Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizky Muhartono
Abstrak :
Tesis ini membahas dominasi pemilik modal dan adaptasi nelayan pada komunitas nelayan Rampus di Jakarta. Bagaimana ikatan (jaringan) antara nelayan dan pemilik modal terbentuk, bentuk dominasi yang dilakukan dan adaptasi yang dilakukan nelayan. Studi ini adalah penelitian kualitatif dan menggunakan teori jaringan Granovetter (2005). Hutang dijadikan fokus bahasan terpenting dalam jaringan. Kuat lemahnya hutang dapat mempengaruhi kualitas hubungan antara nelayan dan pemilik modal. Jaringan yang tersusun atas hutang akan menyebabkan ketergantungan tindakan ekonomi. ......This thesis discusses the dominance of the capital owners and the adaptation of fishermen on Rampus fishing communities in Jakarta. How the networking between fishermen and capital owners are formed, the forms of capital owners domination and adaptations made by fishermen. This study are qualitative and used network theory of Granovetter (2005). The study will be more focused of the debt as an important part in the network. Strength of debt may affect the quality of the relationship between fishermen and capital owners. Network composed of debt will caused to economic dependency action.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T29559
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Luky Shofiul Azmi S
Abstrak :
Penelitian ini merupakan eksperimen lapangan yang dilakukan dengan menggunakan randomized controlled trials untuk mengeksplorasi peran dari self control problem dan social preference dalam proses pengambilan keputusan individu dengan kasus upaya peningkatan keberhasilan program konversi BBM BBG bagi nelayan kecil. Upaya ini dilakukan dengan dua jenis perlakuan yaitu program cashback dan stiker social norm. RCT dilakukan dengan unit randomisasi klaster dan unit analisis individu guna meminimalisir terjadinya bias dan spillover effect. Total sampel adalah 302 yang dialokasikan secara stratified randomization pada tahap kabupaten menjadi 79 sampel perlakuan stiker, 83 sampel perlakuan cashback, 62 sampel perlakuan kombinasi stiker-cashback, dan 78 sampel kontrol. Pengukuran endline dilakukan dua puluh satu hari setelah pelaksanaan program konversi pemberian mesin BBG kepada nelayan . Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penggunaan BBG baik secara status penggunaan BBG pada akhir pengamatan maupun secara durasi penggunaan BBG di kelompok perlakuan stiker, kelompok perlakuan cashback dan kelompok perlakuan stiker-cashback lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa nudge cashback dan stiker social norm mampu meningkatkan keberhasilan program konversi BBM BBG bagi nelayan kecil.
This field experiment was conducted by using randomized controlled trials to explore the role of self control problem and social preference in individual decision-making process, especially in increasing fuel-gas conversion program success for small-scale fishermen. Nudge of soft commitment called cashback for self control problem and nudge of social norm sticker for social preference were used as additional treatment in order to increase the program success. Trials were done by cluster randomization and individual analysis. Total sample was 302 allocated by stratified randomization in district level into 79 sample of sticker treatment group, 83 sample of cashback treatment group, 62 sample of sticker and cashback combination treatment group, and 78 sample of control group. Twenty-one days observations were conducted starting from the program implementation. Status and duration of the gas usage were analyzed in ETT and ITT analysis. The results demonstrate that the use of cashback and social norm sticker has a positive effect on increasing fuel-gas conversion program success for small-scale fishermen.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
D2482
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilian Sarah Hiarley
Abstrak :
Pengolahan ikan asap tergolong dalam usaha skala industri rumah tangga. Karena itu, keterbatasan sumberdaya memerlukan pengaturan yang dapat mengoptimalkan penggunaannya dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam usaha pengolahannya. Artikel ini membahas: potensi dan kondisi serta permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan usaha pengolahan ikan asap, rencana program pemberdayaan nelayan untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan asap yang mandiri dan berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tersedia banyak potensi perikanan di Desa Hative Kecil diantaranya perikanan tangkap, pengolahan ikan asap serta sumberdaya buatan meliputi galangan kapal dan co/dstorage. Lemahnya pengembangan usaha perikanan asap nelayan di Desa Hative Kedl, disebabkan masih terbatasnya akses permodalan dan manajemen, tidak adanya pelatihan untuk mendukung pengolahan perikanan asap terutama dalam penerapan sanitasi dan hygiene, tidak adanya perluasan atau perkembangan usaha. Disamping itu, kelemahan tersebut disebabkan karena belum terbentuknya kelembagaan kelompok nelayan, lemahnya jejaring dan kemitraan usaha serta belum intensifnya pendampingan dan pengawasan. Penyusunan program pemberdayaan nelayan pengolah ikan asap dilakukan secara partisipatif dengan mempertimbangkan potensi, masalah dan kebutuhan nelayan
Tanggerang: Lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Universitas Terbuka, 2015
520 JMSTUT 16:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
The writing morefocus on the live experiences of traditional fishermen of Bajo in Tanjung Pasir,Rote Island ,Nusa Tenggara Timur......
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ramly Nurhapy
Abstrak :
Perikanan laut yang diusahakan oleh nelayan kecil adalah kenyataan yang sudah berlangsung dari waktu ke waktu sampai saat ini. Kelompok nelayan kecil ini menggunakan alat produksi berukuran kecil yang didasarkan pada ukuran motor yang digunakan yakni 10 PK. Ukuran motor ini akan disesuaikan dengan ukuran perahu dan jenis alat tangkap yang digunakan. Besarnya ukuran motor yang digunakan menunjukkan kemampuan produksi. Di wilayah Muara Angke Jakarta Utara terdapat 211 orang nelayan yang dikategorikan sebagai nelayan kecil. Mereka melakukan penangkapan ikan di Teluk Jakarta. Kapasitas alat produksi yang dimiliki oleh nelayan kecil terkait dengan jurnlah ikan yang dapat dihasilkan. Kegiatan perikanan laut memiliki ciri khusus yang penuh ketidakpastian oleh karena ikan tangkapan yang selalu bergerak. Penguasaan teknologi penginderaan dan penangkapan merupakan faktor utama dalam usaha ini. Untuk mengoperasikan alat produksi dengan teknologi canggih diperlukan modal usaha yang besar. Faktor modal ini merupakan hambatan utama bagi peningkatan kemampuan produksi nelayan kecil. Keterbatasan modal untuk memperbaiki alat produksi menyebabkan sulitnya peningkatan pendapatan nelayan kecil. Dari sudut pandang ketahanan nasional, kegiatan perikanan skala kecil ternyata marnpu memberikan kontribusi positif, antara lain dapat memberikan penghasilan bagi nelayan dan keluarganya, rnembuka lapangan kerja khususnya untuk angkatan kerja tidak terampil. Dari penelitian terhadap 58 responden nelayan kecil dan keluarganya di Muara Angke Jakarta Utara, diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat pendapatan per-kapita per-bulan masyarakat nelayan Rp. 233.480,30- Rp. 265.682,90. Tingkat pendapatan ini hanya dari kegiatan perikanan a tau belum termasuk pendapatan dari kegiatan di luar perikanan. Gambaran tingkat pendapatan ini sesungguhnya sangat bervariasi. Kendati tingkat pendapatan per-kapita per-bulan masyarakat nelayan di Muara Angke Jakarta Utara relatif cukup tinggi, akan tetapi secara faktual angka pendapatan ini tidak berlaku bagi kelompok nelayan yang tidak memiliki alat produksi sendiri (nelayan penyewa atau nelayan pekerja). Pendapatan kelompok nelayan penyewa masih harus dikurangi biaya sewa perahu- rnotor, dan pendapatan nelayan pekerja masih harus dikurangi separuh bag ian untuk juragan pemilik perahu-motor. Dengan rnenggunakan indikator kesejahteraan keluarga dari BKKBN Pusat, terlihat bahwa keluarga nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara tidak ada lagi yang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera. Ada indi.kasi kuat yang menunjukkan bahwa kegagalan keluarga nelayan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraannya terkait dengan faktor ekonomi. Peningkatan dari keluarga sejahtera tahap I menjadi keluarga sejahtera tahap II memerlukan prasyarat seperti menu sehat, membeli pakaian, menyekolahkan anak-anak yang tentu saja memerlukan biaya yang semakin besar. Pada keluarga sejahtera tahap ill plus misalnya, keluarga harus mampu memberikan sumbangan materiil untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Hal ini mengandaikan bahwa untuk mampu mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi, maka diperlukan tingkat pendapatan yang semakin tinggi pula. Dengan alasan ini upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara dapat dilakukan dengan mendorong peningkatan pendapatan atau penghasilan nelayan. Masalah kesejahteraan nelayan terkait pula dengan jumlah keluarga yang harus ditanggung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah tanggungan keluarga, maka semakin besar peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Disisi lain ada sebagian nelayan yang tidak mau menabung. Penggunaan istilah tidak mau menabung ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebenarnya nelayan yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menabung, akan tetapi terjadi penggunaan uang yang tidak tepat sasaran. Beberapa nelayan melakukan kebiasaan negatif Gudi, nunum minuman keras, praktek a-susila). Kebiasaan negatif ini menunjukkan bahwa ketahanan pribadi sebagian nelayan ini lemah. Peningkatan ketahanan pribadi nelayan akan mendorong peningkatan ketahanan keluarga. Hal ini terbukti dari adanya kelompok besar nelayan yang mampu memenuhi kebutuhan fisik (pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan). Sebagian besar keluarga mampu memiliki fasilitas yang cukup baik seperti video, televisi, tape recorder atau radio. Bahkan terdapat juga nelayan yang mampu menyekolahkan anak-analcnya sampai ke tingkat perguruan tinggi. Upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan terhalang oleh sulitnya memperoleh modal untuk mengaplikasikan teknologi maju. Hal ini sangat terkait dengan sifat usaha perikanan laut yang penuh resiko. Ketidakpastian dan resiko ini menjadi alasan lembaga keuangan untuk tidak memberikan kredit pacta usaha perikanan kecil ini. Nelayan kecil yang beroperasi dengan alat produksi sederhana pacta saat ini memang masih mampu memperoleh keuntungan, akan tetapi pada waktu mendatang alat produksi sederhana ini akan tersingkir dengan beroperasinya alat produksi yang lebih modern. Pada akhirnya relatif sulit untuk meningkatkan produksi dan pendapatan nelayan kecil jika tetap mempertahankan pola dan alat produksi yang dirniliki seperti saat ini. Masalahnya kemudian adalah bagaimana nelayan kecil mampu untuk memodernisasi alat produksi karena terbentur dengan pen_yediaan modal. Salah satu model yang dapat dipertimbangkan adalah pengembangan suatu mekanisme kerja sama antar nelayan kecil untuk mengumpulkan modal bersama (capital sharing). Sistem ini memungkinkan terjadinya kerja sama di antara nelayan dalam pengadaan modal, juga memungkinkan terjadinya ('pemerataan resiko ". Kerugian yang setiap saat dapat terjadi seperti kerusakan perahu atau hilangnya alat tangkap akan dapat ditanggung bersama-sama. Sistem ini memungkinkan kelompok nelayan dapat menikmati keuntungan ataupun kerugian secara bersama-sama. Pacta masyarakat nelayan yang mengembangkan pola pemilikan individu, sistem bagi hasil kenyataannya dapat mendorong terjadinya akumulasi modal hanya pada sekelompok kecil tertentu. Sebaliknya masyarakat nelayan yang mengembangkan pemilikan kolektif, memungkinkan lebih besar terjadinya pemerataan pendapatan. Akan tetapi penelitian di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan nelayan untuk beroperasi secara individu. Hal ini diakibatkan oleh karena keuntungan yang diperoleh secara individu memang relatif kecil, tetapi pasti. Ada indikasi yang menunjukkan bahwa sifat koperatif cenderung tidak nyata lagi bahkan dalam perekonomian skala kecil. Sifat individualisme ini sadar atau tidak telah tersosialisasi bahkan telah terinternalisasi pada kelompok nelayan kecil ini. Penelitian ini menu~ukkan bahwa responden umurrmya hanya memiliki satu perahu ukuran kecil dan melakukan kegiatan penangkapan sendiri-sendiri. Sistem produksi individualistik ini cenderung masih kuat dalam kegiatan nelayan kecil di Muara Angke Jakarta Utara. Kemampuan melakukan usaha kecil secara mandiri dan menanggung resiko sendiri muncul oleh karena sampai saat ini sistem sedemikian masih cukup menguntungkan. Akan tetapi di masa yang akan datang diperkirakan bahwa usaha nelayan kecil tidak lagi menguntungkan. Hal ini terjadi oleh karena cadangan ikan di pantai Utara Jawa akan semakin berkurang akibat penangkapan yang terns menerus dan kerusakan eksosistem laut oleh karena polusi. Hal ini berarti bahwa nelayan kecil tidak mungkin lagi mempertahankan penangkapan pada perairan dangkal, tetapi hams meluas ke perairan dalam. Agar mampu beroperasi di perairan dalam, tentu saja diperlukan sarana produksi yang lebih modern, seperti perahu berukUran besar dan alat tangkap yang lebih modern. Untuk rnengantisipasi pengembangan di rnasa rnendatang, sejak dini nelayannelayan kecil ini harus mulai mempertimbangkan untuk meningkatkan faktor produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan mulai mengorganisasikan pemupukan modal berupa tabungan. Nelayan-nelayan kecil ini harus mulai menggalang kerja sama di antara mereka dalam bentuk kelompok nelayan. Apabila modal mereka sudah cukup, maka mereka dapat meningkatkan kapasitas sarana produksi mereka, dan dapat meningkatkan hasil tangkapan dengan wilayah tangkapan yang lebih luas lagi. Sementara nelayan kecil belum mampu memodernisasi alat produksinya, pemerintah perlu menjamin pengawasan daerah penangkapan dan penggunaan alat tangkap di wilayah penangkapan nelayan kecil, seperti tertuang pada Keppres 39/1980 tentang larangan penggunaan trawl di wilayah perairan Jawa. Peraturan ini perlu untuk mencegah konflik terbuka antara nelayan kecil aengan kapal-kapal penangkap ikan berukuran besar. Larangan ini merupakan upaya perlindungan bagi kesejahteraan nelayan. Apabila tidak ada proteksi terhadap wilayah penangkapan nelayan kecil, maka dapat dipastikan nelayan kecil ini akan tersingkir. Dari perspektif ketahanan nasional, kelangsungan hidup dan kesejahteraan nelayan kecil perlu dijaga karena rnerupakan bagian integral dari kehidupan nasional.
The sea fishery undertaken by small fishermen is a fact which has take place from time to time until now. These small fishermen groups use small size production tools which based on the size of their motor boat used which is - 10 HP. The size of the motor will be adjusted with the size of boat and types of catching devices used. The size of motorboat used will indicate their production ability. In Muara Angke area of North Jakarta there are 211 fishermen which are categorized as small fishermen. They catch fish in the Gulf of Jakarta. The capacity of their production tools related to the amount of fish that can be caught. Sea fishery activities have special characteristics that is full of uncertainty because of the moving fish to be caught. Knowledge of sensing and catching technology is a major factor in this undertaking. Lack of capital is a major hindrance for increasing small fishermen production. The lack of capital to improve their production tool caused the difficulty in increasing the income of the small fishermen. In the national resilience perspective, it turns out that the small scale fishermen undertaking is able to provide a positive contribution, among others it can provide income to the fishermen and their families. It opens work employment especially for unskilled labor force. From the research on 58 respondents of small fishermen and their family in Muara Angke, North of Jakarta, the monthly income level of the fishermen community is Rp 233.480,30 to Rp 265.682,90. The income level is only from fishery activities or excluded income from activities beside the fishery. This income level is actually highly varied. Even though the monthly per capita income of the fishermen in Muara Angke of Nortl;l of Jakarta is relatively high, however, factually this income level is not valid for fishermen group that have not their own production tools (fishermen that hire their production tools or workers in fishery). The income of the fishermen that hire their production tools must be deducted with lease of motorboat, and incm;ne of workers in fishery must be deducted by one half part for owner of the motorboat. By using the family welfare of Central BKKBN, it is seen that the small fishermen family in Muara Angke of North Jakarta is no longer belong to the prewelfare family category. There is strong indication which indicates that the failure of the fishermen family to increase welfare is related to economic factor. The increase from stage I to stage II welfare family need requirements such as healthy menu, clothes, ability to send their children to school which certainly need ever increasing expense. In stage III welfare family plus for example, the family should be able to provide material contribution for social activities. This assuming that to achieve higher welfare stage, an increasing welfare need an increasing income. Therefore, efforts to increase the welfare of small fishermen in Muara Angke of North Jakarta can be done by increasing the income or revenue of the fishermen. The fishermen welfare problems are also related to the number of their dependent. The results of research indicates that the smaller the number of their dependent, the higher the opportunity to increase their welfare. On the other hand, some of fishermen do not want to save. The use of expression "do not want to save" is due to the fact that actually the fishermen have the ability to save, however, the use of money is not effective. Some fishermen have negative habits (gambling, drinking, immoral acts). These negative acts indicate that the personal resilience of some of the fishermen is weak. The increase of the personal resilience of the fishermen will increase the family resilience. This is evidenced with the existence of large fishermen group that afford to meet physical needs (food, cloth, housing, education and health). Most of the family can afford to have fairly good electronic goods such as video, television, tape recorder or radio. Even there are several fishermen that are able to send their children to higher education. Efforts to increase the income and welfare of the fishermen community are constrained by the difficulty in obtaining capital to apply more advanced technology. This is highly related to nature of the sea fishery that is full of risk. These uncertainty and risk become the major reason why financial institutions do not extend credit to the small fishery business. The small fishermen that operate with simple production tools currently still earn profit, however, in the future the simple production tools will be ousted with the operation of more sophisticated production tool. Finally, it is relatively difficult to increase the production and income of small fishermen if the existing production tools and ways are still remained. The problem is how the small fishermen are able to modernize the production tools because of the unavailable capital. One of the model that can be considered is development of work mechanism between small fishermen to accumulate collective capital (capital sharing). This system will enable the cooperation between the fishermen in accumulating capital, beside it also will "distribute risk". The loss thannay occur at any time can be collectively shared. This system will enable the fishermen group earn or sustain the profit and loss collectively. In the fishermen community that develop a individualistic ownership pattern, the profit sharing can only promote capital accumulation in particular, small group. However, the fishermen community that develops a collective ownership, it will enable to the occurrence of income distribution. However, the field research indicates that there is tendency that fishermen to operate individualistically. This is because the profit earned individually is relatively small, but it is fixed. There are several indication that cooperative nature is not longer exist even in small scale economy. This individualistic nature is consciously or unconsciously has been socialized and even internalized to the small freslunen groups. This research indicates that the respondents are generally has one small size boat and perform their catch individually. The individualistic production system tends to be strong in the activity of small fishermen in Muara Angke of North Jakarta. The ability of small fishermen to work independently and bear the risk by itself is arisen due to up till now such system is still considered as profitable. However, in the future it is estimated that small fishery is no longer profitable. This is due to the fact that fish reserve in the coast of Java Sea will be decreasing because of continuous fish catching and sea ecosystem deterioration caused by pollution. This means that small fishermen will be no longer possible to maintain fish catching in shallow waters, however they should extend to deep waters. In order to be able to operate in deep waters, certainly they need more sophisticated production tools, such as large size boats and more sophisticated catching tools. To anticipate the future development, the fishermen should consider earlier to increase their production tools. This is can be done by organizing capital formation in the form of saving. The small fishermen should join hands among themselves to form fishermen groups. If their capital have sufficient, they can increase their production facility capacity, and can increase the result of their catch because of larger catching area. While small fishermen have not been able to modernize their production tools, the government needs to ensure that controlling of the catching area and use of catching tools in the catching areas such as stipulated in Presidential Decree number 39/1980 concerning prohibition of use of trawl in the Java Sea waters. This regulation is necessary to prevent open conflict ·between small fishennen with large scale fishermen. This prohibition is a protection effort for the welfare of fishermen. If there is no protection towards the catching area of the small fishermen, surely these small fishermen will be ousted. In perspective of national resilience, the survival of and welfare of small fishermen needs to be maintained because it is integral part of national livelihood.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Proboningtias
Abstrak :
ABSTRAK
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah membuat Sistem Informasi Nelayan Pintar (SINP) dalam bentuk aplikasi Nelayan Pintar (nelpin) pada smartphone berbasis android. Peneliti tertarik untuk melihat kesiapan nelayan tradisional dalam memanfaatkan SINP, agar aplikasi nelpin ini dapat bertemu dengan kebutuhan nelayan akan informasi untuk melaut, sebagai salah satu solusi dari permasalahan nelayan. Hasil dari indeks rata-rata kesiapan sebesar 4.15 menunjukkan bahwa nelayan tradisional Kali Adem siap, tetapi butuh pendampingan dalam memanfaatkan SINP. Dari analisis SEM, variabel laten pengetahuan dan modal berpengaruh positif terhadap kesiapan. Hasil dari faktor kebijakan menjadi rekomendasi kebijakan yaitu pemberian paket data internet murah kepada nelayan dan pelaksanaan pelatihan rutin mengenai penggunaan aplikasi nelpin
ABSTRACT
Marine and Fisheries Ministry (KKP) has made Smart Fishermen Information System (SINP), the product called Smart Fishermen (nelpin) application on smartphone with Android operating system. Researcher interested to observe traditional fishermen readiness in using SINP, so this application can meet fishermen needs of fishing information as one of solution to fishermen issues. The result from Likert scale average index is 4.15, it shows that traditional fishermen in Kali Adem are ready in using SINP, but with conditional guidance. From SEM analysis readiness positively influenced by knowledge and financial. The result of policy factors perform as a policy recommendations through give away cheap internet quota package to the fisherman, and an intensive training about how to using nelpin application
2016
T46202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Angel Theresia Rouli
Abstrak :
Penghidupan meliputi orang-orangnya, aset, kemampuan, pendapatan, dan aktivitas untuk kehidupan. Penghidupan dikatakan berkelanjutan ketika teratasi dari tekanan, bertahan serta meningkatkan kapasitasnya untuk sekarang dan masa depan, sementara tidak merusak alam. Pendekatan penghidupan berkelanjutan merupakan salahsatu jenis pendekatan dalam intervensi penghidupan untuk mencapai keberlanjutan. Pulau Mare dan sekitarnya merupakan kawasan lindung yang memiliki keanekaragaman hayati dan potensi tinggi untuk kegiatan perikanan dan kelautan. Ada peraturan dan batasan yang diberlakukan dalam pemanfaatan maupun pengelolaan kawasan lindung. Pada Pulau Mare dan sekitarnya juga terdapat desa-desa pesisir yang memungkinkan adanya perbedaaan karakteristik ruang. Pentingnya keberadaan kawasan lindung berimbas pada penghidupan manusia di sekitar desa sebagai tempat tinggal nelayan. Pembangunan desa dan kondisi perairan potensial menjadi karakteristik terbentuknya tipologi desa nelayan. Tipologi desa nelayan terbagi menjadi desa berkembang dan desa belum berkembang, serta desa dengan jarak dekat (< 4 mil) dan jarak jauh (>4 mil) terhadap perairan potensial. Variasi spasial tipologi desa nelayan menjadi dasar dari pola penghidupan berkelanjutan nelayan di Pulau Mare dan sekitarnya. Nelayan yang tinggal pada tipologi desa yang sama, belum tentu memiliki aset, strategi dan hasil penghidupan yang sama. Fenomena pada penelitian ini adalah nelayan pada desa berkembang dengan jarak dekat terhadap perairan potensial, paling banyak merupakan nelayan dengan tingkat kesejahteraan tinggi. ......Livelihood includes people, assets, abilities, income, and activities for life. Livelihoods are said to be sustainable when they are overcome from pressure, survive, and increase their capacity for the present and future, while not destroying nature. The sustainable livelihood approach is one type of approach in livelihood interventions to achieve sustainability. Mare Island and its surroundings are protected areas that have high biodiversity and high potential for fisheries and marine activities. There are rules and restrictions that apply to the use and management of protected areas. On Mare Island and its surroundings there are also coastal villages which allow for different spatial characteristics. The importance of the existence of protected areas has an impact on the livelihoods of people around the village as a place for fishermen to live. Village development and potential water conditions characterize the formation of a fishing village typology. Typology of fishing villages is divided into developing and underdeveloped villages, as well as villages with short distances (<4 miles) and long distances (> 4 miles) to potential waters. The spatial variations in the typology of fishing villages are the basis for the sustainable livelihood patterns of fishermen in Mare Island and its surroundings. Fishermen who live in the same village typology do not necessarily have the same assets, strategies, and livelihood outcomes. The phenomenon in this study is that fishermen in developing villages with a close distance to potential waters are mostly fishermen with a high level of well-being.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seoul Korea: Seoul University Press, 1977
307.7 SAN k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan hak negara-negara pantai di laut, sekaligus membebankan kewajiban untuk mengakomodasikan kepentingan dan hak-hak negara lain yang sah, di antaranya hak penangkapan ikan tradisional. Namun, dalam pelaksanaannya, sering ditemukan berbagai masalah. Nelayan Indonesia di Perairan Wilayah Selatan Nusa Tenggara Timur menghadapi permasalahan semacam ini di Perairan Australia. Tulisan ini mengkaji penerapan prinsip tanggungjawab negara terhadap perlindungan hak penangkapan ikan tradisional menurut Konvensi Hukum Laut 1982, melalui pendekatan yuridis normatif.
300 MIMBAR 27:1(2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Many areas of the Mangrove is in Indonesia were damaged. The Many factor caused the mangrove damage, are like social economic conditions of fisherman at around the mangrove. The objectives of this research is to identify the relationship between fishermans education background, knowledge of mangrove ecosystem, family economic status and attitude toward behavior. This recearch is a causal correlation with ex-post facto approach. Path analyses was used to analyzed the correlations between the research variables. Path analysis showed that there was significant relations of educational background, knowledge of mangrove ecosystem, family economic status and attitude toward fisherman behavior.
2009
570 JPB 1:1 (2009) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>