Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gadis Arivia Effendi
Jakarta : Kompas , 2006
320.562 2 GAD f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Cemara Dinda
Abstrak :
Women’s March Jakarta atau WMJ merupakan sebuah bagian baru dari sejarah perkembangan gerakan perempuan di Indonesia dan pada tahun 2018, isu-isu seperti penuntutan hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan berbasis gender menjadi beberapa tuntutan utama. Dalam meningkatkan kinerjanya, WMJ menggunakan media digital sebagai wadah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gerakan WMJ tersendiri dan isu-isu yang diangkat sehingga WMJ berpartisipasi dalam digital feminism activism (DFA), yakni dimana strategi aktivisme luring berlanjut ke ranah daring. Aktivisme daring tersebut membantu meningkatkan visibilitas WMJ dan perjuangannya untuk mengedepankan hak-hak perempuan dan masyarakat minoritas. Dari segi visibilitas, perbincangan dan perputaran wacana tentang isu perempuan dan gender menjadi semakin kuat dan bergulir dan dalam prosesnya, rasa solidaritas antar perempuan juga dapat diciptakan. Melalui penelusuran hashtag #womensmarchjkt2018 di Instagram, telah ditemukan bahwa kepemilikan tubuh perempuan adalah isu yang paling dominan pada unggahan poster yang dibawa peserta WMJ 2018. Maka, tesis ini menginvestigasi bagaimana narasi tersebut dihadirkan melalui 20 unggahan poster Instagram WMJ 2018. Di samping itu, tesis ini juga menginvestigasi bagaimana aktivisme luring dan daring yang dilakukan oleh WMJ 2018 melalui hasil penelitian dapat kontekstualisasikan pada gerakan perempuan dan aktivisme feminisme di Indonesia secara umum seperti potensi dari WMJ dan perbaikan yang dapat dilakukan. ......Women's March Jakarta or WMJ is a relatively new part of the history of women's movement in Indonesia and in 2018, issues such as the fulfillment of women's rights and the abolition of gender violence became its important demands. To improve its performance, WMJ took advantage of digital media to raise awareness about WMJ as a movement, its pressing issues, hence it's participating in digital feminism activism (DFA) where WMJ's offline practices are continued online. In terms of visibility, discussion and turnover of discourse related to women's and gender issues become stronger and ever-flowing and in that process, solidarity between women can happen. Through the hashtag #womensmarchjkt2018 di Instagram, it is discovered that ownership women's bodies is most dominant as reflected by the uploads of 20 posters brought by WMJ 2018participants. In addition to that, this thesis also investigates how WMJ 2018's offline and online activism is contextualized to the women's movement and feminism activism in Indonesia as a whole such as its potentials and improvements.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Astuti
Abstrak :
Penulisan sejarah Sri Mangunsarkoro dalam Pergerakan perempuan di Indonesia, khususnya pada tahun 1924 hingga I959. Permasalahan yang akan dibahas ialah aktifitas Sri Mangunsarkoro dalam memperjuangkan perbaikan kedudukan perempuan di Indonesia pada periode tersebut dan pemikirannya yang melandasi setiap langkahnya dalam gerakan perempuan. Dalam Skripsi ini, pembahasan dimulai dari munculnya gerakan perempuan di Indonesia pada awal ke-20 yang diawali oleh Kartini. Sepeninggal Kartini, banyak tokoh perempuan di Indonesia yang muncul seperti Rohana Kudus, Dewi Sartika, Nyi Hajar Dewantara dan perempuan Indonesia lainnya. Awal gerakan emansipasi perempuan pada awal abad 20 adalah pendidikan bagi kaum perempuan. Sri Mangunsarkoro adalah satu dari sedikit perempuan Indonesia yang dapat mengenyam pendidikan tersebut. Pada tahun 1924, Sri Mangunsarkoro bergabung ke dalam Taman Siswa di Tegal sebagai guru. Di Taman Siswa, awal peranan Sri Mangunsarkoro di dalam gerakan perempuan Indonesia. Ia menjadi salah satu kader terbaik dari Taman Siswa, hal itu dapat dilihat dari keterlibatan dalam kancah pergerakan perempuan di tingkat nasional yaitu pada tahun 1929, ia telah menjadi pengurus pusat PPII kemudian bahkan menjadi ketua Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935. Periode awal abad 20 adalah periode dimana gerakan perempuan ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Hal tersebut menyebabkan gerakan perempuan berkaitan dengan perjuangan politik yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia. Perjuangan politik itulah yang membuat Sri Mangunsarkoro melihat bahwa gerakan perempuan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gerakan politik untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Pandangan politik tersebut yang membuat ia membuat partai perempuan pertama di Indonesia yaituPartai Wanita Rakyat pada tahun 1946. Partai tersebut adalah partai kecil dan bahkan tidak berhasil mendapatkan kursi di parlemen tapi PWR merupakan representasi gerakan perempuan di Indonesia yang secara legal memproklamirkan dirinya dalam gerakan politik di Indonesia. Sri Mangunsarkoro adalah satu dari tokoh gerakan perempuan di Indonesia, di dalam perjuangannya dia selalu menegaskan behwa perempuan harus bersatu. Perbedaan yang ada dalam metode perjuangan yang digunakan oleh berbagai organisasi perempuan di Indonesia tidak harus membuat perpeahan sehingga sampai akhir hidupnya Sri Mangunsarkoro tetap berjuang baik di partainya dan juga berbagai organisasi perempuan lainnya seperi Kongres Wanita Indonesia sebagai payung dari organisasi-organisasi perempuan yang ada di Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S12209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awuy, Tommy
Yogyakarta : Jentera, 1995
190 TOM w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurhayati
Abstrak :
Skripsi berjudul Soenting Melajoe Suara Kemajuan Perempuan Minangkabau 1912-21 secara garis besar menggambarkan keadaan kaum perempuan di Minangkabau. Secara khusus, penulisan i n i sebenarnya ingin memperlihatkan bagaimana kaum perempuan saat itu dalam meraih dan memperjuangkan haknya untuk sama-sama memperoleh pendidikan sama halnya seperti kaum lelaki. Minimnya jumlah sekolah yang disediakan oleh pemerintah bagi kaum perempuan saat itu membuat keadaan dimana kebutuhan pendidikan bagi kaum perempuan kurang diprioritaskan. Selain itu, sistem adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat Minangkabau juga melarang anak perempuannya untuk bersekolah. Sulitnya mendapatkan pendidikan bagi kaum perempuan saat itu, membuat kaum perempuan di Minangkabau menyuarakan aspirasinya melalui berbagai macam cara, salah satunya dengan menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe, yang didirikan oleh Rohana Kuddus. Meskipun sempat mengalami hambatan dari kaum adat yang umumnya menganggap bahwa kaum perempuan tidak perlu bersekolah, namun terbitnya Soenting Melajoe justru dapat memberikan harapan bagi kaum perempuan untuk meraih kemajuan. Terbitnya Soenting Melajoe dapat menggugah kaum perempuan untuk belajar membaca dan menulis serta menuangkan gagasan atau pikirannya ke dalam bentuk karangan yang banyak diterbitkan di Soenting Melajoe. Semakin banyaknya kaum perempuan yang menuangkan gagasannya, semakin memperlihatkan pula antusiasme dalam menerima Soenting Melajoe sebagai media informasi dan penunjang kemajuan bagi kaum perempuan. Di daiam Soenting Melajoe, kaum perempuan dibebaskan untuk menuangkan gagasannya baik berupa karangan, puisi, maupun cerita bersambung. Umumnya, gagasan-gagasan tersebut berupa ajakan bagi kaum perempuan di daerah lain untuk sama-sama meraih kemajuan melalui pendidikan yang dapat mengangkat harkat dan martabat perempuan. Sampai pada akhir penerbitannya Soenting Melajoe tetap menyuarakan aspirasi-aspirasi kaum perempuan agar jangan menyerah pada keadaan yang justru membodohi kaum perempuan. Segala upaya yang telah diusahakan rupanya membawa hasil yang baik bagi kaum perempuan, karena pada masa-masa itu mulai banyak didirikannya sekolah-sekolah bagi kaum perempuan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S12655
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Solochin Salam
Jakarta: Gunung Mas, 1979
920.72 SOL k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
305.4 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Musdah Mulia
Bandung: Mizan, 2005
297.43 SIT m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Roremary Megawe Suwasono
Abstrak :
Penelitian ini akan berperspektif Feminisme Siber, yang mengupayakan pemberdayaan perempuan di ruang digital untuk melawan budaya patriarki dalam pemanfaatan teknologi, Salah satunya Kekerasan Seksual Berbasis Gender yang difasilitasi teknologi yaitu, Deepfake Pornografi sebagai hasil rekayasa terhadap citra seseorang yang digabungkan dengan wajah atau tubuh orang lain untuk menciptakan konten porno berbentuk gambar dan atau video palsu yang baru. Penelitian ini melihat bahwa Deepfake Pornografi dioperasikan oleh mayoritas laki-laki yang memposisikan perempuan sebagai target pengancaman untuk mengontrol dan berkuasa atas korban. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam memposisikan dan memberikan perlindungan terhadap korban. Mengingat, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dirumuskan dengan Pasal-Pasal yang lebih berperspektif pada pengalaman korban dan gender. Penelitian ini juga ingin menunjukkan pada penanganan kasus Deepfake Pornografi, beberapa Aparat Penegak Hukum memilih untuk tetap menggunakan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan alasan belum memahami mekanisme pelaksanaan dan belum mendapat sosialisasi materi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kurangnya literasi pada Aparat Penegak Hukum menyebabkan pemahaman yang multitafsir, bias gender dan objektivikasi tubuh perempuan pada penanganan kasus Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online dapat berpotensi mere-viktimisasi dan mengkriminalisasi korban melalui pengunaan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan demikian, Feminisme Siber hadir sebagai perjuangan gerakan feminis di ruang digital dalam menyediakan ruang aman bagi perempuan untuk berkembang, berpartisipasi, berkontribusi dan untuk melawan budaya patriarki dan dominasi laki-laki dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dengan mengutamakan pengalaman perempuan sebagai korban untuk sistem hukum yang lebih berperspektif gender. ......This research will take the perspective of Cyberfeminism, which seeks to empower women in the digital space to fight patriarchal culture in the use of technology, one of which is Gender-Based Sexual Violence which is facilitated by technology, namely, Deepfake Pornography as a result of engineering a person's image combined with another person's face or body to creating pornographic content in the form of new fake images and/or videos. This research sees that Deepfake Pornography is operated by the majority of men who position women as targets of threats to control and have power over the victims. This research aims to see how Law no. 12 of 2022 concerning Crime of Sexual Violence and Law no. 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions in positioning and providing protection for victims. Bearing in mind, Law no. 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence, formulated with articles that have a greater perspective on the victim's experience and gender. This research also wants to show that in handling Deepfake Pornography cases, several Law Enforcement Officials choose to continue using Law no. 19 of 2016 Information and Electronic Transactions on the grounds that they do not understand the implementation mechanism and have not received socialization on the material on the Law no. 12 of 2022. Lack of literacy among Law Enforcement Officials causes multiple interpretations, gender bias and the objectification of women's bodies in handling cases of Online Gender-Based Sexual Violence which can potentially re-victimize and criminalize victims through the use of the Law on Information and Electronic Transactions. Thus, Cyberfeminism is present as the struggle of the feminist movement in the digital space in providing a safe space for women to develop, participate, contribute and to fight patriarchal culture and male domination in the use of Information Technology by prioritizing women's experiences as victims for a legal system that has a more gender perspective.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library