Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tia Prabawati Suhengsi
"Latar belakang. Pencemaran udara telah menjadi masalah global tahunan sejak beberapa tahun belakangan. Pencemaran udara dapat mengakibatkan berbagai dampak buruk bagi kesehatan. Salah satu komponen zat pencemar udara yang umum ditemukan di kota-kota besar di dunia yaitu PM2,5, polutan yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru. Sumber terbesar dari pencemaran PM2,5 di udara ambien perkotaan berasal dari asap kendaraan bermotor.
Tujuan. Penelitian ini dilakukan untuk mengatahui hubungan antara konsentrasi pajanan PM2,5 dan gangguan fungsi paru pada sopir angkutan kota Terminal Kampung Melayu, Jakata Timur. Metode. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode observasi dengan desain studi cross-sectional untuk mengetahui hubungan konsentrasi pajanan PM2,5 dan gangguan fungsi paru pada sopir angkutan kota Terminal Kampung Melayu, Jakata Timur. 125 sopir angkutan kota terlibat sebagai subjek pada penelitian ini.
Hasil. Dari 125 sopir yang terlibat, ada 72 sopir angkutan kota yang mengalami gangguan fungsi paru dengan persentase sebesar 57,6%. Konsentrasi rata-rata PM2.5 yaitu 90,99 μg/m3. Nilai P konstan dari uji regresi logistik antara gangguan fungsi paru dengan konsentrasi PM2.5, umur, lama kerja dan riwayat penyakit paru, yaitu 0,039. Kesimpulan. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah ditemukan adanya hubungan antara gangguan fungsi paru yang dialami oleh sopir angkutan kota Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur dengan Konsentrasi PM2.5, setelah setelah dikontrol oleh variabel umur, lama kerja, serta riwayat penyakit paru.
......Background. Air pollutions has been becoming annual global issue for the past fiew years. Air Pollutions can cause various adverse effects on health. One component of air pollutants which commonly found in major cities in the world is PM2.5, a pollutant that can cause lung function impairments. The biggest source of PM2.5 pollutions in urban air comes from motor vehicle combustion.
Purpose. The aim of this study is to determine the relationship between exposure of PM2.5 and impaired lung function on Public Transportation Drivers of Kampung Melayu Terminal, East Jakarta. Methods. This study was conducted by the observation method with a cross-sectional study design to determine the relationship between PM2.5 exposure concentration and lung function impairment in the public transportation drivers of Kampung Melayu Terminal, East Jakarta. 125 drivers were involved as subjects in this study.
Results. There were 72 public transportation drivers, of the 125 drivers involved, who experienced lung function impairments (57.6%). The mean PM2.5 concentration was 90.99 μg / m3. The constant P value from the logistic regression test between lung function impairments and PM2.5 concentrations, controlled by age, length of work and a history of lung disease is 0.039. Conclution. The conclusion from this study is lung function impairments experienced by public transportation drivers of Kampung Melayu Terminal, East Jakarta were associated with PM2.5 concentration, after being controlled by variables of age, length of work, and a history of lung disease."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandipinta
"Keberhasilan penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) tidak hanya tergantung pada mutu pelayanan, tetapi juga tergantung pada faktor manusianya terutama perilaku pencegahan dan perilaku pencarian pengobatan. Salah satu faktor yang panting diperhatikan adalah perilaku pencarian pengobatan, karena kegiatan penanggulangan PMS terutama adalah penemuan penderita secara dini dan segera diobati. Hal ini disebabkan karena PMS dapat bersifat merusak kesehatan dan dapat berakibat fatal serta komplikasi. Selain itu PMS mempermudah penularan virus HIV dari seorang ke orang lain. Sebaliknya infeksi HIV menyebabkan seseorang lebih mudah` terserang PMS dan lebih sukar diobati.
Dari beberapa hasil survei menunjukkan bahwa banyak penderita PMS yang tidak mencari pengobatan sehingga meinungkinkan terjadinya penularan kepada orang lain atau kepada pasangan mereka. Selain itu penderita yang tidak berobat memungkinkan terjadinya peningkatan kasus HIV. Penderita PMS yang mencari pengobatan sendiri memungkinkan terjadinya resistensi penyakit tersebut terhadap obat antibiotik yang digunakan secara tidak teratur, atau obat yang digunakan hanya antiseptik dan jamu diragukan kesembuhannya.
Tujuan penelitian untuk menentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan pada penderita PMS di Kabupaten Indramayu. Penelitian ini menggunakan jenis desain potong lintang (cross sectional), dengan sampel adalah sebagian dari pria/klien yang menderita penyakit menular seksual dalam 1 (sate) tahun. terakhir yang berkunjung ke lokalisasi/tempat prostitusi yang ada di wilayah Kabupaten Indramayu.
Dari basil penelitian diperoleh bahwa dari 384 responden yang pernah mengalami PMS dalam 1 (satu) tabu' terakhir sewaktu dilaksanakan penelitian, sebanyak 22 responden (5,7%) tidak mencari pengobatan dan 362 responden (94,3%) mencari pengobatan. Dari 362 responden tersebut pengobatan pertama yang dilakukannya adalah dengan melakukan pengobatan sendiri 121 responden (33,4%) dan yang ke pelayanan kesehatan 241 responden (66,6%).
Faktor-faktor yang berhubungan bermakna antara yang tidak mencari pengobatan dan yang mencari pengobatan adalah variabel persepsi sakit (OR 14,40; 95%CI 3,77-55,01) dan biaya pengobatan (OR 19,71; 95% CI 6,17-62,95). Faktor-faktor yang berhubungan bermakna antara yang mengobati sendiri dan yang ke pelayananan kesehatan adalah variabel-variabel status perkawinan (OR 2,27; 95 CI 1,11-4,64), persepsi sakit (OR 6,24; 95% CI 3,30 - 11,79), dan anjuran berobat (OR 2,11 ; 95% CI 1,30 -3,41).
Disarankan untuk meningkatkan pengetahuan penderita PMS dengan memberikan penyuluhan, terutama dalam meningkatkan pemahaman bahwa pengobatan dengan antiseptik dan jamu bukanlah obat yang tepat untuk pengobatan PMS. Selain itu perlu ditingkatkan penyuluhan tentang bahaya PMS dan upaya-upaya pencegahan yang mungkin dilakukan untuk mengurangi risiko penularan PMS. Melalui upaya pencegahan seperti menggunakan kondom, diharapkan dapat mengurangi biaya pengobatan.
......
Related Factors to Health Seeking Behavior on Sexual Transmitted Disease Clients That Visited to Prostitution Area in Indramayu District in Year 2000The successful prevention of sexual transmitted disease (STD) does not only depend on quality of services but also depends an human factors in particular health seeking behavior and prevention. One of the most important factors is health seeking behavior, because the most important STD prevention activity is to find patients and to cure them immediately. This is because STD could damage person health and could be fatal and complicated. Beside that, STD facilitate HIV including complication and fatal outcome. In contrary, HIV infection easily contracted to infected STD but difficult to cure.
Several surveys, show that many STD patients do not seek for treatment, and will infect to other person including their spouses. Beside that, untreated STD patients will increase the number of HIV cases. Patients who is seek self treatment will cause resistance STD drugs due to irregular intake. The patients only use antiseptic drugs and traditional medicine of which the efficacy is questionable.
The objective of this research is to analysis related factors to health seeking behavior in STD patients in Indramayu District. This research is based on cross sectional design method of patients with sexual transmitted disease that visited existing prostitution area in Indramayu District during one year.
In the study was found that 384 respondents has suffered from STD during the year 362 respondents (94.3%) did seek treatment and 22 did not (5.7%). 121 respondents (33.4%) preferred self-treatment initially and, 241 respondents (66.6%) went to health facilities.
Factors that significantly influence health seeking behavior (treatment or non treatment) are disease perception variable (OR 14.40; 95%CI 3.77-55.01) and treatment cost (OR 19.81; 95%CI 6.17-62.95). Related factors influencing the choice between and seeking treatment at health facilities are marital status variables (OR 2.27; 95%CI 1.11-4.64), disease perception (OR 6.24; 95%CI 3.30-11.79), and advice by others to take treatment (OR 2.11; 95%CI 1.30-3.41).
In conclusion, it is recommended to increase knowledge to STD patients by giving health education in particular to increase their understanding that antiseptic treatment and traditional medicine is not an appropriate method for STD treatment. Beside that it is necessary to increase knowledge on dangers of STD and intensify efforts to decrease the risk of STD infection (by condom use). These efforts will lower treatment costs."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardjan
"The Relationship between Knowledge, Atitude with the Practice of in Preventing HIV/AIDS Infection among Prostitute Women in Sebangkau Localization and Bengkayang Station, Singkawang, Sambas Regency, West Kalimantan Province in 1996Many efforts have been done by the government of Indonesia to over come the transmission of infections Disease especially venereal disease such as prevention HIV/AIDS in high Risk group with prostitute women as a target.
This research uses cross sectional approach which the goal is to explore many factors that Influence the practical relationship (using condom) in preventing HIVIAIDS transmission in prostitute women groups. The interview and observation result towards 108 samples in Sebangkau Localization and Bengkayang Station Singkawang Sambas District West, Kalimantan Province in 1996. Shows that low education 71,2 %, low knowledge of HIV/AIDS 66,6 %, negative attitude 64,8 %, never get health education 62 %, can not get condom 47,2 %, customer 1 visitor negative attitude 74,1 %, less practice (never use condom 52,8 %).
The result of Bivarian analysis / only three variables have significant correlation, there are the relation between knowledge and attitude odds ratio 3,75 ( 95%, CI p-0,00) ,the relation between the supply of condom with the practice 8,56 (95%, Cl p=0,00), health education with the practice odds ratio 7,29 (95%,CI ps0,U0 ). Multivarian analysts about 6 variables models, indicates that the supply of condom and the visitors / customers atitude have significant correlation with odds ratio 1,77 (95 %, CI p=0,01) and 2,15 (95%, CI p0,01). This result can also more explain 85 % some the variation.
This study proves that the stock of condom and visitors attitude are the main factor that can influence the using of condom among the prostitute woman on Singkawang localization Sambas Regency, West Kalimantan Province.
In the short time, as a suggestion to anticipate and prevent AIDS transmission by emproving the supply of condom directly to the prostitute woman and mucikari (the mother care of prostitute women) and also by supplying condom ti the shop which is dosly at the localization. By this effort the customers can get and use easily.
Health education intervention towards prostitute women and the customers is needed to Improve the knowledge about AIDS disease murder to get positive attitude and good behavior.
In the long term, cooperation between program and sectors must be improved to praise the prostitute women as an Indonesian human resources.
Literature : 83 (1973 - 1996).
ix + 118 pages, 17 tables, 4 chart, 10 appendix.

Berbagai upaya penanggulangan penyakit menular khususnya pemberantasan penyakit kelamin yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, antara lain pencegahan penyakit AIDS dikalangan kelompok resiko tinggi dengan sasaran Wanita Tuna Susila (WTS).
Penelitian dengan pendekatan Cross sectional ini bertujuan untuk menggali berbagai laktor yang mempengaruhi hubungan praktek (penggunaan kondom) dalam mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan WTS. Hasil wawancara dan observasi terhadap 108 responder di lokalisasi Sebangkau dan Stasion Bengkayang Singkawang Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat tahun 1996, menun jukkan pendidikan rendah 71,2 %, pengetahuan HIV/AIDS kurang 66,6 %, Sikap negatip 64,8 %, tidak pernah mendapat penyuluhan 62 %, tidak pernah mendapat kondom 47,2 %, Sikap pelanggan negatip 74,1 %, Praktek kurang (tidak pernah menggunakan kondom 52,8 %).
Hasil analisa bivariat , hanya 3 variabel hubungan bermakna yaitu, hubungan antara pengetahuan dengan sikap, Odds rasio 3,75 (95 % CI p=0,00), hubungan tersedianya kondom dengan praktek Odds rasio 8,56( 95% CI p =0,00), hubungan penyuluhan dengan praktek Odds rasio 7,29(95 % CI p = 0,00). Analisa multivariat diantara 6 variabel yang menjadi model, ternyata tersedianya kondom dan sikap pelanggan menunjukkan keeratan hubungan yang bermakna dengan Odds rasio 1,77 ( 95 % CI p= 0,01) dan 2,15 (95 % CI p=0,O1), ternyata dari hasil ini dapat menerangkan lebih besar 85 % dari variasi yang ada.
Studi ini membuktikan bahwa ketersediaan kondom dan sikap pelanggan (tamu) merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi penggunaan kondom dikalangan para WTS pada lokalisasi Singkawang Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat.
Sebagai saran untuk mengantipasi dan mencegah penularan penyakit AIDS , jangka pendek meningkatkan pengadaan kondom kepada WTS maupun melalui mucikari serta toko disekitar lokasi sehingga memudahkan pelanggan untuk mendapatkannya jika akan digunakan. Intervensi penyuluhan terhadap WTS dan pelanggan sangat diperlukan dalam meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit AIDS sehingga menimbulkan sikap dan perilaku positip.
Jangka panjang perlu ditingkatkan lagi kerja sama lintas program dan lintas sektoral dalam mengentaskan WTS sebagai salah satu sumber daya manusia Indonesia.
Daftar Pustaka : 83 (1973 - 1996).
ix + 118 halaman, 17 tabel, 4 began, 10 lampiran"
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niniek Harsini
"Meningkatnya jumlah kendaraan dan mobilitas manusia, sebagai akibat perkembangan daerah industri dan posisi strategis Kota Cilegon, sebagai jalur lalu Iintas Sumatra-Jawa, membawa resiko untuk terjadinya gangguan kesehatan masyarakat terutama penyakit infeksi menular dan gangguan fungsi saluran pernapasan. Dampak negatifnya telah dirasakan oleh sebagian masyarakat Kota Cilegon dengan keluhan mata pedih dan sesak napas. Pihak Dinas Pengendalian Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi (DPLHPE) Kota Cilegon telah menghimbau kepada masyarakat untuk mewaspadai terhadap limbah fly ash. Dinas Kesehatan Kota Cilegon belum dapat memastikan apakah peningkatan kejadiaan ISPA berkaitan dengan dampak negatif sebagai daerah industri.
Fasilitas kesehatan khusus untuk penyakit paru-paru sebagai tempat rujukan masalah paru, pelatihan, pendidikan dan penelitian telah direncanakan di Kota Cilegon, dengan prioritas pertama untuk mengatasi masalah TB paru.
Tujuan peneiitian ini mengkaji aspek-aspek kelayakan, untuk mengetahui apakah pendirian semacam Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru di Kota Cilegon layak didirikan, sebelum perencanaan ini diusulkan kepada Pemerintah daerah Kota Cilegon.
Penelitian operasional ini dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif untuk mendiskripsikan hasil konsensus dari analisa kelayakan, dengan cara dokumentasi data sekunder dari berbagai sumber, wawancara mendalam terhadap ll orang informan, wawancara kuesioner terhadap 80 orang penderita TB paru dewasa yang berobat di Puskesmas serta Consensus Decision Making Group untuk mendapatkan keputusan kelayakan. Upaya pemberantasan TB paru dianalisis dengan Strength-Weakness-Opportunities-Threats (SWOT) untuk mengetahui posisi dalam Internal Eksternal matrik guna mendukung kajian aspek kelayakan.
Hasil penelitian menunjukkan dari tahun 2001-2003, jumlah penduduk terutama golongan usia produktif, kepadatan penduduk, penderita penyakit saluran pernapasan dan jumlah kendaraan mengalami peningkatan. Prediksi kualitas udara menurut informan akan mengalami penurunan dan 97% pasien TB paru dewasa menyatakan bersedia dirujuk ke klinik yang lebih Iengkap seperti BP4 apabila pengobatan di Puskesmas tidak mengalami kemajuan. Aspek pasar menunjukkan pendirian klinik paru pemerintah semacam BP4 mempunyai peluang pengguna.
Tinjauan tentang aspek hukum dan kebijakan menunjukkan BP4 didukung SK MenKes Rl dan Pemda Cilegon. Manfaat BP4 yang besar bagi masyarakat menunjukkan aspek sosial ekonomi. Kajian aspek tehnis menghasilkan Iokasi BP4 yaitu Desa Kalitimbang Kecamatan Cibeber dan dari kajian ekonomi diperkirakan kebutuhan lahan sesuai nilai juai obyek pajak sebesar Rp 25.000.000,- sedang bangunan sebesar Rp 2.184.000.000,-. Kajian manajemen menghasilkan rancangan bentuk organisasi, kedudukan dan struktur beserta rencana kegiatan BP4. Upaya pemberantasan TB paru menunjukkan posisi Hold and Maintain dengan strategi market penetration dan product development.
Hasil CDMG memutuskan bahwa BP4 di Kota Cilegon layak didirikan, dengan dilakukan strategi perbaikan faktor internal, baik input maupun proses yaitu peningkatan jumlah dan kinerja SDM Serta perencanaan program. Mengingat adanya kekuatan hukum dan besarnya peluang pasar dari BP4 maka disarankan diusulkan ke Pemda Kota Cilegon, dengan terlebih dahulu melakukan penelitian analisa biaya operasional dan dengan pertimbangan segi psikologi pasien maka nama BP4 diusulkan menjadi UPTD Pusat Unggulan Kesehatan Paru Kota Cilegon."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Gunawan
"Permasalahan penyebaran HIV/AIDS semakin memprihatinkan dan dapat menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Upaya penanggulangannya melalui Kebijakan penanggulangan HIV/AIDS sering mendapatkan penolakan dari masyarakat luas mengingat karaktreristik cara penularannya. Fokus Evaluasi Proses Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia adalah faktor pihak atau aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, faktor interaksi diantara pihak atau aktor tersebut, dan sumber atau dukungan dana penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Untuk menjelaskan faktor-faktor tersebut dalam rangka pemahaman mengenai pembuatan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, digunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan langkah-langkah penelitian kuantitatif. Faktor Pihak atau aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS dilihat dari keterlibatan dalam upaya penanggulangan dan khususnya keterlibatan dalam pembuatan kebijakan. Masih banyak pihak atau aktor penting yang tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan tersebut sehingga kebijakan yang dibuat tidak mengakomodasi kepentingan yang seluas mungkin mewakili kelompok-kelompok yang terlibat. Interaksi diantara pihak atau aktor berjalan dengan baik bahkan karena adanya kedekatan hubungan diantara para pihak atau aktor tersebut sering kali pertemuan atau rapat diadakan secara informal. Secara teknis dalam pertemuan atau rapat pembuatan kebijakan publik, Komisi Penanggulangan AIDS, Departemen Kesehatan dan UNAIDS, lebih mendominasi jalannya berbagai pertemuan dan rapat. Dan dilihat dari nilai-nilai kepentingan yang diakomodasi dalam kebijakan penanggulangan HIV/AIDS, nilai-nilai kesehatan masyarakat dirasakan dominan.Besarnya keterlibatan dan pengaruh akademisi serta praktisi dalam pembuatan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS dan lemahnya keterlibatan masyarakat secara luas menjadikan model pembuatan kebijakannya adalah model rasional komprehensif, karena selain dibuat para ahli dengan sedikit kepentingan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia merupakan kebijakan terobosan. Faktor sumber atau dukungan dana memperlihatkan bahwa dana penanggulangan didominasi bantuan luar negeri yang penggunaannya secara prosedural harus melalui bimbingan teknis lembaga internasional. Dominasi pembiayaan yang berasal dari luar negeri tidak baik bagi upaya penanggulangan dari segi kontinuitas dan a\terakomodasinya kepentingan-kepentingan dalam negeri. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) harus membuka akses seluas mungkin dalam perlibatan pembuatan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Selain itu KPA juga harus meningkatkan kapasitasnya agar mampu menjaring dana dalam negeri. Pada akhirnya komitmen pemimpin merupakan hal penting untuk mengawali kondisi yang baik dalam proses pembuatan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

The HIV and AIDS epidemic spread out rapidly and threatening the development in Indonesia. The alleviation program through HIV and AIDS policy oftenly gets denial from the people, it is happen because of the HIV transmission of this disease.
Focus of the HIV and AIDS Policy Making Process in Indonesia are actors or stakeholders factors involved in the policy making process in Indonesia, interaction factor of the stakeholders, and financial support for the program. The Descriptive Research with qualitative approach and quantitative research is chosen to explain the policy making process factors. Actors or stakeholders factor involved in the policy making process can be assessed by the involvement in the prevention program and policy making. Many parties or actors were not involved in the policy making process, therefore the policy could not accommodate all people interests. Interaction of parties or actors run very smooth because they are having close relations and oftenly share ideas on the formal and informal meetings. National AIDS Commission, Ministry of Health and UNAIDS technically dominating the meetings among stakeholders. When we overview the values accommodated on the HIV and AIDS policy, the most accommodated value is health value. The dominate of experts in the HIV and AIDS policy turn the policy into rational comprehensive model, because it is made by expert who has low interest in the HIV and AIDS policy and it is also called cross cut policy. Resource factor or financial support shows that fund for HIV and AIDS is dominated by international funding, where the management should follow the international agencies regulations. International fund domination make uncontinuity program and low local value interest. The National AIDS Commission (NAC) should be scaling up access in policy making process. Besides that, NAC should be able to increase capacity in international resource mobilization. In the end, leadership commitment is an important thing to start good climate in HIV and AIDS policy making process."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Bayu Handayani
"ABSTRAK Skrining maupun diagnostik mamografi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan dalam mendeteksi kanker payudara sehingga dapat menurunkan angka mortalitas kanker payudara. Kekurangan mamografi adalah pada payudara dengan densitas tinggi yang banyak ditemui pada perempuan Indonesia. Pemeriksaan kombinasi mamografi dan USG dapat meningkatkan hasil sensitivitas dan spesifisitas deteksi lesi, namun tidak efisien dan efektif dalam segi pembiayaan dan waktu. Mengetahui hasil mamografi berdasarkan densitas payudara dan rasio volume lesi dan volume payudara berguna dalam optimalisasi penggunaan ultrasonografi dalam mendeteksi lesi.

Tujuan : Mengetahui penggunaan modalitas mamografi dan ultrasonografi dalam upaya mendeteksi lesi dan pengukuran rasio volume lesi pada pemeriksaan diagnostik payudara untuk efisiensi waktu dan biaya.

Metode : Menggunakan dua jenis disain penelitian yang saling terkait. Penilaian tingkat kesesuaian hasil temuan lesi berdasarkan pemeriksaan mamografi dengan ultrasonografi, dan mamografi saja dengan kombinasi mamogafi dan ultrasonografi dilakukan disain studi asosiasi. Untuk pengukuran rerata rasio volume lesi dan volume payudara menurut tingkat densitas payudara dilakukan dengan disain survei deskriptif. Kesimpulan : Deteksi lesi menggunakan mamografi pada payudara densitas a dan b dikombinasikan dengan ultrasonografi hanya dilakukan hanya bila perlu saja, namun pada payudara densitas c dan d dilakukan kombinasi dengan ultrasonografi. Volume lesi dan volume payudara dapat dicantumkan sebagai salah satu pertimbangan informasi tata laksana.


ABSTRACT
Mammography is recommended tool for breast cancer screening and diagnostic to decrease mortality. Lack of mammography in detecting lesions related with high breast density, which founded in Indonesian women. The use of diagnostic ultrasonography combined with mammography able to improve the specificity and sensitivity on lesions detection, but it has an issue with cost and time effective. Knowing the result of mammography based on breast density and the ratio of volume lesions and breast volume is useful in optimizing the use of ultrasonography in lesions detection. Purpose : To determine the ability of mammography and ultrasonography on lesion detection and assess the volume lesion ratio and breast volume with the purpose of cost and time efficient. Method : Using two related research design. Assessment of breast lesion findings based on mammography and ultrasonography and the combination findings were carried out with association study design, and the assessment of lesion volume ratio and breast volume was carried out with descriptive study design. Conclusion : The use of ultrasonography combined with mammography for lesions detection is carried out for breast density c and d. The implementation for this combination method for breast density a and b is only for necessary purpose. Lesions volume and breast volume can be included in the report as a consideration for therapy."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deryana Marshadhianti
"ABSTRAK Pendahuluan: Meningkatnya jumlah pasien dewasa dengan restorasi sewarna gigi, seperti resin komposit, menyebabkan perekatan braket pada permukaan artifisial gigi menjadi suatu tantangan tersendiri karena sering terjadi kegagalan rekat. Saat ini, belum ada riset yang dilakukan untuk melihat perbedaan nilai kekuatan rekat braket (baik nilai kuat geser maupun nilai kuat tarik braket) antara pada permukaan email gigi dan resin komposit nanohibrid. Metode: 32 gigi premolar bawah dibagi menjadi 4 kelompok: kelompok A1) spesimen email gigi (uji kuat rekat geser); kelompok A2) spesimen resin komposit nanohibrid (uji kuat rekat geser); kelompok B1) spesimen email gigi (uji kuat rekat tarik); kelompok B2) spesimen resin komposit nanohibrid (uji kuat rekat tarik). Braket direkatkan pada spesimen lalu diuji dengan menggunakan Universal Testing Machine Shimazu AG-5000 dalam waktu 24 jam setelah braket direkatkan. Hasil: Rerata nilai kuat rekat geser pada kelompok A1 sebesar 10.78 ± 0.13 MPa dan pada kelompok A2 sebesar 10.63 ± 0.18 MPa. Rerata nilai kuat rekat tarik pada kelompok B1 sebesar 10.74 ± 0.15 MPa dan pada kelompok B2 sebesar 10.65 ± 0.14 MPa. Pada uji statistik tidak terdapat perbedaan bermakna secara pada nilai kuat rekat geser maupun nilai kuat rekat tarik braket metal antara pada permukaan email gigi dan resin komposit nanohibrid. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada nilai kuat rekat geser maupun nilai kuat rekat tarik braket metal antara pada permukaan email gigi dan resin komposit nanohibrid. Seluruh kelompok memiliki nilai rerata kuat rekat geser dan nilai rerata kuat rekat tarik yang memadai untuk keperluan klinis perawatan ortodontik.

ABSTRACT
Introduction: The increasing number of adult patients with tooth-colored restorations, such as composite resins, causes the attachment of brackets on artificial surfaces of teeth to be a challenge because of frequent adhesive failures. At present, no research has been carried out to see the difference in bracket adhesive strength values (both shear bond strength and tensile bond strength) between the enamel surface and nanohybrid composite resins surface. Methods: 32 lower premolar were divided into 4 groups: group A1) dental enamel specimens for shear bond strength test; group A2) nanohybrid composite resins specimens for shear bond strength test; group B1) dental enamel specimens for tensile bond strength test; group B2) nanohybrid composite resins specimens for tensile bond strength test. The bracket was bonded to the specimens and tested using Universal Testing Machine Shimazu AG-5000 within 24 hours after the bracket was bonded to the specimens. Results: The mean value of shear bond strength in group A1 was 10.78 ± 0.13 MPa and in group A2 was 10.63 ± 0.18 MPa. The mean value of tensile bond strength in group B1 was 10.74 ± 0.15 MPa and in group B2 was 10.65 ± 0.14 MPa. In the statistical test there was no significant difference in the shear bond strength value or the tensile bond strength value between the metal bracket bonded to the enamel surfaces and to the nanohybrid composite resin surfaces. Conclusion: There was no significant difference in the shear bond strength and the tensile bonding strength value of the metal bracket bonded to the enamel surface and the nanohybrid composite resin surfaces. All groups have an adequate bond strength value for the clinical needs of orthodontic treatment."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Eka Putri
"Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemis di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk juga di wilayah tropis lainnya. Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi DBD berat. Status gizi erat hubungannya dengan status imunologi seseorang yang berkaitan dengan imunopatogenesis dari DBD. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan stunting dengan kejadian DBD pada balita di Kabupaten Sumbawa. Desain studi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi analitik dengan rancangan kasus control. Sampel kasus akan di ambil dari keseluruhan kasus, dan untuk sampel kontrol akan diambil dengan menggunakan tekhnik sampel acak (Simple Random Sampling). Sehingga dapat disimpulkan jumlah kasus 97 (total kasus) keluarga yang memiliki balita dengan diagnosa DBD selama tahun 2018 sampai Maret 2020 (dari 5 wilayah kerja puskesmas dengan jumlah DBD pada balita terbanyak) sedangkan kontrol 194 keluarga yang memiliki balita yang merupakan tetangga kasus. Dari hasil bivariat dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian DBD pada balita di Kabupaten Sumbawa (p value = 0.0001) dengan OR = 3.269 (95% CI: 1.757-6.083). Pada analisis multivariate menunjukkan hal yang sama (p value = 0.0001) dengan OR = 3.22 (95% CI: 1.679-6.174). Hal ini menunjukkan bahwa balita dengan status gizi pendek dan sangat pendek meningkatkan risiko 3.22 kali terkena DBD.

Dengue Hemorrhagic Fever is an endemic disease in most parts of Indonesia, including in other tropical regions. Not all infected with dengue virus will show severe DHF manifestations. Nutritional status is closely related to a person's immunological status related to immunopathogenesis of DHF. The purpose of this study was to determine the relationship of stunting with the incidence of DHF in toddlers in Sumbawa Regency. The study design that will be used in this study is an analytic study with a case control design. Case samples will be taken from all cases, and for control samples will be taken by using a random sample technique (Simple Random Sampling). So it can be concluded the number of cases 97 (total cases) of families who have toddlers with DHF diagnoses from 2018 to March 2020 (from 5 working areas of puskesmas with the highest number of DHFs in toddlers) while control of 194 families who have toddlers who are neighboring cases. From the bivariate results it can be concluded that there is a significant relationship between nutritional status and the incidence of DHF in children under five in Sumbawa Regency (p value = 0.0001) with OR = 3,269 (95% CI: 1,757-6,083). In multivariate analysis showed the same thing (p value = 0.0001) with OR = 3.22 (95% CI: 1,679-6,174). This shows that toddlers with short and very short nutritional status increase the risk of 3.22 times getting DHF."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nelmi Silvia, auhtor
"Latar Belakang : Industri pemotongan batu memiliki potensi bahaya berupa debu batu yang dihasilkan dari proses pemotongan batu. Debu batu berpotensi besar masuk dan mengendap di saluran napas pekerja yang terpajan debu batu tersebut. Dalam penelitian ini ingin diketahui hubungan pajanan debu batu dan faktor lainnya dengan gangguan fungsi paru.
Metode Penelitian : Desain penelitian cross sectional dengan analisis regresi logistik. Subjek penelitian diambil secara cluster sampling. Tingkat pajanan debu batu ditentukan dengan metode semikuantitatif dan faktor-faktor lainnya dengan kuesioner. Pemeriksaan fungsi paru dilakukan dengan menggunakan alat spirometer.
Hasil : Subjek penelitian adalah 70 pekerja laki-laki industri pemotongan batu informal dengan masa kerja lebih dari 5 tahun. Sebanyak 21,4% subjek mengalami gangguan fungsi paru, dengan gangguan fungsi paru restriksi sebanyak 14,3% dan gangguan fungsi paru obstruksi sebanyak 7,1%. Faktor risiko yang berhubungan bermakna dengan gangguan fungsi paru adalah tingkat pajanan debu batu. Faktor umur, pendidikan, status gizi, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, masa kerja, kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (APD) dan penyediaan APD tidak memperlihatkan hubungan bermakna dengan gangguan fungsi paru. Subjek dengan tingkat pajanan debu batu tinggi mempunyai risiko 5,889 kali mengalami gangguan fungsi paru dibandingkan subjek dengan tingkat pajanan debu batu rendah [ odds rasio suaian (ORa) = 5,889; interval kepercayaan (CI) 95% = 1,436-24,153)].
Kesimpulan : Didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pajanan debu batu dengan gangguan fungsi paru. Perlu dilakukan pengendalian terhadap pajanan debu batu untuk mencegah risiko gangguan fungsi paru pada pekerja industri pemotongan batu.
......Background : Stone cutting industry have a potential hazard in stone dust resulted from stone cutting process. Stone dust has a significant potential to enter and settle inside exposed worker’s respiratory tract. This study aims to identify the relationship between stone dust exposure and other factors with lung function disorder.
Method : This study was a cross-sectional study with logistic regression analysis. Study’s subjects were taken with cluster sampling method. Level of stone dust exposure was determined by semi-quantitative method and the other factors were identified by a questionnaire. Lung function was tested with a spirometer.
Results : Study’s subject was 70 male informal stone cutting industry workers with more than 5 years of service. In this study, it was found that lung function disorders was 21.4%, which restrictive lung function disorder was 14.3% and the obstructive lung function disorder was 7.1%. Risk factor significantly related to lung function disorder was stone dust level of exposure. Age, education, nutritional status, exercise habit, smoking habit, length of employment, habit of using personal protective equipment (PPE) and provision of PPE showed no significant relationship with lung function disorder. Subjects with high level of stone dust exposure had 5.889 times the risk of lung function disorder compared to subjects with low level of stone dust exposure [adjusted odds ratio(ORa) = 5.889; 95% confidence interval (CI) = 1.436 - 24.153)].
Conclusion : The level of stone dust exposure significantly related to lung function disorder. Control measures are needed for stone dust exposure to prevent the risk of lung function disorder in stone cutting industry workers."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnestifa Dinar
"Perkembangan teknologi membuat perubahan aktifitas pekerja kantor beralih menggunakan Visual Display Unit (VDU) dan berpotensi Muscoloskeletal Disorders (MSDs). MSDs dapat menimbulkan penurunan produktifitas dan kerugian ekonomi. Aktifitas pekerja di PT. X menggunakan VDU selama 8 jam setiap hari. Tidak banyak penelitian yang dilakukan PT X terkait dengan MSDs di perkantoran selama ini. Oleh karena itu tujuan dari tesis ini adalah mengkaji faktor-faktor risiko yang menyebabkan keluhan gejala MSDs antara lain faktor individu, lingkungan, peralatan, organisasi kerja dan psikososial pada pekerja perkantoran. Metode penelitian ini adalah cross-sectional dengan metode proportionale stratifiled random sampling pada 95 orang.
Hasil penelitian ini adalah sebagian besar responden mempunyai keluhan MSDs sebanyak 83,16% dengan rincian keluhan kronis sebanyak 70,52%, keluhan akut sebanyak 1,37%, keluhan keduanya sebanyak 6,71%. Sedangkan 16.84% responden yang tidak mempunyai keluhan MSDs. Faktor yang berhubungan dengan keluhan MSDs adalah BMI (p<0.05), masa kerja (p<0.05), persepsi job stress (p<0.01) dan postur kerja (p<0.05). Postur kerja berhubungan dengan panjang alas duduk (p<0.01) dan tinggi kursi (p<0.05) persepsi job stress berhubungan dengan rincian tugas (p<0.05), durasi kerja (p<0.05), durasi istirahat (p<0.01), tuntutan kerja (p<0.05), dan job control (p<0.01). Faktor dominan dari risiko ergonomi terhadap keluhan keluhan gejala MSDs adalah durasi istirahat (p=0.002), postur tubuh (p=0.017), dan persepsi job stress (p=0.005). Hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa durasi istirahat, postur tubuh dan job stress berhubungan dengan keluhan MSDs pekerja perkantoran.
......The developments of technology, the office worker change their activity by using Visual Display Unit (VDU) and it potentially causes Muscoloskeletal Disorders (MSDs). MSDs can decrease the productivity and cause economic losses. Employee activities at PT. X use VDU for 8 hours every day. So far, not much research which is related with MSDs in the office conducted by PT X. This thesis aimed to review the risk factors that asosiate with MSDs symptoms include individual, environment, equipment, work organization and psychosocial factor on office workers. The method of this research is cross-sectional with proportionale stratifiled random sampling method in 95 office workers.
The result of this research is most of respondents have MSDs complaint as much as 83,16% with details chronic complaint is 70,52%, acute complaint is 1,37%, both complaint is 6,71%. While 16,84% of respondents did not have MSDs complaints. Related factors to MSDs complaints were BMI (p <0.05), length of service (p <0.05), job stress perception (p <0.01) and work posture (p <0.05). Work posture relates to seat length (p <0.05) and height of chair (p <0.01) job stress perception related to job description (p <0.05), duration of work (p <0.05), duration of rest (p <0.01), work demands (p <0.05), and job control (p <0.01). The dominant factors of ergonomic risk to complaints of symptoms of MSDs were duration of rest (p = 0.002), work posture (p = 0.017), and job stress perception (p = 0.005). The results are confirmed that the duration of rest, posture and job stress associated with MSDs complaints office workers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T47975
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>