Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Erlangga, 2005
616.12 LEC
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Herawati Isnanijah
Abstrak :
Latar Belakang Disfungsi diastolik cukup sering terjadi pada orang dengan hipertensi, biasanya disertai dengan hipertrofi ventrikel kiri. Indeks volume atrium kiri dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik selain rasio EIA, DT, [VRT, 5117, Ele', dan e'la'. Belum terdapat data indeks volume atrium kiri pada subyek normal maupun subyek penyakit jantung hipertensi pada populasi Indonesia. PeneIitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemeriksaan indeks volume atrium kiri dapat digunakan sebagai parameter disfungsi diastolik ventrikel kiri pada penyakit jantung hipertensi. Metode Penelitian dilakukan pada 100 orang dengan subyek normal dan subyek penyakit jantung hipertensi dengan fungsi sistolik ventrikel kiri normal, pada pasien kontrol di poliklinik dan pasien rawat di PJNHK selama periode Januari - Oktober 2006. Akan dilakukan penilaian korelasi antara indeks volume atrium kiri dengan rasio WA, SID, Ele' dan e'la'. Hasil Indeks volume atrium kiri pada subyek normal didapatkan sebesar 17,64±1,35, pada kelompok disfungsi diastolik derajat I sebesar 23,26 ± 2,55 berbeda bermakna dengan kelompok disfungsi diastolik derajat 2 sebesar 31,52 ± 3,22 dengan p = 0,001. Kesimpulan Terdapat perbedaan bermakna indeks volume atrium kiri pada subyek normal dengan disfungsi diastolik ventrikel kiri derajat 1 maupun derajat 2.
Background Diastolic dysfunction is frequently found in hypertension, usually accompanied with left ventricular hypertrophy. Several parameter was developed to assess the diastolic function including left atrial volume index, FIA. DT,IVRT,,SID,E/e', and e'Ia'. There is no data for left atrial volume index for normal subjects or subjects with hypertensive heart disease in Indonesian population. The - aim of this study is to prove that left atrial volume index can be used as a parameter for left ventricular diastolic dysfunction in hypertensive heart disease. Methods Fifty persons with hypertensive heart disease with normal left ventricular systolic function, who controlled at the outpatient clinic and were hospitalized in NCCHK between January-October 2006 ofperiod, were examined We evaluated the correlation between left atrial volume index and EJA ratio, S/D,E/e', e %a'. Result Left atrial volume index in normal subjects is 17.64 ± 1.35, subjects with grade 1 diastolic dysfunction 23.26 f 2.55, grade 2 diastolic dysfunction group 31.35 ± 2.87. Value among those groups differ significantly with p = 0.001. Conclusion There is significant difference of left atrial volume index among normal subjects, subjects with grade l and grade 2 diastolic disfunction.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mantik, Joyce M.
Abstrak :
Gagal jantung dimana jantung gagal memompa darah dalam jumlah yang cukup ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, merupakan suatu kelainan kardiovaskular yang berdasarkan prevalensi kelainan kardiovaskular di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1992 menunjukkan bahwa jenis kelainan kardiovaskular (penyakit jantung koroner, gagal jantung dan penyakit jantung reumatik) telah menempati urutan pertama dalam penyebab kematian. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% pada wanita. Sedangkan berdasarkan perkiraan tahun 1989, di Amerika terdapat 3 juta pasien gagal jantung dan setiap tahunnya bertambah dengan 400.000 orang. Gagal jantung kronik digambarkan berdasarkan adanya ketidakmampuan jantung untuk melakukan kerja melampaui mekanisme kompensasi yaitu: mekanisme Frank-Starling, hipertrofi ventrikel dan aktivasi neurohumeral (hubungannya dengan aktivasi renin angiotensin dan adrenergik), sehingga mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dari penurunan perfusi perifer yang pada akhirnya terjadi kerusakan fungsi endotel. Gejala yang sering timbul adalah sesak dan cepat lelah, sehingga berakibat pada keterbatasan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, sehingga kualitas hidup pasien menurun. Penatalaksanaan gagal jantung kronik ditujukan termasuk untuk mengurangi beban jantung dan kelebihan cairan, memperkuat kontraktilitas miokard sehingga mekanisme kompensasi dapat kembali dimaksimalkan. Selain itu bertujuan untuk pencegahan progresifitas agar kualitas hidup pasien dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Adapun tata laksananya melalui medikamentosalfarmakologis termasuk obat-obat vasodilator, digitalis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emilda
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Penyakit jantung bawaan (PJB) asianotik pirau kiri ke kanan merupakan kelompok PJB yang sering ditemukan. Aliran pirau yang terjadi memengaruhi sistem respiratori, sehingga terjadi ventilasi perfusi mismatch dan menurunkan compliance paru yang memudahkan pasien untuk mengalami infeksi respiratori akut (IRA) berulang. Tujuan. Mengetahui kekerapan IRA pada anak dengan PJB asianotik pirau kiri ke kanan. Metode. Penelitian ini merupakan kohort prospektif yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) dan Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), selama bulan September 2012 hingga April 2013. Kelompok PJB adalah pasien PJB asianotik pirau kiri ke kanan berusia 3 bulan-5 tahun. Kelompok kontrol adalah anak yang tidak menderita PJB asianotik pirau kiri ke kanan yang diambil secara matching umur dan jenis kelamin. Data penelitian dianalisis dengan uji Kai kuadrat, t tidak berpasangan, dan Mann-Whitney menggunakan SPSS versi 19. Hasil. Penelitian dilakukan pada 100 subjek, 6 subjek mengalami drop out. Insidens IRA pada kelompok PJB asianotik pirau kiri ke kanan adalah 40-60%, kelompok kontrol 20-30% (P=0,027). Risiko relatif pasien PJB mengalami IRA adalah 2,3 kali (IK 95% 1,2-4,3) dibanding kelompok kontrol (P=0,006). Jenis IRA terbanyak pada kelompok PJB dan kontrol adalah IRA atas (118 dan 66 kasus), IRA bawah pada kelompok PJB berjumlah 26 kasus, sementara kelompok kontrol 3 kasus. Rerata episode IRA pada kelompok PJB adalah 3 (SD 1,1), kelompok kontrol 1,5 (SD 0,9) dengan P<0,0001. Kejadian IRA berulang pada kelompok PJB lebih sering dibanding kelompok kontrol (P<0,0001). Median lama IRA pada kelompok PJB adalah 7 hari (4-14 hari), sementara kelompok kontrol 5 hari (2-12 hari) P<0,0001. Simpulan. Kejadian IRA berulang pada kelompok PJB asianotik pirau kiri ke kanan lebih sering dibandingkan kelompok kontrol.
ABSTRACT
Background. Acyanotic left-to-right shunt congenital heart disease (CHD) is the most frequent CHD. The flow of the shunt may affect the respiratory tract, resulting in ventilation perfusion mismatch and decrease the lung compliance. This, in return, will cause patient suffer from recurrent acute respiratory tract infection (ARI). Objective. To describe the frequency of ARI in children with acyanotic left-toright shunt CHD Method. This was a prospective cohort study, done in Department of Child Health and Integrated Heart Service of Cipto Mangunkusumo Hospital from September 2012 to April 2013. Subjects were acyanotic left-to-right shunt CHD with consist of children age 3 month?5 years old. Control group was children with no CHD that was matched with age and sex. Data was analyzed using chi square, unpaired t test, and Mann-Whitney test. Result. Study was performed in 100 subjects, 6 subjects were dropped out. The incidence of ARI on the CHD group was 40-60%, whereas in the control group only 20-30% (P=0.027). The relative risk of CHD patients to have ARI is 2.3 (95% CI 1.2-4.3) compared to control group (P=0.006). The most frequent ARI in CHD and control groups were upper ARI (118 and 66 cases), followed by lower ARI (26 and 3 cases). The mean frequency of ARI episode in the CHD group was 3 (SD 1.1), whereas in the control group 1.5 (SD 0.9) (P<0.0001). The recurrent of ARI cases were also more frequently found in the CHD group compared to control group (P<0.0001). The median of ARI duration in the CHD group was 7 days (4-14 days), while in the control group was 5 days (2-12 days) (P<0.0001). Conclusion. Recurrent of ARI is more frequent in the acyanotic left-to-right shunt CHD children compared to the control group.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prafithrie Avialita Shanti
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Stenosis Mitral (SM) tinggi prevalensinya di negara berkembang karena erat terkait dengan prevalensi penyakit jantung demam rematik (PJR). Pasien SM sedang-berat terdapat peningkatan regio turbulensi dan shear stress mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah sehingga meningkatkan resiko tromboemboli. P-selectin merupakan molekul adhesi berperan dalam proses inflamasi dan sebagai faktor protrombotik yang diekspresikan secara cepat. Indeks volume atrium kiri (IVAK) merupakan parameter superior untuk mengukur fungsi atrium kiri dengan ekokardiografi. Metode. Penelitian potong lintang melibatkan 20 pasien SM sedang-berat dengan MVA <1.5 cm2 yang menjalani Komisuratomi Mitral Transvena Perkutan (KMTP) yang diambil secara konsekutif pada bulan Mei 2013 sampai Oktober 2013 di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. Pasien diambil sampel darah pra dan pasca KMTP untuk diperiksa kadar P-Selectin. Kemudian hasilnya dianalisa secara statistik. Hasil. Dalam studi ini, tidak didapatkan asosiasi antara IVAK dengan ekspresi kadar P-selectin pra dan pasca KMTP. Hal ini ditunjukkan dengan nilai pra KMTP β= -0.103 (95% CI -0.251,0.045) p=0.16 dan pasca KMTP β= 0.009 (95% CI -0.155,0.172) p=0.91. Setelah dilakukan regresi linier dengan penyesuaian (adjusted) terhadap variabel perancu yakni usia, jenis kelamin, dan atrial fibrilasi tetap tidak didapatkan asosiasi antara IVAK dengan kadar P-selectin dengan nilai pra KMTP β= -0.154 (95% CI -0.340,0.032) p=0.09 dan pasca KMTP β= -0.049 (95% CI -0.250,0.152) p=0.61. Kesimpulan. Tidak ada perbedaan nilai P-selectin pra dan pasca KMTP. Nilai IVAK yang sudah jelek tidak berhubungan dengan kadar P-selectin pra dan pasca KMTP pada pasien SM.
ABSTRACT
Background. The prevalence of Mitral stenosis (MS) remains significant in developing countries related to prevalence of Rheumatic Heart Disease (RHD).In moderate-severe MS patients enormous increase in turbulent region and shear stress causing dysfunction of vascular endothelial, as consequence it increase the risk of thromboembolic complication. Pselectin is an adhesion molecule that play role in inflammation process, it express rapidly in minutes. Left Atrial Volume Index (LAVI) is superior parameter compare with other echocardiography two dimension method to assess left atrial function. Methods. Study was designed as cross-sectional study involving 20 MS moderate-severe patients with MVA< 1.5 cm2 who performed successful Percutaneous transvenous Balloon Mitral Valvulotomy (PBMV). Samples were taken consecutively from May 2013 to October 2013 at the National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta. Blood samples of Pselectin were collected pre and post PBMV. The result was statistically analyzed by using echocardiography data of LAVI prior PBMV to describe any association between expression of P-selectin and atrial function. Result. In our study, we found no association between LAVI and expression of P-selectin level pre and post PBMV MS patient. This data describe in each of value of pre PBMV β= - 0.103 (95% CI -0.251,0.045) p=0.16 and post PBMV β= 0.009 (95% CI -0.155,0.172) p=0.91 After we performed linear regression with adjusted confounding variable including sex, age, and atrial fibrillation, still we found no association between LAVI and P-selectin level. This data describe in each of value of pre PBMV β= -0.154 (95% CI -0.340,0.032) p=0.09 and post PBMV β= -0.049 (95% CI -0.250,0.152) p=0.61. Conclusion. We found there is no difference in P-selectin level pre and post PBMV. There is no association between poor LAVI value and expression of P-selectin pre and post PBMV in MS.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfica Agus Jayanti
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Perubahan gaya hidup pada masyarakat tersebut tentu saja mempengaruhi pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif, diantaranya adalah penyakit jantung dan pembuluh darah. Prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah terus meningkat. Prevalensi obesitas juga mengalami peningkatan.

Tujuan : Mengetahui hubungan obesitas dengan gangguan pada jantung di Indonesia (IFLS2014)

Desain dan Hasil : Desain penelitian ini adalah studi cross sectional menggunakan data IFLS 5 tahun 2014. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara obesitas dengan gangguan pada jantung di Indonesia (IFLS 2014) adjusted OR 1,349 (95% CI 1,087-1,675).

Kesimpulan : Obesitas meningkatakan risiko terhadap gangguan pada jantung
ABSTRACT
Background: Lifestyle changes in the community certainly affect the shift in patterns of disease from communicable diseases to uncommunicable (degenerative) diseases, including cardiovascular disease. The prevalence of cardiovascular disease continues to increase. The prevalence of obesity has also increased.

Objective: To find out the aasociation between obesity and cardiovascular disease in Indonesia (IFLS2014)

Design and Results: The design of this study was a cross sectional study using 5th IFLS 2014. The results of the analysis showed that there was an adsociaton between obesity and cardiovascular disease in Indonesia (2014 IFLS) adjusted OR 1.349 (95% CI 1.087-1.675).

Conclusion: Obesity increases the risk of cardiovascular disease
2019
T53586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Surya Kusuma
Abstrak :
Penyakit Jantung Koroner (PJK) masih menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian pada perempuan di Indonesia. Epidemi obesitas yang terjadi secara global ikut berkontribusi pada meningkatnya kejadian kardiovaskular. Di Indonesia, belum banyak studi yang mempelajari hubungan obesitas sentral dengan PJK pada perempuan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas sentral dengan kejadian PJK pada perempuan usia 25-65 tahun di Kota Bogor. Penelitian kohort retrospektif ini mengikutsertakan 2.451 responden Studi Kohor FRPTM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan masa pengamatan selama 6 tahun. Pajanan utama yang diteliti adalah obesitas sentral berdasarkan rasio Lingkar Pinggang - Tinggi Badan (LPTB), dengan outcome berupa PJK yang ditegakkan berdasarkan hasil wawancara responden dan/atau hasil EKG. Analisis multivariat dengan Cox Regression dilakukan untuk mengestimasikan Hazard Ratio (HR) dengan 95% Confidence Interval (95% CI). Hasil penelitian menunjukkan insiden rate PJK pada perempuan adalah sebesar 19 per 1.000 orang-tahun. Perempuan dengan obesitas sentral memiliki risiko 1,38 kali (95% CI 1,01-1,89) lebih tinggi dibanding yang tidak obesitas sentral untuk mengalami PJK setelah mengontrol variabel usia, hipertensi, dan status menopause. Deteksi dini faktor risiko PJK, terutama obesitas sentral, penting dilakukan agar upaya pencegahan dan perubahan perilaku dapat segera dilakukan. ......Coronary Heart Disease (CHD) remains a major cause of morbidity and mortality in women in Indonesia. The global epidemic of obesity contributes to the increase of cardiovascular events. In Indonesia, there have not been many studies evaluate the association between abdominal obesity and CHD in women. Therefore, this study aims to determine the association between abdominal obesity and CHD in women aged 25-65 years in Bogor. This retrospective cohort study involves 2.451 respondents of FRPTM Cohort Study who met the inclusion and exclusion criteria with an observation period of 6 years. The main independent variable of this study was abdominal obesity based on Waist-to-Height-Ratio (WHtR), while outcome of the interest was CHD based on the results of interview and/or ECG results. Cox regression analysis was performed to estimated Hazard Ratio (HR) with a 95% Confidence Interval (95% CI). The results showed that the incidence rate of CHD in women was 19 per 1.000 person-years. Women with abdominal obesity were 1,38 times (95% CI 1,01-1,89) more likely to have CHD than those without abdominal obesity after adjustment for age, hypertension, and menopause status. Early detection of CHD risk factor, especially abdominal obesity, is important, so that prevention and lifestyle modification can be implemented immediately.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rampengan, Starry Homenta
Abstrak :
Latar belakang: Gagal jantung kronik merupakan penyakit progresif lambat dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Penggunaan obat-obatan seringkali tidak berhasil, sehingga Enhanced External Counterpulsation (EECP) yang bersifat non-invasif dapat menjadi alternatif terapi dalam penanganan gagal jantung. Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinik terkontrol secara randomisasi terbuka terhadap kelompok yang menjalani terapi EECP dan yang tidak menjalani terapi (non-EECP). Masing-masing kelompok terdiri dari 33 pasien. Pada semua pasien dilakukan pemeriksaan mieloperoksidase (MPO) sebagai penanda inflamasi pada awal dan setelah 6 bulan pengamatan untuk dinilai kelompok mana yang lebih banyak mengalami kejadian kardiovaskular. Hasil: Pengukuran kadar MPO awal (743,4 ± 232,9 pM) dan setelah 6 bulan pengamatan (534,8 ± 191,3 pM) pada kelompok EECP mengalami penurunan bermakna secara statistik (p < 0,001) tetapi pada kelompok non-EECP (679,4 ± 332,3 pM menjadi 517,6 ± 189,7 pM) secara statistik tidak bermakna (p = 0,110). Penurunan kadar MPO sangat bermakna secara statistik pada semua pasien kelompok EECP dibandingkan kelompok non-EECP (13 pasien). Hasil perhitungan risiko relatif (RR) menyatakan bahwa risiko penurunan MPO pada kelompok EECP 2,08 kali lebih baik daripada kelompok non-EECP. Pengamatan kejadian kardiovaskular setelah 6 bulan penelitian menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p = 0,037). Kejadian kardiovaskular kelompok non-EECP ditemukan 15 pasien (45,5 %) sedangkan pada kelompok EECP hanya ditemukan 7 pasien (21,2 %). Kesimpulan: Terapi EECP menurunkan kadar MPO pasien GJK dan dapat menurunkan kejadian kardiovaskular dalam 6 bulan pengamatan. Makin tinggi kadar MPO berkorelasi dengan makin tingginya insiden kejadian kardiovaskular. ...... Background: Chronic heart failure (CHF) is a slowly progressive disease with high morbidity and mortality; the management using pharmacological treatments frequently fail. Therefore, Enhanced External Counterpulsation (EECP), a non-invasive treatment, may serve as alternative treatment for heart failure. Methods: Our study was an open randomized controlled clinical trial. All subjects were categorized into two groups, i.e. the group who had EECP therapy and those who did not have EECP (non-EECP group). Each group consisted of 33 patients. Myeloperoxidase (MPO) as inflammatory marker was examined in all subjects at baseline and after 6 months of observation to assess which group had more cardiovascular events. Results: Baseline MPO measurement (743.4 ± 232.9 pM) and after 6 months (534.8 ± 191.3 pM) in 32 patients in EECP group showed statistically significant reduction (p < 0.001); however in the non-EECP group, mean reduction value of MPO from 679.4 ± 332.3 pM to 517.6 ± 189.7 pM was not statistically significant (p = 0.110). MPO level reduction was statistically significant in all subjects of EECP group compared to non-EECP group (13 patients). Measured relative risk (RR) demonstrated that there was 2.08 fold risk of reduced MPO in EECP group compared to non-EECP group. Cardiovascular events observed after 6 months study showed that there was a significant difference between groups (p = 0.037). Conclusion: EECP therapy can reduce MPO level in CHF patients. It may lower cardiovascular events in 6 months observation. Higher MPO level are associated with higher incidence of cardiovascular events.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Tatang Puspanjono
Abstrak :
ABSTRAK
Pada operasi koreksi penyakit jantung bawaan PJB dengan teknik pintas jantung paru PJP , proses sindrom respons inflamasi sistemik SRIS sering menjadi penyulit pascaoperasi. Disfungsi mitokondria pada SRIS diawali dengan pelepasan mediator inflamasi TNF-. Dampak cedera neurologis pascabedah belum dapat dihindari. Biomarker Brain derived protein S100B dapat digunakan sebagai penanda hipoksia serebral akibat disfungsi mikrosirkulasi dan mitokondria pada operasi PJB. Pemantauan keadaan hipoksia serebral diperlukan karena kejadian awal defisit neurologis sering tidak menimbulkan manifestasi klinis. Near infrared spectroscopy NIRS merupakan salah satu alat yang dapat memantau penghantaran oksigen ke otak dengan mengukur saturasi oksigen serebral SctO 2 . Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran S100B, sTNFR-1, laktat, saturasi vena cava superior dan saturasi oksigen serebral sebagai prediktor kejadian defisit neurologis pada operasi koreksi PJB. Penelitian ini bersifat kohort propsektif. Kriteria inklusi adalah pasien anak dengan PJB usia 1 bulan minus;6 tahun yang menjalani operasi koreksi. Kriteria eksklusi adalah pasien anak dengan sindrom Down, dengan arteri koroner tunggal, dan yang orang tuanya menolak berpartisipasi dalam penelitian. Dalam analisis, subjek dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok 1 mengalami defisit neurologis dan kelompok 2 tidak mengalami defisit neurologis . Semua subjek dipantau selama perawatan di ICU, dan tetap diikuti sampai keluar rumah sakit. Pemeriksaan darah dilakukan dalam tiga kali pemantauan: pra-operasi, akhir PJP, dan 4 jam pasca-PJP. Monitoring NIRS dilakukan selama 24 jam pascabedah di ICU. Selama periode Maret 2015 minus;Oktober 2015, didapatkan 51 pasien yang diteliti. Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara konsentrasi S100B, sTNFR-1, laktat, dan NIRS AUC 20 baseline saturasi serebral pasien PJB pascabedah koreksi dengan PJP pada kelompok berdasarkan defisit neurologis. Parameter tersebut dapat dipakai sebagai model prediktor kejadian defisit neurologis pascabedah jantung dengan PJP. Nilai S100B, sTNFR-1, laktat, dan nilai NIRS AUC 20 dari baseline saturasi serebral dapat digunakan sebagai prediktor kejadian defisit neurologis pascabedah pada operasi PJB dengan mesin PJP.
In congenital heart disease CHD surgery using cardiopulmonary bypass CPB machine, systemic inflammation response syndrome SIRS process often causes post-operation complication. Mitochondria dysfunction in SRIS starts with the release of inflammation mediator TNF-? and sTNFR-1. Neurological injury after pediatric congenital heart surgery still cannot be avoided. Study about brain derived protein S100B as a biomarker for cerebral hypoxia caused by microcirculation and mitochondria disfunction as SRIS consequence in PJP in pediatric CHD surgery has yet to be conducted. Observation to find cerebral hypoxia is needed because the early stages of cerebral hypoxia often not show any symptoms. NIRS is one of the tools for observing oxygen delivery to the brain by measuring the cerebral oxygen saturation SctO 2 . In Indonesia, NIRS is still not common to be used and there are no studies about it yet. This study aimed to evaluate the role of S100B, sTNFR-1, lactate, saturation of superior vena cava and cerebral saturation as the predictor of neurological deficiency incidence on correction of CHD. This was a prospective cohort research. Inclusion criteria were children with CHD aged 1 month minus;6 years old who underwent corrective operation. Exclusion criterias were children with Down syndrome, with single coronary artery, and whose parents declined to participate in this study. In analysis, subjects were divided into 2 groups; group 1 with neurological deficit and group 2 without neurological deficit. All subjects were observed closely while they were in ICU, observed until they discharge from hospital. Blood examination were done 3 times: before surgery, after CPB, and 4 hours after CPB. Monitoring of NIRS was done during 24 hours after surgery in ICU. During March minus;October 2015, there were 51 patients included. There are significant difference for value of S100B, STNFR-1, lactate, and NIRS AUC 20 baseline of cerebral saturation between groups based on neurological deficit occurrence. Those parameters could be used as predictor of neurologic deficiency incidence post operation using CPB in CHD children. In CHD patients who underwent corrective operation with CPB, S100B value, sTNFR1, lactate, and AUC 20 baseline of cerebral saturation could be used as predictor of neurologic deficit after corrective operation.
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjukri Karim
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
616.120 SJU e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>