Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Buchari Iman Santoso
Abstrak :
Kehadiran UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah tidak serta merta membuahkan hasil sesuai dengan tuntutan stakeholders di daerah. Kenaikan pendapatan daerah dari Dana Perimbangan setelah diterapkannya UU No.25/1999 hanya cukup untuk membayar gaji pegawai limpahan Kanwil-Kanwil yang telah diintegrasikan menjadi perangkat dinas-dinas daerah. Sehubungan dengan itu, pokok masalahnya adalah langkah kebijakan apa yang harus ditempuh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta agar lebih mampu meningkatkan pendapatan daerah guna memenuhi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Langkah kebijakan dimaksud utamanya adalah eksplorasi sumber-sumber pendapatan daerah. Pendekatan yang ditempuh bersifat multi dimensional. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan melalui penelitian.

Temuan hasil penelitian, yaitu: Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD sekitar 50 persen lebih; Sumber pendapatan dari PAD yang potensial adalah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, sementara sumber pendapatan dari laba BUMD kontribusinya relatif kecil; sumber pendapatan dari Dana Perimbangan kenaikannya cukup besar, tetapi proporsinya lebih kecil dibandingkan dengan PAD, kontribusinya terhadap APBD kurang dari 50 persen. Sumber pendapatan dari Dana Perimbangan yang potensial adalah Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); Sumber pendapatan dari Sumber Daya Alam (SDA) relatif kecil.

Berdasarkan temuan hasil penelitian seperti diuraikan diatas rekomendasi langkah kebijakan yang perlu dilakukan adalah intensifikasi pengelolaan sumber PAD yang telah ada (Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan BUMD); intensifikasi pengelolaan PBB dan BPHTB, melakukan pendekatan dengan pemerintah pusat untuk menjajagi memperoleh bagian dari sumber-sumber lain dengan cara bekerja sama yang bersifat saling menguntungkan.
2002
T7428
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Rachmah Fadjria P.
Abstrak :
Studi ini memaparkan bagaimana penerapan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 mengenai Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD di Biro Perlengkapan, Setda Propinsi Banten. Pada Tahun Anggaran 2003 ini, Biro Perlengkapan menyelenggarakan 13 kegiatan, dengan total dana yang dianggarkan sebesar Rp 81.849.765.548,00 dengan bobot terbesar dianggarkan bagi kegiatan Pengadaan Lahan Pemerintah Propinsi Banten. Dalam rangka meninjau sejauh mana Kepmendagri No. 29/2002 tersebut diterapkan di Propinsi yang relatif masih sangat muda ini, maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk menilai pengelolaan keuangan daerah setelah diterapkannya Kepmendagri No. 29/2002 dengan mengadopsi sistem anggaran berdasarkan kinerja (performance budgeting). Tinjauan terhadap penganggaran pada salah satu kegiatan di Biro Perlengkapan Setda Propinsi Banten yakni kegiatan Pengadaan Lahan Pemerintah Propinsi Banten, berdasarkan Standar Biaya dilakukan dengan menganalisa setiap rincian obyek kegiatan (per Kode Rekening) dalam satu kegiatan, apakah harga satuan (unit cost) dari rincian obyek kegiatan tersebut sesuai dengan Standarisasi Harga yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Banten. Tinjauan juga dilakukan terhadap anggaran secara garis besar, apakah masih mengadopsi sistem anggaran lama yakni Line-Item Budgeting atau sudah sepenuhnya menggunakan sistem Performance Budgeting (anggaran berdasarkan kinerja) seperti yang diamanatkan di dalam Kepmendagri No. 29/2002. Pada kegiatan Pengadaan Lahan Pemerintah Propinsi Banten di Biro Perlengkapan, terlihat bahwa pelaksanaan sistem anggaran berdasarkan kinerja belum sepenuhnya diterapkan, melainkan masih tercampur aduk dengan sistem anggaran yang diterapkan sebelum dikeluarkannya Kepmendagri No. 29/2002, yakni Line-Item Budgeting. Demikian pula halnya dengan harga satuan (unit cost) yang digunakan dalam memperhitungkan total biaya yang dibutuhkan, tidak sesuai dengan standar biaya yang dijadikan acuan (Standarisasi Harga yang dikeluarkan oleh Propinsi Banten sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 4 Tahun 2003). Sebagian besar harga satuan pada Belanja Operasi dan Pemeliharaan mengalami mark-up sehingga ± 23%, sedangkan untuk Belanja Modal, harga satuan lahan yang tercantum dalam Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) seringkali mengalami perubahan pada pelaksanaannya. Selain itu, masih terdapat juga pemanfaatan dana yang tidak sesuai dengan yang dialokasikan dalam anggaran. Jika Kepmendagri No. 29/2002 disosialisasikan dengan baik sebelum diterapkan di daerah, semua instansi pemerintah daerah berperan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing, serta mental, moral dan peran dari sumberdaya manusia di daerah telah dipersiapkan dengan matang, maka penerapan Kepmendagri No. 29/2002 tentunya akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryudhi Saputra
Abstrak :
Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) lahir dari konvensi Washington 1985, is merupakan bagian dari Group Bank Dunia. International Finance Corporation (IFC) dan MIGA berperan untuk sektor swasta sedangkan Bank Dunia (IBRD dan IDA) bekerja dengan pemerintah, IFC and MEGA hanya bekerja dengan dengan dunia usaha, memberikan mereka pinjaman, ekuitas, Iayanan investasi, bantuan teknis, dan asuransi. Permintaan akan pelayanan IFC dan MiGA meningkat tajam seiring dengan penanaman modal asing langsung yang terus bertumbuh di negara berkembang. Walaupun IFC dan MIGA adalah lembaga publik, para kliennya terdiri dari sektor swasta yang bersaing, cepat berkembang dan tidak transparan. Akibatnya, dampak IFC dan MIGA di bidang pembangunan - baik positif maupun negatif - seringkali sulit diukur atau dipengaruhi oieh publik. Di Indonesia, MIGA disahkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 31 Tabun 1986 tentang Pengesahan Convention Multilateral Investment Guarantee Agency, MIGA bersama-sama dengan World Bank Group berperan sebagai penjamin terhadap risiko non-komersial (noncomercial risk) dalam beberapa proyek infrastruktur. MIGA dapat menjadi pihak yang berwibawa, dimana pihak yang meminta perlindungan MIGA diatas pada akhimya mendapatkan haknya. Efektifitas pelaksanaan MIGA di Indonesia dari segi pembiayaan proyek infrastruktur memang membantu Indonesia terutama dalam pendanaan dan bantuan teknis dan promosi untuk nama baik keamanan iklim investasi di Indonesia di mata dunia luar. Bantuan MIGA berupa rekomendasi-rekomendasi baik(berbentuk: technical assistance dalam bentuk lembaga perantara kebijakan investasi (intermediaries), dalam kerangka memajukan Penguatan Institusional dan pembangunan kapasitas (Institutional strengthening and capacity building), Penyebaran Informasi (Information Dissemination): melalui Iayanan infomasi online, dan Fasilitasfasilitas dalam investasi. MICA karena berafiliasi dengan Pemerintah setempat (host country) sehingga asuransi yang diberikan MICA cukup untuk membuat Asing merasa investasinya aman.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asmini
Abstrak :
Pembangunan nasional yang terus dilaksanakan dewasa ini dimaksudkan untuk mencapai lujuan nasiona! seperti diamanaikan dalam alcnea ke-empat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan : Pembangunan merupakan bagian dari penyelenggaraan negara dalam sega!a aspek kehidupan bangsa, dan hal ini bertujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan selunih tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan keteniban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial". Agar pembangunan yang dilaksanakan itu terarah dalam mencapai sasarannya sesuai dengan yang diinginkan, maka lemhaga terlinggi iiL'^ara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyal (MPR) menetapkan Garis-garis Besar Haluan Ncgara (GBHN) scbagai pernyataan kehendak rakyainya dalam suatu pola umum Pembangunan Nasional yang menyeluruh. lerpadu yang berlangsung secara terus-menerus. GBHN 1999 - 2004 sebagai kerangka acuan Pembangunan Nasiona! sepeni yang termuat dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1999, juga memhenkan arahan yang cukup jelas bahwa : "Pembangunan nasional dilaksanakan mengacu jtada kepnbadian bangsa dan nilai luluii yang universal unluk inewujudkan keliidupan banusa yang bcidaulal, mandiri. berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh kekualan moral dan elika". (MPT : 1999). Dalam perjalanan perjuangan bangsa, konsep Pernbangunan Nasional tersebut sangal disayangkan hampir tidak terimplementasikan. Betapa lidak, pembangunan yang terpusat dan tidak merata yang dilaksanakan selama im ternyata hanya mengulamakan perturnbuhan ekonomi serta tidak diimbangi kebidupan sosial, polilik, ekonomi yang demokraiis, dan keadilan. Fundamental pembangunan ekonomi yang rapuh, penyelenggaraan negara yang sangat birokratis dan cenderung korup, serta tidak demokratis telah menyebabkan krisis moneter dan ekonomi, yang praktis berlanjut pada krisis moral yang sangat memprihatinkan. Hal tersebut kemudian menjadi penyebab timbulnya krisis nasionai yang' berkepanjangan, bisa memungkinkan membahayakan persatuan dan kesatuan, mengancam kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Karena itu reformasi di segala. bidang dilakukan untuk bangkit kembali dan memperteguh kepercayaan diri atas kemampuan yang dimiliki dan melakukan langkab-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan pengembangan pernbangunan dengan paradigma baru Indonesia masa depan. Salah satu perubahan yang sangat rnenonjol dalam UU Nornor 5 Tahun 1974 adalah ditinggalkannya prinsip otonomi yang seluas-luasnya yang diganli dengan prinsip yang telah dmariskan MPR No.4/M.PR/1974 tenlang GBHN, yakin prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Punsip Otonomi yang seluas-luasnva bnaru mcmperluas oionomi dan suatu daunt h yang mcmpakan tujuan dan menjadi kewajiban pemermtah untuk selalu munambah ulausan vang harus diserahkan kepada daerali otonom. Kouskuensi lain adalah sejauh nmngkin harus dibenkan oionomi kepada setiap bagian dari wilayali negara Padahal prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab tcrnyaia tidak sentralisasi, otonomi bams selalu dipuvluas. ballkan dapal dipersempit atau cliliapuskan sania sekali. Perimbangan Keuatigan Pusat dan Daerah yang berdasarkan UU No.5 tahun 1974 meniinbulkan ketidakadilan antara Pusat dan Daerah, di mana Propinsi Papua memperoleh RP. 25 Trilyun sesudah diterapkannya UU No 25 tahun 1009 ada dalan; rr.isa awal rcformasi Secara benahap Propinsi Papua memperoleh penmgkatan pembagian keuangan daerali sebanyak Rp 4 19.970,0 Trilyun. Pada era reformasi sekarang ini dengan adanya tuntutan reformasi total dalam segala bidang keliidupan berbangsa dan bernegara di antaranya, adalah pada perubahan arah Pembangunan National atau yang dikenal dengan istilah Trilogi Pembangunan. Salah satu tuntulannya adalah supaya lebih diprioritaskan lagi pada pemeraiaan pembangunan dan hasil-hasilnya ke setiap tlaerah di Negara Kesatuan Repubhk Indonesia secara adil dan proporsional Tuntutan terhadap paradigma batu pembangunan yang berorientasi pada pemerataan dan keadilan social tersebut telah terakomodasi dalam Sidang Majelis.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T290
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Noor Azizah
Abstrak :
ABSTRAK
Penyelesaian ganti kerugian terhadap pengelola BUMN hingga saat ini merupakan masalah yang penting seiring dengan semakin meningkatnya semangat untuk memajukan kinerja BUMN menjadi salah satu penggerak ekonomi negara yang dapat disejajarkan dengan badan usaha-badan usaha milik negara lain. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BUMN merupakan salah satu penyebab kinerja BUMN menjadi sangat terbatasi, sehingga tidak dapat bersaing dengan perusahaan swasta sebagaimana mestinya. Berdasarkan hal tersebut, tesis ini bertujuan untuk mengkaji konsep ganti kerugian dalam hukum keuangan negara, mengkaji apakah kerugian pada badan usaha milik negara (BUMN) merupakan kerugian negara, dan mengkaji bagaimana penyelesaian ganti kerugian terhadap pengelola badan usaha milik negara (BUMN). Metode penelitian dalam penulisan tesis ini menggunakan metode normatif dengan sifat penelitian deskriptif yaitu memberikan gambaran mengenai keuangan negara, kerugian negara, badan usaha milik negara, pengelola BUMN, dan penyelesaian ganti kerugian termasuk penyelesaian ganti kerugian terhadap pengelola BUMN yang didasarkan kepada teori dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan data tertulis baik berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, melalui pengamatan, dan wawancara untuk kemudian data tersebut dianalisa secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa saat ini penyelesaian ganti kerugian terhadap pengelola BUMN diatur oleh multi hukum, yaitu dalam hukum perdata, administrasi negara, dan pidana. Hal ini didasarkan pada pengertian keuangan negara yang sangat luas berdasarkan Undang-undang Keuangan Negara, yang kemudian dianalogikan kepada kerugian negara sehingga penyelesaian ganti kerugian diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara dan peraturan tentang BUMN itu sendiri, selain itu karena bentuknya, BUMN diatur pula berdasarkan peraturan tentang badan hukum dan perseroan terbatas sebagaimana layaknya suatu perusahaan atau badan usaha.
ABSTRACT
Settlement of damages towards state-owned enterprise administrators up to this time is an important issue in a line with increasingly anthusiasm to develop achievement capabilities of the state-owned enterprises to become one of state economic activator which could be aligned with state-owned enterprises in the other countries. A lot of regulations which are regulate about state-own enterprise is become majority causes restrictedly achievement capabilities of the state-owned enterprises, so that it unable to compete with private companies as it should be. According to mentioned above, this thesis being purposeful to learn about damages concept in the law of public finance, to learn about is the state-owned enterprise damages constitute state damages, and to learn about settlement of damages towards state-owned enterprise administrators. Research method which used in this thesis is normative method with research character is descriptive that is to give describes about public finance, state damages, state-owned enterprise, state-owned enterprise administrators, and settlement of damages including settlement of damages towards state-owned enterprise administrators based on the theories and according to the law. This research is using primary and secondary datas. Secondary datas obtained through literatures research by using primary, secondary, and tertiary law substances through observationed and interviewed, then using qualitative descriptive to analyzing the datas. Result of this research are settlement of damages towards state-owned enterprise this time regulated by multi-laws, that is in private law, state administration law, and criminal law. This condition is a consequence of public finance meaning which is so extensive according to the Public Finance Law, which analogized to the state damages so that settlement of damages are regulated by regulation which associated to public finance and state-owned enterprise law it selves, besides that, based on the state-owned enterprise types, state-owned enterprise also regulated by corporation law appropriately as a corporation and bussiness entity as it should be.
2008
T 23497
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyhan Noor
Abstrak :
Kehadiran perusahaan teknologi keuangan (financial technology/fintech) telah mendisrupsi institusi keuangan tradisional, termasuk sektor perbankan. Otoritas regulasi merespons disrupsi ini melalui fintech regulatory sandbox. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah memberikan ruang bagi inovasi tanpa mengorbankan sektor keuangan yang sudah ada sebelumnya. Penelitian ini menguji efektivitas dari kebijakan tersebut terhadap stabilitas perbankan dengan menggunakan dua sampel antara lain (1) data agregat berdasarkan modal inti atau Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) dan (2) data 38 perusahaan perbankan di Indonesia. Hasil uji estimasi dengan model Pooled Ordinary Least Squares. Fixed Effects, dan Difference-in-Differences secara konsisten menemukan pengaruh yang positif dan signifikan, sehingga penelitian ini menyimpulkan bahwa fintech regulatory sandbox terbukti efektif dalam mencapai tujuannya. Kebijakan tersebut mampu meningkatkan stabilitas perbankan di tengah disrupsi akibat kehadiran fintech, terutama bagi perusahaan perbankan dengan modal inti yang relatif lebih kecil. Penelitian ini juga menemukan bahwa Loan to Deposit Ratio, Operating Expense to Operating Income Ratio, kekuatan pasar, dan inflasi juga berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap stabilitas perbankan. ......Financial technology (fintech) has disrupted traditional financial services, especially banking. The regulation authority responded to this issue by creating a regulatory sandbox to create space for fintech innovation without negatively impacting existing financial services. This study examines the effectiveness of banking stability in Indonesia by using two samples, namely (1) bank classifications based on core capital (Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha/BUKU) and (2) 38 banks in Indonesia. Pooled Ordinary Least Squares, Fixed Effects, and Difference-in-Differences method are used and resulting positively significant impact as expected by this policy objective. The policy is effective in improving banking stability amid disruption by fintech start-ups, particularly to banks with relatively small core capital. This study also finds positive and significant impact from Loan to Deposit Ratio, Operating Expense to Operating Income Ratio, market power, and inflation toward bank stability.
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Hilmy
Abstrak :
Setelah berdirinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat beberapa kasus gagal bayar perusahan asuransi yang menyebabkan pemegang polis mengalami kerugian, salah satunya yakni Kasus Asuransi Jiwa Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera 1912). Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perlindungan hukum pemegang polis oleh peraturan perundang-undangan dan OJK dalam kasus gagal bayar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912?, dan 2. Bagaimana peran dan tanggung jawab OJK dalam upaya penyelesaian hak-hak pemegang polis dalam kasus gagal bayar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912?. Dalam menganalisis permasalahan yang diteliti menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan data sekunder dan melakukan studi kepustakaan serta menggunakan pendekatan penelitian Perundang-Undangan dan pendekatan pendekatan kasus. Hasil dari penelitian ini adalah: 1. Perlindungan hukum pemegang polis yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan secara umum terdapat di dalam UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, tetapi dalam kaitannya dengan kasus gagal bayar AJB Bumiputera 1912 terdapat permasalahan yakni tidak ada Undang-Undang khusus yang mengatur tentang perusahaan asuransi berbentuk Asuransi Bersama (Mutual Insurance) sesuai dengan amanat dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Sedangkan perlindungan hukum oleh OJK dilakukan secara preventif sudah dilakukan dengan pemeriksaan, pengawasan dan rekomendasi untuk melaksanakan serangkaian ketentuan dan persyaratan dan pedoman yang ada dalam POJK No. 73 /Pojk.05/2016. 2. Peran dan tanggung jawab OJK dalam upaya penyelesaian hak-hak pemegang polis sudah dilakukan dengan menerapkan POJK Nomor 63 /POJK.05/2016. Tetapi peran dan tanggung jawab itu masih belum maksimal sehingga sampai saat ini kasus AJB Bumiputera 1912 ini belum terselesaikan. ......After the establishment of Otoritas Jasa Keuangan (OJK), there were several cases of insurance company that caused policy holders to suffer losses, one of the cases that occurred was the case of Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera 1912). The problems analyzed in this research are: 1. How is the legal protection of policyholders by laws and regulations and OJK in the case of failure to pay of the AJB Bumiputera 1912?, and 2. What are the roles and responsibilities of OJK in efforts to settle the rights of policy holders in the case of failure to pay of AJB Bumiputera 1912?. The results of this study are: 1. Legal protection for policyholders provided by legislation is generally contained in UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, but in relation to the AJB Bumiputera 1912 default case there is a problem, namely that there is no special law that regulates insurance companies in the form of Mutual Insurance in accordance with the mandate in Article 7 paragraph (3) of UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. While legal protection by OJK is carried out in a preventive manner, it has been carried out with inspection, guidelines contained in POJK No. 73 /Pojk.05/2016. 2. The roles and responsibilities of OJK in efforts to settle the rights of policyholders have been carried out by implementing POJK Number 63 / POJK.05/2016. But the roles and responsibilities are still not maximized so until now the case of AJB Bumiputera 1912 has not been resolve.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latipah
Abstrak :
Perluasan lingkup keuangan negara berimplikasi pada sektor pemeriksaan keuangan negara, dalam hal ini terdapat inkonsistensi penerapan regulasi terhadap status hukum dari Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (AP BUMN), dimana terdapat perlakuan hukum yang menjadikan Anak Perusahaan BUMN sebagai bagian dari keuangan negara. Secara hukum keuangan publik, AP BUMN merupakan badan hukum perdata tersendiri yang berbeda karakter hukumnya dengan BUMN dan keuangan negara. Dari segi pendirian, tata kelola, regulasi, dan risiko tidak ada kesamaan antara AP BUMN dan BUMN serta keuangan negara. Ketika Anak Perusahaan BUMN menjadi bagian dari keuangan negara tentu hal ini juga berimplikasi pada sektor pemeriksaan keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan satu satunya lembaga yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara.Tesis ini disusun berdasarkan penelitian yuridis normatif yang menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum primer dan kepustakaan sebagai bahan sekunder. Hasil dari tesis ini menunjukan dua temuan pertama, Badan Pemeriksa Keuangan tidak berwenang dalam memeriksa APdiata BUMN yang merupakan badan hukum perdata, hal ini dilihat dari peraturan perundangan dan konsep badan hukum. Adapun terhadap frasa “lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara” menimbulkan multitafsir, sehingga pemeriksaan yang dilakukan BPK tanpa adanya kepastian hukum merupakan tindakan melampaui wewenang sehingga pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK telah melampaui kewenangannya. Kedua, terkait standar pedoman pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dimuat dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tidak memuat terkait pemeriksaan terhadap AP BUMN ......The expansion of the scope of state finances has implications for the state financial audit sector, in this case there is an inconsistency in the application of regulations to the legal status of State-Owned Enterprises (BUMN) Subsidiaries, where there is legal treatment that makes BUMN Subsidiaries part of state finances. In public finance law, BUMN Subsidiaries is a separate civil legal entity that differs in its legal character from BUMN and state finances. In terms of establishment, governance, regulation, and risk, there are no similarities between BUMN Subsidiaries and BUMN as well as state finances. When a BUMN subsidiary becomes part of the state finances, of course, this also has implications for the state financial audit sector. The Supreme Audit Agency (BPK) is the only institution authorized to determine whether or not there is a state financial loss. This thesis is prepared based on normative juridical research that uses laws and regulations as the primary source of law and literature as secondary material. The results of this thesis show the first two findings, the Supreme Audit Agency is not authorized to examine the BUMN Subsidiaries which is a civil legal entity, this can be seen from the laws and regulations and the concept of a legal entity. As for the phrase "another institution or agency that manages state finances" gives rise to multiple interpretations, so that the examination carried out by the BPK without legal certainty is an act beyond its authority so that the examination carried out by the BPK has exceeded its authority. Second, related to the standard of audit guidelines carried out by BPK, contained in the Regulation of the Indonesian Supreme Audit Agency Number 1 of 2017 does not contain related to the examination of BUMN Subsidiaries.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faiz Muhammad Rizky
Abstrak :
Inovasi keuangan telah mengubah lanskap keauangan dunia. Sebagai suatu inovasi yang memperkuat sisi anonimitas traksaksi, virtual asset perlu senantiasa dipantau perkembangannya mengingat adanya potensi untuk digunakan sebagai salah satu alternatif pendanaan terorisme. Tesis ini merupakan penelitian hukum normatif yang akan membahas mengenai peraturan pencegahan pendanaan terorisme yang dilakukan melalui virtual asset. Tesis ini memperlihatkan bahwa diperlukan penyempurnaan atas peraturan pencegahan pendanaan terorisme yang ada. Dalam hal ini, perlu ditetapkan definisi yang seragam, perlu ditinjau ulang ambang batas transaksi yang mana penyedia jasa virtual asset perlu untuk melakukan customer due diligence, dan perlu diperkuat proses implementasi regulasi dan sistem deteksi transaksi keuangan mencurigakan. Oleh karenanya, pemerintah perlu meninjau kembali tujuan awal mengatur virtual asset di Indonesia guna mendapatkan gambaran yang penuh akan potensinya dan menghindari risiko pendanaan terorisme yang muncul. ......Financial innovation has changed the world's financial landscape. As an innovation that strengthens the anonymity of transactions, virtual asset needs to be continuously monitored for their development considering the potential to be used as an alternative to terrorist financing. This thesis is a judicial-normative research which discuss the regulation of preventing the financing of terrorism that is carried out through virtual asset. This thesis shows that it is necessary to improve the existing regulations to prevent the financing of terrorism. In this case, it is necessary to establish a uniform definition, review the transaction threshold at which virtual asset service providers need to carry out customer due diligence, and strengthen the regulatory implementation process and suspicious financial transaction detection system. Therefore, the government needs to reassess the purpose of regulating virtual asset in Indonesia to get a full picture of its potential and avoid the risks of terrorism financing that arise.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhuwana Fairuz Kusumawardhani
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai konsep anjak piutang dalam hukum di Indonesia dan perbandingan konsep anjak piutang di Indonesia dengan Belanda dan Perancis. Anjak piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang usaha suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. Secara teknis anjak piutang memang dapat dikatakan sebagai pengalihan piutang dagang, namun anjak piutang tidak sesederhana itu. Kombinasi dari dua fungsi dalam konsep anjak piutang menimbulkan beragam perkembangan produk-produk anjak piutang yang membutuhkan pertimbangan hukum yang berbeda dan khusus. Oleh karena itu lingkungan hukum pada suatu negara memegang peranan penting dalam menentukan suksesnya anjak piutang. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dan metode perbandingan hukum. Data penelitian dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa munculnya konsep anjak piutang di Indonesia merupakan bagian dari kecenderungan dalam pembangunan hukum di dunia yang mendorong transplantasi konsep-konsep yang timbul dari bidang ekonomi di Amerika Serikat ke dalam sistem hukum negara lain. Perbandingan konsep anjak Piutang di Indonesia dengan Belanda dan Perancis dapat dilakukan berdasarkan aspek regulasi dan aspek kontraktual. Berdasarkan aspek regulasinya, anjak piutang di Indonesia dan Perancis adalah teregulasi sedangkan anjak piutang di Belanda tidak teregulasi. Berdasarkan aspek kontraktualnya, Indonesia, Belanda dan Perancis belum memiliki peraturan khusus yang mengatur tentang perjanjian anjak piutang, oleh karena itu ketentuan umum hukum perjanjian di ketiga negara tersebut pada umumnya masih menjadi acuan untuk perjanjian anjak piutang. ......This thesis concerns with factoring concept in Indonesian Law and it’s comparison to the Netherlands and France regime. Factoring is a financing activity in the form of trade receivables sale followed by the administration of said accounts receiveable. Technically, factoring could be said simply as an assignment of accounts receivable. However, factoring is not as straightforward as it seems. The development of various factoring products that arise from the combination of factoring’s two functions pushed the need of different and specific contractual considerations. Therefore, the legal environment of a country holds an important role in deciding the success of factoring concept. This thesis is using normative and comparative method. The data in this thesis is collected by conducting library research. The result of this research shows that the factoring concept appeared in Indonesia as a part of trends in the law development across the world which urged the transplantation of American economic concepts into other countries legal system. Comparison to the regulation aspect of factoring concept in Indonesia, Netherlands, and France shows that both Indonesia and France factoring industries are regulated while factoring industry in Netherlands is not. On the other hand, based on the contractual aspect, the three countries do not have a specific and specialized regulations or laws concerned with factoring agreement. Subsequently, factoring agreement still largely refers to the general contract law that governs each countries.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>