Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zulfikli Malik
"Beberapa kesulitan yang berperan dalam proses pemeriksaan pada sediaan biopsi isap rektum untuk diagnosis penyakit Hirschsprung, telah ditemukan pada pemakaian pewarnaan H&E dan Asetilkolin esterase. Oleh karena itu perlu dicari suatu prosedur diagnostik lain yang mungkin dapat memecahkan masalah ini, yaitu dengan pemakaian pewarnaan imunohistokimia neuronspesifik enolase (NSE) dan protein S-100.
Tujuan penelitian ini untuk melihat kemampuan tehnik pewarnaan imunohistokimia NSE dan protein S-100 mempertajam diagnosis morfologik penyakit Hirschsprung, terhadap sediaan-sediaan yang telah diwarnai dengan H&E yang hasilnya inkonklusif atau meragukan.
Penelitian dilakukan terhadap 37 buah sediaan histopatologi biopsi isap rektum dari arsip Bagian Patologi Anatomik FKUI/RSCM, dengan diagnosis klinik penyakit Hirschsprung atau dugaan penyakit Hirschsprung. Terdiri atas 7 sediaan yang dengan H&E diagnosisnya Hirschsprung dan 30 diagnosisnya inkonklusif. Juga disertakan beberapa-sediaan reseksi yang ada diagnosisnya dari kasus yang diteliti sebagai kontrol ketepatan diagnosisnya. Pewarnaan ulang dengan tehnik imunohistokimia menurut metoda StreptAvidinbiotin, dilakukan setelah pewarnaan H&E nya dilunturkan terlebih dahulu.
Hasil penelitian menunjukkkan bahwa kemampuan pewarnaan protein S-100 pada sediaan H&E yang representatif dengan diagnosis penyakit Hirschsprung, nilainya sama untuk menampilkan serabut saraf hipertrofik dan sedangkan untuk menampilkan ganglion lebih baik bila dibandingkan dengan H&E. Terhadap sediaan H&E inkonklusif yang representatif atau tidak representatif sangat baik sekali dibandingkan H&E. Bahkan ketepatannya sama dengan diagnosis sediaan reseksinya (100%).
NSE rendah positivitasnya pada sediaan H&E konklusif dan inkonklusif dalam penampilan serabut saraf hipertrofik, walaupun penampilan sel ganglionnya sama dengan protein S-100. Juga ketepatan diagnosisnya rendah dibandingkan diagnosis reseksinya (22,22%).
Kesimpulan yaitu telah ditemukan cara pengelolaan sediaan histopatologik, yang dapat digunakan untuk mempertajam akurasi morfologik penyakit Hirschsprung, pada sediaan biopsi isap rektum yang sebelumnya telah diwarnai dengan H&E tetapi hasilnya inkonklusif; Yaitu dengan tehnik imunohistokimia NSE dan Protein S-100 pada sediaan tersebut, dengan melunturkan pewarnaan H&E nya terlebih dahulu dan dengan diharapkan preparasi sampel jaringan yang lebih baik sebelumnya."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Dayanto Indro Utomo
"[Latar Belakang: Limfoma non-Hodgkin sel B jenis sel besar difus (DLBCL; Diffuse Large B-Cell Lymphoma) adalah jenis limfoma non-Hodgkin yang paling banyak ditemukan dan merupakan suatu entitas yang sangat heterogen secara klinik maupun morfologik. Para ahli mengelompokkan DLBCL ke dalam dua subtipe yaitu subtipe Germinal Center B Cell-Like (GCB) dan non-Germinal Center B-Cell Like (non-GCB), dimana GCB memiliki prognosis yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan ekspresi Bcl-2 pada kedua subtipe DLBCL.
Bahan dan Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 41 kasus DLBCL, terdiri atas 18 kasus subtipe GCB dan 23 kasus subtipe non-GCB. Dilakukan review diagnosis histopatologik dari sediaan H&E serta review imunofenotip dari sediaan imunohistokimia. Dilakukan pemeriksaan ekspresi Bcl-2 secara imunohistokimia dan penilaian positivitas dengan nilai cut off 31%. Selanjutnya dilakukan analisis statistik menggunakan uji Mann-Whitney.
Hasil: Ekspresi Bcl-2 pada DLBCL subtipe non-GCB (nilai rerata 78,70%) lebih tinggi secara bermakna dibandingkan ekspresi Bcl-2 subtipe GCB (nilai rerata 66,61%) (p <0,05). Kesimpulan: Ekspresi Bcl-2 pada DLBCL subtipe non-GCB lebih tinggi dibandingkan ekspresi Bcl-2 subtipe GCB., Background: Diffuse Large B-Cell Lymphoma is the most common type of lymphoma non-Hodgkin found in the world, and a very heterogenous entity clinically and morphologically. The experts categorized DLBCL into two subtypes, Germinal Center B Cell-Like (GCB) and non-Germinal Center B-Cell Like (non-GCB), in which GCB has a better prognosis. This research was conducted to analyze the differences of Bcl-2 expression in these two DLBCL subtypes.
Patients and methods: A retrospective, cross-sectional study was conducted in 41 DLBCL cases consisted of 18 cases of GCB subtype and 23 cases of non-GCB subtype. Review of histopathological diagnosis from H&E and immunophenotypes from immunohistochemical stained was performed. Immunohistochemistry examination of Bcl-2 expression was done and the positivity was evaluated with 31% cut off. Furthermore, statistical analysis was performed by using Mann-Whitney test.
Result: Bcl-2 expression in DLBCL, non-GCB subtype (median value of 78.70%) showed a statistically higher expression compared to the expression in GCB subtype (with median value of 66.61 %) (p<0.05).
Conclusion: BCL-2 expression in non-GCB subtype is higher than in GCB subtype of DLBCL.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Susanto
"Latar Belakang: Astrositoma difus (WHO grade II) merupakan tumor astrositik yang paling sering ditemukan di FKUI/ RSCM. Tumor ini merupakan tumor invasif, potensial agresif, dan dapat bertransformasi menjadi astrositoma derajat tinggi. Gambaran histopatologik astrositosis dapat menyerupai astrositoma difus dan sukar dibedakan hanya dengan gambaran histopatologik, apalagi bila ukuran spesimen biopsi sangat kecil. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mutasi gen TP53 sering ditemukan pada astrositoma difus. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah pulasan imunohistokimia p53 dapat digunakan untuk membedakan astrositoma difus (WHO grade II) dengan astrositosis.
Bahan dan Metode: Studi diagnostik dilakukan pada 20 kasus astrositoma difus dan 20 kasus lesi astrositosis menggunakan antibodi monoklonal p53 klon D0-7, NovocastraTM dengan baku emas pemeriksaan histopatologik. Penilaian histopatologik dan ekspresi p53 dinilai secara tersamar. Pulasan imunohistokimia dinyatakan dalam skor, yaitu positif bila inti astrosit terwarnai coklat tua. Hasil penilaian ekspresi pulasan p53 dimasukkan ke dalam tabel 2x2 untuk dihitung nilai diagnostiknya.
Hasil: Protein p53 terekspresi kuat pada 13 kasus astrositoma difus dan 1 kasus astrositosis karena peradangan. Sensitivitas dan spesifisitas yang didapat adalah 65% dan 95%. Ekspresi lemah dan sedang tidak terbatas pada astrositoma difus, namun dijumpai pula pada kasus astrositosis.
Kesimpulan: Pada penelitian ini di dapatkan spesifisitas yang tinggi, namun sensitivitas rendah. Ekspresi p53 tidak terbatas pada astrosit neoplastik, tapi juga dijumpai pada astrosit reaktif dan sel selain astrosit. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam interpretasi ekspresi p53.

Background: Diffuse astrocytoma (WHO grade II) is the most common astrocytic tumor in FMUI/ CMH. This tumor is an invasive, potentially aggresive, and can be transformed into high grade astrocytoma. In daily practice, diagnosis of diffuse astrocytoma can be difficult to established with morphology alone. This is because of similar clinical, radiological, and morphology with its mimics, especially astrocytosis. This situation become more complicated with small biopsies. Previous studies showed that diffuse astrocytoma often harbor TP53 gene mutation. The aim of this study is to assess the usefulness of p53 immunohistochemistry to distinguish diffuse astrocytoma (WHO grade II) from astrocytosis.
Material and Methods: In this study we assessed the immunoreactivity of 20 diffuse astrocytomas cases and 20 astrocytosis lesions with p53 monoclonal antibody clone DO-7, NovocastraTM. The diagnostic test then performed with histopathology as gold standard. Histopathology and p53 staining were done independently. Only dark brown nuclear staining were scored positive. We establish 2x2 table and calculate the diagnostic values.
Result: Thirteen diffuse astrocytomas and one lesion with astrocytosis are strongly immunorective to p53 antibody. Weak and moderate staining intensity were observed in astrocytosis. The sensitivity is 65% and specificity 95%.
Conclusion: The diagnostic values of p53 immunohistochemistry alone were limited regarding to low sensitivity (65%) despite of high specificity (95%). The assessment of p53 positivity must be carefully established since the immunoreactivity were not limited to neoplastic astrocytes but also by reactive astrocytes and other cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fetisari Kurniawan
"Latar belakang: Pemfigoid bulosa merupakan kelompok penyakit bula subepidermal autoimun terbanyak. Patogenesis yang mendasari timbulnya penyakit ini adalah adanya ikatan antibodi terhadap antigen BP180 NC16A yang merupakan komponen dari hemidesmosom. Ikatan antibodi-antigen ini selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Deposit imun yang terbentuk kemudian dapat diperiksa menggunakan direct immunofluorescence (DIF). Salah satu molekul yang juga dihasilkan pada proses aktivasi komplemen adalah C4d. Molekul ini dianggap cukup stabil dan dapat digunakan sebagai penanda adanya kerusakan jaringan yang dimediasi oleh antibodi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat ekspresi imunohistokimia (IHK) C4d menggunakan formalin-fixed paraffin-embedded (FFPE) pada kasus pemfigoid bulosa.
Bahan dan cara kerja: Sampel penelitian terdiri atas 28 kasus pemfigoid bulosa yang terbukti mengandung deposit imun pada pemeriksaan DIF. Seluruh kasus dipulas menggunakan Complement C4d Rabbit Polyclonal Antibody. Penilaian ekspresi IHK C4d dilakukan secara tersamar dan dinyatakan sebagai positif atau negatif.
Hasil: Sebanyak 25 dari total 28 kasus pemfigoid bulosa (89,3%) menunjukkan C4d terekspresi positif pada pemeriksaan IHK.
Kesimpulan: Pulasan IHK C4d menggunakan FFPE dapat digunakan untuk mendeteksi deposit imun pada kasus pemfigoid bulosa.

Background: Bullous pemphigoid is the most frequent autoimmune subepidermal blistering disease. It is caused by the production of autoantibodies against BP180 NC16A, a component of hemidesmosome. Binding of autoantibodies to their target antigen lead to complement activation. Subsequently, immune deposits formation can be identified by direct immunofluorescence (DIF). One split product that also produced during complement activation is C4d. It is known as an inactive molecule that can be used as marker of antibody mediated tissue injury. The aim of this study was to investigate the expression of C4d immunohistochemically using formalin-fixed paraffin-embedded (FFPE) in bullous pemphigoid cases.
Material and methods: Immunohistochemical (IHC) stain was performed on 28 bullous pemphigoid cases proven to have immune deposits by DIF. All of these cases were labeled immunohistochemically using Complement C4d Rabbit Polyclonal Antibody. The results were blindly reviewed and defined as positive or negative.
Results: Immunoreactivity with C4d were identified in 25 out of 28 bullous pemphigoid cases (89.3%).
Conclusion: C4d IHC stain using FFPE can be used to detect immunoreactant deposition in case of bullous pemphigoid.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Infections may be caused by bacteria, viruses, fungi, and parasites. The diagnosis can established on the basis of signs and symptoms, should be representative of the disease process, and should be obtainal before drug administration. Diagnosis may be asded by different techniques such as investigation on microscopic examination, enzymatic activity ; immunoassays ; serodiagnosis and genetic probes. The recently applied methods of immunohistochemistry, immunoflourescence and immunoperoxidase staining, can detect specific microbial antigens. Principle of the immunoflourescence technique is recognitian of a specific antibody-antigen reaction and its visualization by labeling a chromogenic substrate. The immunoenzyme techniques require the attachment of an enzyme to a specific antibody. The antibody-antigen complex can be recognized by an enzyme label (peroxidase), resulting in a coloured product after reaction with a specific substrate and chromogenic substrate. These techniques are histologically used for visualization tissue specimen labeling, and to detec localization of antigen."
Journal of Dentistry Indonesia, 2004
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Sayogo Putri
"Latar belakang: Preeklamsia dihubungkan dengan kondisi inflamasi. Nekroptosis adalah kematian sel terprogram dengan luaran keadaan inflamasi. Vitamin D diketahui memiliki sifat anti-inflamasi, namun sampai saat ini belum ada penelitian yang mengaitkan konsentrasi vitamin D dan nekroptosis dalam pathogenesis preeklamsia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status vitamin D dan aktivitas nekroptosis pada preeklamsia.
Metode: Studi potong lintang dilakukan di Jakarta selama tahun 2021-2023. Subjek dikelompokkan menjadi normal dan preeklampsia. Setelah persalinan, sampel darah vena dan plasenta diambil. Pengukuran konsentrasi 25(OH)D sampel serum dan plasenta dilakukan dengan LC-MS/MS. Imunohistokimia dilakukan untuk mengukur nekrosom RIPK1, RIPK3, dan MLKL pada trofoblas dan endotel.
Hasil: Sebanyak 60 subjek terlibat dalam studi (31 normal, 29 preeklampsia). Kelompok preeklampsia memiliki usia gestasi yang lebih rendah (35 vs 38 minggu), berat lahir yang lebih rendah (3080.33 ± 454.62 g vs 2283.27 ± 833.63 g), berat plasenta yang lebih rendah (580.40 ± 129.36 g vs 453.06 ± 173.65 g), kadar 25(OH)D plasenta yang lebih rendah (15.00 (3.50 – 58.00) vs 26.50 (5.00 – 153.00) ng/mL, p=0.014), dan kadar RIPK3 trofoblas yang lebih tinggi (93.88 (23.94) vs 76.20 (20.59), p=0.003). Ditemukan korelasi negatif sedang antara kadar 25(OH)D plasenta dan kadar RIPK3 trofoblas (-0.352, p=0.003), RIPK3 endotel (r=-0.244, p=0.03), dan MLKL trofoblas (r=-0.296, p=0.011).
Kesimpulan: Adanya korelasi negatif sedang antara 25(OH)D dan nekrosom trofoblas dapat menunjukkan efek protektif vitamin D terhadap nekroptosis pada patogenesis preeklamsia.

Background: Preeclampsia is correlated with inflammatory condition. Necroptosis is programmed cell death with inflammatory state. Vitamin D has anti-inflammatory properties, however, there has been no study linking vitamin D and necroptosis in preeclampsia. This study aimed to evaluate vitamin D status and necroptosis activity in preeclampsia.
Methods: A cross-sectional study was conducted in Jakarta during 2021-2023. Subjects were grouped into normal and preeclampsia. Following delivery, venous blood and placental samples were taken. Serum and placental 25(OH)D assay were performed by LC-MS/MS. Immunohistochemistry was performed to measure necrosomes RIPK1, RIPK3, and MLKL in trophoblast and endothelial.
Results: A total of 60 subjects participated (31 normal, 29 preeclampsia). Preeclampsia group had lower gestational age (35 vs 38 weeks), lower birth weight (3080.33 ± 454.62 g vs 2283.27 ± 833.63 g), lower placental weight (580.40 ± 129.36 g vs 453.06 ± 173.65 g), lower placental 25(OH)D (15.00 (3.50 – 58.00) vs 26.50 (5.00 – 153.00) ng/mL, p=0.014), and higher trophoblast RIPK3 (93.88 (23.94) vs 76.20 (20.59), p=0.003). A moderate negative correlation between placental 25(OH)D and trophoblast RIPK3 (-0.352,p=0.003), endothelial RIPK3 (r=-0.244, p=0.03), and trophoblast MLKL (r=-0.296,r-0.011) were observed.
Conclusion: Moderate negative correlation between 25(OH)D and trophoblast necrosomes suggest protective effect of vitamin D against necroptosis.
Keywords: Preeclampsia, necroptosis, cell death, vitamin D, pregnancy, inflammation
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muliyadi
"ABSTRAK
Latar belakang Akurasi triple diagnostic USG guided FNAB untuk menentukan keganasan pada kasus nodul tirodi masih belum diketahui. Hal tersebut penting untuk diketahui sehingga tindakan definitif dan jenis operasi dapat ditentukan tanpa harus dilakukan pemeriksaan potong beku.Metode Penelitian dilakukan pada 131 pasien dengan pembesaran kelenjar tiroid pada periode Januari 2014 ndash; Desember 2014 dengan menggunakan desain potong lintang. Penelitian ini menghitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif, akurasi triple diagnostic dengan USG guided FNAB dibandingkan dengan histopatologi.Hasil Hasil penelitian ini menunjukan triple diagnostic yang concordant ganas memiliki sensitivitas 81,17 , spesifisitas 96,55 , nilai prediksi positif 98,57 , nilai prediksi negatif 36,36 , dan akurasi 85,08 .Kesimpulan Tingginya nilai prediksi positif yang didapatkan dalam penelitian ini, sehingga triple diagnostic dapat digunakan untuk terapi definitif tanpa dilakukan pemeriksaan potong beku intra operatif.

ABSTRACT
Background The triple diagnostic accuracy with Ultrasound guided FNAB to determine the risk of malignancy in cases of thyroid nodules remains unknown. It is important to know so that definitive measures and types of operations can be determined without the need for a frozen section. Methods The study was conducted using cross sectional design on 131 patients with thyroid nodule in the period of January 2014 December 2014. This study calculated the values of sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, triple diagnostic accuracy with ultrasound guided FNAB compared with histopathological result.Results This study show triple diagnostic with malignant concordant has sensitivity of 81.17 , specificity of 96.55 , positive predictive value of 98.57 , negative predictive value of36.36 , and 85.08 accuracy.Conclusions The high positive predictive values obtained in this study, show that triple diagnostic can be used for definitive therapy without intraoperative frozen section"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirna Albertina Wijaja
"Latar belakang: Keganasan pankreas merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas signifikan di dunia dengan 90% kasus adalah adenokarsinoma yang umumnya terdiagnosis stadium lanjut karena tidak memiliki gejala klinis spesifik dan keterbatasan dalam menegakkan diagnosis. Adenokarsinoma pankreas disebabkan oleh perubahan histologik dari neoplasma intraepitelial pankreas (PanIN) dan mutasi genetik antara lain aktivasi onkogen KRAS serta inaktivasi gen supresor tumor seperti CDKN2A/p16, p53, BRCA2 dan Small Mothers Against Decapentaplegic 4 (SMAD4) atau disebut juga Deleted in Pancreatic Cancer, locus 4 (DPC4). Mutasi DPC4 ditemukan pada 55% kasus dan relatif spesifik pada adenokarsinoma pankreas. Penelitian ini dilakukan untuk menilai ekspresi DPC4 pada adenokarsinoma pankreas dengan sampel fine-needle aspiration biopsy (FNAB) dengan tujuan meningkatkan akurasi diagnosis.
Bahan dan cara: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel diambil dari data arsip Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM terdiri atas kelompok data berpasangan dengan 9 kasus adenokarsinoma dan 5 kasus nonadenokarsinoma dari Januari 2012-Agustus 2018 serta kelompok data tidak berpasangan dengan 10 kasus adenokarsinoma dari Januari 2017-Agustus 2018. Dilakukan pulasan DPC4 pada sampel sitologi dan histopatologik. Penilaian mengunakan persentase cut off positif >50% sel tumor.
Hasil: Ekspresi DPC4 negatif didapatkan pada 5 kasus adenokarsinoma dan 0 kasus nonadenokarsinoma data berpasangan, serta 5 kasus adenokarsinoma data tidak berpasangan. Uji Fisher s exact yang dilakukan mendapatkan hasil ekspresi DPC4 pada adenokarsinoma dan nonadenokarsinoma data berpasangan tidak berbeda bermakna dengan nilai p>0.05.
Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara ekspresi DPC4 pada adenokarsinoma dan nonadenokarsinoma.

Background: Pancreatic malignancy is one of the causes of significant morbidity and mortality in the world with 90% of cases were adenocarcinomas which are generally diagnosed in advanced stages because there is no specific clinical symptom and limitation in making a diagnosis. Pancreatic adenocarcinoma is caused by histological changes of intraepithelial pancreatic neoplasms (PanIN) and genetic mutations including activation of KRAS oncogenes and inactivation of tumor suppressor genes such as CDKN2A/p16, p53, BRCA2 and Small Mothers Against Decapentaplegic 4 (SMAD4) or also called Deleted in Pancreatic Cancer, locus 4 (DPC4). DPC4 mutations is found in 55% of cases and relatively specific in pancreatic adenocarcinoma. This study was conducted to assess the expression of DPC4 in pancreatic adenocarcinoma using a fine-needle aspiration biopsy (FNAB) sample to increase diagnosis accuracy.
Materials and methods: This was a cross-sectional study. Samples were taken from archival data of the Anatomical Pathology Department of FKUI/RSCM consisting of paired data group with 9 cases of adenocarcinoma and 5 cases of nonadenocarcinoma from January 2012 to August 2018 and unpaired data group with 10 cases of adenocarcinoma from January 2017 to August 2018. All cytology and histopathologic samples were stained with DPC4 antibody and evaluated using a positive cut-off> 50% of tumor cells.
Results: Negative DPC4 expression was found in 5 cases of adenocarcinoma and 0 cases of nonadenocarcinoma in paired data group, and 5 cases of unpaired data group adenocarcinoma. The Fisher s exact showed no significant difference of DPC4 expression between adenocarcinoma and nonadenocarcinoma paired data group with p value> 0.05.
Conclusion: There was no significant difference in the expression of DPC4 between adenocarcinoma and nonadenocarcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Aplikasi metabolomik dalam analisis subtipe kanker payudara dinilai cukup menjanjikan, salah satunya melalui penilaian profil asam amino. Informasi profil asam amino pada pasien kanker payudara berperan penting dalam tatalaksana pengobatan dan prognosis kanker payudara. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan suatu pola perubahan asam amino pada pasien kanker payudara dibandingkan kontrol orang sehat, yang mengindikasikan kaitan asam amino dengan kanker payudara. Beberapa asam amino dapat menjadi biomarker yang menunjukkan adanya asosiasi dengan progresivitas kanker maupun subtipe IHK kanker payudara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan profil asam amino berdasarkan subtipe imunohistokimia kanker payudara. Penelitian menggunakan studi desain potong lintang yang melibatkan 51 pasien kanker payudara di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sampel darah pasien yang terdiagnosis kanker payudara diukur kadar asam aminonya menggunakan metode HPLC dan nilai yang diperoleh dibandingkan dengan nilai rujukan normal untuk mengetahui adanya pola kenaikan dan penurunan. Pola asam amino akan dianalisis dan diuji asosiasinya berdasarkan pengelompokan subtipe imunohistokimia, yang dibagi menjadi Luminal A, Luminal B+HER2 dan Triple Negative Breast Cancer (TNBC) Sebanyak 51 pasien kanker payudara didominasi oleh kelompok Luminal B+HER2 diikuti oleh Luminal A dan TNBC. Sebagian besar pola asam amino berdasarkan subtype IHK menunjukkan kadar normal, kecuali asam amino arginin dan histidin yang mengalami peningkatan pada kelompok Luminal A dan Luminal B+HER, serta penurunan kadar asam amino ornitin pada kelompok TNBC. Analisis bivariat meunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p<0.05) antara asam amino arginin dan ornitin dengan subtipe IHK. Luminal B+HER2 menjadi kelompok subtipe imunohistokimia kanker payudara yang mendominasi. Berdasarkan 19 asam amino yang diuji, asam amino dari ketiga kelompok subtipe imunohistokimia cenderung normal, dimana hanya tiga asam amino yang menunjukkan pola perubahan, yaitu histidin, ornitin dan arginin. Asam amino arginin dan ornitin menunjukkan hubungan yang signifikan dengan subtipe imunohistokimia. 

Metabolomic approach to analyze the immunohistochemistry subtype in breast cancer is a promising tool, especially measuring amino acid levels. The amino acid profile on breast cancer patients has a significant role as guidance and prognosis. Previous studies showed alteration of amino acid levels in breast cancer patients compared to healthy women, indicating an association between amino acid and breast cancer. Some amino acids can be used as a biomarker for determining a relationship between breast cancer with cancer progression or immunohistochemistry. This study aims to investigate the association of amino with immunohistochemistry in breast cancer. This is a cross-sectional study that involved 51 breast cancer patients in RSUPN Cipto Mangunkusumo. A blood sample was collected from patients and analyze using High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) methods to calculate the level of amino acid. The measurement of amino acid was compared to standard to determine amino acid alteration whether amino acid is increased or decrease. The data are analyzed and tested statistically to investigate the association of amino acid alteration based on three categories of immunohistochemistry (Luminal A, Luminal B+HER2 dan Triple-Negative Breast Cancer (TNBC)). A total of 51 breast cancer patients showed Luminal B+HER2 group has the highest frequency of immunohistochemistry subtype, followed by Luminal A and TNBC, respectively. There were mostly no changes in amino acid levels among the three subtypes, except arginine and histidine, which showed increased amino acid levels in Luminal A and Luminal B+HER2, whereas a decrease of ornithine level showed in TNBC group. Bivariate analysis showed significantly association between amino acid arginine and ornithine with immunohistochemistry subtype in breast cancer (p<0.05).  The majority of immunohistochemistry subtypes in breast cancer were Luminal B+HER2. Out of 19 amino acids, most of the amino acid are stable in three groups, excluding arginine, histidine and ornithine. Arginine dan ornithine showed a significantly association with immunohistochemistry subtype of breast cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pleomorphic parotid gland adenomas (PPA's) have a variability of histopathologic appearances making it difficult to classify and its biological behavior is also difficult to predict. To find a better understanding of this phenomenon a retrospective causal study was undertaken on 25 benign and 17 malignant PPA's cases. Having exposed the underlying process it is hoped that it can be applied for the prediction of the malignant changes occur in PPA's depending on the expressions of oncogenes rasP-21, C-erbB-2 and P-53 immunohistochemically. The immunoexpression were defined by the criteria: 0=negative; +1=focal (<20%); +2=heterogenous (20-50%); and +3=diffuse (>50%). heterogenous and diffuse are considered to be an overexpression criterias. The immunoexpression percentage of ras P-21 (88.1%), C-erbB-2 (92.8%) and P-53 (97.6%) is highly significant (p<0.01) in emerging the variability of the biological behaviour of PPA's. The sensitivity of immunohistochemistry and Pvnegative (both 100%) are indicative of their abilities for detecting the malignant potentials of PPA's. The spesifisity of immunohistochemistry of 50% and the presence of false positive in the benign PPA's cases could be considered of having the potentials for malignant change. Apparently overexpression of the rasP-21, C-erbB-2 and P-53 plays a role as a dependable indicator of having the potentials of benign PPA's for malignant change."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>