Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indira Rasya Rasyidah
"Sejak dahulu kala, kandidat dan partai politik sudah “dipasarkan” kepada pemilik suara layaknya sebuah produk. Muncul suatu istilah dari adanya fenomena pemasaran berdasarkan kepribadian dalam konteks politik ini, yaitu “brandidates” yang mana gabungan dari kata “brand” dan kata “candidates” yang secara harfiah adalah merk dan kandidat. Dalam kontestasi pemilihan presiden Indonesia 2024, strategi brandidates ini digunakan dengan “menjual” kepribadian dan citra dari masing-masing pasangan menyesuaikan dengan target pemilihnya. Penelitian ini membahas mengenai hubungan antara endorsers yang menyebarkan citra diri dan kepribadian dari masing-masing brandidates dengan preferensi pemilih dan brandidates equity secara keseluruhan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian causal cross-sectional dengan kriteria merupakan pemilih dalam Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2024 dan mengetahui endorsers dan konten kampanye kandidat presiden. Didapatkan 244 sampel untuk pemilih Anies Baswedan, 112 sampel untuk pemilih Prabowo Subianto, dan 145 sampel untuk pemilih Ganjar Pranowo. Data yang didapat diolah menggunakan SmartPLS 4 dengan menggunakan multigroup analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Brandidates Endorsers memengaruhi Brandidates Personalities, Brandidates Personalities memengaruhi Brandidates Preference dan Brandidates Equity, serta Brandidates personalities memediasi hubungan antara brandidates endorsers dan brandidates preference, lalu terakhir Brandidates personalities memediasi hubungan antara brandidates endorsers dan brandidates equity. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh marketers/tim kampanye dalam pembentukan strategi pemasaran politik untuk kandidat yang akan mencalonkan diri.

Since a long time agol, candidates and political parties have been “marketed” to voters like a product. A term emerged from the phenomenon of personality-based marketing in this political context, namely “brandidates” which is a combination of the word “brand” and the word “candidates” which literally means brand and candidate. In the contestation of the 2024 Indonesian presidential election, this brandidates strategy is used by “selling” the personality and image of each pair according to the target voters. This study discusses the relationship between endorsers who spread the self-image and personality of each brandidates with voter preferences and overall brandidates equity. This study uses a cross- sectional causal research design with the criteria of being a voter in the 2024 Indonesian Presidential General Election and knowing the endorsers and campaign content of the presidential candidates. 244 samples were obtained for Anies Baswedan voters, 112 samples for Prabowo Subianto voters, and 145 samples for Ganjar Pranowo voters. The data obtained is processed using SmartPLS 4 using multigroup analysis. The results showed that Brandidates Endorsers influence Brandidates Personalities, Brandidates Personalities influence Brandidates Preference and Brandidates Equity, and Brandidates personalities mediate the relationship between brandidates endorsers and brandidates preference, then finally Brandidates personalities mediate the relationship between brandidates endorsers and brandidates equity. The results of this study can be used by marketers/campaign teams in the formation of political marketing strategies for candidates who will run for elections."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayhan Naufaldi Hidayat
"Tulisan ini menganalisa bagaimana pemenuhan hak memilih/ right to vote bagi difabel netra dalam akses pemilu di Indonesia. Pokok analisa tertuju pada bagaimana perkembangan konsep dan aturan hak memilih difabel netra serta bagaimana evaluasi dan cetak biru proyeksi hak memilih difabel netra di Indonesia. Tulisan ini dalam menganalisa menggunakan metode penelitian hukum doktrinal dengan studi kasus hanya terfokus pada pemilu tahun 2019 dan 2024. Indonesia tengah memasuki babak baru pengakuan hak bagi difabel netra setelah turut serta bergabung menjadi negara pihak yang tunduk pada Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Ratifikasi dilakukan melalui pengesahan UU 19/2011 yang dilanjutkan dengan UU 8/2016. Penanda baru telah tercipta sejatinya paradigma harus diletakkan atas dasar hak yang mengacu pada esensi dari keberagaman manusia. Martabat menuntut kesetaraan akan peluang partisipasi politik dalam penikmatan yang sama. Difabel netra berhak atas penikmatan hak memilih pada pemilu melalui jaminan kesempatan dan akses yang disesuaikan. Akan tetapi, hambatan masih saja terus berulang, seperti ditolak memilih, sulit mengakses informasi dan pemungutan suara tanpa otonomi serta privasi. Oleh karenanya, pembenahan harus menjadi proyeksi holistik sedari koherensi antar norma pemilu, pendataan yang menyeluruh hingga pengembangan pemungutan suara yang berbasis asistensi, sistem braille bahkan pemanfaatan teknologi baru.

This paper analyzes how the visually diffabled are able to access the right to vote in Indonesian elections. The point of the analysis focuses on how the development of the concept and rules of the right to vote for the visually diffabled have evolved, as well as the evaluation and blueprint for the implementation of the right to vote in Indonesia. This paper analyzes using the doctrinal legal research method, with a case study focused solely on the 2019 and 2024 elections. Indonesia has entered a new era of rights recognition for individuals with visual different ability by becoming a state party to the Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Ratification was carried out through the Law 19 of 2011, followed by Law 8 of 2016. A new marker has been created to indicate that the paradigm must be based on rights that refer to the essence of human diversity. Dignity necessitates equal rights to political participation and equal enjoyment. Individuals with visual different ability have the right to vote in elections by ensuring personalized opportunities and access. However, impediments persist, such as being refused the right to vote, difficulty getting information, and voting without autonomy and privacy. Thus, improvement must be a holistic projection, ranging from electoral norm coherence to extensive data gathering to the development of assistance-based voting, braille systems, and even the employment of new technology."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library