Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Aspar Mappahya
"Pemeriksaan invasif dengan arteriografi koroner selektif dapat memberi informasi akurat tentang lokasi dan luasnya proses aterosklorosis sekaligus memungkinkan visualisasi kolateral. Dengan pemeriksaan ventrikulografi kiri dapat diketahui kemampuan kontraksi ven trikel kiri dengan menganalisa kontraktilitasnya baik Secara regional maupun global.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data awal tentang gambaran morfologi arteri koronaria termasuk distribusi, lokasi dan derajat stenosis serta hubungannya dengan beberapa parameter yang berkaitan erat pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Indonesia umumnya dan di Rumah Sakit Jantung Hara pan Kita khususnya; dan menilai peranan sirkulasi kolateral pada penderita infark miokard anterior dengan obstraksi total dan subtotal pada arteri desendens anterior kiri.
Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 821 penderita yang dirujuk ke Unit Pelaksana Fungsionil Invasif RSJHR dengan suspek atau pasti menderita PIK selama periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1988. Terdapat 126 penderita dengan arteri koronaria yang normal dan sisanya, 695 penderita dianalisa lebih lanjut. Secara keseluruhan dari 821 penderita ditemukan 44,7% distribusi dominan kanan, 40,1% distribusi seimbang, dan 15,2% distribusi dominan kiri. Dari perhitungan berat dan luasnya stenosis ditemukan korelasi bermakna (p <0,01) antara skor stenosis cara AHA dan jamlah pembuluh yang sakit cara GLH. Dari segi umur tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara kelompok umur dengan rata-rata keseluruhan (p>0,05). Tetapi ada perbedaan bermakna (
p <0,05) antara kelompok dibawah 39 tahun dan kelompok 40-69 tahun. Juga tidak ada perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kelompok umur pada mereka dengan penyakit satu maupun dua dan tiga pembuluh.Berdasarkan jenis kelamin tidak banyak perbedaan distribusi jumlah pembuluh yang sakit. Obstruksi total lebih banyak dijumpai pada ke tiga arteri koronaria utama dibanding obstruksi subtotal pada semua kelompok umur kecuali pada kelompok diatas 70 tahun untuk Cx terjadi sebaliknya. Secara umum hipotesis tentang makin banyaknya faktor risiko koroner makin tinggi skor stenosisnya tidak terbukti pada penelitian ini dan hanya hipertensilah satu-satunya terbukti mempunyai pengaruh jelas terhadap beratnya stenosis . Dari gambaran radiologis, terbukti bahwa berat stenosis merupakan salah satu penyebab yang penting untuk timbulnya kardiomegali; selain itu adanya kardiomegali pada penderita PJX bisa meramalkan adanya asinergi dengan sensitivitas 64% dan spesifitas 57%. Berdasarkan gambaran EKG penderita yang diteliti lebih banyak yang telah mengalami infark (56,7%) dibanding yang tanpa infark; dan ada kecenderungan persentase penyakit satu pembuluh lebih dominan pada penderita tanpa infark dan persentase penyakit tiga pembuluh lebih dominan pada penderita infark, sementara penyakit dua pembuluh paling tinggi persentasenya pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara penderita infark transmural dan penderita infark non-Q meskipun skor stenosis pada infark transmural lebih tinggi. Stenosis bermakna pada LMCA lebih banyak ditemukan pada penderita PJK tanpa infark (55%) dibanding yang telah infark, juga persentase bermakna pada LMCA lebih banyak dijumpai.pada penyakit tiga pembuluh. Terdapat 5 (20,8%) dari penderita dengan aneurisma ventrikel yang menunjukkan elevasi. ST dan hany,a 11 (45,8%) yang disertai kolateral. Hasil ULJB pada 267 penderita memperlihatkan kecenderungan hasil positif ringan lebih banyak pada penyakit satu pem buluh dan hasil positif berat lebih banyak pada penyakit tiga pembuluh; sensitivitas pemeriksaan ULTB adalah 85%. Dari beberapa parameter yang berhubungan dengan ventrikulografi terlihat gambaran asinergi lebih sering dijumpai pada penyakit yang lebih luas sedangkan normokinesis lebih sering pada mereka dengan stenosis yang tidak begitu luas. Tnsufisiensi mitral sering dijumpai pada pemeriksaan ventrikulografi dan pada penelitian ini lebih banyak dijumpai (40,8%) pada asinergi inferior; juga paling sedikit ditemukan pada penyakit satu pembuluh.
Penilaian peranan sirkulasi kolateral terhadap PJK umumnya terlihat tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) persentase pemendekan hemi dan longaxis diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral pada 38 penderita PIK dengan obstruksi total dan subtotal -
tanpa infark anterior. Juga tidak ada perbedaan bermakna dalam hal FE, TDAVK dan VDA pada kelompok ini. Adapun pada kelompok penderita yang telah mengalami infark anterior, ternyata ada perbedaan persentase pemendekan hemi dan longaxis yang bermakna, (p<0.01 ), khususnya aksis yang sesuai dengan perfusi LAD, sehingga dapat disimpulkan bahwa makin baik kualitas kolateral makin baik pula fungal ventrikel kiri, meskipun persentase pemendekan tersebut masih lebih rendah dibanding yang ditemukan pada kelompok kontrol. Demikian pula ada perbedaan bermakna (p 0,01) dalam hal FE,dan TDAVK diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral yang selanjutnya memperkuat kesimpulan diatas.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peranan sirkulasi kolateral pada penderita PJK baik yang belum maupun yang telah mengalami infark sangat penting dalam menilai hubungannya dengan fungsi ventrikel k iri serta sangat berguna untuk menentukan tindak lanjut baik yang bersifat konservatif maupun yang bersifat intervensi angioplasti dan bedah pintas koroner.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 4126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmad Isnanta
"ABSTRAK
Latar belakang: Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi penyakit jantung koroner yang dapat menyebabkan kematian mendadak. SKA kebanyakan terjadi pada usia di atas 45 tahun, Namun beberapa tahun terakhir ini angka kejadian infark miokard usia muda meningkat.
Tujuan: Mengetahui perbedaan karakteristik angiografi koroner pada pasien SKA usia ≤45 tahun dengan pasien SKA usia > 45 tahun.
Metode: Beratnya stenosis pembuluh darah diukur dengan Vessel Score (jumlah pembuluh darah koroner yang sakit dengan stenosis ≥ 70%) dan Stenosis Score.
Hasil: Diteliti sebanyak 322 pasien SKA yang telah menjalani angiografi koroner di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai Januari 2008 sampai Desember 2012. Pasien dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok satu adalah pasien usia ≤45 tahun dan kelompok kedua pasien usia>45 tahun. Ditemukan 322 pasien SKA (72 kasus ≤45 tahun dan 250 kasus >45tahun). Distribusi jumlah pembuluh darah yang sakit (vessel score) 1 VD (single vessel diseases) terbanyak pada usia ≤ 45 tahun (43.1 % vs 26.0 % ), sedangkan 3 VD (triple vessel diseases) terbanyak pada usia > 45 tahun (31.6 % vs 18,1 %). Hasil skor stenosis menunjukkan lebih rendah pada usia ≤ 45 tahun dibandingkan usia  45 tahun (median skor stenosis 4 vs 8) dengan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis yang terbanyak adalah Left Anterior Descending baik kelompok usia ≤ 45 tahun dan usia  45 tahun (65.3% and 74.0%). Pembuluh darah Left Circumflex dan Right Coronary Artery lebih sedikit pada usia ≤ 45 tahun dan bermakna secara statistik (26,4% dan 31,9% vs 46,4% dan 57,2%, p=0,002 dan 0,001).
Simpulan: Jumlah pembuluh darah koroner yang sakit (vessel score) dan skor stenosis lebih kecil pada usia ≤ 45 tahun dibanding usia > 45 tahun

ABSTRACT
Background: Acute Coronary Syndrome (ACS) is the manifestation of coronary heart disease which can cause sudden death. ACS mostly occurs at the age > 45 years, but recently the incidence of myocardial infarction increases in yong ages.
Objective: To determine compared between coronary angiography of acute coronary syndrome patients age ≤ 45 years with acute coronary syndrome patients age > 45 years.
Methods: The severety of coronary stenosis was determined by Vessel score and Coronary score. Significant vessel score was defined as stenosis of angiography of more or equal to 70% lumen stenosis by eyeball examination
Results :A total of 322 ACS patients who undergone coronary angiography in ICCU Cipto Mangunkusumo from January 2008 to December 2012. Patients were divided into two groups. One patient group is less or equal to the age of 45 years (72 cases) and the second group of patients over the age of 45 years (250 cases).
Distribution of number of blood vessels disease 1 VD (single vessel diseases) highest in the age group ≤ 45 years (43.1 % vs 26.0 % ), while 3 VD (triple vessel diseases) highest in the age group > 45 years (31.6 % vs 18,1 %). stenosis score was lower at age ≤ 45 years to compare age > 45 years (median stenosis score 4 vs 8) with statistical significant difference (p < 0.001 ). The Left Anterior Descending Artery significant lesion was found high at the both age groups (65.3% and 74.0%). But the significant stenosis lesion was less found in Left Circumflex and Right Coronary Artery at the age ≤ 45 years (26,4% and 31,9% vs 46,4% and 57,2%, p=0,002 and 0,001).
Conclusion :The number of coronary arteries diseases (Vessel score) and Stenosis score is lower at the age ≤ 45 years compared to patients age > 45 years."
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Dwi Astuti
"Pasien yang menjalani operasi Bedah Pintas Koroner (BPK) atau coronary artery bypass grafting (CABG) memiliki risiko terjadinya komplikasi pasca operasi yang berakibat pada hari rawat yang lama bahkan kematian. Intervensi berupa rehabilitasi jantung fase I diperlukan untuk membantu mempercepat proses pemulihan pasca operasi serta mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi BPK. Meskipun penelitian terkait rehabilitasi jantung sudah banyak dilakukan, namun perlu dilakukan telaah lebih lanjut dari artikel penelitian mengenai intervensi yang dapat dilakukan dalam program rehabilitasi jantung yang aman dan mudah dilakukan pada pasien pasca operasi BPK. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat intervensi yang aman dan efektif dilakukan dalam rehabilitasi jantung fase I pada pasien yang menjalani operasi BPK. Studi literatur ini dibuat dengan melakukan analisis terhadap atikel-artikel ilmiah minimal penelitian retrospektif yang dipublikasi tahun 2008 sampai 2018 dan berbahasa Inggris. Data didapat dari database meliputi Google Scholar, PubMed, DOAJ, dan Proquest dengan kata kunci cardiac rehabilitation phase I, coronary artery bypass grafting, early ambulation, early mobilization, education pre operative, dan physical exercise. Hasil studi literatur ini didapatkan 13 artikel yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil telaah ditemukan bahwa pelaksanaan rehabilitasi jantung fase I pada pasien yang menjalani operasi BPK dimulai dari fase praoperasi dan dilanjutkan pasca operasi sampai pasien akan pulang. Intervensi rehabilitasi jantung fase I, baik pre maupun pasca operasi, terdiri dari edukasi dan konseling, latihan/ aktivitas fisik, latihan bernapas, latihan batuk efektif, inspiratory muscle training, fisioterapi dada, dan respiratory muscle stretch gymnastics. Oleh karena itu, hasil telaah literatur ini dapat menjadi dasar dalam menentukan standar prosedur operasional terhadap pelaksanaan rehabilitasi jantung fase I untuk rumah sakit yang menyediakan pelayanan operasi BPK.

A patient undergoing coronary artery bypass grafting CABG surgery has a risk of post operative complication, which can cause prolonged length of stay and even mortality. The patient necessarily needs to do intervention cardiac rehabilitation phase I to help the recovery process after surgery and prevent post operative complications. The articles related to cardiac rehabilitation have been carried out. However, it is necessary to review research articles about the effective and safe intervention of cardiac rehabilitation phase I for patients undergoing CABG surgery. The aim of this study was to explore the effective and safe intervention of cardiac rehabilitation phase I. This literature review was conducted by analyzing articles including randomized control trial until retrospective design which published between 2008 until 2018 with English language articles. Data was searched through Google Scholar, PubMed, DOAJ, and Proquest. The keyword was early ambulation, coronary artery bypass grafting, preoperative education, physical exercise, early mobilization, and cardiac rehabilitation phase I or inpatient cardiac rehabilitation. The finding in this literature review was 13 articles corresponding with the inclusion and exclusion criteria. The result of this study found that the intervention in cardiac rehabilitation phase I in patient who undergoing coronary artery bypass grafting surgery was started from preoperative and continued postoperative phases until the patient will leave the hospital. Interventions in cardiac rehabilitation phase I consisted of education and counseling, physical exercise/ activity, breathing exercises, effective cough exercises, inspiratory muscle training, chest physiotherapy, and respiratory muscle stretch gymnastics. Therefore, the result of this literature review can be the basis to determine standard operational procedure for the implementation of the cardiac rehabilitation phase I for the hospitals that provide CABG surgery."
Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2019
610 UI-JKI 22:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aria Wahyuni
"Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu bentuk gangguan pembuluh darah koroner yang termasuk dalam ketegori arterosklerosis. Ketidaksiapan pasien PJK pulang dari rumah sakit akan berdampak terhadap rawatan ulang sebagai akibat dari pelaksanaan program discharge planning yang belum efektif selama dirawat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan discharge planning terhadap kesiapan pulang pasien penyakit jantung koroner.
Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment dengan pendekatan non-equivalent post test only control group design. Jumlah sampel 32 orang yang terbagi atas 16 orang kelompok kontrol dan 16 orang kelompok intervensi dan dilakukan di tiga rumah sakit di Kota Bukittinggi.
Hasil penelitian didapatkan adanya pengaruh penerapan discharge planning terhadap kesiapan pulang pasien penyakit jantung koroner yang terdiri dari status personal, pengetahuan, kemampuan koping, dan dukungan (p= 0,001; α= 0,05). Penelitian ini merekomendasikan discharge planning yang baik dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan kualitas hidup pasien penyakit jantung koroner.

Coronary Heart Disease (CHD) is a form of blood vessel disorder that belongs to the category of coronary atherosclerosis. An unreadiness of patients with CHD to go home from the hospital will have an impact on readmission as a result of ineffective discharge planning program during hospitalized. The purpose of this study was to examine the effect of the implementation of discharge planning program on the readiness to be discharged from the hospital. A quasi experiment with non-equivalent post test only control group design was employed. The participant of the study was 32 respondents devided into control and intervention groups, each had 16 respondents who were taken from three hospitals in Bukittingi. The result showed that discharge planning program has significance influence on patient perception of their readiness to be discharged from the hospital, it consisting of personal status, knowledge, coping ability, and support (p= 0.001; α= 0.05). This study recommends that a good discharge planning program can be implemented to improve the quality of nursing care, to reduce the risk of readmission to the hospital and the quality of life of patients with coronary heart diseases."
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
600 UI-JKI 15:3 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hilman Zulkifli Amin
"Atherosclerosis is a chronic inflammatory disorder involving innate and adaptive immunity process. Effector T cell (Teff) responses promote atherosclerotic disease, whereas regulatory T cells (Tregs) have been shown to play a protective role against atherosclerosis by down-regulating inflammatory responses which include multiple mechanisms. Compelling experimental data suggest that shifting the Treg/Teff balance toward Tregs may be a possible therapeutic approach for atherosclerotic disease, although the role of Tregs in human atherosclerotic disease has not been fully elucidated. In this review, we discuss recent advances in our understanding of the roles of Tregs and Teffs in experimental atherosclerosis, as well as human coronary artery disease.

Aterosklerosis merupakan suatu proses peradangan kronik, yang melibatkan imunitas alamiah dan adaptif. Respon sel T efektor (Teff) berperan dalam mempercepat terjadinya aterosklerosis. Adapun sel T regulator (Treg), mempunyai peran sebagai komponen pelindung dalam proses aterosklerosis melalui modulasi respon inflamasi yang melibatkan berbagai mekanisme. Dari berbagai studi eksperimental menunjukkan bahwa perubahan keseimbangan antara Treg/Teff dengan polarisasi ke arah Treg dapat menjadi pendekatan terapeutik pada aterosklerosis, meskipun peran Treg dalam studi klinis belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Dalam tinjauan pustaka ini, kami akan menelaah berbagai perkembangan dan pemahaman terkini mengenai peran Treg dan Teff dalam studi eksperimental dan klinis aterosklerosis."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
610 UI-IJIM 49: 1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dwisetyo Gusti Arilaksono
"

Obesitas selama ini dikenal sebagai faktor risiko tradisional untuk penyakit kardiovaskular. Pada banyak studi tingginya indeks massa tubuh (IMT) justru memiliki efek protektif terhadap luaran klinis pasien dengan penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung koroner, khususnya infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP). Namun, beberapa studi belum bisa membuktikan adanya fenomena obesitas paradoks ini pada semua populasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan indeks massa tubuh dengan luaran klinis jangka panjang pada pasien IMA-EST yang menjalani IKP. Studi observasional kohort retrospektif pada 400 pasien IMA-EST yang dilakukan intervensi koroner perkutan (IKP) yang diambil dari registri RSPJPDHK. Dilakukan pencatatan tinggi badan dan berat badan dari telaah rekam medis dan registri. Evaluasi luaran klinis setelah 2 tahun paska IKP dilakukan dengan menghubungi pasien dan keluarga serta penelusuran rekam medis. Analisa statistik dilakukan untuk membandingkan luaran klinis pada kelompok BB kurang-normal dengan BB lebih-obesitas. Dari 400 subyek penelitian, didapatkan jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan di kedua grup. Terdapat perbedaan bermakna rerata klirens kreatinin (65.99 vs 82.28; p <0.0001) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (43.82 vs 46.59; p 0.02) pada kelompok BB kurang-normal dan BB lebih-obesitas. Diameter stent dan usia pasien tidak ditemukan perbedaan bermakna di kedua kelompok. BB lebih-obesitas juga secara bermakna memiliki efek protektif pada MACE (OR 0.477 [95% IK 0.311-0.733]; p 0.001), kejadian infark berulang (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001) serta kematian kardiovaskular (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049). Analisis multivariat menunjukkan BB lebih-obesitas sebagai prediktor independen terhadap luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara IMT dengan luaran klinis jangka panjang pasien IMA-EST yang dilakukan IKPP. BB lebih-obesitas memiliki kecenderungan luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang setelah 2 tahun yang lebih baik dibandingkan BB kurang-normal

 


Obesity has been known as a traditional risk factor for cardiovascular disease. In many studies the high body mass index (BMI) actually has a protective effect on the clinical outcomes of patients with cardiovascular disease, including coronary heart disease, especially acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) underwent percutaneous coronary intervention (PCI). However, several studies have not been able to prove the existence of this paradoxical obesity phenomenon in all populations. This study aims to determine the association between BMI and long-term clinical outcomes in STEMI patients underwent PCI. A retrospective cohort observational study of 400 STEMI patients undergoing percutaneous coronary intervention (PCI) was taken from the RSPJPDHK registry. Height and weight were recorded from a review of medical records and the registry. Evaluation of clinical outcomes 2 years after PCI is done by contacting patients and families and tracking medical records. Statistical analysis was performed to compare clinical outcomes in the underweight-normal group with the overweight-obese. In 400 research subjects, there were more men than women in both groups. There were significant differences in creatinine clearance (65.99 vs 82.28; p <0.0001) and left ventricular ejection fraction (43.82 vs 46.59; p 0.02) in the underweight-normal group with the overweight-obese. No significant differences was found in stent diameter and age of the patients between the two groups. Overweight and obesity also has a significant protective effect on MACE (OR 0.477 [95% CI 0.311-0.733]; p 0.001), recurrent infarction events (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001 ) as well as cardiovascular death (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049) Multivariate analysis shows overweight-obesity as an independent predictor of clinical outcome of MACE and the incidence of recurrent infarction. In conclusion, there is an association between BMI and long-term clinical outcomes of STEMI patients undergoing PPCI. Overweight and obese group showed better outcome in MACE and reinfarction within 2 years compared to Underweight-Normal group.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Wahyuni
"acute coronary syndrome (ACS) with complex coronary lesion and the increasing needs of coronary artery bypass grafting (CABG) procedures, there is an increasing need for a tool to perform early stratification in high-risk patients, which can be used in daily clinical practice, even at first-line health care facilities setting in Indonesia. It is expected that early stratification of high-risk patients can reduce morbidity and mortality rate in patients with ACS. This study aimed to identify diagnostic accuracy of platelet/lymphocyte ratio (PLR) and the optimum cut-off point of PLR as a screening tool for identifying a complex coronary lesion in patients ?45 and >45 years old. Methods: this was a retrospective cross-sectional study, conducted at the ICCU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Data was obtained from medical records of adult patients with ACS who underwent coronary angiography between January 2012 - July 2015. The inclusion criteria were adult ACS patients (aged ?18 years old), diagnosed with ACS and underwent coronary angiography during hospitalization. Diagnostic accuracy was determined by calculating sensitivity, specificity, positive likelihood ratio (LR+), and negative likelihood ratio (LR-). The cut-off point was determined using ROC curve. Results: the proportion of ACS patients with complex coronary lesion in our study was 47.2%. The optimum cut-off point in patients aged ?45 years was 111.06 with sensitivity, specificity, LR+ and LR of 91.3%, 91.9%, 11.27 and 0.09, respectively. The optimum cut-off points in patients aged >45 years was 104.78 with sensitivity, specificity, LR+ and LR of 91.7%, 58.6%, 2.21 and 0.14, respectively. Conclusion: the optimum cut-off point for PLR in patients aged ? 45 years is 111.06 and for patients with age >45 years is 104.78 with diagnostic accuracy, represented by AUC of 93.9% (p<0.001) and 77.3% (p<0.001), respectively for both age groups.

Latar belakang: dengan meningkatnya angka kejadian Sindroma Koroner Akut (SKA) dengan lesi koroner kompleks dan meningkatnya kebutuhan Coronary Artery Bypass Grafting (CABG), maka diperlukan metode stratifikasi dini pasien risiko tinggi yang dapat digunakan pada praktis klinis sehari-hari, termasuk fasilitas kesehatan lini pertama sekalipun di Indonesia. Dengan melakukan stratifikasi pasien risiko tinggi, diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan kematian pada kasus SKA. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui akurasi diagnostik dan nilai titik potong platelet/lymphocyte ratio (PLR) sebagai penapis lesi koroner kompleks pada pasien kelompok usia ≤45 dan >45 tahun. Metode: sebuah studi potong lintang retrospektif dilakukan di Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Data diambil dari rekam medis pasien SKA dewasa dan menjalani angiografi koroner dari Januari 2012 – Juli 2015. Kriteria inklusi adalah pasien dewasa (usia ≥18 tahun) dengan diagnosis SKA dan menjalani angiografi koroner pada saat perawatan. Akurasi diagnositik dinilai dengan menghitung sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif. Nilai titik potong ditentukan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC). Hasil: proporsi pasien SKA dengan lesi koroner kompleks adalah 47,2%. Nilai titik potong optimal pada pasien usia ≤45 tahun adalah 111,06 dengan sensivitas 91,3%, spesifisitas 91,9%, nilai duga positif 11,27 dan nilai duga negatif 0,09. Pada kelompok usia >45 tahun, nilai titik potong optimal berada pada angka 104,78 dengan nilai sensivitas 91,7%, spesifisitas 58,6%, nilai duga positif 2,21 dan nilai duga negatif 0,14. Kesimpulan: nilai titik potong PLR optimal pada kelompok usia ≤45 adalah 111,06 dan pada kelompok usia >45 tahun adalah 104,78 dengan akurasi diagnositik masing–masing Area Under the Curve (AUC) 93,9% (p <0,001) dan AUC 77,3% (p <0,001)"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Ekarini
"Karya Ilmiah Akhir ini merupakan analisis dari rangkaian kegiatan praktik residensi Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, dengan penerapan Model The Dynamic Nurse - Patient Relationship Ida jean Orlando pada proses keperawatan pasien gangguan sistem kardiovaskular, penerapan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian, dan melakukan inovasi keperawatan. Pengkajian pasien dengan teori Ida Jean Orlando berfokus pada hubungan dan reaksi antara perawat-pasien. Apa yang perawat dan pasien katakan dan bagaimana pengaruhnya untuk kedua belah pihak. Tindakan keperawatan yang dilakukan diperoleh dari pengalaman pasien yang sifatnya segera dan memerlukan pertolongan cepat. Asumsi utama dalam teori Orlando terdapat tiga dari empat konsep utama yaitu person (manusia), kesehatan dan keperawatan. Konsep keempat, lingkungan tidak termasuk dalam teorinya. Kebutuhan untuk dibantu (diagnosis keperawatan) yang umum terjadi pada pasien antara lain : penurunan cardiac ouput, gangguan pertukaran gas, inefektif bersihan jalan napas, risiko perdarahan, nyeri akut dan risiko infeksi. Pelaksanaan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian, dilakukan untuk pengelolaan nyeri pada pasien post CABG. Intervensi dilakukan dengan memberikan terapi dingin (cold therapy) dengan gel pack selama 20 menit, sebelum latihan napas dalam dan batuk efektif. Pelaksanaan inovasi keperawatan berupa penyusunan format pengkajian keperawatan, identifikasi masalah dan rencana tindak lanjut pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular di unit rawat jalan PJNHK.

This scientific work is analysis from series of practice residency Nurse Medical Surgical Nursing Specialist by implementing The Dynamic Nurse Patient Relationship model by Ida Jean Orlandos theory at nursing process with cardiovascular disorder implementation of nursing practical based on evidence and making innovation in nursing. Assessment to patient with Ida Jean Orlandos theory was focusing on relationship and interaction between nurse patient What are the nurse and patient said and how they affect each other. Nurse action that taken was obtained from patient experience with is urgent and need first aid. The main assumption in Orlandos theory there are at least 3 out of 4 main concepts i e person human health and nurse. The fourth concept is the environment was not included in his theory. The need to get help diagnostic of nursing which generally happened to patient i e decreased of cardiac output impaired gas exchange ineffective airway clearance risk of hemorrhage acute pain and risk for infection. Implementation of nursing practical based on evidence has to done to reducing patient pain Post CABG pain management after bypass surgery. Intervention was done by providing cold therapy with gel pack up to 20 minutes before deep breathing exercise and cough. Implementation of nursing innovation in form of preparation of nursing assessment formats for nursing problem identification follow up plan for patient with cardiovascular system disorder at outpatient unit in cardiovascular hospital Harapan Kita Jakarta.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Suci Yunita
"Latar Belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) disebabkan penyempitan arteri koronaria jantung, terdapat hipotesis mengenai infeksi periodontal yang dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya PJK. Alkaline phosphatase (ALP) sebagai penanda inflamasi akan meningkat pada aterosklerosis dan penyakit periodontal.
Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar ALP dalam saliva pada penderita PJK dan non PJK dengan status periodontal.
Metode: Saliva dari 104 subjek diambil sebanyak 1 ml, kadar ALP dianalisis menggunakan Abbott architect ci4100.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ALP dalam saliva antara penderita PJK dan non PJK.
Kesimpulan: ALP dalam saliva pada penderita PJK lebih tinggi daripada non PJK dan tidak ada hubungan ALP dengan status periodontal.

Background: Coronary heart disease (CHD) is a disease that causes narrowing of the coronary arteries. Currently, there is a hypothesis regarding periodontal infection that increase risk for heart disease. Alkaline phosphatase (ALP) as a marker of inflammation will increase in atherosclerosis and periodontal disease.
Objective: To analyze the relationship between the levels of alkaline phosphatase in saliva with periodontal status in patients with CHD and non CHD.
Methods: saliva of 104 subjects were taken, each 1 ml, and levels of Alkaline Phosphatase was analyzed using Abbott ci4100 architect.
Results: No significant difference of Alkaline Phosphatase levels in saliva between CHD patients and non CHD.
Conclusion: The level of ALP in saliva was higher in patients with CHD and no association between ALP level and periodontal status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Astuti
"Kecemasan pada pasien coronary arteri disease (CAD) dapat menyebabkan perburukan terhadap perkembangan penyakit. Pengkajian untuk menilai kecemasan dari awal diperlukan untuk menghindari bahaya yang ditimbulkan dari kecemasan pasien. Kuesioner cardiac anxiety questionnaire (CAQ) adalah kuesioner untuk mengkaji kecemasan yang spesifik pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler. Tujuan penerapan kuesioner CAQ untuk menilai validitas dan realibilitas sebagai alat ukur dalam menilai tingkat kecemasan pasien dengan gangguan system kardiovaskuler. Strategi penulusuran dengan menggunakan database dengan pendekatan PICO (Population, Intervention, Comparation dan Outcome), ditemukan ada 35 jurnal dan ditentukan 5 jurnal dengan karakteristik sample yang hampir sama. Penerapan pengkajian kuesioner CAQ terhadap 30 pasien di RS Pusat Jantung Harapan Kita Jakarta, hasil didapatkan rerata skor nilai total kuesioner CAQ adalah 30.30 dengan standar deviasi sebesar 13.2 dengan estimasi interval 95% skor nilai total CAQ berada pada rentang 25.37 – 35.2. Uji validitas didapatkan 14 dari 18 pertanyaan valid dan uji reabilitas mempunyai nilai 0.861 (> r table = 0,361) sehingga CAQ dapat ditetapkan di RS Pusat Jantung Nasional Jakarta

Anxiety is patients with coronary artery disease (CAD) can cause worsening of disease progression. Assessment to assess anxiety from the beginning is necessary to avpid the dangers posed by anxiety. The Cardiac anxiety quesionnarie (CAQ) is heart focused anxiety quessionnarie the purpose of applying the CAQ questionnaire ti assess the validity and realibility as a measuring tool in assessing anxiety levels of patients with cardiovascular disorder. The search strategy using a databased with the PICO (Population, Intervention, Comparation dan Outcome) approach, found there were 35 journals and determined 5 journals with nearly identical sample characteristics. Applying the CAQ questionnaire assessmet to 30 patients at National Cardiovasculer Center Harapan Kita. The result shows that the average score of CAQ questionnaire total is 30.30 with standard deviation of 13.2 with 95% interval estimateof total CAQ value score in range 25.37 – 35.2. Validity test obtained 14 out of 18 valid questions and reliability test has velue of 0.861 (> r table = 0.361) so that CAQ questionnaire can bi determined at National Cardiovasculer center Harapan kita."
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>