Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ignatius Bima Prasetya
"Latar Belakang: Risiko Non-Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD meningkat pada pasien dengan diabetes melitus DM tipe 2. Prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko NAFLD pada populasi DM di Indonesia belum pernah diteliti. Profil derajat fibrosis pada populasi ini juga masih belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui perbedaan profil pasien DM dengan atau tanpa NAFLD serta derajat fibrosisnya.
Metode: Penelitian dikerjakan secara potong lintang terhadap pasien DM tipe 2 dewasa yang berobat di poliklinik endokrin metabolik RSCM. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Data yang dikumpulkan mencakup usia, lama diabetes, indeks masa tubuh IMT , lingkar pinggang, kadar HDL, trigliserida, dan HbA1C. Ultrasonografi abdomen dikerjakan pada semua pasien untuk menentukan adanya NAFLD. Pasien dengan NAFLD lalu menjalani pemeriksaan elastografi transien untuk menilai derajat fibrosis. Uji Chi Square atau Fischer's-Exact digunakan untuk analisis bivariat dan regresi logistik digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil Penelitian: Sebanyak 186 pasien dianalisis dalam studi ini, dengan 84 pasien 45,2 terbukti mengalami NAFLD. Elastografi transien berhasil dikerjakan pada 68 pasien NAFLD, dengan 17 pasien 25,0 terbukti mengalami fibrosis berat. Analisis univariat menunjukan perbedaan signifikan IMT PR=1,878; 95 CI= 1,296-2,721.

Background: Risk of Non Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD is increased in patients with type 2 diabetes. Prevalence and factors related to the increased risk of NAFLD in diabetic patients in Indonesia are currently unknown. Data regarding fibrosis profile in this population is also unknown.
Aim: To understand the prevalence and fibrosis profile of Non Alcoholic Fatty Liver Disease in diabetes mellitus and factors associated with it.
Methods: This study was a cross sectional study on diabetic patients treated in the endocrinology and metabolic clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. Sampling was done consecutively. Data collected comprised of age, duration of diabetes, body mass index BMI, waist circumference, HDL, triglyceride, and HbA1C. Abdominal ultrasonography was conducted to every patient to determine the presence of NAFLD. Patients with NAFLD underwent transient elastography to assess their degree of liver fibrosis. Collected data were analyzed in univariate and multivariate manner.
Study Results: We analyzed 186 patients with diabetic. NAFLD were diagnosed in 84 patients 45,2. Transient elastography were carried out in 68 patients, with advanced fibrosis were found in 17 patients 25,0. Univariate analysis showed significant differences between BMI PR 1,878 95 CI 1,296 2,721 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55667
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmat Pramukti
"Latar belakang : Seiring dengan semakin efektifnya terapi Antiretroviral (ARV) pasien HIV memiliki harapan hidup lebih lama, morbiditas dan mortalitas penyakit HIV yang tidak berhubungan dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome semakin meningkat. Non-alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) telah dikenali sebagai penyakit hati tersering yang mempengaruhi lebih dari seperempat jumlah populasi global dan jumlahnya semakin meningkat di Indonesia. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena NAFLD. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang prevalensi dan faktor yang berhubungan dengan NAFLD pada pasien HIV dalam pengobatan antiretroviral (ARV) tanpa hepatitis viral kronis. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan pasien HIV dalam pengobatan ARV tanpa koinfeksi virus hepatitis yang berobat di poliklinik Kelompok Studi Khusus (POKDISUS) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. NAFLD didefinisikan sebagai perlemakan di jaringan hati yang dibuktikan oleh pemeriksaan imaging transient elastography dengan Controlled Attenuation Parameter (CAP) setidaknya 238 dB/m. Perkiraan faktor-faktor yang berhubungan dengan NAFLD dianalisis dengan regresi logistik bivariat dan multivariat. Hasil: Pada penelitian ini secara keseluruhan didapatkan 105 subyek pasien HIV yang direkrut secara konsekutif. Prevalensi NAFLD didapatkan 52,4% (95% CI ±9,55). Faktor-faktor yang berhubungan dengan NAFLD pada populasi ini adalah hipertensi (PR = 3,755; 95% CI 1,218-11,575; p = 0,021) dan Index Massa Tubuh (IMT) (PR = 1,212 95% CI 1,051-1,396; p = 0,008). Faktor terkait HIV seperti CD4+ nadir, lama mendapat terapi ARV didapatkan tidak terkait NAFLD. Kesimpulan: Prevalensi NAFLD pada pasien HIV di Indonesia tinggi. NAFLD didapatkan berkaitan dengan hipertensi dan IMT, namun tidak dengan faktor-faktor terkait HIV. Penapisan non invasif untuk NAFLD sebaiknya diimplementasikan pada populasi ini untuk intervensi awal dan pencegahan komplikasi.

Background: As HIV-infected persons experience longer life expectancies, other cause of morbidity and mortality among this group are increasingly being identified. Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) has been recognized as the most common liver disease affecting more than a quarter of global population and increasing number in Indonesia. HIV-infected persons are at an increased risk of having NAFLD. This study aimed to inform prevalence and factors associated with NAFLD in HIV-infected patients without chronic viral hepatitis on antiretroviral therapy (ARV). Methods: A cross sectional study of HIV-infected person on ARV without hepatitis co-infection was done in HIV Integrated Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. NAFLD was defined as having at least 238 dB/m in transient elastography with associated Controlled Attenuation Parameter (CAP) examination. Bivariate and multivariate logistic regression analysis were applied to estimate factors associated with NAFLD Results: A total of 105 consecutive HIV infected person were included in the study analyzed. The prevalence of NAFLD was 52.4% (95% CI ±9.55). Factors related to NAFLD in this population were hypertension (PR = 3.755; 95% CI 1.218-11.575; p = 0.021) and Body Mass Index (BMI) (PR = 1.212 95% CI 1.051-1.396; p = 0.008). HIV specific variables such as nadir CD4, duration of ARV were not associated with NAFLD. Conclusion : There was a high prevalence of NAFLD among Indonesian person infected with HIV. NAFLD was associated with BMI and hypertension, but not with HIV related factors. Non-invasive screening for NAFLD should be implemented in this populaton to establish early intervention and prevent complication"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Mulyana
"Latar belakang dan Tujuan: Persentase pasien yang gagal dalam pengukuran kekakuan hati menggunakan transient elastography bervariasi antara 2-10%, umumnya disebabkan oleh obesitas. probe XL, diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan pengukuran kekakuan hati pada pasien dengan obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai keberhasilan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M dan XL serta faktor yang mempengaruhinya.
Metode Penelitian: Pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian ini. Hasil pemeriksaan kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik unpaired t-test atau Mann-Whitney dan uji statistik McNemar.
Hasil Penelitian: Dari 92 pasien NAFLD dengan obesitas yang diteliti, Proporsi keberhasilan pengukuran kekakuan hati menggunakan probe M adalah 57,6 %, sedangkan dengan probe XL 88,0%. Perbedaan ini bermakna secara statistik (p < 0,001). Faktor IMT, SCD dan lingkar toraks berhubungan dengan keberhasilan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M, dengan nilai p masingmasing 0,007,0,001 dan 0,001. Variabel yang sama dengan probe XL tidak menunjukkan hubungan bermakna, dengan nilai p masing-masing 0,321, 0,817 dan 0,216. Hasil uji statistik Mann-Whitney didapatkan nilai median dari IMT dan SCD yang tidak berhasil dilakukan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M adalah masing-masing 32,7Kg/m2 dan 2,6 cm. Hasil uji statistik T-test didapatkan nilai Mean dari lingkar toraks yang tidak berhasil dengan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakan probe M adalah 97,8 cm.
Kesimpulan: Proporsi keberhasilan pengukuran kekakuan hati pada pasien NAFLD dengan obesitas dengan menggunakan probe XL lebih baik dibandingkan dengan probe M. Faktor IMT, SCD dan Lingkar Toraks berhubungan dengan keberhasilan pengukuran kekakuan hati dengan menggunakanan probe M. Variabel yang sama tidak berhubungan dengan probe XL.

Background and Aims: The percentage of patients who failed in liver stiffness
measurement (LSM) using transient elastography (Fibroscan®) varies between 2-
10%, generally caused by obesity. The new XL probe, with enhanced features to use in obesity patients, is expected to overcome the limitations and increase . The aims of this prospective study were to asses the success rate of liver stiffness measurement using M and XL probes and influencing factors.
Methods: Patients who fulfilled inclusion criteria were examined for transient elastography with both Fibroscan ® M and XL probe. The results of examination then were analyzed with unpaired t-test or Mann –Whitney and Mc Nemar test.
Results: A total of 92 patients were evaluated, The proportion of successful liver stiffness measurement using M probe was 57,6 %. while the proportion of XL probe was 88 %. ( p< 0,001 ). Skin to liver capsule distance ( SCD ), body mass index ( BMI ) and thoracic circumference was associated with the successfulness of liver stiffness measurement using probe M with respective p values were 0,007, 0,001 and 0,001. The same variables were not associated with successful examination using the XL probe with p values were 0,321, 0,817 and 0,216 respectively. T-test analysis showed mean thoracic circumference value of unsuccessfull liver stiffness measurement using M probe was 97,8 cm. Mann-Whitney test showed median BMI and SCD value of unsuccessfull liver stiffness measurement were 32,7 kg/m2 and 2,6 cm respectively.
Conclusion: The proportion of successful liver stiffness measurement using XL probe higher than M probe. BMI , SCD and thoracic circumference were associated with the successful of liver stiffness measurement using a M probe. The same variables were not associated with successful examination using the XL probe.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chyntia Olivia Maurine Jasirwan
"Latar Belakang: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan kondisi perlemakan hati yang merupakan salah satu faktor risiko karsinoma hepatoselular (KSH). NAFLD melibatkan berbagai faktor dalam patogenesisnya, salah satunya mikrobiota saluran cerna. Disbiosis mikrobiota saluran cerna dianggap sebagai faktor utama dalam peristiwa disregulasi sistem imun dan inflamasi pada patogenesis NAFLD.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat profil dan konfigurasi mikrobiota saluran cerna pasien dengan NAFLD dan pengaruhnya terhadap nilai kondisi fibrosis dan stratosis hati yang tercermin dalam nilai controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE).
Metode: Dilakukan studi potong lintang analitik terhadap 37 pasien dengan NAFLD yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Desember 2018 hingga Maret 2019. Dilakukan anamnesis, wawancara food recall, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan CAP-TE, dan pengambilan sampel feses pada pasien subjek penelitian. Mikrobiota saluran cerna disekuensing dengan Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina).
Hasil: NAFLD lebih dominan pada wanita dan penderita penyakit sindrom metabolik. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria berturut-turut merupakan filum dengan proporsi terbesar. Disbiosis mikrobiaota saluran cerna didapatkan pada separuh dari sampel subjek penelitian. Rasio Firmicutes/Bacteroidetes (RFB) pada setiap pasien berbeda-beda dan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap variabel sindrom metabolik. Diversitas mikrobiota saluran cerna didapatkan menurun pada pasien NAFLD dengan trigliserida tinggi dan obesitas sentral.
Simpulan: Sejumlah mikrobiota saluran cerna pada tingkat taksonomi yang berbeda memiliki korelasi positif maupun negatif terhadap fibrosis dan steatosis.

Background: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is fatty liver condition that can lead to hepatocellular carcinoma (HCC). NAFLD is multifactorial component in its pathogenesis, one of which is gut microbiota. Dysbiosis of gut microbiota is considered as main factor in the dysregulation of immune system and inflammatory condition in the pathogenesis of NAFLD.
Aim: This study aim to investigate the profile and configuration of gut microbiota in patient with NAFLD dan its correelation withfibrosis and steatosis condition as reflected in controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE) value.
Method: cross sectional study was done upon 37 NAFLD patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital from December 2018 to March 2019. All subjects undergone food recall examination, physical and laboratory examination, CAP-TE value measurement, and fecal sample examination. The gut microbiota was investigated through 16s RNA sequensing by Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina).
Result: NAFLD was predominant in female subjects and those with metabolic syndrome. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria was the predominant phylum consecutively. Dysbiosis was appeared in half of the study subjects. The Ratio of Firmicutes/Bacteroidetes was different in each patients and has no significnat correlation with metabolic syndrome variables. The diversity of gut microbiota was decresed in NAFLD patients with high tryglicerides and central obesity.
Conclusion: Certain gut microbiota at different taxonomy level have positive and negative correlation with fibrosis and steatosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyntia Olivia Maurine Jasirwan
"

Latar Belakang: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan kondisi perlemakan hati yang merupakan salah satu faktor risiko karsinoma hepatoselular (KSH). NAFLD melibatkan berbagai faktor dalam patogenesisnya, salah satunya mikrobiota saluran cerna. Disbiosis mikrobiota saluran cerna dianggap sebagai faktor utama dalam peristiwa disregulasi sistem imun dan inflamasi pada patogenesis NAFLD.

Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat profil dan konfigurasi mikrobiota saluran cerna pasien dengan NAFLD dan pengaruhnya terhadap nilai kondisi fibrosis dan stratosis hati yang tercermin dalam nilai controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE).

Metode: Dilakukan studi potong lintang analitik terhadap 37 pasien dengan NAFLD yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Desember 2018 hingga Maret 2019. Dilakukan anamnesis, wawancara food recall, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan CAP-TE, dan pengambilan sampel feses pada pasien subjek penelitian. Mikrobiota saluran cerna disekuensing dengan Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina).

Hasil: NAFLD lebih dominan pada wanita dan penderita penyakit sindrom metabolik. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria berturut-turut merupakan filum dengan proporsi terbesar. Disbiosis mikrobiaota saluran cerna didapatkan pada separuh dari sampel subjek penelitian. Rasio Firmicutes/Bacteroidetes (RFB) pada setiap pasien berbeda-beda dan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap variabel sindrom metabolik. Diversitas mikrobiota saluran cerna didapatkan menurun pada pasien NAFLD dengan trigliserida tinggi dan obesitas sentral.

Simpulan: Sejumlah mikrobiota saluran cerna pada tingkat taksonomi yang berbeda memiliki korelasi positif maupun negatif terhadap fibrosis dan steatosis.


Background: Non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is fatty liver condition that can lead to hepatocellular carcinoma (HCC). NAFLD is multifactorial component in its pathogenesis, one of which is gut microbiota. Dysbiosis of gut microbiota is considered as main factor in the dysregulation of immune system  and inflammatory condition in the pathogenesis of NAFLD.

Aim: This study aim to investigate the profile and configuration of gut microbiota in patient with NAFLD dan its correelation withfibrosis and steatosis condition as reflected in controlled attenuation parameter (CAP) dan transient elastography (TE) value.

Method: cross sectional study was done upon 37 NAFLD patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital from December 2018 to March 2019. All subjects undergone food recall examination, physical and laboratory examination, CAP-TE value measurement, and fecal sample examination. The gut microbiota was investigated through 16s RNA sequensing by Next-Generation Sequencing (NGS) platform Miseq (Illumina).

Result: NAFLD was predominant in female subjects and those with metabolic syndrome. Firmicutes, Bacteroidetes, dan Proteobacteria was the predominant phylum consecutively. Dysbiosis was appeared in half of the study subjects. The Ratio of Firmicutes/Bacteroidetes was different in each patients and has no significnat correlation with metabolic syndrome variables. The diversity of gut microbiota was decresed in NAFLD patients with high tryglicerides and central obesity.

Conclusion: Certain gut microbiota at different taxonomy level have positive and negative correlation with fibrosis and steeatosis.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yomi Islamiyati
"Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) dan penyakit perlemakan hati terkait metabolik (Metabolic Associated Fatty Liver Disease, MAFLD) berbagi beberapa faktor risiko metabolik penting dan mekanisme patofisiologis. Hingga saat ini, belum diketahui besarnya masalah MAFLD pada populasi PGK-dialisis di Indonesia dan pengaruh berbagai faktor terhadap kejadian MAFLD. Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan MAFLD pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis rutin. Metode. Studi potong lintang dengan populasi terjangkau adalah pasien PGK yang menjalani hemodialisis di Unit Dialisis dan Transplantasi Ginjal Gedung CMU 1 Lantai 8, RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Maret hingga Mei 2024. Selanjutnya dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah dan penilaian CAP dengan alat transien elastografi. Analisis data dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan MAFLD pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis rutin. Hasil. Sebanyak 99 individu diikutsertakan pada penelitian ini dan didapatkan prevalensi MAFLD sebesar 31,31%. MAFLD lebih banyak ditemukan pada lemak viseral berisiko, kadar CRP tinggi, usia ≥50 tahun, diabetes melitus, dislipidemia, adekuasi dialisis yang buruk dan fungsi ginjal sisa ≥100 ml. Analisis bivariat mendapatkan lemak viseral berisiko, diabetes melitus dan adekuasi dialisis yang buruk berhubungan dengan kejaidan MAFLD. Analisis multivariat mendapatkan lemak viseral berisiko dan adekuasi dialisis yang buruk merupakan faktor yang berhubungan dengan terjadinya MAFLD pada pasien gagal ginjal dengan hemodialisis rutin. Kesimpulan. Lemak viseral berisiko dan adekuasi dialisis yang buruk merupakan faktor yang berhubungan dengan terjadinya MAFLD pada pasien gagal ginjal dengan hemodialisis rutin.

Background. Chronic kidney disease (CKD) and metabolic-associated fatty liver disease (MAFLD) share several important metabolic risk factors and pathophysiological mechanisms. Until now, the magnitude of the MAFLD problem in the CKD-dialysis population in Indonesia is unknown and the influence of various factors on the incidence of MAFLD. Objective. To determine the factors associated with MAFLD in CKD patients undergoing routine hemodialysis. Methods. This cross-sectional study was conducted on an accessible population of CKD patients who underwent hemodialysis at the Dialysis and Kidney Transplant Unit, CMU Building 1, Floor 8, Cipto Mangunkusumo Hospital from March to May 2024. Anamnesis, physical examination, blood test and CAP assessment with transient elastography were performed. Data analysis was conducted to determine factors associated with MAFLD in CKD patients undergoing routine hemodialysis. Results. A total of 99 individuals were included in this study and the prevalence of MAFLD was found to be 31.31%. MAFLD is more commonly found in at-risk visceral fat, high CRP levels, age ≥50 years, diabetes mellitus, dyslipidemia, poor dialysis adequacy and residual renal function ≥100 ml. Bivariate analysis found that risky visceral fat, diabetes mellitus and poor dialysis adequacy were associated with the occurrence of MAFLD. Multivariate analysis found that risky visceral fat and poor dialysis adequacy were factors associated with the occurrence of MAFLD in kidney failure patients on routine hemodialysis. Conclusion. Risky visceral fat and poor dialysis adequacy are factors associated with the occurrence of MAFLD in renal failure patients on routine hemodialysis"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Diandra Sari
"Obesitas merupakan masalah utama pada kesehatan masyarakat dunia yang diketahui juga sebagai salah satu faktor risiko penyakit perlemakan hati non alkoholik(NAFLD). Sistem penilaian untuk mendeteksi NAFLD telah dikembangkan dan divalidasi di Indonesia. Namun, pola makan orang obesitas yang mungkin memberikan pengaruh terhadap NAFLD masih belum diketahui. Penelitian ini mengevaluasi asupan sukrosa pada obesitas dewasa di Jakarta dan hubungannya dengan skor NAFLD. Ini adalah studi potong lintang berbasis komunitas di antara orang dewasa dengan indeks massa tubuh (BMI)>25 kg/m2 antara September dan Oktober 2018 di Jakarta, Indonesia. Asupan sukrosa dinilai menggunakan food recal l2x24 jam, dihitung berdasarkan tabel komposisi makanan Indonesia dan Amerika dengan menggunakan Nutrisurvey 2007.Skor NAFLD terdiri dari enam faktor risiko, yaitu BMI>25 kg/m2, jenis kelamin laki-laki, usia>35 tahun, trigliserida>150 mg/dL, kadar kolesterol lipoprotein kepadatan tinggi<40 mg/dL untuk pria atau <50 mg/dL untuk wanita, dan kadar alanin aminotrans feraseserum >35 U/L. Dari 102 subjek yang terdaftar, 75 orang(73,5%) adalah wanita. Median dari total skor NAFLD adalah 6,7 dengan rentang dari 3,6 hingga 10,2. Median asupan karbohidrat total adalah 179,6 (54,1-476,8) g/hari, dan median total asupan sukrosa adalah 47,0 (13,7-220,5) g/hari. Asupan sukrosa lebih tinggi signifikan pada responden dengan skor NAFLD >6,7 dibandingkan <6,7. (47,8 vs. 45,3 g; p=0,042; Mann-Whitney U test). Analisis multivariat mengonfirmasi adanya hubungan asupan sukrosa dan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik.
Kesimpulan: Asupan sukrosa tidak memiliki hubungan bermakna dengan skor NAFLD pada penyandang obesitas dewasa, namun bermakna jika dikaitkan dengan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan variabel tambahan pada skor NAFLD.

Obesity is a major problem in a world public health which is also known as one of the risk factors of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). An assessment system for detecting NAFLD has been developed and validated in Indonesia. However, the diet pattern of obese people who might have an effect on NALFD is still unknown. This study evaluated sucrose intake among obese adults in Jakarta and ints association with NAFLD score. This was a community-based cross sectional study among adults with body mass index (BMI) >25 kg/m2 between September and Oktober 2018 in Jakarta, Indonesia. Sucrose intake was assessed using 2x24-hour food recall, calculated based on the Indonesian and American food composition tables using dietary software Nutrisurvey. The NAFLD score consists of six risk factors, i.e. BMI >25 kg/m2, male sex, age >35 years, triglycerides >150 mg/dL, high density lipoprotein cholesterol levels <40 mg/dL for men or <50 mg/dL for women, and serum alanine aminotransferase levels >35 U/L. A total of 102 subjects were recruited; 75 (73.5%) of them were women. The median of total NAFLD scores was 6.7, ranging from 3.6 to 10.2. Median total carbohydrate intake was 179.6 (54.1-476.8) g/day, while the median total sucrose intake was 47.0 (13.7-220.5) g/day. Sucrose intake was significantly higher in patients with NAFLD score >6.7 than <6.7 (47.8 vs. 45.3 g; p=0.042; Mann-Whitney U test). Multivariate analysis confirmed the association of sucrose intake and higher total NAFLD score.
Conclusions: Sucrose intake and NAFLD score have no significant association among obese adults. Further research is needed to develop additional variables on NAFLD score.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Philip Waruna
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Kanker payudara merupakan kanker yang menempati urutan pertama dari keseluruhan kanker pada perempuan di Indonesia dan menurut data dari Indonesia Journal of Cancer 2012 menyebabkan kematian sebesar 458.000 perempuan. Kepadatan payudara merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kanker payudara yang dipicu oleh adanya estrogen yang menjadi prekursor jaringan fibrogladular menjadi padat. Pada perempuan dengan kanker payudara dan densitas payudara yang tinggi ditemui juga adanya perlemakan hati yang tinggi. Hubungan antara pasien dengan kanker payudara dengan densitas payudara yang tinggi dan perlemakan hati masih belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kepadatan jaringan payudara yang diperiksa dengan mammografi dan perlemakan hati yang diperiksa dengan ultrasonografi serta melihat hubungannya dengan estrogen reseptor yang diperiksa dengan immunohistokimia.
Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder ultrasonografi abdomen dan mammografi dari sistem PACS RS Kanker Dharmais. Penilaian yang dilakukan dengan melihat derajat kepadatan payudara yang diperiksa dengan mammografi dan derajat perlemakan hati yang diperiksa dengan ultrasonografi serta melihat status estrogen reseptor dari immunohistokimia pada pasien kanker payudara tersebut. Analisa data dilakukan dengan mengelompokan kepadatan payudara sampai 50 % dan kelompok lain dengan kepadatan lebih dari 50% dan membandingkan dengan perlemakan hati ringan dan berat.
Hasil: Pengelompokan pasien dengan kepadatan payudara sampai 50% menunjukkan terdapat banyak perlemakan hati berat, demikian juga pada kepadatan payudara yang lebih besar dari 50% menunjukkan terdapat lebih banyak lagi perlemakan hati derajat berat namun secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan Nilai Odds Ratio (OR) = 0.60 dengan 95% Interval Kepercayaan 0.12 – 3.01.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan hubungan antara kepadatan jaringan payudara yang tinggi dengan perlemakan hati yang juga tinggi walaupun secara statistik tidak menunjukkan hasil yang signifikan.

ABSTRACT
Background and Objectives: Breast cancer are the most common cancer and the first in all cancer that affected women in Indonesia and the data from Indonesian Journal of Cancer 2012 said, it cause death for about 458.000 women. Breast density are one of the risk factor that cause breast cancer and estrogen are the precursor for high density of the fibroglandular tissue. Women with breast cancer and high breast density are found to have a high degree of fatty liver. The relationship between breast cancer with high breast density and high fatty liver was unknown. The aim of these research wants to evaluation the breast density on mammography and fatty liver on ultrasound and the relationship with estrogen reseptor which was examined with immunohistochemistry.
Method: A cross sectional research is perform using mammography and ultrasound from PACS system. These research wants to evaluation the high breast density with mammograms and fatty liver with ultrasound and their relationship with estrogen receptor by immunohistochemistry. Data was merged in to two groups, one group with breast density until 50% and the other group was breast density more than 50% and compared it with mild and severe fatty liver.
Result: Patient with breast density until 50% showed more severe fatty liver as well as patient with breast density more than 50% had more severe fatty liver, although statistically had no significant relationship with Odds Ratio (OR) = 0,60 and confidence interval 0,12-3.01.
Conclusion: There are tendency relationship between higher breast density and higher fatty liver although statistically showed no significant relationship."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Hazim
"Latar Belakang. Keluarga derajat pertama (first degree relatives/FDR) dari Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) memiliki kecenderungan untuk memiliki gangguan metabolik dan vaskular lebih dini tanpa melaui resistensi insulin (RI) sebagai perantaranya seperti lebih tebalnya tunika intima media karotis. Penyakit perlemakan hati non-alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease/NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang banyak ditemukan pada pasien DMT2 yang dependen terhadap RI. Studi tentang hubungan FDR DMT2 dengan NAFLD masih sangat terbatas dan inkonklusif. Hubungan tersebut masih belum jelas apakah kejadian NAFLD pada FDR DMT2 dependen terhadap RI atau karena kerentanan genetik FDR DMT2.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara FDR DMT2 dengan NAFLD.
Metode. Sebanyak 118 dewasa muda (19-39 tahun) dengan toleransi glukosa normal (59 subjek FDR DMT2 dan 59 subjek non-FDR dengan matching usia dan jenis kelamin) diikutsertakan dalam penelitian potong lintang ini. Pengukuran antropometri (tinggi, berat badan, indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut) dan analisis laboratorium (glukosa darah puasa, HbA1c, profil lipid, serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT)), serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT)) diperiksa pada penelitian ini. Perlemakan hati didiagnosis dengan ultrasonografi (USG) menggunakan kriteria standar.
Hasil Penelitian. Dua puluh enam subjek (22,03%) dengan NAFLD terdeteksi dengan USG dalam penelitian ini dengan proporsi yang sama pada kedua kelompok. Pada kelompok FDR DMT2 didapatkan jumlah subjek dengan angka HDL rendah dan sindrom metabolik lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa FDR.
Kesimpulan. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara FDR DMT2 dengan NAFLD.

Background. First degree relatives (FDR) of type 2 diabetes mellitus (T2DM) predisposes individuals to have earlier metabolic and vascular disorders independent of insulin resistance (IR) such as thicker carotid intima media thickness than that of non-FDR. Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is the most commonly found chronic liver disease in T2DM which is IR dependent. Studies about NAFLD in FDR of T2DM populations are very limited and inconclusive. It is unclear whether the occurrence of NAFLD in FDR of T2DM is IR dependent or due to genetic vulnerability.
Aim. to determine the association between NAFLD and FDR of T2DM.
Method. A total of 118 young adults (19-39 years old) with normal glucose tolerance (59 FDR of T2DM and age-sex matched 59 non-FDR subjects) were included in this cross-sectional study. Anthropometric measurement (height, weight, BMI and waist circumference) and routine laboratory analysis (fasting blood glucose, HbA1c, lipid profile, alanine aminotransferase (ALT), aspartate transaminase (AST)) were examined. Fatty liver was diagnosed by ultrasonography (US) using standard criteria.
Result. Twenty-six (22,03%) subjects with NAFLD were detected by US with similar proportion for each group. Low HDL level and metabolic syndrome were found higher in FDR group.
Conclusion. we couldn`t prove the association between FDR of T2DM and NAFLD in this research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>