Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akhmad Rizal Shidiq
"Tulisan ini menemukan bahwa implementasi dari program desentralisasi di Indonesia selama 1999-2002 tidak selalu mencerminkan akuntabilitas yang lebih baik dan mampu membawa keuntungan sosial berdasarkan rent based on transfer arrangement ketimbang sistim sentralisasi dari rejim Orde Barn. Terlihat bagaimana rents based on transfers secara massive di zaman Orde Baru diatur berdasarkan aliansi dari militer, birokrasi, dan kapitalis, yang dengan aturan dan institusinya menangani masalah koordinasi dan meminimasi ongkos politik (political cost). Sebagai hasilnya, pembangunan kapitalis masih nampak. Di lain pihak, desentraUsasi sejak 1999, meskipun secara signifikan telah memindahkan rents based on transfer kepada tingkat lokal (kabupaten), belumfah memperlihatkan tipe baru dari kapitalis yang lebih produktif. Selain itu, desentralisasi, hingga data 2002, meningkatkan biaya dalam niengorganisasikan rents based on transfer yang baru."
2003
EFIN-51-2-Juni2003-177
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agreta Indah Gusumawati
"Desentralisasi di Indonesia telah mendorong terjadinya pemekaran daerah. Banyak daerah telah memisahkan diri dari kabupaten/kota yang ada dan mendirikan kabupaten/kota baru. Akibatnya, jumlah kabupaten/kota di Indonesia meningkat hampir dua kali lipat dari 276 (65 kota, 249 kabupaten) pada tahun 1998 menjadi 514 (98 kota; 416 kabupaten) pada tahun 2014. Melalui penelitian ini, kami menganalisis dampak pemekaran daerah terhadap kinerja kabupaten/kota. Secara khusus, dengan menggunakan metode Difference-in-Differences dan data di level kabupaten/kota dari tahun 2001 hingga 2013, kami membandingkan tingkat kinerja yang diukur melalui beberapa indikator layanan publik di kabupaten/kota hasil pemekaran dengan kabupaten/kota yang tidak mengalami pemekaran. Studi mengenai desentralisasi menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat menangani secara kompeten wewenang dan tanggungjawab yang didelegasikan dari pemerintah pusat jika mereka memiliki kapasitas dan sumber daya yang cukup. Oleh karena daerah di perkotaan relatif lebih mampu daripada di daerah kabupaten, maka daerah yang baru dibentuk di daerah perkotaan cenderung berkinerja baik. Dengan demikian, dampak pemekaran terhadap pelayanan publik akan positif di daerah kota dan negatif di daerah kabupaten. Kami menemukan bahwa untuk kabupaten/kota yang dibentuk dari 2001 hingga 2003, sesuai dengan ekspektasi kami, dampaknya cenderung positif untuk kota dan negatif untuk kabupaten. Untuk pemekaran yang terjadi dari tahun 2007 hingga 2009, dampaknya secara statistik tidak signifikan baik untuk kota maupun kabupaten.

Decentralization in Indonesia has led to the concurrence of local government proliferation. Many areas have split from existing municipalities and established new ones. As a result, the number of municipalities in Indonesia has almost doubled from 276 municipalities (65 kota; 249 kabupaten) in 1998 to 514 municipalities (98 kota; 416 kabupaten) in 2014. We analyze the impacts of the proliferation on the performance of municipalities. In particular, using the Difference-in-Differences method and municipality-level data from 2001 to 2013, we examine whether the level of performance–measured by several public service indicators–increased more substantially in newly created municipalities than in municipalities whose boundaries remained unchanged. Studies of decentralization suggest that local governments can competently handle greater tasks they have assumed from the central government if they have sufficient capacity and resources. Since municipalities in urban areas (kota) are on average more capable than those in rural areas (kabupaten), newly created municipalities in urban areas should be able to perform well. Thus, the impacts of the proliferation should be positive in urban areas and negative in rural areas. We find that for municipalities established from 2001 to 2003, consistent with our expectations, the impacts tend to be positive for kota and negative for kabupaten. For the wave of proliferation from 2007 to 2009, the impacts are mostly not statistically significant for both kota and kabupaten."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T52006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yana Syafriyana Hijri
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya peningkatan jumlah pembentukan DOB di Indonesia. Hanya dalam waktu setengah dekade bertambah menjadi lima kali lipat. Kurun waktu 1999-2009 menunjukkan kenaikan yang signifikan, jumlah provinsi naik 27%, kabupaten 70,1%, dan jumlah kota 57,6%. Sampai dengan bulan Juni 2009, telah terbentuk 205 DOB, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Sehingga, total DOB saat ini berjumlah 33 Provinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota, ditambah 5 Kota dan 1 Kabupaten Administratif di Provinsi DKI Jakarta. Adapun kenaikan jumlah pembentukan DOB melalui hak usul inisiatif DPR, meningkat 91% (53 DOB), terdiri dari 1 provinsi, 46 kabupaten, dan 6 kota. Pemerintah sendiri hanya mengusulkan 5 DOB (8,6%), terdiri dari 4 kabupaten, dan 1 kota. Kentalnya faktor politis dalam isu pembentukan DOB masih menjadi hambatan bagi pengendaliannya. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori proses politik dari Roy C. Macridis dan Carlton Clymer Rodee, teori elit dari Vilpredo Pareto, teori pemekaran daerah dari Gabriele Ferrazzi, dan teori primordialisme dari Clifford Gertz dan Ramlan Surbakti.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik analisis deskriptif. Sedangkan teknik pengumpulan data berdasarkan dokumen tertulis, baik risalah rapat Pansus, Panja, Timus Komisi II dan Paripurna DPR RI atau dokumen terkait dari lembaga-lembaga lainnya, termasuk wawancara mendalam dengan anggota Panja Komisi II DPR RI. Temuan dilapangan menunjukkan proses pembentukan Kabupaten Mamberamo Tengah merupakan tuntutan masyarakat melalui tokoh adat, tokoh agama, elit politik dan birokrasi, menggunakan pendekatan formal dan informal untuk mendesak Anggota Komisi II DPR RI segera memprosesnya menjadi hak usul inisiatif. Oleh karena itu, pembentukan DOB merupakan tindakan politis, karena beberapa ketentuan, syarat dan mekanisme administratif seringkali diabaikan. Bahkan tuntutan tersebut juga dipengaruhi adanya kontrak politik elit, transaksi ekonomi politik, dan kepentingan pembentukan daerah pemilihan dalam pemilu. Implikasi teoritis menunjukkan aktualisasi maupun sikap atas perilaku politik seperti dijelaskan Roy C. Macridis dalam tuntutan pembentukan Kabupaten Mamberamo Tengah disampaikan kelompok masyarakat adat dan didukung organisasi agama, menjadi kepentingan bersama untuk mewujudkan keadilan, pemerataan, persamaan, kesejahteraan dan kemakmuran, diagregasikan partai politik di daerah dan pusat agar dapat dibahas melalui mekanisme sistem politik. Kepentingan tersebut terealisasi karena adanya sekelompok elit sesuai dengan pendapat Pareto seperti tokoh adat, agama dan partai politik di daerah dan pusat yang berperan mengawalnya dalam lembaga politik.

This research is motivated by the increasing number of the establishment of DOB in Indonesia. In just a decade it has conducted for five times. The period of 1999-2009 showed a significant increase, up to 27% for the number of provinces, 70.1% for the districts, and 57.6% for the number of cities. As June 2009, has formed 205 DOB, which consists of 7 provinces, 164 countries, and 34 cities. Thus, currently number for total DOB is 33 provinces, 398 districts and 93 cities, plus 5 and 1 District Administrative City in Jakarta. The number of initiative right proposal for DOB establishment through parliaments is increasing as well, 91% (53 DOB), consists of 1 province, 46 districts and 6 cities. The government itself is only proposed 5 DOB (8.6%), consists of 4 districts and 1 city. The strong political factor in the issue of the DOB formation is still an obstacle to its control. As a theoretical foundation, this study uses the theory of the political process from Roy C. Macridis and Carlton Clymer Rodee, elite theory of Vilpredo Pareto, the theory of area of Gabriele Ferrazzi, and primordial theory of Clifford Gertz and Ramlan Surbakti.
This study used qualitative methods, the descriptive analysis techniques. While data collection techniques based on written documents, minutes of meetings with the Special Committee, Working Committee, Drafting Team, the Plenary Commission II of the parliaments, and related documents from other institutions, including in-depth interviews with members of the Working Committee. Field findings show the process of formation of the District Central Mamberamo a requirement of society through traditional leaders, religious leaders, political and bureaucratic elite, using formal and informal approaches to urge Members of Commission II of the parliaments immediately proceed to the right of initiative proposal. Therefore, formation of DOB is a political act, because some of the provisions, terms and administrative mechanism are often overlooked. Even these demands also influenced the contract by the political elite, transactions political economy, and the interests of formation of constituencies in the election. Theoretical implications indicate that the actualization of the political behavior and attitudes as explained by Roy C. Macridis shown in the demand for the District Central Mamberamo delivered and supported indigenous groups of religious organizations, to realize the common interest of justice, equity, equality, welfare and prosperity, aggregated regional and national political party in order to enter the political system mechanism. While the benefit is realized because of the elite group is in accordance with the concept of Pareto, such as the presence of traditional leaders, religious and political parties, whose role is to bring the interests and escorted into the political institutions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T34986
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Andayani Budisetyowati
"Dalam upaya menangani masalah aktual dan konseptual otonomi daerah era reformasi, penelitian disertasi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis mengenai (a) keberadaan dan hakikat otonomi daerah, (b) hubungan antara daerah otonom dan pemerintah, dan (c) hubungan antar daerah otonom di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tinjauan dari perspektif Ilmu Hukum Tata Negara. Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Areal Division of Powers (ADP) dari Arthur Maass yang berakar pada Teori Kedaulatan Rakyat. Teori tersebut dapat diaplikasikan pada negara kesatuan ataupun negara federal dengan instrumen utama desentralisasi.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan analisis kualitatif berdasarkan data sekunder berupa bahan hukum pimer, sekunder, dan tersier. Untuk memperkuat analisis, dilakukan kajian pustaka mengenai otonomi di berbagai bentuk negara. Dengan berbagai pertimbangan metodologis secara purposif negara-negara penelitian tersebut adalah Belanda, Inggris, Perancis, Filipina, dan Jepang sebagai negara kesatuan, serta Amerika Serikat dan Jerman sebagai negara federal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa otonomi daerah beserta daerah otonom dan/atau pemerintahan daerahnya di negara kesatuan merupakan ciptaan Pemerintah melalui pembagian kekuasaan menurut wilayah (ADP). keberadaan, status dan lingkup kekuasaan otonomi daerah sepenuhnya bergantung pada ketentuan konstitusi dan berbagai produk hukum penjabarannya. Kekuasaan yang tercakup dalam otonomi daerag, di luar kekuasaan yudikatif. Pembagian kekuasaan diatur dalam undang-undang. Dengan diberikannya kekuasaan yudikatif dalam otonomi khusus merupakan pertanda dilakukannya desentralisasi asimetrik yang lambat laun dapat mengarah kepada terjadinya metamorphose dari negara kesatuan ke negara federasi.
Dalam negara kesatuan, kekuasaan yang diserahkan (didesentralisasikan) kepada daerah otonom tidak bersifat eksklusif. Namun otonomi daerah dapat diperbesar ataupun diperkecil bergantung pada kerangka hukum sebagai hasil konstitusi ketatanegaraan. Hubungan antara daerah otonom dan pemerintah serta antar daerah otonom tidak hierarkis tetapi merupakan hubungan antar organisasi. Namun produk hukum daerah otonom berada di bawah produk hukum pusat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
D1770
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
[LP3ES, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia],
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Tri Haryamito
"Fiscal decentralization reform era started since January 1st, 2001, with the implications of changes from central¬ized to highly decentralized. Unfortunately, it led to a greater dependence on the Local Government to Central Govern¬ment through the Intergovernmental Transfers, especially on General Allocation Fund (DAU) and also a few on the Spe¬cific Allocation Fund (DAK) and Revenue Sharing (DBH). Based on that problem, this research aims to describe regional performances since 2008 until 2014, using several indicators and quadrant method approaches. In accordance with the calculation of the ratio of local independence, the majority of regions are in the category of less independent. While using dependency ratio, the majority of regions are in the group of very large dependency and a dependency. From the results of quadrant analysis methods, most regions are in quadrant III, which means to have a high dependence on government assistance. As a policy recommendation, the government needs to evaluate the improvement of the fiscal decentralization in Indonesia."
Jakarta: Kementerian Dalam Negeri RI, 2017
351 JBP 9:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fery Tri Setyawan
"Penelitian ini mencoba untuk melihat dampak desentralisasi terhadap penyediaan infrastruktur. Menggunakan pendekatan logit, penelitian ini menganalisis pengaruh keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap kualitas jalan antar desa di Indonesia tahun 2011-2018. Hasil estimasi menunjukkan bahwa keberadaan BPD berhubungan positif dengan probabilitas desa memiliki kualitas jalan yang baik. Temuan ini memperlihatkan efek positif dari keberadaan BPD sebagai lembaga demokrasi untuk menyalurkan partisipasi masyarakat, mengawasi kinerja dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa terhadap kualitas jalan. Dengan demikian mendukung studi-studi terdahulu mengenai pengaruh positif desentralisasi terhadap kualitas infrastruktur publik.

This research attempts to investigate the impacts of decentralization on infrastructure provision. By using the logit approach, this research analyzed the influence of the existence of Village Consultative Board (BPD) on the quality of rural roads in Indonesia from 2011 to 2018. The estimation result indicated that the existence of BPD was positively correlated with the probability of villages to have good rural roads. This finding showed the positive impact of the existence of BPD as the democratic institution to engage community participation, supervise the performance of local government, and hold the local government accountable on the quality of the roads. Moreover, it also supported the previous studies dealing with the positive influence of decentralization of the public infrastructure quality."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T54763
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fuad Putera Perdana Ginting
"Arus desentralisasi memicu terjadinya pemekaran daerah di seluruh wilayah Indonesia. Alasan dan pertimbangan pemekaran ini tidak hanya dari sisi politis seperti; keinginan mendapatkan jabatan pemerintahan di DOB baru, atau alasan administratif seperti; upaya mendekatkan pemerintahan kepada masyarakatnya, ada juga pemekaran daerah yang dilandasi oleh semangat kolektivitas etnis. Salah satunya adalah Kabupaten Pakpak Bharat yang terbentuk pada tahun 2003. Pemekaran itu menjadikan Kabupaten Pakpak Bharat daerah dengan etnis yang homogen (etnis Pakpak), meskipun harus melepaskan sebagian besar tanah ulayatnya kepada kabupaten induk yang telah didominasi oleh etnis lain.
Penelitian menggunakan teori etnis (Kanchan Chandra), politik etnis (Kellas, McCarthy, Fearon, dan Caselli & Coleman), dan koalisi vertikal (Kimura) dalam menganalisis dan memahami fenomena pembentukan Daerah Otonomi Baru Kabupaten Pakpak Bharat yang bermotivasi etnis. Tesis ini berusaha memahami bagaimana tahapan politik yang dilalui oleh aktor-aktor dalam pembentukan Kabupaten Pakpak Bharat dan bagaimana eksistensi aktor-aktor tersebut setelah terwujudnya pemekaran.
Penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara baik dengan aktor politik yang terlibat, juga dengan akademisi yang pernah meneliti kajian terkait. Studi literatur mengenai Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Dairi dari skripsi, tesis dan disertasi juga digunakan untuk memperkaya data dan informasi.
Laporan-laporan mengenai daerah pemekaran didominasi oleh kegagalan DOB dalam mencapai target-target desentralisasi politik dan ekonominya. Banyak terjadi pembajakan oleh elit (elit capture) pada daerah otonom baru, elit lokal terutama dalam birokrasi dan parlemen menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri. Pakpak Bharat termasuk dalam kabupaten hasil pemekaran yang dianggap belum berhasil mensejahterakan rakyatnya. Namun berbeda dengan daerah lain, tujuan awal dan motivasi homogenitas etnis dalam memekarkan daerahnya membuat persoalan kesejahteraan dan infrastruktur menjadi kurang berarti di Pakpak Bharat. Elit lokal yang terlibat sejak awal rencana pendirian Pakpak Bharat pun tidak ada yang menjadi pejabat di kabupaten baru tersebut, mereka bekerja karena semangat kolektivitas etnis.
Implikasi teoritis yang didapat adalah, bahwa etnis adalah suatu identitas yang dapat dikonstruksikan sesuai dengan situasi dan kepentingan tertentu. Dalam kasus DOB Kabupaten Pakpak Bharat, etnis Pakpak merekonstruksi ulang identitas etnis mereka yang sebelumnya telah memudar karena banyak orang Pakpak berpindah identitas menjadi orang Toba. Dalam hal koalisi vertikal, koalisi politik dalam pembentukan DOB, identitas etnis Pakpak adalah perekat antar level administrasi setiap aktornya. Namun koalisi ini hanya eksis sampai pada terwujudnya DOB, setelah itu koalisi vertikal ini bubar dengan sendirinya seperti terbentuk juga dengan sendirinya.

The decentralization streaming caused massive territorial proliferation in entire of Indonesia. Apparently the reason and consideration in the discourse of the proliferation is not only from the political side like; the desire of getting the position at the new government, or administrative reasons such as; the efforts to get the government closer to the citizens, there is also a proliferation based on ethnic collectivity. One of them is formed in Pakpak Bharat Regency in 2003. The proliferation made the Pakpak Bharat District an area with a homogeneous ethnic (ethnic Pakpak), although they have to detach a large extent of their traditional land to the main region that has been dominated by another ethnic group.
This study using the theory of ethnicity (Kanchan Chandra), political ethnic (Kellas, McCarthy, Fearon, and Caselli & Coleman), and vertically coalition (Kimura) in analyzing and understanding the phenomenon of establishment of New Autonomous Region of Pakpak Bharat which is has an ethnic motivation. This thesis seeks to understand how the political stages traversed by actors in the establishment of Pakpak Bharat and how the existence of the actors after the realization of the proliferation.
This research is a case study with a qualitative approach; data collection was done with interviews both with political actors who involved, as well as with academics who once examined the related studies. To enrich the data and information, the author also uses the study of literature concerning Pakpak Bharat and Dairi District.
Reports about proliferation dominated by the failure of the new autonomous region in achieving targets of political and economic decentralization. There are elite captures in the new autonomous region, the local elite, especially in the bureaucracy and parliament abusing their power to enrich themselves. Pakpak Bharat Regency is also included in the results of the extraction are deemed to have not managed to prosper his people. But in contrast to other areas, the original purpose and motivation of its homogeneity in ethnic regions, making the extract issues of welfare, infrastructure and others became less meaningful in Pakpak Bharat.
The theoretical implication is, that is an ethnic identity can be constructed in accordance with the situation and particular interests. In the case of Pakpak Bharat Regency, Pakpak ethnic reconstruct their ethnic identity which had been fading because many people of Pakpak switch their identities became Tobanese. In terms of vertical coalition, coalition politics in the establishment of new autonomous region, ethnic identity of Pakpak is adhesive between each level of administration actors. However this coalition existed only until the attainment of new autonomous region, after that this vertical coalition broke up on its own as it is formed also by itself
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alifah Pratisara Tenrisangka
"Perpindahan ibu kota sudah mendekati tahapan realisasi yang artinya status Jakarta sebagai Ibu kota akan berpindah ke kota lain. Sebagai ibu kota negara secara a quo, Jakarta telah menjelma menjadi kota metropolitan dengan banyaknya privilege. Bahkan selain menjadi bagian dari kota metropolitan dunia, Jakarta dicanangkan menjadi kota global dunia. Kondisi dan statusnya sebagai ibu kota ini menjadikan Jakarta sebagai salah satu kota yang mendapatkan privilege berupa diterapkannya desentralisasi asimetris. Namun menjadi pertanyaan besar, setelah tidak lagi menyandang status sebagai ibu kota negara, bagaimana status desentralisasi asimetris yang dimiliki Jakarta? Tulisan ini akan mengupas desentralisasi asimetris untuk Jakarta pasca tidak lagi berkedudukan sebagai ibu kota Indonesia berdasarkan status quo segala fasilitas penunjang dan prospek lainnya yang dimiliki Jakarta.

The transfer of the capital is getting closer to the realization phase, which means that Jakarta’s status as the capital will move to another city. As a quo capital city, Jakarta has been transformed into a metropolitan city with many privileges. In fact, apart from being part of the world’s metropolitan cities, Jakarta is proclaimed to be a world’s global city. This condition and status as the capital city makes Jakarta one of the cities that has the privilege of implementing asymmetric decentralization. However, the big question is, after no longer holding the status of the national capital, how is the asymmetrical decentralization status of Jakarta? This paper will examine the asymmetric decentralization for Jakarta after it is no longer the capital based on the status quo of all supporting facilities and other prospects owned by Jakarta."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanoum Salsabila
"Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan e-government untuk mengatasi masalah desentralisasi sehingga dapat meningkatkan dan memperluas hubungan antara pemerintah dan pihak lain dengan memanfaatkan teknologi informasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, pemerintah mulai menerapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik melalui e-government untuk mendorong peningkatan pelayanan publik. Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) merupakan salah satu izin lingkungan yang harus dibuat untuk pengambilan keputusan dan dasar pemberian izin untuk melakukan usaha dan atau kegiatan. Berdasarkan data yang diberikan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (DPMPTSP DKI Jakarta), persentase keterlambatan penerbitan cenderung meningkat dari awal Februari hingga Oktober 2021 dengan persentase keterlambatan tertinggi pada Oktober 2021 sebesar 48,1%.. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model kualitas layanan pada website pemerintah yang menggabungkan eGovQual dan TAM sehingga dapat mencegah keterlambatan dari layanan pengurusan izin UKL-UPL. Hasil dari riset ini ialah faktor layanan yang menjadi prioritas perbaikan adalah informasi yang terkandung di situs web Jakevo terbaru yang memiliki nilai PGCV terbesar yaitu 9,3400 sehingga perbaikan yang harus dilakukan ialah menyediakan informasi yang lebih detail dan terbaru, serta menyediakan contoh template dokumen yang dipersyaratkan

Indonesia is one of the countries that implements e-government to overcome the problem of decentralization so that it can improve and expand the relationship between the government and other parties by utilizing information technology. Based on Presidential Regulation Number 95 of 2018 concerning Electronic-Based Government Systems, the government has begun to implement an electronic-based government system through e-government to encourage the improvement of public services. Environmental Management Efforts and Environmental Monitoring Efforts (UKL-UPL) is one of the environmental permits that must be made for decision making and the basis for granting permits to conduct businesses and or activities. Based on data provided by the DKI Jakarta Provincial Government Investment and One Stop Service (DPMPTSP DKI Jakarta), the percentage of delays in issuance tends to increase from early February to October 2021 with the highest percentage of delays in October 2021 at 48.1%. aims to build a service quality model on a government website that combines eGovQual and TAM as to prevent delays in the UKL-UPL permit issuance service. The result of this research is that the service factor that is the priority for improvement is the information contained on the latest Jakevo website which has the largest PGCV value of 9.3400 so that improvements that must be made are to provide more detailed and up-to-date information, as well as provide examples of the required document templates."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Noor
Malang: UB Press, 2017
352 IRW d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dudi Setiadi
"Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembangunan di Negara kesatuan yang mengenal pemerintahan daerah, diberlakukan desentralisasi pemerintahan. Pemberlakuan desentralisasi pemerintahan berdampak pada penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Selain kewenangan yang mencakup pertahanan dan keamanan, hubungan luar, agama, moneter, dan pemerintahan umum, kewenangan pemerintah pusat lainnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah, berdasarkan prinsip desentralisasi. Dengan adanya prinsip money follows functions, maka setiap penyerahan beberapa kewenangan bidang pemerintahan disertai dengan penyerahan kewenangan bidang keuangannya, oleh karena itu berlakulah desentralisasi fiskal (Fiscal Decentralization).
Tesis ini membahas tentang salah satu jenis kebijakan desentralisasi fiskal, yaitu Dana Alokasi Umum (DAU). Perannya sebagai block grant dan equalization grant, DAU mendukung dilaksanakannya desentralisasi pemerintahan. Dengan demikian, DAU perlu dipertahankan untuk tetap dilaksanakan, namun dengan sedikit perubahan dalam peraturan perundang-undangannya. Hal tersebut perlu dilaksanakan agar tercipta ketegasan bahwa tujuan desentralisasi ialah untuk menciptakan Pemerintah Daerah yang mandiri.
Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode penelitian normatif, didukung data sekunder dan dilengkapi dengan hasil studi kasus di pemerintah daerah kabupaten penerima DAU yang telah menggunakan DAU sesuai dengan UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

Government decentralization was enforced in order to support the development implementation in the Unitary State which was familiar with local government. The impact of the government decentralization was the devolution from the central to the local government. Besides authority in the field of security and defense, foreign relationship, religion, monetary, and general governance, other authority of the central government were transferred to the local government based on the decentralization principles. With the establishment of money follows functions principle, every devolution in the field of governance would also be followed by the devolution in its financial field, and for that reason the Fiscal Decentralization was applied.
This thesis would discuss about one of the fiscal decentralization policies, which was General Allocation Fund (GAF). With the role as block grant and equalization grant, GAF supported the government decentralization implementation. Therefore, it was necessary to maintain the implementation of GAF, but with a few changes in its laws and regulations. The changes must be made to state that the goal of decentralization was to create an independent local government.
On the preparation of the thesis, the writer used a normative research method, which supported by secondary data and equipped with case study results of district government which received the GAF and had used it in accordance with the Regulations No. 33 year 2004, about the Financial Balance between the Central Government and the Local Government and the Government Regulation No. 55 year 2005 about the Balance Fund.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Since implementing the decentralization mechanism back in 2001, Indonesia's regionsl province/district/cities have been mushroomed. Having rapid changes in its administrative system has brought may implicationa on how the urban development policy shapes the change of the livelihood. Some of the scholars argue that decentralization process would bring negative aspects. First, the decentralization has brought local government as rent-seeking actors. The second aspect is related to weak government institutions. Third, the decentralization policy has beeb seen as uneven in character, Fourth, decentralization has null effects on urban development....."
PPEM 1:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fajri Ramadhan
"Penerapan desentralisasi asimetris di Indonesia dilakukan pada 5 daerah yaitu Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat. Kebijakan tersebut berimplikasi dengan penerimaan dana desentralisasi yang lebih tinggi. Penelitian bertujuan untuk mengkaji hubungan kondisi keuangan 3 daerah otonomi khusus yaitu Aceh, Papua, dan Papua Barat dengan akuntabilitas keuangan daerah yang diproksikan oleh variabel opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) hasil pemeriksaan BPK RI. Menggunakan metode Conditional Logistic Fixed Effect, penelitian menggunakan rasio keuangan berdasarkan data keuangan daerah sejak 2011-2019. Hasil penelitian adalah: pertama, adanya hubungan antara akuntabilitas dengan kondisi keuangan pemerintah daerah otonomi khusus yang direfleksikan oleh beberapa variabel yang signifikan dan konsisten pada beberapa model. Kedua, variabel yang konsisten mendorong terciptanya akuntabilitas adalah variabel rasio Dana Alokasi Khusus (DAK) dibagi total dana transfer, sementara itu rasio Dana Bagi Hasil (DBH) per total pendapatan konsisten dan signifikan dalam mengurangi kemungkinan terwujudnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebagai penilaian akuntabilitas tertinggi. Variabel lain seperti rasio belanja operasional dan belanja modal per total belanja juga mengurangi kemungkinan terwujudnya opini WTP. Hasil ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu memperhatikan rasio-rasio keuangan daerah dalam evaluasi pelaksanaan desentralisasi asimetris terutama pada ketiga provinsi tersebut.

The asymmetric decentralization policy is applied in 5 regions: DKI Jakarta Province as the State Capital, Yogyakarta Special Region Province, Aceh Province, Papua Province, and West Papua Province. This study examines the relationship between the financial conditions of 3 special autonomous regions, namely Aceh, Papua, and West Papua, with regional financial accountability as proxied by the variable of opinion on regional financial statements (LKPD) due to the examination of the Indonesian National Audit Board. Using the Conditional Logistic Fixed Effect method, this study uses financial ratios based on regional financial data from 2011-2019. The results show that, first, there is a relationship between accountability and the financial condition of the special autonomy regional government, which is reflected by several significant and consistent variables in several models. Second, the variable that consistently encourages accountability is the proportion of Special Allocation Fund (DAK) from the total transfer. Meanwhile, the ratio of Revenue Sharing (DBH) per total income is consistent and significant in reducing the possibility of realizing an Unqualified Opinion (WTP) as the highest accountability assessment. Other variables such as the ratio of operational expenditures and capital expenditures per total expenditure also reduce the probability of realizing the WTP opinion. These results indicate that the government needs to pay attention to regional financial ratios in evaluating the implementation of asymmetric decentralization, especially in the three provinces."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawan Soejito
Jakarta : Rineka Cipta, 1990
320.8 IRA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Susanto
"ABSTRAK
Perkembangan tentang pemerintah daerah memberikan gambaran betapa sulitnya mengurus negara Republik Indonesia ini. Hal ini bukan saja dilatarbelakangi oleh keragaman suku (etnik) dan berbagai tingkah laku tertentu, tetapi juga tekad yang terus berubah dari pemerintah berkedaulatan rakyat ke pemerintahan demokratis, dilanjutkan dengan pelimpahan otonomi yang seluas-luasnya berakhir dengan rumusan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dalam dua puluh tahun terakhir ini.
Di samping perubahan dalam rumusan-rumusan umum itu, praktek pelaksanaan pemerintah daerah juga menunjukkan irama naik-turunnya pemberian kekuasaan vertikal pada pemerintah daerah. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan masalah keuangan yang menampilkan masalah beralasan kemampuan daerah dalam mengolah hasil kekayaan daerah dan dimana pula bagian untuk pemerintah pusat.
Kelihatannya naik turun tekad dan praktek pelaksanaan pemerintah daerah amat dipengaruhi oleh seberapa jauh pemahaman tentang distribusi kekuasaan dalam pemerintah dan masyarakat. Pengetahuan ini menumbuh kembangkan kemampuan mandiri dalam batas-batas wajar yang dapat dipertanggung jawabkan di kemudian hari."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Joni
"Alokasi anggaran sebagai kebijakan keuangan daerah dalam menjabarkan visi dan misi Kabupaten Lahat merupakan suatu fenomena yang tidak hanya menjadi cerminan kebijakan publik tetapi sekaligus menjadi cermin pelaksanaan fungsi anggaran dalam proses pelaksanaan rencana pembangunan. Rencana pembangunan tersebut sebagaimana yang tertuang dalam rencana strategsi Kabupaten Lahat.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskdpsikan dan manganalisis alokasi anggaran pembangunan di sektor kesejahteraan sosial pada APBD tahun 2003 - 2004 dalam pelaksanaan renstra Kabupaten Lahat. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan metode deskriptif, berdasarkan analisis data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui wawancara dengan informan penelitian dan studi kepustakaan.
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah tersaji, maka diperoleh pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut :
Alokasi anggaran untuk bidang perekonomian yang meliputi bdang pertanian, perkebunan, petemakan dan perikanan termasuk juga pertambangan serta Perindustrian dan Perdagangan, masih sangat kecil yaitu di bawah 3%. Artinya bahwa dalam kebijakan anggaran pembangunan daerah bidang-bidang tersebut belum mendapatkan priodtas yang maksimal. Bahkan jumlah alokasi tersebut jauh di bawah alokasi bidang administrasi umum yang mencapai 7,19 %.
Alokasi anggaran untuk bidang kesehatan, kurang mendukung keseimbangan visi dan misi Kabupaten Lahat yang ingin mewujudkan masyarakat yang sehat dengan jumlah alokasi anggaran sebesar 9,23 %., dad kondisi ideal yang disyaratkan anggaran nasional sebesar 15% dari APBD. Begitu juga alokasi bagi peningkatan kualitas aparatur pemerintahan masih belum mendapat prioritas yang berarti dengan kecilnya anggaran yang dialokasikan, sementara itu indikator kinerja yang harus diwujudkan terlalu banyak. Namun demikian, dengan besaran alokasi anggaran untuk bidang pendidikan sekitar 26,76%, kebijakan alokasi anggaran Pemerintah Kabupaten Lahat sebenarnya sudah terarah untuk mewujudkan visi dan misi Kabupaten Lahat, karena sumber daya manusia merupakan pandasi utama pelaksanaan pembangunan daerah. Demikian juga alokasi anggaran bidang transportasi 27,92% dan total Anggaran Belanja Pembangunan Tahun 2004. Kebijakan alokasi anggaran pembangunan sudah terarah untuk mewujudkan visi dan misi Kabupaten Lahat, karena sarana dan prasarana transportasi merupakan salah satu fondasi ekonomi daerah serta urat nadi perekonomian masyarakat dan daerah yang sekaligus menghubungkan wilayah terpencil. Dengan strategi anggaran yang terarah pada upaya peningkatkan kualitas sumber daya manusia dan penguatan fondasi perekonomian daerah yang dinamis, maka secara bertahap Visi dan Misi Kabupaten Lahat dapat diwujudkan.
Berdasarkan analisis alokasi anggaran pembangunan dalam pembangunan kesejahteraan sosial diketahui bahwa kebijakan alokasi anggaran pembangunan Kabupaten Lahat tahun 2003 dan 2004 dan indikator besaran anggaran yang dialokasikan, belum sepenuhnya memihak pada upaya pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial yang diamanatkan dalam renstrada belum mampu dijabarkan dalam kebijakan anggaran.
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas maka saran-saran yang perlu disampaikan kepada pihak yang diteliti adalah sebagai berikut :
Pemerintah kabupaten Lahat perlu membentuk Tim Asistensi Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Anggaran dengan melibatkan kalangan akademisi dan konsultan profesional. Pemerintah Kabupaten Lahat bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lahat perlu segera merumuskan kebijakan yang kondusif menyangkut regulasi di bidang pembiayaan daerah, terutama alokasi anggaran pembangunan yang terarah untuk meningkatkan produktivitas daerah.
Alokasi anggaran pembangunan untuk merealisasikan visi dan misi Kabupaten Lahat yaitu pada bidang pendidikan, apartur pemerintahan, kesehatan, Agama (peningkatan keimanan dan ketagwaan masyarakat Kabupaten Lahat) dan perekonomian (Pertanian, Perkebunan, Petemakan, Perikanan, Pertambangan dan Pariwisata) serta pembangunan prasarana dasar meliputi pemukiman, gedung dan pelayanan kepada masyarakat perk' menjadi prioritas dalam kebijakan anggaran pembiayaan daerah kabupaten Lahat di masa mendatang tanpa mengesampingkan bidang-bidang pembangunan lain.
Konsistensi kebijakan anggaran pembangunan dalam hal ini alokasi anggaran pembangunan sebagai operasionalisasi dari program yang talah ditetapkan dalam rencana strategis daerah perlu dijaga sehingga pencapaian visi dan misi daerah dapat diwujudkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy Supriady Bratakusumah
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
352 DED o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>