Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Syahrul Munir
"Tesis ini membahas orkes dangdut gerobak yang seringkali diasosiasikan dengan kalangan kelas bawah dan tindakan pelecehan seksual, erotisme, dan kriminalitas. Konstruksi pemaknaan negatif tersebut dimunculkan melalui narasi yang dibangun oleh media mainstream, yakni film dan media massa. Bermula dari konstruksi pemaknaan terhadap musik dangdut yang dipandang sebagai musik kelas bawah, hingga praktek konser langsung orkes dangdut yang ditampilkan oleh biduan dangdut yang cenderung menonjolkan beberapa anggota tubuhnya. Atributisasi sebagai pengamen juga membuat kelompok ini dilarang eksis di ruang publik. Dengan berbagai argumentasi dan kreativitas, Uca dan kelompok orkes dangdut gerobak Pelangi sedang bernegosiasi dengan aparat pemerintah daerah agar mereka tetap eksis di ruang publik untuk mencari nafkah dengan cara menolak atributisasi sebagai pengamen. Mereka juga membuat karya untuk menegaskan bahwa mereka ingin disebut sebagai musisi dari pada sebagai pengamen. Kontestasi identitas antara personel orkes dangdut gerobak dengan pihak pemerintah juga terjadi di ruang urban Jakarta. Ada praktek kepengaturan yang dilakukan oleh aparat pemerintah kepada kelompok orkes dangdut gerobak, namun praktek kepengaturan tersebut ternyata berjalan secara lentur, penuh dengan proses negosiasi dan tidak represif, Data diperoleh dengan pendekatan etnografi (field study) termasuk in-depth interview di Baladewa, Tanah Tinggi, Jakarta Pusat dari bulan April 2016 sampai dengan Mei 2017. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa narasi yang dikonstruksi oleh media mainstream cenderung berbeda dengan narasi yang dibangun oleh orkes dangdut gerobak yang dalam hal ini diwakili oleh Uca dan personelnya. Orkes dangdut gerobak memunculkan narasi moralitas disaat media mengonstruksinya dengan narasi kriminalitas dan seksualitas. Relasi kuasa antara orkes dangdut gerobak dengan pihak pemerintah juga cenderung lentur, kelompok tersebut dilarang oleh Peraturan Daerah identitasnya dianggap sebagai pengamen, sedangkan pada prakteknya pihak aparat pemerintah masih mempunyai simpati dan empati terhadap kelompok orkes dangdut gerobak.

This thesis discusses the dangdut gerobak orchestra which is often associated with the lower class and acts of sexual harassment, eroticism, and crime. The construction of negative meaning is raised through narratives built by the mainstream media, namely films and mass media. Starting from the construction of meaning for dangdut music which is seen as low-class music, to the practice of live concerts by dangdut orchestras performed by dangdut singers who tend to highlight some of their body parts. Attributing as buskers also makes this group prohibited from existing in public spaces. Using various arguments and creativity, Uca and the Pelangi dangdut orchestra group are negotiating with local government officials so that they can continue to exist in public spaces to earn a living by rejecting the attributes of buskers. They also create works to emphasize that they want to be called musicians rather than buskers. Identity contestation between the personnel of the dangdut gerobak orchestra and the government also occurs in the urban space of Jakarta. There is a regulatory practice carried out by government officials against the dangdut gerobak orchestra group, but this regulatory practice turns out to be flexible, full of negotiation processes and not repressive. The data were obtained using an ethnographic approach (field study) including in-depth interviews in Baladewa, Tanah Tinggi, Central Jakarta from April 2016 until May 2017. The results of this study indicate that the narrative constructed by the mainstream media tends to be different from the narrative constructed by the dangdut gerobak orchestra, which in this case is represented by Uca and its personnel. The dangdut gerobak orchestra creates a narrative of morality when the media constructs it with a narrative of crime and sexuality. The power relationship between the dangdut gerobak orchestra and the government also tends to be flexible, the group is prohibited by regional regulations from being considered a busker, while in practice government officials still have sympathy and empathy for the dangdut gerobak orchestra group."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurentia Naomi Nandatya Massardi
"ABSTRAK
Tidak hanya menjual suara, tubuh seksi dan goyangan erotis menjadi tuntutan bagi perempuan penyanyi dangdut Indonesia untuk kepentingan komersialisasi. Studi-studi terdahulu, menemukan bahwa tuntutan erotisme dan seksualitas didorong oleh pasar musik dangdut dan relasi manajemen dengan penyanyi dangdut.
Peneliti melihat bahwa ada peran yang juga signifikan yaitu aktor pencari bakat (middleman) dalam menciptakan opresi erotisme melalui relasi patron-klien dengan penyanyi dangdut. Pemaksaan yang dilakukan aktor pencari bakat dilanggengkan dengan konstruksi peran gender perempuan di Indonesia yang masih dianggap sebagai obyek hiburan dan sasaran opresi gender melalui pemanfaatan gambaran kecantikan, kepasifan, serta ketidakberdayaan perempuan dalam figur penyanyi dangdut.
Argumen peneliti adalah middleman memanfaatkan relasi patriarkis yang kuat melalui hubungan keluarga dengan penyanyi dangdut dalam relasi patron-klien yang unik. Middleman, berbeda dengan manajemen, secara personal memiliki relasi kekuasaan dalam proses kekerasan seksual terhadap penyanyi dangdut baik sebagai mucikari atau pelaku sendiri. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif, dengan metode pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan melakukan observasi partisipatoris pada perempuan penyanyi dangdut Semarang serta studi kasus. Ditemukan bahwa relasi kekuasaan merupakan akar yang mewujudkan kekerasan seksual terhadap perempuan dalam hubungan keluarga dengan middleman.

ABSTRACT
Not only offering voices, sexy bodies and erotic swaying became a demand for Indonesian dangdut singers for commercialization. Previous studies found that demands for eroticism and sexuality were driven by the dangdut music market and management relations with dangdut singers.
Researchers see that there is also a significant role, namely the talent scout actor (middleman) in creating oppression of eroticism through patron-client relations with dangdut singers. Coercion by talent actors is perpetuated by the construction of the role of womens gender in Indonesia which is still considered as an entertainment object and the target of gender oppression using images of beauty, passivity and powerlessness of women in dangdut singer figures.
The researchers argument is that middleman uses strong patriarchal relations through family relationships with dangdut singers in unique patron-client relations. Middleman, in contrast to management, personally has power relations in the process of sexual violence against dangdut singers either as pimps or perpetrators themselves. The research approach used in the study was qualitative, with the method of collecting data in the form of in-depth interviews and conducting participatory observations on women from Semarang dangdut singers and case studies. It was found that the relation of power is the root that manifests sexual violence against women in family relations with middleman.
"
2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Adhisti Fauziah
"Penelitian ini membahas tentang fenomena biduan dangdut. Image biduan dangdut menjadi sebuah hal yang negatif karena dibarengi dengan penampilan panggung biduan yang mempertontonkan goyangan. Biduan dangdut laris di kalangan pesta pernikahan hingga kampanye partai politik. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan self image yang dibangun oleh biduan dangdut sebagai suatu upaya menampilkan dirinya sebagai biduan dangdut. Sudut pandang kognitif membantu memaparkan self image yang dibangun biduan dangdut berdasarkan skema kognitif pada tataran pikiran mereka. Metode pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini memperlihatkan biduan memiliki self image yang berbeda sesuai skema kognitif berdasarkan hasil dari interpretasi pengalaman dirinya selama menjadi biduan dangdut.
This research examines the phenomenon of dangdut singer which has a negative image because of their sway at the stage. On the other hand, this phenomenon becomes a popular entertainment at the wedding party and political campaign. The aim of this research is to describe dangdut singer's ways of developing their self-image as a dangdut singer. Through a cognitive approach, self-image develops by dangdut singer's cognitive schema of themselves due to their interpretation of experience being dangdut singer. The method in this research uses a qualitative approach. The result of this research is dangdut singers have different self-image based on their cognitive schema and interpretation from their experience during becoming a dangdut
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library