Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wendansyah
"Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) adalah setiap derajat intoleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan. Definisi ini meliputi spektrum klinis yang luas; tidak memandang apakah digunakan insulin atau cukup hanya digunakan modifikasi diet saja dalam mengontrol gula darah, tidak memandang apakah kondisi bertahan setelah kehamilan, dan termasuk pula kondisi intoleransi glukosa dalam berbagai tingkat dari ringan sampai berat yang terjadi sebelum kehamilan namun tidak dikenali sebelumnyalbaru diketahui pada saat hamil.
Sekitar 1-14% kehamilan mengalami komplikasi DMG setiap tahun di AS. Di Indonesia. dilaporkan prevalensi DMG antara 1.9-3.6e% dari seiuruh kehamilan setiap tahun.Kontrol gula darah pada DMG berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas- pada ibu maupun bayi berupa preeklampsia. polihidramnion, infeksi saluran kemih, persalinan seksio sesarea dan trauma persalinan akibat bayi besar. DMG berhubungan dengan angka kejadian preeklampsia, induksi persalinan, distosia bahu, seksio sesarea, bayi besar, dan Erb's Palsy yang lebih tinggi. Hiperblikemia juga berhubungan dengan peningkatan risiko kematian janin infra uteri (IUFD) pada 4-8 minggu terakhir kehamilan, meningkatnya mortalitas perinatal dan angka kejadian makrosomia, dan pada neonatus terjadi peningkatan kejadian hipoglikemia, ikterus. polisitemia dan hipokaisemia. Dalam jangka panjang pasien DMG memiliki risiko terjadinya diabetes tipe 2 setelah kehamilan. Bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu DMG memiliki risiko lebih tinggi akan kejadian sindroma metabolik, obesitas, intoleransi glukosa dan diabetes pada masa muda/dewasa.
Langkah awal penanganan DMG yang dianut saat ini adalah pemberian konseling dan terapi diet selama 1 minggu dengan target tes toleransi glukosa darah normal. Apabila tidak berhasil maka diberikan insulin, yang sampai saat ini masih mcrupakan terapi pilihan pada DMG. Ternyata hingga 60% penderita akan memerlukan insulin untuk mempertahankan kontrol glikemiknya.7 Insulin diberikan secara suntikan subkutan sehingga bagi pasien dirasakan sulit dan tidak praktis digunakan, yang mempengaruhi penerimaan pasien dan akhirnya kcberhasilan terapi. Penggunaan obat hipoglikemik oral (OHO) dalam kehamilan dahulu diduga menyebabkan kelainan kongenital.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiarto
"Latar Belakang: Subyek diabetes melitus (DM) tipe 2 mengalami peningkatan
risiko fraktur akibat penurunan kekuatan tulang. Bone mineral density (BMD),
sebagai parameter kuantitas tulang, tidak dapat menggambarkan fragilitas tulang pada subyek DM tipe 2 karena menunjukkan hasil yang normal atau meningkat dibandingkan dengan subyek bukan DM, sehingga peningkatan resiko fraktur pada subyek DM tipe 2 lebih disebabkan oleh penurunan kualitas tulang. Salah satu unsur penentu kualitas tulang adalah turnover tulang. Beberapa faktor yang berpengaruh pada turnover tulang, antara lain tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan sclerostin. Kajian TNF-α dan sclerostin pada subyek DM perempuan pernah dilaporkan namun melibatkan subyek pascamenopause, sehingga tidak dapat dipisahkan efek TNF-α dan sclerostin terhadap turnover tulang.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil kadar TNF-α dan
sclerostin serum pada subyek perempuan pramenopause DM tipe 2 dan bukan
DM.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 80 subyek perempuan
pramenopause yang terdiri dari ini 40 subyek DM Tipe 2 dan 40 subyek bukan
DM. Data yang dikumpulkan antara lain: karakteristik subyek, riwayat
penggunaan obat-obatan, HbA1C, SGPT, kreatinin, dan eGFR. Pemeriksaan
TNF-α dan sclerostin serum dilakukan dengan metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA).
Hasil: Median (rentang interkuartil) kadar TNF-α serum pada subyek DM tipe 2
[43,0 pg/mL (14,4-101,31)], lebih tinggi dibandingkan subyek bukan DM [23,86
pg/mL (11,98-78,54)] namun perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0.900).
Rerata (simpang baku) kadar sclerostin serum pada subyek DM tipe 2 [132,05
pg/mL (SB 41,54)], lebih tinggi bermakna (p<0.001) dibandingkan subyek bukan DM [96,03 pg/mL (SB 43,66)]. Tidak didapatkan hubungan antara kadar TNF-α dan sclerostin serum baik pada subyek DM tipe 2 (p=0,630) maupun subyek bukan DM (p=0,560).
Kesimpulan: Subyek perempuan pramenopause DM tipe 2 memiliki kadar TNF-
α serum lebih tinggi namun tidak bermakna dibandingkan dengan subyek bukan DM. Subyek perempuan pramenopause DM tipe 2 memiliki kadar sclerostin serum lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan subyek bukan DM.

Background: The subject of type 2 diabetes mellitus (T2DM) has an increased
risk of fracture due to a decrease in bone strength. Bone mineral density (BMD), as a parameter of bone quantity, cannot describe bone fragility in T2DM subjects because it shows normal or increased results compared to non-DM subjects, so an increased risk of fracture in T2DM subjects is due to a decrease in bone quality. One element that determines bone quality is bone turnover. Some factors that influence bone turnover include tumor necrosis factor-α (TNF-α) and sclerostin. TNF-α and sclerostin studies in female DM subjects have been reported but involve postmenopausal subjects, so that the effects of TNF-α and sclerostin cannot be separated from bone turnover.
Objective: This study aims to obtain a profile of serum TNF-α and sclerostin levels in premenopausal women with T2DM and non-DM.
Method: A cross-sectional study was carried out on 80 premenopausal female
subjects consisting of 40 T2DM subjects and 40 non-DM subjects. Data collected included: subject characteristics, history of drug use, HbA1C, SGPT, creatinine, and eGFR. Serum TNF-α and sclerostin examination was carried out by the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method.
Results: The median (interquartile range) of serum TNF-α levels in T2DM
subjects [43.0 pg/mL (14.4-101.31)], was higher than non-DM subjects [23.86
pg/mL (11.98 -78.54)] but the difference was not significant (p= 0.900). The mean (standard deviation) of serum sclerostin levels in T2DM subjects [132.05 pg/mL (SD 41.54)], was significantly higher (p< 0.001) than non-DM subjects [96.03 pg/mL (SD 43.66)]. There was no association between serum TNF-α and sclerostin levels in both T2DM subjects (p= 0.630) and non-DM subjects (p= 0.560).
Conclusions: Subjects of premenopausal women with T2DM had higher serum
TNF-α levels but were not significant compared to non-DM subjects. Subjects of premenopausal women with T2DM had significantly higher serum sclerostin
levels compared to non-DM subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahriani Sylvawani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penderita Diabetes Melitus (DM) mengalami peningkatan resiko fraktur akibat penurunan kualitas dan kekuatan tulang. Bone Mineral Densitometry tidak dapat menggambarkan fragilitas tulang pada pasien DM tipe 2 (DMT2) karena menunjukkan hasil yang normal atau meningkat. Penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat penurunan penanda formasi tulang (P1NP) pada perempuan pramenopause dengan DMT2 dibandingkan dengan bukan DM. IGF-1 dan sclerostin adalah faktor yang mempengaruhi diferensiasi dan maturasi osteoblast dalam formasi tulang dan saat ini belum diketahui profilnya pada perempuan pramenopause dengan DM. Tujuan: Untuk mengetahui dan membandingkan kadar IGF-1 serum dan sclerostin serum perempuan pramenopause dengan DMT2 dan bukan DM. Metode: Studi potong lintang, dilakukan pada Agustus 2018 dan melibatkan 80 perempuan pramenopause yang terdiri dari 40 subjek DMT2 dan 40 bukan DM. Pemeriksaan IGF-1 serum dan Sclerostin serum dilakukan dengan metode enzymelinked immunosorbent assay (ELISA). Hasil penelitian: Median (rentang interkuartal) kadar IGF-1 serum pada pasien DMT2 lebih rendah tidak bermakna dibandingkan dengan kelompok bukan DM (40,6 (11-110) ng/ml vs 42,75 (10-65) ng/ml, p=0.900). Rerata kadar sclerostin serum pada kelompok DMT2 lebih tinggi bermakna dibandingkan kelompok bukan DM (132.05 (SB 41.54) ng/ml vs. 96.03 ng/ml (SB 43.66) (p<0.001). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kadar IGF-1 serum antara perempuan pramenopause DMT2 dan bukan DM. Terdapat perbedaan bermakna sclerostin serum antara perempuan pramenopause dengan DMT2 dan bukan DM.

ABSTRACT
Background: Diabetes mellitus (DM) patients are at increased risk for fracture due to the decrease in bone quality and strength. Bone Mineral Densitometry (BMD) measurement in T2DM cannot depict bone fragility (T2DM) because they are shown to be normal or increased results. Previous studies have shown a decrease in markers of bone formation (P1NP) in premenopausal women with T2DM compered non-DM. IGF-1 and sclerostin are factors that influence the differentiation and maturation of osteoblasts in bone formation and their profiles are not currently known in patients with premenopausal women with diabetes. Objective: To determine and compare serum IGF-1 and serum sclerostin levels between premenopausal women T2DM and non-DM. Method: A cross-sectional study was conducted in August 2018 and involved 80 premenopausal women consisting of 40 DMT2 and 40 non-DM subjects. Serum IGF-1 and serum sclerostin were examined using an enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method. Results: Median (interquarter range) serum IGF-1 in T2DM is 40.6 ng/ml (11-110 ng/ml) vs. 42.75 ng/ml (10-65 ng/ml) in non-DM (p=0.900). Mean serum sclerostin level in T2DM is 132.05 ng/ml (SB 41.54 ng/ml) vs. 96.03 ng/ml (SB 43.66 ng/ml) in not DM (p<0.001). Conclusion: There was no difference in serum IGF-1 levels between premenopausal women with T2DM and non-DM. There were significant differences in serum sclerostin between premenopausal women with T2DM and non-DM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonia M. I. Saktiawati
"Background: the correlation between diabetes mellitus (DM) and Multi-Drug-Resistant Tuberculosis (MDR-TB) has never been studied among patients with tuberculosis (TB) in Indonesia, while DM has been identified to alter immune response and pharmacokinetics of TB medications that may lead to a failure of TB treatment and develop MDR-TB. Our study aimed to analyze the influence of diabetes mellitus on the development of MDR-TB.
Methods: a retrospective cohort study was carried out on 356 TB patients at the Provincial Lung Clinics and Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia between 2010 and 2014. Diagnosis of MDR-TB was established based on GeneXpert or drug sensitivity testing, while DM was determined based on the criteria in the National Guidelines. Demographic, epidemiological and outcome variables were collected. Odds ratios and 95% confidence intervals (95% CI) were analyzed using simple logistic regression.
Results: among 356 TB patients, 23 patients were with binomial TB-DM, while 333 patients did not suffered from DM. Patients with TB-DM presented a 6.8-fold (95% CI:2.0-23.7, p=0.003) higher risk of developing MDR-TB. Individuals with TB-DM had a 4.4-fold (95% CI:1.5-12.9, p=0.008) greater chance to have positive sputum smear by the second month of treatment indicating a delay in the resolution of the tuberculosis infection.
Conclusion: there was a significant correlation between diabetes mellitus and MDR-TB development. Therefore, it is suggested that clinicians at all levels of health care service should conduct any kind of screening test for MDR-TB in such group of patients. Further prospective cohort study is needed to confirm the findings of this preliminary study.

Latar belakang: hubungan antara diabetes melitus (DM) dan Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) belum pernah diteliti di antara pasien Tuberkulosis (TB) di Indonesia, sedangkan DM diketahui dapat mengganggu respons kekebalan tubuh dan memengaruhi farmakokinetik obat TB sehingga dapat menyebabkan kegagalan pengobatan TB dan terjadinya MDR-TB. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh DM pada perkembangan MDR-TB.
Metode: studi kohort retrospektif dilakukan dengan melibatkan 356 pasien TB di Balai Pengobatan Paru-paru (BP4) dan Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, Indonesia pada tahun 2010-2014. Diagnosis MDR-TB ditentukan dengan GeneXpert atau drug sensitivity testing, sementara DM ditentukan berdasarkan kriteria pedoman nasional. Beberapa variabel demografik, epidemiologi, dan hasil pengobatan dikumpulkan. Rasio odds (OR) dan selang kepercayaan 95% (95% CI) dianalisis dengan simple logistic regression.
Hasil: di antara 356 pasien TB, 23 orang adalah pasien dengan DM, sedangkan 333 pasien tidak menderita DM. Pasien dengan tuberkulosis dan diabetes melitus memiliki risiko 6,8 lebih besar (95% CI:2,0-23,7, p=0,003) untuk berkembang menjadi MDR-TB. Individu dengan tuberkulosis dan diabetes melitus memiliki p=0,008) untuk memiliki hasil sputum positif pada bulan kedua pengobatan yang mengindikasikan keterlambatan dalam proses penyembuhan dari tuberkulosis.
Kesimpulan: terdapat hubungan yang bermakna antara diabetes melitus dengan perkembangan MDR-TB. Oleh karenanya, direkomendasikan bagi klinisi di semua lapis pelayanan kesehatan untuk melakukan tes skrining MDR-TB di antara pasien kelompok ini. Penelitian kohort prospektif perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil dari penelitian pendahuluan ini
"
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 UI-IJIM 50:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Aman Bhakti
"Background: diabetic ketoacidosis (DKA) is a potentially lethal complication of diabetes mellitus (DM). There is no study in Indonesia that compares the much-preferred capillary beta hydroxybutirate (β-OHB) measurement to urine acetoacetate in monitoring therapeutic response of DKA in adolescents.
Methods: a prospective study of 37 adolescents and children with DKA in Cipto Mangunkusumo Hospital was done between June 2006 and March 2011. The patients were followed until the time of DKA resolution. Hourly measurement of random blood glucose, capillary β-OHB concentration, and urine ketones were done, while blood gas analysis and electrolyte were measured every four hours.
Results: median time to resolution was 21 (9-52) hours. Compared to urine ketones, capillary β-OHB concentration showed stronger correlation with pH (r= -0,52, p= 0,003 vs r= -0,49, p= 0,005) and bicarbonate level (r=-0,60, p=0.000 vs r= -0.48, p=0.007) during the median time of DKA resolution. All capillary β-OHB measurement yielded negative results at median time of DKA resolution, while urine ketones were still detected up to 9 hours after resolution.
Conclusion: blood ketone concentration showed better correlation with pH and bicarbonate level, as a tool to monitor therapeutic response in DKA in adolescent, compared to traditional urine ketones test in adolescents.

Latar belakang: ketoasidosis Diabetes (KAD) adalah komplikasi Diabetes Melitus (DM) yang berpotensi mengakibatkan kematian. Saat ini belum ada studi di Indonesia yang membandingkan pengukuran kadar beta-hidroksibutirat (β-OHB) kapiler dengan asetoasetat pada urin untuk memonitor respon terapi dari DKA pada remaja.
Metode: studi prospektif terhadap 37 remaja dan anak dengan diagnosis KAD di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo selama Juni 2006-Maret 2011 hingga KAD dinyatakan resolusi. Pemeriksaan gula darah sewaktu, β-OHB kapiler, dan keton urin dilakukan setiap jam, sedangkan analisis gas darah dan elektrolit dilakukan setiap empat jam.
Hasil: median waktu resolusi KAD adalah 21 (9-52) jam. Saat median resolusi KAD, terdapat korelasi signifikan yang lebih baik antara kadar β-OHB kapiler dibandingkan dengan kadar keton urin terhadap pH (r= -0,52, p= 0,003 vs r= -0,49, p= 0,005) serta terhadap bikarbonat (r= -0,60, p= 0,000 vs r= -0,48, p= 0,007). Kadar β-OHB kapiler seluruhnya menunjukkan hasil negatif saat median resolusi, sedangkan ketonuria masih ditemukan hingga 9 jam paska resolusi.
Kesimpulan: kadar keton darah menunjukkan korelasi yang lebih baik terhadap pH dan bikarbonat untuk menentukan respon terapi KAD pada remaja dan anak bila dibandingkan dengan metode keton urin
"
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 UI-IJIM 50:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wardhana
"Diabetes mellitus (DM) is one of the most abundant diseases in the 21st century and believed as result of interaction between genes and environment exposure. There is a hypotesis of epigenetic mechanisms, using molecular basis to explain about the mechanism of DM. Because of the enviromental exposure including nutrition status and hyperglycemia state, the risk of DM has started since pre-conception, last until adulthood and will be inhireted trans-generational. Mainly, there are 3 epigenetic mechanisms that have role in DM. Epigenetic mechanisms are also have role in the metabolic memory that the DM complications may still developed although the blood glucose level is already normal. The restriction of calory intake may help delaying the development and onset of degerative diseases including DM by stabilizing genome through epigenetic mechanisms.

Diabetes melitus (DM) adalah masalah kesehatan yang paling penuh dengan tantanga dan dipercaya merupakan hasil antara interaksi gen dan paparan lingkungan. Terdapat hipotesis mekanisme epigenetik, menggunakan dasar molekular untuk menjelaskan mekanisme terjadinya DM. Karena paparan lingkungan termasuk status gizi dan keadaan hiperglikemia, risiko terjadinya DM telah dimulai sejak pre-konsepsi, yang berlangsung hingga dewasa, dan diwariskan antar-generasi. Terdapat 3 mekanisme utama epigenetik yang berperan pada DM. Mekanisme-mekanisme epigenetik juga memiliki peran dalam memori metabolik dimana komplikasi-komplikasi DM dapat tetap terjadi walaupun kadar gula darah dalam tubuh sudah normal. Pembatasan kalori dapat membantu menunda proses dan terjadinya penyakit-penyakit degeneratif termasuk DM dengan cara menstabilkan genom melalui mekanisme-mekanisme epigenetik.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hanif Tri Hartanto
"Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebut sebagai silent killer karena tidak menunjukkan gejala pada tahap awal. Diabetes melitus mempunyai nilai prevalensi yang tinggi dan akan meningkat setiap tahunnya. Kasus diabetes melitus yang paling umum adalah T2D yang mencapai lebih dari 90% dari total kasus diabetes. T2D merupakan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan, tatapi dapat dicegah dan dikendalikan jika gejalanya dikenali sejak dini. Pemantauan kadar glukosa darah menjadi sangat penting untuk mengendalikan T2D. Penelitian ini membahas metode penentuan glukosa secara non-enzimatik dengan biosensor elektrokimia yang dikembangkan dengan Glassy Carbon Electrode (GCE) yang dimodifikasi menggunakan komposit oksida logam seperti CuO dan ZnO serta Multi Walled Carbon Nano Tube (MWCNT). Penelitian dilakukan dengan menggunakan empat langkah yang terdiri dari preparasi nanokomposit, modifikasi GCE dengan nanokomposit CuO/ZnO/MWCNT, pemeriksaan aktivitas elektrokimia, dan karakterisasi material dengan menggunakan SEM dan Raman spectroscopy. Cyclic voltammetry (CV) digunakan untuk menentuk sensitivitas, Limit of Detection (LOD), rentang linier, dan stabilitas dari biosensor. Pengujian selektivitas dari biosensor dilakukan dengan menggunakan zat pengganggu yang ada di dalam tubuh seperti citric acid, ascorbic acid, dan uric acid. Hasil menunjukkan bahwa biosensor mempunyai nilai sensitivitas sebesar 2,45 μAmM−1cm−2 dengan LOD sebesar 0,77 mM. Selektifitas biosensor termasuk kurang baik karena terpengaruh terhadap ascorbic acid dan uric acid. Biosensor dapat mempertahankan 91% performa awal setelah digunakan sebanyak 30 cycle.

Diabetes mellitus is a disease called a silent killer because it does not show symptoms in the early stages. Diabetes mellitus has a high prevalence value and will increase every year. The most common case of diabetes mellitus is T2D which accounts for more than 90% of total diabetes cases. T2D is a chronic disease that cannot be cured but can be prevented and controlled if symptoms are recognized early. Monitoring blood glucose levels is very important to control T2D. This study discusses the method of determining glucose non-enzymatically with an electrochemical biosensor developed with Glassy Carbon Electrode (GCE) modified using metal oxide composites such as CuO and ZnO and Multi-Walled Carbon Nano Tube (MWCNT). The research was conducted using four steps consisting of nanocomposite preparation, modification of GCE with CuO/ZnO/MWCNT nanocomposites, examination of electrochemical activity, and material characterization using SEM and Raman spectroscopy. Cyclic voltammetry (CV) was used to determine the sensitivity, Limit of Detection (LOD), linear range, and stability of the biosensor. Selectivity testing of the biosensor was carried out using interfering substances in the body such as citric acid, ascorbic acid, and uric acid. The results showed that the biosensor had a sensitivity value of 2.45 μAmM-1cm-2 with a LOD of 0.77 mM. The selectivity of the biosensor is not good because it is affected by ascorbic acid and uric acid. The biosensor can maintain 91% of the initial performance after being used for 30 cycles."
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dezh Nahda Athiyya
"Diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah. Indonesia saat ini menghadapi triple burden disease atau tiga beban kesehatan, salah satunya adalah penyakit tidak menular yang didalamnya terdapat diabetes melitus. Indonesia berada di posisi kelima dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 19,47 juta penduduk. Pencegahan dan pengendalian diabetes melitus di Indonesia dilakukan agar individu yang sehat tetap sehat, mengurangi faktor resiko diabetes melitus, dan mencegah komplikasi atau kematian dini akibat diabetes. Perlunya upaya pencegahan dan pengendalian diabetes dapat dilakukan melalui promosi kesehatan, edukasi, deteksi dini faktor risiko PTM (Penyakit Tidak Menular), dan tatalaksana sesuai standar. Penggunaaan media booklet digital yang berisi materi dapat mempermudah pemahaman pasien Apotek Kimia Farma 352 Margonda dan dapat menjelaskan secara lengkap mengenai pentingnya upaya pengobatan pencegahan penyakit diabetes melitus. Penyusunan media edukasi pasien diabetes melitus dibuat dalam bentuk booklet menggunakan media infografis yaitu Canva.

Diabetes is a chronic disease characterized by high blood sugar levels. Indonesia is currently facing triple burden disease, which is one of noncommunicable diseases including diabetes mellitus. Indonesia currently in fifth position with a population of 19.47 million people suffering from Diabetes. Prevention and control of Diabetes mellitus in Indonesia is carried out so that healthy individuals remain healthy, reduce risk factors for diabetes mellitus, and prevent complications or early death due to diabetes. The need for efforts to prevent and control diabetes can be carried out through health promotion, education, early detection of risk factors for NCDs (Non-Communicable Diseases), and management according to the standards. The use of digital booklet media containing information about Diaetes can facilitate understanding for Pulogadung District Health Center patients and can explain in full the importance of treatment efforts to prevent diabetes mellitus. The preparation of educational media for diabetes mellitus patients is made in the form of booklets using infographic media, namely Canva.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dezh Nahda Athiyya
"Diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah. Indonesia saat ini menghadapi triple burden disease atau tiga beban kesehatan, salah satunya adalah penyakit tidak menular yang didalamnya terdapat diabetes melitus. Indonesia berada di posisi kelima dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 19,47 juta penduduk. Pencegahan dan pengendalian diabetes melitus di Indonesia dilakukan agar individu yang sehat tetap sehat, mengurangi faktor resiko diabetes melitus, dan mencegah komplikasi atau kematian dini akibat diabetes. Perlunya upaya pencegahan dan pengendalian diabetes dapat dilakukan melalui promosi kesehatan, edukasi, deteksi dini faktor risiko PTM (Penyakit Tidak Menular), dan tatalaksana sesuai standar. Penggunaaan media booklet digital yang berisi materi dapat mempermudah pemahaman pasien Puskesmas Kecamatan Pulogadung dan dapat menjelaskan secara lengkap mengenai pentingnya upaya pengobatan pencegahan penyakit diabetes melitus. Penyusunan media edukasi pasien diabetes melitus dibuat dalam bentuk booklet digital dan leaflet menggunakan media infografis yaitu Canva.

Diabetes is a chronic disease characterized by high blood sugar levels. Indonesia is currently facing triple burden disease, which is one of non-communicable diseases including diabetes mellitus. Indonesia currently in fifth position with a population of 19.47 million people suffering from Diabetes. Prevention and control of Diabetes mellitus in Indonesia is carried out so that healthy individuals remain healthy, reduce risk factors for diabetes mellitus, and prevent complications or early death due to diabetes. The need for efforts to prevent and control diabetes can be carried out through health promotion, education, early detection of risk factors for NCDs (Non-Communicable Diseases), and management according to the standards. The use of digital booklet media containing information about Diaetes can facilitate understanding for Pulogadung District Health Center patients and can explain in full the importance of treatment efforts to prevent diabetes mellitus. The preparation of educational media for diabetes mellitus patients is made in the form of digital booklets and leaflets using infographic media, namely Canva.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Risky Aprilenia
"Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang berkaitan dengan gangguan metabolik dan ditandai dengan kadar gula darah yang melebihi batas normal. Langkah-langkah upaya pencegahan dan pengendalian diabetes dapat dilakukan melalui edukasi, detesi dini faktor risiko, dan tatalaksana sesuai standar yang berlaku. Kegiatan edukasi dapat dibantu dengan menggunakan beberapa media promosi kesehatan, Media promosi kesehatan merupakan salah satu upaya untuk menyebarkan dan menampilkan pesan atau informasi oleh komunikator kepada audiens sehingga audiens dapat meningkatkan pengetahuannya dan terjadi perubahan positif, khususnya di bidang kesehatan. Media yang dapat digunakan untuk mempromosikan kesehatan dapat berupa media cetak, media elektronik, media luar ruangan, dan media sosial. Poster dan leaflet dipilih karena dapat membantu audiens menerima pesan dengan baik serta dapat meningkatkan minat audiens untuk membacanya karena dipenuhi gambar sehingga lebih menarik untuk dibaca. Materi yang tercantum dalam poster dan leaflet meliputi, pengertian, prevalensi, jenis, gejala, faktor risiko, pengobatan, pencegahan, dan bagian tubuh yang terdampak diabetes. Pembuatan media promosi kesehatan seperti poster dan leaflet yang berisi informasi dan pesan-pesan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan pasien sehingga dapat mengubah perilaku pasien dalam menangani suatu penyakit dan meningkatkan keberhasilan terapi serta mencegah terjadinya komplikasi atau kematian dini akibat suatu penyakit, khususnya diabetes melitus. Selain itu, leaflet juga memiliki bentuk yang sederhana, mudah dibawa dan dipindahkan dibandingkan dengan poster sehingga biasanya lebih menarik minat pembaca.

Diabetes Mellitus (DM) is a chronic disease associated with metabolic disorders and characterized by blood sugar levels exceeding normal limits. Prevention and control efforts for diabetes can be carried out through education, early detection of risk factors, and management according to applicable standards. Education activities can be aided by using various health promotion media. Health promotion media are efforts to disseminate and present messages or information from communicators to the audience, allowing the audience to increase their knowledge and create positive changes, particularly in the field of health. Media that can be used for health promotion include print media, electronic media, outdoor media, and social media. Posters and leaflets are chosen because they effectively help audiences receive messages and increase audience interest in reading due to the inclusion of images, making them more appealing. The content included in posters and leaflets covers definitions, prevalence, types, symptoms, risk factors, treatment, prevention, and body parts affected by diabetes. Creating health promotion media such as posters and leaflets containing health information and messages aims to enhance patients' knowledge, understanding, awareness, and compliance. This, in turn, can lead to changes in patient behavior in managing a disease, improving the success of therapy, and preventing complications or premature death resulting from a disease, especially diabetes mellitus. Additionally, leaflets are simple in form, easy to carry and move, compared to posters, making them more attractive to readers."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>