afterelective percutaneous coronary intervention.
Results. A total of 113 lesions in 108 patients that met the inclusion criteria fromFebruary 2016 to October 2016. Side branch occlusion occurred in 15 lesions 13,3 ,with median carina bifurcation angle 19,170 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Astuti
"Kecemasan pada pasien coronary arteri disease (CAD) dapat menyebabkan perburukan terhadap perkembangan penyakit. Pengkajian untuk menilai kecemasan dari awal diperlukan untuk menghindari bahaya yang ditimbulkan dari kecemasan pasien. Kuesioner cardiac anxiety questionnaire (CAQ) adalah kuesioner untuk mengkaji kecemasan yang spesifik pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler. Tujuan penerapan kuesioner CAQ untuk menilai validitas dan realibilitas sebagai alat ukur dalam menilai tingkat kecemasan pasien dengan gangguan system kardiovaskuler. Strategi penulusuran dengan menggunakan database dengan pendekatan PICO (Population, Intervention, Comparation dan Outcome), ditemukan ada 35 jurnal dan ditentukan 5 jurnal dengan karakteristik sample yang hampir sama. Penerapan pengkajian kuesioner CAQ terhadap 30 pasien di RS Pusat Jantung Harapan Kita Jakarta, hasil didapatkan rerata skor nilai total kuesioner CAQ adalah 30.30 dengan standar deviasi sebesar 13.2 dengan estimasi interval 95% skor nilai total CAQ berada pada rentang 25.37 – 35.2. Uji validitas didapatkan 14 dari 18 pertanyaan valid dan uji reabilitas mempunyai nilai 0.861 (> r table = 0,361) sehingga CAQ dapat ditetapkan di RS Pusat Jantung Nasional Jakarta

Anxiety is patients with coronary artery disease (CAD) can cause worsening of disease progression. Assessment to assess anxiety from the beginning is necessary to avpid the dangers posed by anxiety. The Cardiac anxiety quesionnarie (CAQ) is heart focused anxiety quessionnarie the purpose of applying the CAQ questionnaire ti assess the validity and realibility as a measuring tool in assessing anxiety levels of patients with cardiovascular disorder. The search strategy using a databased with the PICO (Population, Intervention, Comparation dan Outcome) approach, found there were 35 journals and determined 5 journals with nearly identical sample characteristics. Applying the CAQ questionnaire assessmet to 30 patients at National Cardiovasculer Center Harapan Kita. The result shows that the average score of CAQ questionnaire total is 30.30 with standard deviation of 13.2 with 95% interval estimateof total CAQ value score in range 25.37 – 35.2. Validity test obtained 14 out of 18 valid questions and reliability test has velue of 0.861 (> r table = 0.361) so that CAQ questionnaire can bi determined at National Cardiovasculer center Harapan kita."
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Smuclovisky, Claudio
"This new case-based book fills a gap in the literature by guiding the reader through the challenging clinical problems encountered in daily practice. Each case presents the clinician with a complete patient work-up that includes clinical history, radiological and clinical findings, treatment summary and suggested readings."
New York, NY : Springer , 2009
616.130 757 2 SMU c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library