Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratna Batara Munti
"Penelitian ini berangkat dari suatu tesis bahwa seksualitas merupakan hasil konstruksi sosial dan konteks globalisasi membawa dampak perubahan tehadap rekonstruksi seksualitas individuindividu saat ini melalui strategi pembentukan wacana yang mengarahkan hasrat individu terhadap seksualitas tertentu. Berangkat dari tesis ini maka rumusan permasalahan dalam penelitian adalah apa kaitan konteks globalisasi dan implikasinya di Indonesia dengan pewacanaan seksualitas global termasuk fenomena poligami award dan bagaimana teori dan perspektif feminis serta pengaruhnya dalam respon feminis di Indonesia terhadap pewacanaan tersebut.
Adapun signifkansi dari penelitian ini adalah bagaimana menggambarkan proses perubahan sosial yang sedang berlangsung sebagai dampak globalisasi di tataran mikro dengan mendeskripsikan keterkaitan proses globalisasi tersebut dengan wacana-wacana seksualitas yang muncul. Tujuannya untuk mengungkapkan dan sekaligus mengkritisi norma-norma yang muncul dari wacana-wacana tersebut terrnasuk respon-respon aktifis perempuan di dalamnya, dengan menggunakan perspektif feminis, khususnya feminis radikal. Penelitian ini juga sekaligus dimaksudkan untuk memperkuat advokasi yang dilakukan oleh para aktifis perempuan Indonesia terhadap berbagai bentuk reproduksi institusi-institusi heteroseksualitas-patriarki yang muncul sebagai dampak globalisasi saat ini.
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi feminis (feminist content analysis) dengan pendekatan kualitatif. Yakni suatu metode yang secara tipikal, meneliti dokumen-dokumen kultural dengan menggunakan teori-teori feminis, dalam rangka mengangkat kultur patriarkal dibalik nomma-norma sosial, yang diidentifikasi tanpa menggunakan metode-metode interaktif yang bisa mempengaruhi norma-norma yang sedang diteliti tersebut (Shulamith Reinhart, 'Feminist Methods in Social Research). Dengan metode ini, wacana-wacana seksualitas yang muncul dalam berbagai artikel dan benta di majalah dan koran-koran lokal (Jakarta dan Yogyakarta) serta melalui intemet, diteliti dan dikaji.
Dengan menggunakan kerangka teori-teori utama dari Giddens untuk isu globalisasi, dan relasi struktur dengan agen dalam teori strukturasi, Foucoult untuk analisis wacana, serta perspektif feminis radikal untuk isu seksualitas, penelitian ini telah memperlihatkan munculnya kontestasi wacana-wacana seksualitas yang mencemiinkan proses globalisasi kultural yang tengai berlangsung saat ini. Yakni, pertama, wacana liberasi seksual (`seksualitas plastis') berikut pilihan-pilihan politik kehidupan yang diusung oleh kaum kosmopoiitan dengan nilai-nilai toleransi kosmopolitnya dan lebih mengutamakan semangat demokratisasi keintiman ketimbang bentukbentuk lama yang ditekankan oleh tradisi. Kedua, wacana-wacana poligami yang disebarkan oleh kelompok fundamentalisme Islam serta wacana-wacana moralitas konvensional lainnya di seputar poligami yang menentang kebebasan seksual yang mulai mengancam nilai-nilai tradisi yang menjadi rujukan selama ini, Ketiga, wacana-wacana pembebasan perempuan yang dilancarkan oleh kelompok aktifis perempuan dalam rangka merespon kedua wacana sebelumnya. Ketiga wacana ini pada dasamya memperiihatkan berbagai bentuk respon dan lokal terhadap global yang bisa bersifat adaptif, selektif dan resisten.
Kontestasi wacana-wacana seksualitas tersebut pada dasamya merupakan strategi kekuasaan yang dijalankan oleh aktor-aktor sosial untuk mengedepankan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran (will to the truth) dengan menyeleksi pengetahuan tertentu untuk dijadikan wacana benar dan yang lainnya sebagai wacana pengetahuan tidak benar (diskualifikasi). Melalui wacana stimulatif yang membentuk hasrat individu terhadap rezim kebenaran tertentu (poligami) kontrol kekuasaan dijalankan atas individu-individu tersebut yang pada akhimya mendisiplinkan tubuh dan hasrat mereka terhadapnya.
Respon aktor-aktor lokal terhadap wacana seksualitas global pada dasamya memperiihatkan adanya relasi struktur dan agen dalam proses restrukturasi seksualitas saat ini. Wain itu menegaskan tesis bahwa seksualitas merupakan hasil konstruksi sosial, yang di dalamnya individu-individu aktif membangun, apakah dengan mentransformasi atau pun mereproduksi struktur, dan dengan cara-cara tertentu mereka merumuskan seksualitasnya. Globalisasi tidak saja menjadi konteks tetapi juga memberi implikasi pada proses stnakturasi tersebut melalui strategi wacana-wacana stimulatif, yang melaluinya rezim pengetahuan tertentu bekerja menjalankan kekuasaannya (membentuk hasrat dan mendisiplinkan tubuh individu, dalam hal ini terutama tubuh perempuan).
Bagi para feminis radikal, seperti Beauvoir, Mackinnon dan Millet, akar penindasan perempuan berasal dari kontrol laki-laki terhadap seksualitas perempuan, karenanya seksualitas merupakan isu polifis bagi feminis. Pengaruh teed feminis radikal dalam peta pemikiran dan gerakan perempuan di Indonesia terfihat dalam penggunaan konsep patriarki, namun dalam merespon wacana-wacana seksualitas, feminis di Indonesia cendrung dipengaruhi oleh feminis sosialis dan libertarian sehingga fidak cukup menyasarkan kritik di wilayah seksualitas, khususnya terhadap gagasan determinisme biologislesensialisme dan institusi heteropatriarkal yang eksis dibalik pewacanaan yang muncul.
Pada akhimya, poligami merupakan suatu bentuk penegakan hasrat atas heteroseksualitas terhadap perempuan sehingga mendiskualifikasi wacana-wacana lain mengenai pilihan-pilihan hidup perempuan di luar institusi tersebut. Sementara liberasi seksual memberi ruang lebih besar bagi perempuan dalam mengekspresikan hak-hak seksualnya, namun bukan berarti perempuan menjadi terbebas sepenuhnya dari institusi heteroseksualitas dan gagasan determinisme biologis yang melandasinya, yang terus direproduksi dengan cara-cara Baru, yakni dengan strategi pewacanaan hasrat pleasure terhadap erotisasi subordinasi perempuan dimana perempuan didorong untuk pro aktif mengejamya sebagai cermin dari pembebasan perempuan. Sehingga perlu terus menerus mengkritisi cara-cara dimana hasrat-hasrat manusia telah dibangun dalam suatu tatanan heteroseksualitas-patriarkal, yang di era globalisasi ini direproduksi secara massif dan intensif oleh kapitalis media, yang beroperasi melalui politik ekonomi libido."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14249
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Ardiansyah Ramadhan
"Globalisasi telah memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan makna dan fungsi dari Ondel-ondel. Hal ini semakin ditunjukkan dengan maraknya praktik mengamen dan mengemis menggunakan Ondel-ondel di tengah-tengah masyarakat. Praktik pengamen dan mengemis menggunakan Ondel-ondel kemudian memunculkan berbagai kontroversi di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Betawi, yang dianggap menyinggung nilai-nilai budaya dan identitas Betawi. Penelitian dilakukan menggunakan metode etnografi, dengan proses observasi lapangan, pengumpulan data sekunder, dan wawancara mendalam kepada sembilan informan yang terdiri dari tiga pengamen/pengemis Ondel-ondel, empat pengrajin/sanggar Betawi, dan Tokoh Betawi yang berlokasi di DKI Jakarta dan Kota Bekasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keberagaman latar belakang dan pengalaman pada penggiat budaya Ondel-ondel seperti perbedaan keturunan, pendidikan, lingkungan, yang selanjutnya mempengaruhi pilihan praktik yang mereka lakukan dan hayati. Perbedaan pengalaman, dan penghayatan tersebut berdampak terhadap pilihan praktik-praktik yang dilakukan, seperti pertunjukkan Ondel-ondel di acara-acara resmi, membuat dan menjual Ondel-ondel, mengamen, dan mengemis menggunakan Ondel-ondel. Penggiat budaya Ondel-ondel dapat mengidentifikasi dan memahami praktik-praktik yang mereka lakukan sebagai upaya untuk melestarikan budaya, atau hanya sebatas memenuhi kebutuhan ekonomi. Melalui penelitian ini juga dapat diketahui bahwa lanskap masyarakat pada saat ini semakin kosmopolitan, yang juga turut mempengaruhi keberagaman praktik-praktik dalam budaya Ondel-ondel.
......Globalization has had a significant impact on the development of the meaning and function of Ondel-ondel. These are shown by the widespread practice of busking and begging using Ondel-ondel in the community. The practiced of busking and begging using Ondel-ondel then led to various controversies in the community, especially the Betawi community, which were considered to offend Betawi cultural values and identity. This research used ethnographic methods, with a field observation process, secondary data collection, and in-depth interviews with nine informants consisting of three Ondel- ondel buskers/beggars, four Betawi artist/sanggar, and Betawi figures located in DKI Jakarta and Bekasi City. The results show that there are various backgrounds and experiences of Ondel-ondel cultural activists such as differences in heredity, education, and environment, which further influences the choice of practice they do and live. Differences in experience and appreciation have an effect on the choice of practiced that are carried out, such as Ondel-ondel performances at official events, making and selling Ondel-ondel, busking, and begging using Ondel-ondel. Ondel-ondel cultural activists can identify and understand the practices they carry out as an effort to preserve culture or only to meet economic needs. Through this research, also be known that the current landscape of society is increasingly cosmopolitan, which also influences the diversity of practices in Ondel-ondel culture."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utami Widyaningsih
"Slow city atau kota perlahan merupakan satu dari fenomena yang baru-baru ini muncul di negara eropa sejak tahun 1999. Kemunculannya menjawab dari sebagian masyarakat yang lelah dengan kondisi kota yang umumnya terlihat hiruk pikuk dan sibuk tiada henti. Gerakan slow city menginginkan kondisi kota yang lebih nyaman untuk didiami. Agenda yang dijalankan kota slow city menitikberatkan pada menjaga dan mempertahankan kondisi budaya lokal dan memajukan kekhasan di dalam kotanya. Budaya slow menjadi tolok ukur dalam terbentuknya slow city. Pada kasus ini waktu bukan dianggap lagi sebagai sesuatu yang sekedar bernilai kuantitas melainkan kualitas, sehingga tujuan akhir dari gerakan ini adalah mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Kualitas hidup yang ingin dicapai dari perkumpulan ini diturunkan ke dalam konsep 3E yakni economy, environment, equity. Konsep tersebut dijalankan melalui program yang berlandaskan pada good food, good environment dan good community.
Slow city berkembang di negara eropa meskipun budaya slow juga dimiliki oleh beberapa negara timur, salah satunya adalah kota di Indonesia, yaitu kota Yogyakarta. Skripsi ini akan menganalisis pendekatan kota Yogya sebagai salah satu kota di negara timur yang memiliki akar budaya sama dengan gerakan slow city, dengan semboyan kota Yogya ?alon-alon asal kelakon?. Seperti apakah persamaan maupun perbedaan dari keadaan kota-kota tersebut? Studi kasus pada kota Yogya selanjutnya menjawab apakah kota Yogya memiliki potensi serta karakteristik untuk bisa menjadi kota slow city.
......
Recently, Slow city rise in some Europe countries. It comes to face some people that tired with the condition of the world. The condition of the world that signed with many things technologies. It makes people easy to done everything. Everything become fast. Slow city is a city based on slow philosophy. It develops the culture and the unique of the city. Slow city movement want the condition which are pleasant to life. In other word slow city will give the citizen good quality of life. The agenda which are done are maintain and preserve the locality of the region. The concept of its quality included 3E: economy, environment, equity. The concept is done through the program good food, good environment and good community.
Slow city growth in many Europe countries, but some east countries actually has the slow culture like slow city movement. One of that?s country is Indonesia, especially for Yogyakarta. Yogyakarta with its slow culture: ? slowly but safety?. I will explore the same and the difference between slow city and Yogyakarta. The Analysis of Yogyakarta will be answer that the Yogyakarta has the potency to become a slow city?"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S48426
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"
Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa sehingga suatu bangsa dapat dibedakan dengan bangsa lainnya. Identitas budaya tersebut terdiri dari perangkat konsep dan nilai-nilai yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta yang berwujud dalam sejumlah wahana, misalnya: bahasa sebagai alat komunikasi dan ekspresi seni: struktur konseptualisasi, sosial yang menata kedudukan anggota masyarakat satu dengan masyarakat lainnya; teknologi yang dihasilkan sebagai perwujudan kemajuan untuk membantu memudahkan dan meningkatkan kualitas hidup manusia: serta berbagai bentuk karya seni yang memiliki gaya, citra dan teknik yang unik sesuai dengan realitas masyarakat dan konteks zamannya. Dari keempat sarana tersebut, bahasa dan kesenian merupantara pakan identitas yang paling mampu. Lainnya: membedakan bangsa dengan bangsa dipergunakan secara cepat dan dimiliki umumnya bersama oleh berbagai bangsa karena bersifat fungsional dan diperoleh dengan melalui petualangan ilmiah yang bersifat terbuka dan teruji. Adapun struktur masyarakat antara satu dengan komunikasi dan masih dapat membedakan lainnya namun karena pesatnya teknologi penyeragaman, terjadinya transportasi mengakibatkan dalam struktur masyarakat nyangkut hal-hal yang terkait dengan tata organisasi HAM dan lingkungan nasional, misalnya: demokratisasi, perubahan struktur hidup yang membantu mempercepat dalam masyarakat."
PPEM 15 (1) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kalimantan Barat: Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat, 2020
900 HAN
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Yona Voria Janesia
"K-Pop yang sudah menjadi budaya populer kini sudah berkembang dengan pesat di seluruh dunia termasuk di Indonesia menyebabkan semakin banyaknya penggemar grup K-pop termasuk dari kalangan perempuan dewasa. Penggemar perempuan dewasa menjadi target pasar tersendiri karena mereka telah mandiri secara finansial dan bersedia membelanjakan lebih banyak untuk idola mereka. Grup pria mulai menggunakan konsep bubblegum pop yang sudah populer di antara grup perempuan dengan memodifikasi judul lagu grup pria.  Penelitian ini berfokus pada praktik – praktik penggemar (fandom practice) oleh Mark Duffet yang terdiri dari pleasure of connection, pleasure of appropriation, dan pleasure of performance. Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivistik dengan metode penelitian deskriptif kualitatif. Dari hasil analisis ditemukan bahwa Pleasure of connection dapat dirasakan ketika penggemar bertemu dengan idolanya baik di area konser maupun di luar konser. Pleasure of Appropriation dapat diwujudkan spoiling dimana penggemar mendapatkan dan menyebarkan informasi yang belum dipublikasikan secara resmi dan juga keterlibatan mereka dalam membuat atau membaca fanfiction. Untuk pleasure of performance para penggemar mendapatkannya melalui berpartisipasi aktif dalam acara yang mereka buat sendiri, mengumpulkan barang-barang yang bertemakan sang idola dan juga membagikan pengalaman foto dan video mereka ketika berinteraksi dengan idolanya dengan sesama penggemar di media sosial mereka. Dari tiga bentuk fandom practice oleh para perempuan dewasa penggemar K-pop ditemukan bahwa para noona memiliki kebebasan dalam melakukan praktik-praktik fandom karena mereka mandiri secara finansial. Namun mereka tidak semua dilaksanakan karena faktor usia yang membatasi mereka dari segi waktu, tenaga dan sikap.
......K-pop, which has become a popular culture, has grown rapidly all over the world, including in Indonesia, resulting in an increasing number of K-pop group fans, including adult women. Adult women fans become their own market targets because they are financially independent and willing to spend more on their idols. The men's group began to use the bubblegum pop concept that was already popular among women's groups by modifying the title of the male group's songs. This research focuses on Mark Duffet's fandom practice, which consists of pleasure of connection, pleasure of appropriation, and pleasure of performance. The research uses post-positivist paradigms, with qualitative descriptive research methods. The analysis found that the pleasure of connection can be felt when fans meet their idols both in the concert area and outside the concert. Pleasure of Appropriation can be realised by spoiling where fans get and disseminate information that has not been officially published and their involvement in creating or reading fanfiction. For the pleasure of the performance, the fans get it by actively participating in events they've made themselves, collecting items that are about the idol, and sharing their photo and video experiences when interacting with his idol with fellow fans on their social media. From the three forms of fandom practice by the adult women K-pop fans, it was found that the noona had freedom in doing fandom practices because they were financially independent. But not all of them are carried out because of age factors that limit them in terms of time, energy, and attitude."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
London: SAGE, 2012
303.482 CIT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Cowen, Tyler
Princeton University Press: New Jersey, 2002
306 Cow c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hazan, Haim
"Summary:
One of the major characteristics of our contemporary culture is a positive, almost banal, view of the transgression and disruption of cultural boundaries. Strangers, migrants and nomads are celebrated in our postmodern world of hybrids and cyborgs."
Cambridge Polity : Polity Press, 2015
303.482 HAZ a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>