Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ignatius Bima Prasetya
Abstrak :
Latar Belakang: Risiko Non-Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD meningkat pada pasien dengan diabetes melitus DM tipe 2. Prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko NAFLD pada populasi DM di Indonesia belum pernah diteliti. Profil derajat fibrosis pada populasi ini juga masih belum diketahui. Tujuan: Mengetahui perbedaan profil pasien DM dengan atau tanpa NAFLD serta derajat fibrosisnya. Metode: Penelitian dikerjakan secara potong lintang terhadap pasien DM tipe 2 dewasa yang berobat di poliklinik endokrin metabolik RSCM. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Data yang dikumpulkan mencakup usia, lama diabetes, indeks masa tubuh IMT , lingkar pinggang, kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C. Ultrasonografi abdomen dikerjakan pada semua pasien untuk menentukan adanya NAFLD. Pasien dengan NAFLD lalu menjalani pemeriksaan elastografi transien untuk menilai derajat fibrosis. Uji Chi Square atau Fischer's-Exact digunakan untuk analisis bivariat dan regresi logistik digunakan untuk analisis multivariat. Hasil Penelitian: Sebanyak 186 pasien dianalisis dalam studi ini, dengan 84 pasien 45,2 terbukti mengalami NAFLD. Elastografi transien berhasil dikerjakan pada 68 pasien NAFLD, dengan 17 pasien 25,0 terbukti mengalami fibrosis berat. Analisis univariat menunjukan perbedaan signifikan IMT PR=1,878; 95 CI= 1,296-2,721. ......Background: Risk of Non Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD is increased in patients with type 2 diabetes. Prevalence and factors related to the increased risk of NAFLD in diabetic patients in Indonesia are currently unknown. Data regarding fibrosis profile in this population is also unknown. Aim: To understand the prevalence and fibrosis profile of Non Alcoholic Fatty Liver Disease in diabetes mellitus and factors associated with it. Methods: This study was a cross sectional study on diabetic patients treated in the endocrinology and metabolic clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. Sampling was done consecutively. Data collected comprised of age, duration of diabetes, body mass index BMI, waist circumference, HDL, triglyceride, and HbA1C. Abdominal ultrasonography was conducted to every patient to determine the presence of NAFLD. Patients with NAFLD underwent transient elastography to assess their degree of liver fibrosis. Collected data were analyzed in univariate and multivariate manner. Study Results: We analyzed 186 patients with diabetic. NAFLD were diagnosed in 84 patients 45,2. Transient elastography were carried out in 68 patients, with advanced fibrosis were found in 17 patients 25,0. Univariate analysis showed significant differences between BMI PR 1,878 95 CI 1,296 2,721 p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55667
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmat Pramukti
Abstrak :
Latar belakang : Seiring dengan semakin efektifnya terapi Antiretroviral (ARV) pasien HIV memiliki harapan hidup lebih lama, morbiditas dan mortalitas penyakit HIV yang tidak berhubungan dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome semakin meningkat. Non-alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) telah dikenali sebagai penyakit hati tersering yang mempengaruhi lebih dari seperempat jumlah populasi global dan jumlahnya semakin meningkat di Indonesia. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena NAFLD. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang prevalensi dan faktor yang berhubungan dengan NAFLD pada pasien HIV dalam pengobatan antiretroviral (ARV) tanpa hepatitis viral kronis. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan pasien HIV dalam pengobatan ARV tanpa koinfeksi virus hepatitis yang berobat di poliklinik Kelompok Studi Khusus (POKDISUS) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. NAFLD didefinisikan sebagai perlemakan di jaringan hati yang dibuktikan oleh pemeriksaan imaging transient elastography dengan Controlled Attenuation Parameter (CAP) setidaknya 238 dB/m. Perkiraan faktor-faktor yang berhubungan dengan NAFLD dianalisis dengan regresi logistik bivariat dan multivariat. Hasil: Pada penelitian ini secara keseluruhan didapatkan 105 subyek pasien HIV yang direkrut secara konsekutif. Prevalensi NAFLD didapatkan 52,4% (95% CI ±9,55). Faktor-faktor yang berhubungan dengan NAFLD pada populasi ini adalah hipertensi (PR = 3,755; 95% CI 1,218-11,575; p = 0,021) dan Index Massa Tubuh (IMT) (PR = 1,212 95% CI 1,051-1,396; p = 0,008). Faktor terkait HIV seperti CD4+ nadir, lama mendapat terapi ARV didapatkan tidak terkait NAFLD. Kesimpulan: Prevalensi NAFLD pada pasien HIV di Indonesia tinggi. NAFLD didapatkan berkaitan dengan hipertensi dan IMT, namun tidak dengan faktor-faktor terkait HIV. Penapisan non invasif untuk NAFLD sebaiknya diimplementasikan pada populasi ini untuk intervensi awal dan pencegahan komplikasi. ......Background: As HIV-infected persons experience longer life expectancies, other cause of morbidity and mortality among this group are increasingly being identified. Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) has been recognized as the most common liver disease affecting more than a quarter of global population and increasing number in Indonesia. HIV-infected persons are at an increased risk of having NAFLD. This study aimed to inform prevalence and factors associated with NAFLD in HIV-infected patients without chronic viral hepatitis on antiretroviral therapy (ARV). Methods: A cross sectional study of HIV-infected person on ARV without hepatitis co-infection was done in HIV Integrated Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. NAFLD was defined as having at least 238 dB/m in transient elastography with associated Controlled Attenuation Parameter (CAP) examination. Bivariate and multivariate logistic regression analysis were applied to estimate factors associated with NAFLD Results: A total of 105 consecutive HIV infected person were included in the study analyzed. The prevalence of NAFLD was 52.4% (95% CI ±9.55). Factors related to NAFLD in this population were hypertension (PR = 3.755; 95% CI 1.218-11.575; p = 0.021) and Body Mass Index (BMI) (PR = 1.212 95% CI 1.051-1.396; p = 0.008). HIV specific variables such as nadir CD4, duration of ARV were not associated with NAFLD. Conclusion : There was a high prevalence of NAFLD among Indonesian person infected with HIV. NAFLD was associated with BMI and hypertension, but not with HIV related factors. Non-invasive screening for NAFLD should be implemented in this populaton to establish early intervention and prevent complication
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chyntia Olivia Maurine Jasirwan
Abstrak :
Latar Belakang: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan kondisi perlemakan hati yang merupakan salah satu faktor risiko karsinoma hepatoselular (KSH). NAFLD melibatkan berbagai faktor dalam patogenesisnya, salah satunya mikrobiota saluran cerna. Disbiosis mikrobiota saluran cerna dianggap sebagai faktor utama dalam peristiwa disregulasi sistem imun dan inflamasi pada patogenesis NAFLD. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat profil dan konfigurasi mikrobiota saluran cerna pasien dengan NAFLD dan pengaruhnya terhadap nilai kondisi fibrosis dan stratosis hati yang tercermin dalam nilai controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE). Metode: Dilakukan studi potong lintang analitik terhadap 37 pasien dengan NAFLD yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Desember 2018 hingga Maret 2019. Dilakukan anamnesis, wawancara food recall, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan CAP-TE, dan pengambilan sampel feses pada pasien subjek penelitian. Mikrobiota saluran cerna disekuensing dengan Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina). Hasil: NAFLD lebih dominan pada wanita dan penderita penyakit sindrom metabolik. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria berturut-turut merupakan filum dengan proporsi terbesar. Disbiosis mikrobiaota saluran cerna didapatkan pada separuh dari sampel subjek penelitian. Rasio Firmicutes/Bacteroidetes (RFB) pada setiap pasien berbeda-beda dan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap variabel sindrom metabolik. Diversitas mikrobiota saluran cerna didapatkan menurun pada pasien NAFLD dengan trigliserida tinggi dan obesitas sentral. Simpulan: Sejumlah mikrobiota saluran cerna pada tingkat taksonomi yang berbeda memiliki korelasi positif maupun negatif terhadap fibrosis dan steatosis. ...... Background: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is fatty liver condition that can lead to hepatocellular carcinoma (HCC). NAFLD is multifactorial component in its pathogenesis, one of which is gut microbiota. Dysbiosis of gut microbiota is considered as main factor in the dysregulation of immune system and inflammatory condition in the pathogenesis of NAFLD. Aim: This study aim to investigate the profile and configuration of gut microbiota in patient with NAFLD dan its correelation withfibrosis and steatosis condition as reflected in controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE) value. Method: cross sectional study was done upon 37 NAFLD patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital from December 2018 to March 2019. All subjects undergone food recall examination, physical and laboratory examination, CAP-TE value measurement, and fecal sample examination. The gut microbiota was investigated through 16s RNA sequensing by Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina). Result: NAFLD was predominant in female subjects and those with metabolic syndrome. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria was the predominant phylum consecutively. Dysbiosis was appeared in half of the study subjects. The Ratio of Firmicutes/Bacteroidetes was different in each patients and has no significnat correlation with metabolic syndrome variables. The diversity of gut microbiota was decresed in NAFLD patients with high tryglicerides and central obesity. Conclusion: Certain gut microbiota at different taxonomy level have positive and negative correlation with fibrosis and steatosis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyntia Olivia Maurine Jasirwan
Abstrak :

Latar Belakang: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan kondisi perlemakan hati yang merupakan salah satu faktor risiko karsinoma hepatoselular (KSH). NAFLD melibatkan berbagai faktor dalam patogenesisnya, salah satunya mikrobiota saluran cerna. Disbiosis mikrobiota saluran cerna dianggap sebagai faktor utama dalam peristiwa disregulasi sistem imun dan inflamasi pada patogenesis NAFLD.

Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat profil dan konfigurasi mikrobiota saluran cerna pasien dengan NAFLD dan pengaruhnya terhadap nilai kondisi fibrosis dan stratosis hati yang tercermin dalam nilai controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE).

Metode: Dilakukan studi potong lintang analitik terhadap 37 pasien dengan NAFLD yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Desember 2018 hingga Maret 2019. Dilakukan anamnesis, wawancara food recall, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan CAP-TE, dan pengambilan sampel feses pada pasien subjek penelitian. Mikrobiota saluran cerna disekuensing dengan Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina).

Hasil: NAFLD lebih dominan pada wanita dan penderita penyakit sindrom metabolik. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria berturut-turut merupakan filum dengan proporsi terbesar. Disbiosis mikrobiaota saluran cerna didapatkan pada separuh dari sampel subjek penelitian. Rasio Firmicutes/Bacteroidetes (RFB) pada setiap pasien berbeda-beda dan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap variabel sindrom metabolik. Diversitas mikrobiota saluran cerna didapatkan menurun pada pasien NAFLD dengan trigliserida tinggi dan obesitas sentral.

Simpulan: Sejumlah mikrobiota saluran cerna pada tingkat taksonomi yang berbeda memiliki korelasi positif maupun negatif terhadap fibrosis dan steatosis.


Background: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is fatty liver condition that can lead to hepatocellular carcinoma (HCC). NAFLD is multifactorial component in its pathogenesis, one of which is gut microbiota. Dysbiosis of gut microbiota is considered as main factor in the dysregulation of immune system  and inflammatory condition in the pathogenesis of NAFLD.

Aim: This study aim to investigate the profile and configuration of gut microbiota in patient with NAFLD dan its correelation withfibrosis and steatosis condition as reflected in controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE) value.

Method: cross sectional study was done upon 37 NAFLD patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital from December 2018 to March 2019. All subjects undergone food recall examination, physical and laboratory examination, CAP-TE value measurement, and fecal sample examination. The gut microbiota was investigated through 16s RNA sequensing by Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina).

Result: NAFLD was predominant in female subjects and those with metabolic syndrome. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria was the predominant phylum consecutively. Dysbiosis was appeared in half of the study subjects. The Ratio of Firmicutes/Bacteroidetes was different in each patients and has no significnat correlation with metabolic syndrome variables. The diversity of gut microbiota was decresed in NAFLD patients with high tryglicerides and central obesity.

Conclusion: Certain gut microbiota at different taxonomy level have positive and negative correlation with fibrosis and steeatosis.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Diandra Sari
Abstrak :
Obesitas merupakan masalah utama pada kesehatan masyarakat dunia yang diketahui juga sebagai salah satu faktor risiko penyakit perlemakan hati non alkoholik(NAFLD). Sistem penilaian untuk mendeteksi NAFLD telah dikembangkan dan divalidasi di Indonesia. Namun, pola makan orang obesitas yang mungkin memberikan pengaruh terhadap NAFLD masih belum diketahui. Penelitian ini mengevaluasi asupan sukrosa pada obesitas dewasa di Jakarta dan hubungannya dengan skor NAFLD. Ini adalah studi potong lintang berbasis komunitas di antara orang dewasa dengan indeks massa tubuh (BMI)>25 kg/m2 antara September dan Oktober 2018 di Jakarta, Indonesia. Asupan sukrosa dinilai menggunakan food recal l2x24 jam, dihitung berdasarkan tabel komposisi makanan Indonesia dan Amerika dengan menggunakan Nutrisurvey 2007.Skor NAFLD terdiri dari enam faktor risiko, yaitu BMI>25 kg/m2, jenis kelamin laki-laki, usia>35 tahun, trigliserida>150 mg/dL, kadar kolesterol lipoprotein kepadatan tinggi<40 mg/dL untuk pria atau <50 mg/dL untuk wanita, dan kadar alanin aminotrans feraseserum >35 U/L. Dari 102 subjek yang terdaftar, 75 orang(73,5%) adalah wanita. Median dari total skor NAFLD adalah 6,7 dengan rentang dari 3,6 hingga 10,2. Median asupan karbohidrat total adalah 179,6 (54,1-476,8) g/hari, dan median total asupan sukrosa adalah 47,0 (13,7-220,5) g/hari. Asupan sukrosa lebih tinggi signifikan pada responden dengan skor NAFLD >6,7 dibandingkan <6,7. (47,8 vs. 45,3 g; p=0,042; Mann-Whitney U test). Analisis multivariat mengonfirmasi adanya hubungan asupan sukrosa dan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik. Kesimpulan: Asupan sukrosa tidak memiliki hubungan bermakna dengan skor NAFLD pada penyandang obesitas dewasa, namun bermakna jika dikaitkan dengan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan variabel tambahan pada skor NAFLD. ......Obesity is a major problem in a world public health which is also known as one of the risk factors of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). An assessment system for detecting NAFLD has been developed and validated in Indonesia. However, the diet pattern of obese people who might have an effect on NALFD is still unknown. This study evaluated sucrose intake among obese adults in Jakarta and ints association with NAFLD score. This was a community-based cross sectional study among adults with body mass index (BMI) >25 kg/m2 between September and Oktober 2018 in Jakarta, Indonesia. Sucrose intake was assessed using 2x24-hour food recall, calculated based on the Indonesian and American food composition tables using dietary software Nutrisurvey. The NAFLD score consists of six risk factors, i.e. BMI >25 kg/m2, male sex, age >35 years, triglycerides >150 mg/dL, high density lipoprotein cholesterol levels <40 mg/dL for men or <50 mg/dL for women, and serum alanine aminotransferase levels >35 U/L. A total of 102 subjects were recruited; 75 (73.5%) of them were women. The median of total NAFLD scores was 6.7, ranging from 3.6 to 10.2. Median total carbohydrate intake was 179.6 (54.1-476.8) g/day, while the median total sucrose intake was 47.0 (13.7-220.5) g/day. Sucrose intake was significantly higher in patients with NAFLD score >6.7 than <6.7 (47.8 vs. 45.3 g; p=0.042; Mann-Whitney U test). Multivariate analysis confirmed the association of sucrose intake and higher total NAFLD score. Conclusions: Sucrose intake and NAFLD score have no significant association among obese adults. Further research is needed to develop additional variables on NAFLD score.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Philip Waruna
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Kanker payudara merupakan kanker yang menempati urutan pertama dari keseluruhan kanker pada perempuan di Indonesia dan menurut data dari Indonesia Journal of Cancer 2012 menyebabkan kematian sebesar 458.000 perempuan. Kepadatan payudara merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kanker payudara yang dipicu oleh adanya estrogen yang menjadi prekursor jaringan fibrogladular menjadi padat. Pada perempuan dengan kanker payudara dan densitas payudara yang tinggi ditemui juga adanya perlemakan hati yang tinggi. Hubungan antara pasien dengan kanker payudara dengan densitas payudara yang tinggi dan perlemakan hati masih belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kepadatan jaringan payudara yang diperiksa dengan mammografi dan perlemakan hati yang diperiksa dengan ultrasonografi serta melihat hubungannya dengan estrogen reseptor yang diperiksa dengan immunohistokimia. Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder ultrasonografi abdomen dan mammografi dari sistem PACS RS Kanker Dharmais. Penilaian yang dilakukan dengan melihat derajat kepadatan payudara yang diperiksa dengan mammografi dan derajat perlemakan hati yang diperiksa dengan ultrasonografi serta melihat status estrogen reseptor dari immunohistokimia pada pasien kanker payudara tersebut. Analisa data dilakukan dengan mengelompokan kepadatan payudara sampai 50 % dan kelompok lain dengan kepadatan lebih dari 50% dan membandingkan dengan perlemakan hati ringan dan berat. Hasil: Pengelompokan pasien dengan kepadatan payudara sampai 50% menunjukkan terdapat banyak perlemakan hati berat, demikian juga pada kepadatan payudara yang lebih besar dari 50% menunjukkan terdapat lebih banyak lagi perlemakan hati derajat berat namun secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan Nilai Odds Ratio (OR) = 0.60 dengan 95% Interval Kepercayaan 0.12 – 3.01. Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan hubungan antara kepadatan jaringan payudara yang tinggi dengan perlemakan hati yang juga tinggi walaupun secara statistik tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
ABSTRACT
Background and Objectives: Breast cancer are the most common cancer and the first in all cancer that affected women in Indonesia and the data from Indonesian Journal of Cancer 2012 said, it cause death for about 458.000 women. Breast density are one of the risk factor that cause breast cancer and estrogen are the precursor for high density of the fibroglandular tissue. Women with breast cancer and high breast density are found to have a high degree of fatty liver. The relationship between breast cancer with high breast density and high fatty liver was unknown. The aim of these research wants to evaluation the breast density on mammography and fatty liver on ultrasound and the relationship with estrogen reseptor which was examined with immunohistochemistry. Method: A cross sectional research is perform using mammography and ultrasound from PACS system. These research wants to evaluation the high breast density with mammograms and fatty liver with ultrasound and their relationship with estrogen receptor by immunohistochemistry. Data was merged in to two groups, one group with breast density until 50% and the other group was breast density more than 50% and compared it with mild and severe fatty liver. Result: Patient with breast density until 50% showed more severe fatty liver as well as patient with breast density more than 50% had more severe fatty liver, although statistically had no significant relationship with Odds Ratio (OR) = 0,60 and confidence interval 0,12-3.01. Conclusion: There are tendency relationship between higher breast density and higher fatty liver although statistically showed no significant relationship.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sharon Sandra
Abstrak :
Latar belakang. Hiperurisemia merupakan salah satu parameter metabolik yang diperkirakan mempunyai peranan dalam perjalanan non-alcoholic liver disease NAFLD . Studi mengenai peranan asam urat dalam progresivitas penyakit hati masih terbatas.Tujuan. Mengetahui korelasi antara kadar asam urat dengan nilai Elastografi Transien ET dan Controlled Attenuation Parameter CAP pasien NAFLD.Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder yang melibatkan 113 pasien NAFLD dewasa. Dilakukan uji korelasi antara kadar asam urat dengan nilai ET dan nilai CAP. Lalu dilakukan analisis tambahan dengan membagi pasien menjadi 2 kelompok berdasarkan nilai ET dan CAP. Nilai titik potong ET untuk fibrosis signifikan sebesar ge; 7 kPa dan nilai CAP ge; 285 dB/m digunakan untuk membedakan steatosis ringan dan steatosis sedangberat. Faktor metabolik yang mempengaruhi derajat steatosis dan fibrosis dianalisis dengan menggunakan uji chi-square dan dilakukan analisis regresi logistik.Hasil. Terdapat 45 pasien dengan steatosis sedang-berat dan 34 pasien yang mengalami fibrosis signifikan. Tidak terdapat korelasi antara kadar asam urat dengan nilai CAP koefisien korelasi r = 0,2 dan p=0,026 maupun nilai ET r = 0,151 dan p = 0,110 . Terdapat perbedaan rerata kadar asam urat antara kelompok steatosis ringan dibandingkan steatosis sedang-berat 6,31 1,44 mg/dL vs 6,94 1,62 mg/dL, p = 0,03 . Tidak terdapat hubungan independen antara hiperurisemia dan derajat steatosis. Sedangkan faktor yang berhubungan secara independen dengan derajat fibrosis signifikan adalah hiperurisemia OR 2,450; 95 IK 1,054- 5,697 dan kenaikan kadar glukosa puasa OR 3,988 1,105-14,389 . Kelompok fibrosis signifikan mempunyai nilai rerata kadar asam urat yang lebih tinggi 6,89 1,60 mg/dL vs 6,42 1,50 mg/dL walau tidak bermakna secara statistik nilai p = 0,145 .Kesimpulan. Tidak terdapat korelasi antara kadar asam urat dengan nilai ET dan CAP
Background. Hyperuricemia is one of metabolic parameter which has been considered to play an important role in NAFLD. There is still lack of studies or evidence about correlation between serum uric acid level with liver disease progression.Aim of the study. To know the correlation between serum uric acid level and the steatosis and fibrosis degree of non alcoholic fatty liver disease evaluated using Controlled Attenuation Parameter CAP Transient Elastography TE examination.Methods. This study is a cross sectional study using secondary data of 113 NAFLD. Correlation between uric acid level and the degree of steatosis and fibrosis were also evaluated. Cutoff value for significant liver fibrosis ge 7 kPa. Mild and moderate severe steatosis diagnosed with a cutoff value of ge 285 dB m. Each metabolic factors were analyzed using chi square test. Univariate and multivariate analysis were performed using logistic regression test.Results. Of 113 NAFLD patients, there were 45 patients with moderate severe steatosis and 34 patients with significant fibrosis. There was no correlation between uric acid level and CAP correlation coefficient 0.2, P 0.026 and ET correlation coefficient 0.151, P 1,110 value were found. The difference of uric acid level mean value was found between mild steatosis and moderate severe steatosis 6.31 1.44 mg dL vs. 6.94 162 mg dL, P 0,03 . Hyperuricemia was not independent risk factor of moderate severe steatosis. High level of fasting blood glucose OR 3.98, 95 CI 1.105 14.389 and hyperuricemia OR 2.501, 95 CI 1.095 5.714 were found to be independent risk factors for significant liver fibrosis. Significant liver fibrosis group tends to have a higher mean value of uric acid level 6.89 1.60 mg dL vs. 6.42 1,50 mg dL with a p value 0,145.Conclusion. There was no correlation between uric acid an CAP TE value
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Aleta Violina
Abstrak :
Hati berlemak adalah penyakit ketika penumpukan lemak hati mencapai 5% dari berat hati. Hingga saat ini belum ada terapi farmakologis yang ideal, sehingga terapi non farmakologis masih menjadi terapi pertama yang diberikan kepada penderita fatty liver. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model hewan perlemakan hati dan mengevaluasi pemberian pioglitazone pada hewan model. Studi model hewan dilakukan dengan induksi diet tinggi lemak saja dan induksi oral diet tinggi lemak dan propylthiouracil selama 42 hari. Selanjutnya model hewan digunakan untuk mengevaluasi pemberian pioglitazone menggunakan tikus putih jantan sebanyak 30 ekor yang dibagi menjadi 5 kelompok, kelompok normal, kelompok kontrol negatif, dan tiga variasi dosis pioglitazone (1 mg, 2 mg dan 4 mg/200 g BB/hari). Pada hari ke 43, pioglitazone diberikan secara oral selama 28 hari hingga 70 hari. Kemudian diukur kadar AST, ALT, dan trigliserida, dan diamati morfologi hati. Selain itu, dilakukan pengukuran parameter lain seperti kolesterol total, HDL, LDL, dan aktivitas antioksidan, Gpx dan SOD. Kelompok dengan diet induksi tinggi lemak dan propyltiouracil menunjukkan peningkatan ALT dan trigliserida secara signifikan lebih tinggi (p <0,05) dibandingkan dengan diet tinggi lemak saja. Pioglitazone dengan dosis 2 mg/200 g BB/hari menunjukkan penurunan yang signifikan pada AST, ALT, trigliserida, kolesterol total, HDL dan LDL dibandingkan dengan dosis lain. Studi ini menyimpulkan bahwa induksi diet tinggi lemak dengan propylthiouracil lebih baik daripada induksi diet tinggi lemak saja. Pemberian pioglitazone dengan dosis 2 mg/200 g BB/hari menunjukkan perbaikan kondisi hati berlemak terbaik dibandingkan dengan dosis lainnya. ......Fatty liver is a disease when the accumulation of liver fat reaches 5% of the liver weight. Until now, there is no ideal pharmacological therapy, so non-pharmacological therapy is still the first therapy given to people with fatty liver. This study aims to obtain a fatty liver animal model and evaluate the administration of pioglitazone in animal models. Animal model studies were performed with induction of a high-fat diet alone and oral induction of a diet high in fat and propylthiouracil for 42 days. Furthermore, animal models were used to evaluate the administration of pioglitazone using 30 male white rats which were divided into 5 groups, normal group, negative control group, and three variations of pioglitazone dosage (1 mg, 2 mg and 4 mg/200 g BW/day.). On day 43, pioglitazone was given orally for 28 days to 70 days. Then the AST, ALT, and triglyceride levels were measured, and the liver morphology was observed. In addition, other parameters were measured such as total cholesterol, HDL, LDL, and antioxidant activity, Gpx and SOD. The group on the high-fat and propyltiouracil induction diet showed significantly higher elevations in ALT and triglycerides (p <0.05) compared to the high-fat diet alone. Pioglitazone at a dose of 2 mg/200 g BW/day showed a significant reduction in AST, ALT, triglycerides, total cholesterol, HDL and LDL compared to other doses. This study concluded that the induction of a high-fat diet with propylthiouracil was better than the induction of a high-fat diet alone. The administration of pioglitazone at a dose of 2 mg/200 g BW/day showed the best improvement in fatty liver conditions compared to other doses.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Hazim
Abstrak :
Latar Belakang. Keluarga derajat pertama (first degree relatives/FDR) dari Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) memiliki kecenderungan untuk memiliki gangguan metabolik dan vaskular lebih dini tanpa melaui resistensi insulin (RI) sebagai perantaranya seperti lebih tebalnya tunika intima media karotis. Penyakit perlemakan hati non-alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease/NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang banyak ditemukan pada pasien DMT2 yang dependen terhadap RI. Studi tentang hubungan FDR DMT2 dengan NAFLD masih sangat terbatas dan inkonklusif. Hubungan tersebut masih belum jelas apakah kejadian NAFLD pada FDR DMT2 dependen terhadap RI atau karena kerentanan genetik FDR DMT2. Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara FDR DMT2 dengan NAFLD. Metode. Sebanyak 118 dewasa muda (19-39 tahun) dengan toleransi glukosa normal (59 subjek FDR DMT2 dan 59 subjek non-FDR dengan matching usia dan jenis kelamin) diikutsertakan dalam penelitian potong lintang ini. Pengukuran antropometri (tinggi, berat badan, indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut) dan analisis laboratorium (glukosa darah puasa, HbA1c, profil lipid, serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT)), serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT)) diperiksa pada penelitian ini. Perlemakan hati didiagnosis dengan ultrasonografi (USG) menggunakan kriteria standar. Hasil Penelitian. Dua puluh enam subjek (22,03%) dengan NAFLD terdeteksi dengan USG dalam penelitian ini dengan proporsi yang sama pada kedua kelompok. Pada kelompok FDR DMT2 didapatkan jumlah subjek dengan angka HDL rendah dan sindrom metabolik lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa FDR. Kesimpulan. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara FDR DMT2 dengan NAFLD. ...... Background. First degree relatives (FDR) of type 2 diabetes mellitus (T2DM) predisposes individuals to have earlier metabolic and vascular disorders independent of insulin resistance (IR) such as thicker carotid intima media thickness than that of non-FDR. Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is the most commonly found chronic liver disease in T2DM which is IR dependent. Studies about NAFLD in FDR of T2DM populations are very limited and inconclusive. It is unclear whether the occurrence of NAFLD in FDR of T2DM is IR dependent or due to genetic vulnerability. Aim. to determine the association between NAFLD and FDR of T2DM. Method. A total of 118 young adults (19-39 years old) with normal glucose tolerance (59 FDR of T2DM and age-sex matched 59 non-FDR subjects) were included in this cross-sectional study. Anthropometric measurement (height, weight, BMI and waist circumference) and routine laboratory analysis (fasting blood glucose, HbA1c, lipid profile, alanine aminotransferase (ALT), aspartate transaminase (AST)) were examined. Fatty liver was diagnosed by ultrasonography (US) using standard criteria. Result. Twenty-six (22,03%) subjects with NAFLD were detected by US with similar proportion for each group. Low HDL level and metabolic syndrome were found higher in FDR group. Conclusion. we couldn`t prove the association between FDR of T2DM and NAFLD in this research.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Gandha
Abstrak :
Latar belakang: Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit yang kronik, ditandai oleh plak eritematosa dan skuama kasar berlapis. Psoriasis dihubungkan dengan berbagai penyakit penyerta. Penyakit perlemakan hati nonalkoholik (PPHNA) merupakan salah satu penyakit penyerta yang sering ditemukan dan dapat memengaruhi derajat keparahan psoriasis, begitu pula sebaliknya. Penelitian untuk mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan perlemakan hati nonalkoholik (PHNA) belum pernah dilakukan. Tujuan: Mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan derajat PHNA. Metode: Studi potong lintang ini dilakukan terhadap pasien psoriasis dewasa di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Desember 2017-Februari 2018. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mendapatkan nilai derajat keparahan psoriasis (psoriasis area and severity index; PASI) dan dicatat pula nilai body surface area (BSA). Penelitian dilanjutkan dengan pemeriksaan derajat PHNA pada semua pasien dengan menggunakan controlled attenuation parameter (CAP). Hasil: Didapatkan total 36 subjek dengan rerata umur 49,08 tahun (+15,52 tahun). Proporsi psoriasis derajat ringan, sedang, dan berat berturut-turut adalah 50%, 27,8%, dan 22,2%. Median PASI 6,1 (2-38,4) dan median BSA 7,5 (2-93). Proporsi PPHNA berdasarkan CAP adalah 77,8%. Rerata skor CAP 250,03+45,64. Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA berdasarkan CAP (r=0,258; p=0,128). Namun bila digunakan BSA pada penilaian derajat keparahan psoriasis, didapatkan hasil korelasi yang bermakna (r=0,382; p=0,021). Ditemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut berkorelasi positif secara bermakna dengan skor CAP (berturut-turut r=0,448, p=0,006 dan r=0,485, p=0,003). Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA. Namun ditemukan korelasi yang bermakna antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan BSA dengan derajat PHNA. Luas lesi kulit psoriasis berpengaruh terhadap derajat PHNA. Selain itu terdapat beberapa faktor, misalnya IMT dan lingkar perut, yang dapat memengaruhi derajat keparahan PHNA pada pasien psoriasis.
Background: Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease, characterized by erythematous plaques and thick scales. Psoriasis is associated with various comorbidities. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) is one of the most common comorbidities that can affect the severity of psoriasis, vice versa. Research regarding the correlation of the severity of psoriasis and nonalcoholic fatty liver (NAFL) has never been done. Objective: To measure the correlation of the severity of psoriasis and the degree of NAFL. Methods: A cross-sectional study of adult patients with psoriasis was conducted in Dermatovenereology outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from December 2017 through February 2018. Psoriasis severity (psoriasis area and severity index; PASI) and body surface area (BSA) were recorded and compared with NAFL severity by controlled attenuation parameter (CAP). Results: A total of 36 subjects were enrolled with an average age of 49.08 years (+15.52 years). The proportions of mild, moderate, and severe psoriasis were 50%, 27.8%, and 22.2%, respectively. Median PASI was 6.1 (2-38.4) and BSA was 7.5 (2-93). The proportion of NAFLD was 77.8%. The mean of CAP score was 250.03+45.64. There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and CAP score (r = 0.258; p = 0.128). However, based on BSA, we found significant correlation (r = 0.382; p = 0,021). The body mass index (BMI) and abdominal circumference were significantly correlated with CAP score (r = 0.448, p = 0.006 and r = 0.485, p = 0.003, respectively). Conclusion: There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and nonalcoholic fatty liver degree, but a statistically significant correlation was found when using BSA in measuring the severity of psoriasis. In psoriasis, the extent of skin lesions may be influential to the degree of nonalcoholic fatty liver. In addition there are several factors, such as BMI and abdominal circumference, which may affect the severity of nonalcoholic fatty liver in psoriasis patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>