Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Royani
Abstrak :
Kemajuan teknologi informasi yang tidak diimbangi dengan kecerdasan dalam menggunakanya akan membawa dampak buruk bagi sebuah peradaban. Saat ini penyebaran informasi begitu cepat dan mudah dilakukan oleh siapa saja tanpa melalui proses verifikasi, sehingga informasi palsu mudah tersebar secara masif. Sebagai salah satu upaya untuk menurunkan kecenderungan perilaku penyebaran informasi hoax, penelitian ini akan menganalisis hubungan antara kecenderungan perilaku tersebut dengan dua variabel bebas yaitu regulasi emosi dan berfikir kritis. Melalui regulasi emosi yang baik, mahasiswa akan mampu mengontrol emosinya terutama saat menerima informasi yang sensasional. Selain itu dengan berfikir kritis mahasiswa akan mampu menyaring informasi dari berbagai sumber. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, responden yang terlibat adalah mahasiswa perguruan tinggi di Jakarta. Responden dipilih melalui teknik convenience sampling. Instrument yang digunakan adalah skala regulasi emosi, skala berpikir kritis dan skala kecenderungan perilaku penyebaran informasi hoax. Data dianalisis dengan teknik statistik deskriptif dan analisis pearson corelation. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan perilaku penyebaran informasi hoax pada mahasiswa. Sementara itu terdapat korelasi negatif yang signifikan antara berfikir kritis dengan kecenderungan perilaku penyebaran informasi hoax pada mahasiswa. ......Improvement in information technology that is not balanced with intelligence in using the same will have a negative impact on a civilization. At present, the dissemination of information is so fast and easy to be carried out by anyone without going through the verification process, so that false information is easily spread massively. As an effort to reduce the tendency of hoax information dissemination behavior, this study will analyze the relationship between these behavioral trends and two independent variables, namely emotional regulation and critical thinking. Through good emotional regulation, students will be able to control their emotions, especially when receiving sensational information. In addition, with critical thinking students will be able to filter information from various sources. This study uses quantitative methods, respondents involved are college students in Jakarta. Respondents were selected through convenience sampling techniques. The instrument used is the emotion regulation scale, critical thinking scale and the tendency of hoax information dissemination behavior. Data were analyzed by descriptive statistical techniques and Pearson correlation analysis. The result of this study shows that there is no significant correlation between emotion regulation and the tendency of hoax information dissemination behavior to students. Meanwhile there is a significant negative correlation between critical thinking and the tendency of hoax information dissemination behavior to students.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T51744
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Prahassacitta
Abstrak :
Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu, ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong. ......This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Kusumah Alamsyah
Abstrak :
Penelitian ini menelaah perbandingan liputan dalam dua media daring yakni detik.com dan republika.co.id terkait pemberitaan hoax penganiayaan Ratna Sarumpaet pada awal Oktober 2018. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis framing dari Pan dan Kosicki untuk membuktikan bahwa meskipun memberitakan peristiwa yang sama, namun ada perbedaan dalam artikel berita di kedua media daring tersebut, baik dari dimensi sintaksis, skrip, tematis dan retoris. Peristiwa penganiayaan Ratna Sarumpaet termasuk dalam kategori berita developing news. Dalam penelitian ini pemberitaan hoax dibagi dalam enam seri artikel pemberitaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada saat peristiwa penganiayaan belum terbukti hoax, framing dari kedua media daring cenderung sama. Namun pada saat peristiwa tersebut terbukti sebaliknya, framing dari kedua media berbeda, baik dari aspek yang dilihat maupun dari pemilihan narasumber. ......This research examine comparison of coverage in two online media which is detik.com and republika.co.id related to hoax news about Ratna Sarumpaets persecution in the early October of 2018. This reseach use qualitative method with framing analysis by Pan and Kosicki to prove that despite the two online media cover the same event, but there is difference in their news article, whether in dimension of syntactical, script, thematic, and rhetorical. Ratna Sarumpaets persecution incident was included as developing news. In this research, hoax coverage divided in six series of coverage. Result of this research shows that framing on both media tend to be the same when the incident has not been proven hoax. But at the time the incident proven to be hoax, both media shows a different framing, either from the aspects seen or from the selection of speakers.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T52364
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Gunawan
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2018
001.95 BUD k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library