Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Linda Mutiara Larassati
"Remaja yang tinggal di panti asuhan di Indonesia berisiko tinggi mengalami berbagai masalah psikologis seperti, rendahnya psychological well-being, masalah perilaku dan emosional, serta beberapa masalah perkembangan. Kesulitan ekonomi membuat single mother menjadi kurang dalam memberikan kehangatan dan perhatian kepada anak, dan terpaksa menitipkan anaknya di panti asuhan. Padahal, kehangatan (penerimaan) ibu berdampak pada perkembangan sosial-emosional yang sehat. Sebaliknya, penolakan ibu merupakan prediktor utama meningkatnya risiko psychological distress pada anak. Penolakan ibu berdampak lebih besar dibandingkan penolakan ayah. Meskipun demikian, penerimaan ayah dapat meringankan dampak negatif dari penolakan ibu. Akan tetapi, anak yatim yang telah kehilangan figur ayah dan merasa ditolak oleh ibu mereka, akan cenderung memiliki risiko psychological distress yang lebih tinggi. Penelitian ini ingin melihat bagaimana persepsi remaja yatim di panti asuhan akan kehangatan (penerimaan-penolakan) ibu berdampak pada psychological distress. Jenis kelamin, usia, dan waktu tinggal akan dikontrol pada penelitian ini karena juga berkontribusi dalam meningkatkan risiko psychological distress. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan partisipan remaja yatim (usia 12-18 tahun di panti asuhan N, Depok), yang berjumlah 70 anak. Instrumen PARQ dan YOQ-SR digunakan untuk mengambil data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin remaja yatim merasa memperoleh penerimaan ibu, maka risiko psychological distress akan semakin rendah. Begitu pun sebaliknya, semakin remaja yatim merasa memperoleh penolakan ibu, maka semakin tinggi pula risiko remaja mengalami psychological distress. Diduga ada kemungkinan faktor-faktor di dalam panti asuhan ikut berkontribusi dalam meningkatkan risiko psychological distress pada remaja yatim di panti asuhan N.

Adolescents in the orphanages in Indonesia are at higher risk of various psychological problems. Due to economic difficulty, many single mothers were forced to leave their children in the orphanage. However, many of these orphanage children feel abandoned and rejected by their mothers. Single mothers with economic difficulties tend to be less warm and attentive. Many studies indicated that maternal’s warmth and acceptance very important factors that influence healthy social-emotional development in adolescents. On the contrary, maternal’s rejection is one of the main factors that cause psychological distress in adolescents. The risk of experiencing psychological distress is even higher in orphaned adolescents who lost their father. This study will to investigate how perception of maternal acceptance and rejection have an impact on psychological distress among orphaned adolescents in the orphanage. Gender, age, and residence time will be controlled in this study, because these factors contribute to the risk of psychological distress. This study is a quantitative study. There were 70 orphaned adolescents between the aged of 12-18, from N orphanage (Depok), participated in this study. PARQ and YOQ-SR measurements were used to collect the data. The results showed the more orphaned adolescents felt acceptance by their mother, the risk of psychological distress become lower, and vice versa. It indicated there might be other factors in the orphanage that contribute to the increase of risks of developing psychological distress in orphaned adolescents in N orphanage."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T52537
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ceisha Kartika Novianti
"Anak usia prasekolah rentan mengalami permasalahan regulasi emosi yang berdampak pada aspek psiko-sosial dan akademik, baik pada saat ini maupun usia mendatang. Regulasi emosi anak terbukti berhubungan dengan regulasi emosi ibu dan sosialisasi emosi juga terbukti mampu berperan sebagai mediator dalam hubungan ini. Penelitian ini ingin mengetahui peran sosialisasi emosi sebagai mediator dalam hubungan antara regulasi emosi ibu dan anak usia prasekolah. Penelitian kuantitatif dengan desain korelasional ini melibatkan 205 ibu dari anak usia prasekolah (3-6 tahun) sebagai partisipan.
Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa tidak terdapat direct effect yang signifikan antara regulasi emosi ibu dan anak usia prasekolah dan tidak terdapat indirect effect yang signifikan melalui sosialisasi emosi secara supportive, tetapi terdapat indirect effect yang ditemukan signifikan melalui sosialisasi emosi secara unsupportive dalam memediasi hubungan antara regulasi emosi ibu dan anak usia prasekolah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ibu tidak dapat berhubungan secara langsung dengan regulasi emosi anak usia prasekolah, tetapi harus melewati sosialisasi emosi secara unsupportive terlebih dahulu untuk berhubungan dengan regulasi emosi anak usia prasekolah.

Preschool-aged children are vulnerable to emotional regulation problems that have an impact on psycho-social and academic aspects, both now and in the future. Children's emotional regulation has been shown to be related to maternal emotion regulation and emotional socialization has also been shown to be able to act as a mediator in this relationship. The current study examined the role of emotion socialization as a mediator of the relations between maternal emotional regulation and emotion regulation of preschool-aged children. This quantitative study with a correlational design involved 205 mothers of preschool children (3-6 years old) as participants.
Results of the mediation analysis revealed that there was no significant direct effect between the maternal emotion regulation and preschool-aged children was not significant, and there was no significant indirect effect through supportive emotional socialization, whereas there was significant indirect effect through unsupportive emotional socialization in mediating the relationship between maternal emotion regulation and preschool-aged children. Therefore, it can be concluded that maternal emotional regulation cannot be directly related to emotional regulation of preschool-aged children, but must pass through unsupportive emotional socialization first to correlate with emotional regulation of preschool-aged children.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Audrey
"Adiksi gim merupakan suatu masalah yang dicirikan dengan kontrol buruk terhadap gim, memprioritaskannya di atas kepentingan sehari-hari dan minat lain, serta tetap dilanjutkan meski telah muncul dampak negatif. Saat ini, adiksi gim telah berkembang menjadi masalah yang cukup mengkhawatirkan terutama pada kalangan remaja. Berbagai penelitian telah menunjukkan dampak negatif adiksi gim terhadap kesehatan mental seseorang. Namun, hal ini belum pernah diteliti pada kalangan remaja di Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara adiksi gim dengan masalah emosi dan perilaku pada pelajar SMA di Jakarta. Penelitian potong-lintang ini melibatkan subjek berusia 14-17 tahun dari siswa kelas X-XII pada salah satu SMA swasta di Jakarta yang dilakukan pada bulan Maret 2020. Adiksi gim dinilai dengan kuesioner Game Addiction Scale-21 (GAS-21) dan masalah emosi dan perilaku dinilai dengan Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) yang keduanya sudah divalidasi dalam bahasa Indonesia. Analisis hubungan antara adiksi gim dan masalah emosi dan perilaku dilakukan dengan uji Chi-square dan Fischer, sementara uji korelasi antara durasi bermain gim dengan masalah emosi dan perilaku dilakukan dengan uji Spearman. Seluruh analisis data dilakukan dengan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Mac versi 23. Sebanyak 53 subjek terlibat dalam penelitian ini. Proporsi kecenderungan adiksi gim pada pelajar SMA ditemukan sebesar 28,3%. Sementara itu, proporsi subjek berisiko masalah emosi dan perilaku adalah sebesar 43,4%, dengan proporsi risiko gejala emosional sebesar 62,3%, masalah perilaku sebesar 26,4%, hiperaktivitas sebesar 39,6%, masalah peer sebesar 49,1%, dan masalah perilaku prososial sebesar 30,2%. Terdapat hubungan yang signifikan antara adiksi gim dengan masalah emosi dan perilaku secara keseluruhan (OR=5,96 [1,57-22,60], p=0,006), secara spesifik pada domain masalah perilaku (OR=3,88 [1,05-14,28], p=0,046), dan hiperaktivitas (OR=4,91 [1,36-17,69], p=0,011). Selain itu, ditemukan pula korelasi positif lemah yang signifikan antara durasi bermain gim dengan masalah perilaku (r=0,374, p=0,006). Adiksi gim berhubungan secara signifikan dengan masalah emosi dan perilaku pada pelajar SMA di Jakarta. Dengan demikian, masyarakat terutama remaja perlu dianjurkan untuk tidak bermain gim secara berlebih guna mencegah adiksi gim mengingat dampaknya terhadap masalah emosi dan perilaku. Penelitian lebih lanjut yang meneliti faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko timbulnya masalah emosi perilaku pada remaja juga masih dibutuhkan.

Game addiction is characterized by impaired control over gaming, increased priority of gaming over daily activities and other interests, as well as its continuation despite the occurrence of negative consequences. Currently, game addiction has increasingly become an alarming issue especially among adolescents. Various studies have documented the negative effects of game addiction in mental health. However, such association has not been investigated among adolescents in Jakarta. Therefore, the aim of this study is to investigate the association between game addiction and emotional and behavioral problems among high school students in Jakarta. This cross-sectional study involves subjects aged 14-17 years old from grade 10-12 students in a private high school in Jakarta, conducted in March 2020. Game addiction was evaluated with Game Addiction Scale-21 (GAS-21), while emotional and behavioral problems were assessed with Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ), in which both questionnaires have been validated in Indonesian language. Analysis of association between game addiction and emotional and behavioral problems was performed with Chi-square and Fischer’s exact test. Meanwhile, correlation between gaming time and emotional and behavioral problems scores was analysed with Spearman test. All analyses were performed with Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Mac version 23. Fifty-three subjects were involved in this study. The proportion of game addiction tendency among the high school students was 28,3%. Meanwhile, the proportion of subjects at risk of emotional and behavioral problems was 43,4%. Within each domain, the proportion of risk of emotional problems was 62,3%, conduct problems 26,4%, hyperactivity 39,6%, peer problems 49,1%, and prosocial behavior problems 30,2%. A significant association was found between game addiction and emotional and behavioral problems in general (OR=5,96 [1,57-22,60], p=0,006), specifically in the domains of conduct problems (OR=3,88 [1,05-14,28], p=0,046), dan hyperactivity (OR=4,91 [1,36-17,69], p=0,011). Moreover, there was also a significant weak positive correlation between gaming duration and conduct problems (r=0,374, p=0,006). Game addiction was significantly associated with emotional and behavioral problems among high school students in Jakarta. Therefore, playing games excessively should be avoided in order to prevent game addiction considering its impacts on emotional and behavioral problems especially in adolescents. Further research such as studies investigating other factors which could increase the possibility of developing emotional and behavioral problems among adolescents are also still required."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahel Priskila Nauli
"Anak usia sekolah merupakan kelompok usia yang cenderung memiliki ketahanan emosional yang rentan atau labil. Ketahanan emosional yang negatif akan mempengaruhi kesehatan emosionalnya. Maka dari itu, kelompok anak usia sekolah beresiko mengalami penurunan kesehatan emosional. Aktivitas spiritual merupakan salah satu mekanisme koping bagi individu yang mengalami stres karena ketahanan emosionalnya yang negatif. Penelitian ini merupakan studi korelasi yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan antara tingkat spiritualitas dengan ketahanan emosional pada anak usia sekolah di SDN Kayuringin Jaya VI dan SDN Kayuringin Jaya VII, Bekasi Selatan. Responden sebanyak 106 orang yang diambil dari proportionate stratified. Hasil analisis menggunakan uji chi-square menghasilkan data bahwa adanya hubungan yang signifikan antara tingkat spiritualitas dengan ketahanan emosional p = 0,026 . Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti menyarankan kepada institusi sekolah untuk dapat mengoptimalkan kegiatan spiritual di sekolah yang dapat bermanfaat untuk membentuk ketahanan emosional yang positif.

School age children are group of age who have emotional resilience which is unstable. A negative emotional resilience will influence their emotional health. Based on this theory, school age children have risk to have emotional resilience decrease. Spiritual activity is one of coping mechanism for them who have stress experienced because negative emotional resilience. This research is a correlation study to know presence or absence of relationship between spirituality level and emotional resilience of children school age in SDN Kayuringin Jaya VI and SDN Kayuringin Jaya VII, Bekasi Selatan. Respondents were 106 people taken from proportionate stratified. The results with chi square test showed there were a correlation between spirituality level and emotional resilience p 0,026 . Based on this research, researcher suggest for school institution to optimalyze spiritual activity in school which could be use for form positive emotional resilience."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Amira Tjandrasari
"LES merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dan banyak terjadi pada  anak remaja dengan rata-rata onset usia 11-12 tahun. Sekitar 10% dari remaja dengan penyakit kronis seperti LES mengalami masalah psikososial, termasuk masalah emosi seperti depresi dan kecemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelatihan kecakapan hidup pada anak dengan LES dapat memperbaiki masalah emosi. Penelitian dilakukan dengan 30 subjek remaja perempuan dengan LES yang sudah mendapatkan pengobatan, dan nilai SLEDAI 0-5. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak tanpa penyamaran, perlakuan dan kontrol.  Pelatihan kecakapan hidup diberikan pada kelompok perlakuan sebanyak 1 kali dalam kelas. Perbaikan masalah emosi dinilai dengan membandingkan nilai SDQ sebelum pelatihan dan 4 minggu setelah pelatihan. Penelitian melibatkan 30 remaja perempuan dengan LES dengan usia rerata 14 tahun. Sebanyak 20/30 subjek memiliki nilai SDQ normal, 4/30 dengan SDQ borderline dan 6/30 dengan SDQ abnormal. Terdapat perbedaan bermakna selisih masalah emosi pada kedua kelompok (p: 0,025; effect size: 0,87). Pada kelompok yang mendapatkan pelatihan terdapat perbaikan nilai SDQ total (p: 0,001), nilai masalah emosi (p: 0,002), nilai masalah perilaku (p: 0,027) dan nilai masalah perilaku hiperaktif (p: 0,040) dibandingkan dengan awal studi. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya terdapat perubahan nilai masalah dengan teman sebaya (p: 0,011). Selain itu ditemukan pula perbaikan masalah emosi pada kelompok pelatihan yakni keluhan sakit fisik (p: 0,021), rasa khawatir (p: 0,020) dan perasaan gugup (p: 0,020). Studi ini menyimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup-modul pengelolaan emosi efektif dalam memperbaiki masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES secara signifikan, terutama gugup atau sulit berpisah dengan orangtua/pengasuhnya pada situasi baru, mudah kehilangan rasa percaya diri dan banyak kekhawatiran atau sering tampak khawatir.

SLE is a chronic autoimmune inflammatory disease and many occur in adolescents with an average age of onset of 11-12 years. About 10% of adolescents with chronic diseases such as SLE experience psycho-mental problems, including emotional problems such as depression and anxiety. The aim of this study is to determine whether life skills training in children with SLE can improve emotional problems. The study was conducted with 30 female adolescent with SLE who had received treatment and SLEDAI score 0-5. Subjects were divided into 2 groups randomly, not-blinding, experiment and control. Life skills training is given to the experiment group one time in group. Emotional problem improvement was assessed by comparing SDQ scores before training and 4 weeks after training. The study involves a total of 30 female adolescent with SLE with an average age of 14 years. A total of 20/30 subjects had normal SDQ values, 4/30 with borderline SDQ and 6/30 with abnormal SDQ. There were significant differences in the difference between emotional problems in the two groups (p: 0.025; effect size: 0.87). In the group that received training there was an improvement in the total SDQ value (p: 0.001), the value of emotional problems (p: 0.002), the value of conductive problems (p: 0.027) and the value of hyperactive behavior problems (p: 0.040) compared to the beginning of the study. Whereas in the control group there were only changes in the value of problems with peers (p: 0.011). In addition it also found improvements in emotional problems in the experiment group, they are complaints of physical pain (p: 0.021), anxiety (p: 0.020) and nervous feelings (p: 0.020). This study concludes that life skills training-emotion management module is significantly effective in improving emotional problems in female adolescent with LES, especially nervous or having difficulty separating from parents/caregivers in new situations, easily losing self-confidence and many worries or often seems worried."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
O`Hagan, Kieran
Berkshire: Open University Press, 2006
616.858 223 OHA i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library