Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 3 Document(s) match with the query
cover
Tiara Hardianti
"Skripsi ini menelaah proses transisi pada pengalaman ruang imersif. Pembahasan transisi dalam pengalaman imersif menjadi relevan karena diskusi pengalaman imersif belum banyak membahas perpindahan antar realitas, dan cenderung fokus pada kedalaman suatu realitas. Konsep transisi dalam pengalaman imersif berpotensi untuk mengurangi gangguan dalam menjamin terjadinya kontinuitas serta keterlibatan partisipan yang lebih dalam terhadap pengalaman. Gagasan transisi dalam perpindahan berperan sebagai momen peralihan dari realitas yang sekarang menuju realitas selanjutnya, baik secara mental maupun spasial. Pemahaman transisi imersif sebagai momen peralihan antar states membuatnya tidak terlepas dari kualitas liminalitas dalam arsitektur, menghadirkan bentuk liminalitas mulai dari proses separation hingga incorporation. Berdasarkan refleksi pengetahuan liminalitas dalam proses transisi pengalaman imersif, skripsi ini mengidentifikasi mekanisme transisi masuk-keluar antar pengalaman imersif yang hadir melalui aspek-aspek seperti dinamika materialitas, dinamika partisipan, dan objek.

This study explores the transition process of immersive spatial experience. The discussion of transitions in immersive experiences is important because the understanding of immersivity have yet to discuss the process of transportation between realities, and largely focuses on the depth and seamlessness of immersion itself. Investigating the notion of transition in immersive experiences has the potential to reduce interruptions in securing continuity and deeper involvement of participants in the overall immersive experience. The notion of transition in between immersive realities acts as intermediate moment from the present reality to the next reality, both mentally and spatially. The understanding of immersive transitions as intermediate states makes it inseparable from the quality of liminality in architecture, demonstrating liminal process existing in the process of separation and incorporation. Based on the reflection of liminal knowledge this study identify the in-out transitions mechanisms between immersive experiences that are presented through aspects such as materiality, subject users, and objects dynamics."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Hanifah Yasmin
"Permasalahan kesehatan mental menjadi topik yang marak dibicarakan akhir-akhir ini, khususnya setelah adanya pandemi COVID-19, di mana penderita gangguan kecemasan menjadi semakin meningkat. Hal ini berdampak pada munculnya berbagai pameran seni imersif yang mengangkat tema kesehatan mental. Agrawal et al. (2019) mendefinisikan immersion sebagai sebuah fenomena yang dialami oleh seseorang ketika ia berada dalam kondisi keterlibatan mental yang mendalam, yang proses kognitifnya (dengan atau tanpa rangsangan sensorik) menyebabkan adanya perubahan atensi sehingga seseorang dapat mengalami disosiasi dari kesadaran dunia fisik. Saat berada di kondisi ini, seseorang dapat melupakan kecemasan yang dirasakannya selama sementara waktu karena munculnya distraksi dari lingkungan baru. Projection mapping merupakan salah satu teknologi yang banyak digunakan untuk menciptakan ruang pamer seni imersif. Dengan menggunakan projection mapping, konten dapat diubah dengan mudah dan cepat serta dapat diproyeksikan di mana saja (selama ruang berada di tingkat kegelapan tertentu) tanpa membutuhkan perubahan pada ruang fisik yang akan digunakan. Oleh karena itu, pembahasan teknologi ini menjadi relevan untuk arsitektur, terutama dalam merancang ruang di masa depan. Skripsi ini menggunakan metode studi literatur dan studi kasus. Studi dilakukan dengan mengadakan sebuah eksperimen yang membandingkan performa ruang pamer seni tradisional dengan ruang pamer seni imersif bertajuk kesehatan mental. Tujuan dari eksperimen tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana projection mapping dapat menciptakan immersive experience dan kaitannya dengan penurunan tingkat kecemasan manusia.

Recently, mental health issues have become a frequently discussed topic, especially after the COVID-19 pandemic where people with anxiety disorders have increased. This has resulted in the emergence of various immersive art exhibitions that address mental health as their theme. Agrawal et al. (2019) define immersion as a phenomenon experienced by a person when they are in a state of deep mental involvement, whose cognitive processes (with or without sensory stimulation) cause a change in attention so that a person can experience dissociation from awareness of the physical world. In this state, a person can forget the anxiety they feel for a while because of the emergence of distractions from the new environment. Projection mapping is one of the technologies that is widely used to create immersive art exhibition spaces. By using projection mapping, content can be changed easily and quickly and can be projected anywhere (as long as the room is at a certain level of darkness) without requiring changes to the physical space that will be used. Therefore, the discussion of this technology is relevant to architecture, especially in designing future spaces. This thesis uses literature review and an experiment as methods. The experiment was conducted to compare the performance of a traditional art exhibition space with an immersive art exhibition space (both are mental health-themed). The purpose of the experiment was to find out how projection mapping can create an immersive experience and its relation to reducing anxiety levels in humans."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranti Fitria Anugrah Yuliandi
"Pengalaman imersif merupakan sebuah pengalaman ruang yang dapat hadir dengan adanya integrasi teknologi di museum, salah satunya teknologi MR (Mixed Reality). Teknologi tersebut memanfaatkan cahaya hologram sebagai medianya yang ditembakan di lingkungan fisik. Hologram MR memiliki dua impresi untuk menciptakan immersiveness; realism (realisme) dan vividness (kejelasan) agar dapat dipersepsikan sebagai ilusi yang nyata. Maka dari itu, studi ini bertujuan untuk memahami strategi baik pencahayaan virtual maupun pencahayaan di ruang fisik museum agar persepsi tersebut dapat tercipta dalam membentuk pengalaman imersif di museum. Studi literatur menunjukkan teknik pencahayaan virtual yang mendukung realisme adalah teknik common illumination dengan tipe cahaya natural (directional light, point light), teknik relighting (fill light, key light, back light), serta iluminasi lain seperti penggunaan vignette yang dapat menciptakan persepsi hologram sebagai sesuatu yang realistis. Di sisi lain, pencahayaan pada ruang fisik, mencakup tidak adanya cahaya natural, tingkatan pencahayaan 200-500 lux, juga permukaan ruang yang cenderung gelap, dapat menghasilkan kualitas hologram yang memiliki resolusi lebih tinggi sehingga dapat dilihat secara jelas dan lebih realistis. Komparasi pada strategi pencahayaan di tiga museum menunjukkan pencahayaan untuk pengalaman imersif di Museum hanya ditemukan di Kennin-Ji Museum yang juga didukung faktor non-teknis pembentukan pengalaman imersif. Strategi pencahayaan pada museum tersebut mencakup penggunaan teknik common illumination dengan tipe cahaya yang natural, penggunaan seluruh sumber cahaya untuk teknik relighting, serta penggunaan vignette yang mendukung realisme. Selain itu, didukung permukaan ruang yang gelap juga pencahayaan pada ruang juga berada pada tingkatan yang direkomendasikan yaitu 300 lux, hologram dapat dilihat dan dipersepsikan secara jelas dan realistis.

Immersive experience is a spatial experience that presents as a result of integration of technology in a museum, among them is MR technology (Mixed Reality). The technology makes use of light as the media to project holographic light. Hologram and MR have two impressions to create immersiveness; realism and vividness, to be able to be perceived as real illusion. Therefore, this study is designed to understand strategy be it from virtual lighting or physical space of a museum for the perception to be manifested to create an immersive experience in the museum. Literature study and case study in three museums shows that virtual lighting technique that supports realism are; common illumination technique with natural lighting type (directional, point light), relighting technique (fill light, key light, back light), and other illumination technique such as vignette can help create perception of hologram as realistic. On the other hand, lighting in a physical space covers the absence of natural light, 200-500 lux lighting level, and also the room surfaces that are relatively dim, can create holographic images with higher quality that evokes realism. Comparison of the three museums shows that lighting for immersive experience in museums can only be found in Kennin-Ji Museum that is also supported by non-technical factors that shape immersive experience.The lighting strategy of that museum includes the use of common illumination technique with natural type of lighting, the use of all light sources for relighting, and the use of natural looking vignette. Moreover, supported by its physical surfaces of the space which are dark and also the level of physical lighting within the recommended range which is 300 lux, the hologram could be seen and perceived vividly and realistically."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library