Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 3 Document(s) match with the query
cover
Dwi Kurniati
"Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, begitu banyak masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan, diantaranya masalah diplomasi modern yang sama sekali baru bagi bangsa Indonesia. Meskipun menurut ukuran kondisi dan situasi waktu itu masalah mempertahankan kelangsungan hidup negara lebih banyak menyangkut bidang kesiap-siagaan fisik, namun unsur diplomasi sebagai salah Satu alat untuk mempertahankan negara menduduki tempat yang juga sangat menentukan. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk melihat sejauh mana keberhasilan perjuangan diplomasi Indonesia di forum PBB. terutama setelah agresi militer II Belanda hingga pengakuan kedaulatan. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan, berupa buku-buku, dokumen, artikel majalah, Surat kabar, hasil-hasil sidang PBB, Serta wawancara. Masalah pertikaian Indonesia dengan Belanda telah masuk agenda PBB sejak: bulan Juli 1947 hingga bulan Desember 1949. Pengajuan masalah ini ke forum EBB, karena Pemerintah Indonesia beranggapan, bahwa masalah pertikaiannya dengan Belanda tenting siapa yang berdaulatan terhadap wilayah Indonesia, tidak dapat lagi diselesaikan melaui perundingan bilateral dengan Pemerintah Belanda. Dari hasil panelitian penulis, penulis melihat bahwa ada dua tahap perjuangan diplomasi Indonesia di PBB. Tahap pertama dari bulan Juli 1947 hingga Juli 1948, yang ternyata tidak berhasii. Ketidakberhasilan tersebut disebabkan adanya Perang Dingan antara Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya yang beraliran demokrasi berhadapan dengan Uni Soviet dan kelompoknya, yang berpahamkan komunis, yang melanda juga situasi persidangan di PBB. Akibatnya, usaha Indonesia untuk menggunakan PBB sebagai media panyelesaian pertikaiannya dengan Belanda dalam prakteknya selaluterbentur oleh kepentingan nasiona1 dari kedua negara adikuasa, tersebut, dan pada akhirnya juga mempengaruhi sikap yang harus diambil negara-negara anggota PBB 1ainnya. Dalam perkembangan kemudian, terutama setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua dan kemampuan Indonesia menumpas pemberontakan komunis di Madiun, Indonesia baru dapat menggunakan forum PBB secara efektif. Keberhasilan tersebut juga dipengaruhi oleh kemampuan delegasi Indonesia di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat (PBB) membentuk suatu pendapat masyarakat dunia yang mendukung perjuanggan Indonesia melawan Belanda. Serangan Umum 1 Maret 1949 yang mengejutkan dunia internasional. Dan tak kalah pentingnya adalah kemampuan Indonesia memanfaatkan situasi Penang Dingin yang mengakibatkan perubahan sikap Amerika Serikat dari pasif' menjadi lebih aktif mendukung Indonesia dan mendesak Belanda agar mau berunding kembali kesemua faktor di atas akhirnya memudahkan Indonesia menggunakan PBB sebagai media diplomasina, guna menyelesaik.an pertikaiannya dengan Belanda rea1isasinya adalah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada bulan Desember 1949 melalui konperensi Meja Bundar yang diadakan di negeri Belanda."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12178
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roeslan Abdulgani
Djakarta: Gunung Agung, 1972
341.23 ROE d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Jeremiah Gerhard
"Keterlibatan Indonesia dalam promosi hak asasi manusia (HAM) di forum PBB mengalami intensifikasi pasca-reformasi, namun sering kali suara Indonesia terhadap resolusi-resolusi bersifat ambivalen. Perilaku Indonesia ini menimbulkan pertanyaan mengenai pola pemberian suara dan kepentingan Indonesia dalam pengelolaan isu-isu HAM melalui PBB. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan kerangka konsep pola voting Pascoe dan Bae (2020) yang memproposisikan tiga faktor sebagai pembentuk suara negara dalam voting, yakni afinitas, kalkulasi terhadap konsekuensi pemberian suara, serta sosialisasi nilai dalam kebijakan luar negeri. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif regresi dan wawancara mendalam untuk melihat hubungan ketiga faktor tersebut dengan 1.084 suara yang telah diberikan Indonesia di Majelis Umum dan Dewan HAM PBB sejak awal keanggotaannya di Dewan HAM saat Indonesia dipimpin oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (2006–24). Hasil olah statistik terhadap sebaran suara Indonesia mengungkap bahwa afinitas Indonesia terhadap negara berkembang serta perubahan pendekatan kebijakan luar negeri (KLN) di era presiden SBY dan Widodo secara aktif membentuk perilaku suara Indonesia. Analisis lebih lanjut terhadap temuan kuantitatif ini menunjukkan bahwa Indonesia berkepentingan untuk mereposisi rezim pengelolaan isu HAM internasional yang dianggap terpolitisasi dan timpang terhadap negara-negara berkembang. Sementara itu, secara statistik, performa domestik Indonesia tidak secara signifikan memengaruhi suara Indonesia di PBB. Temuan yang tidak konsisten dengan proposisi Pascoe dan Bae diinvestigasi melalui wawancara dan studi dokumen yang mengungkap bahwa Indonesia tetap memperhitungkan konsekuensi dari pilihan suaranya dalam voting di PBB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola suara Indonesia bersifat dinamis karena dibentuk oleh interaksi afinitas terhadap negara berkembang, kalkulasi konsekuensi dari performa domestik Indonesia, dan pendekatan KLN kedua presiden. Pengaruh ketiga faktor ini memperlihatkan bahwa Indonesia memperjuangkan kepentingan nasionalnya secara mandiri. Hal ini konsisten dengan prinsip “bebas-aktif” yang diperjuangkan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan demikian, hasil penelitian ini berkontribusi terhadap kajian perilaku Indonesia di PBB dan terhadap studi kebijakan luar negeri Indonesia.

Indonesia's engagement in the promotion of human rights (HR) within the United Nations (UN) system intensified post-reformasi. However, its voting behavior on human rights resolutions often remains ambivalent. This ambiguity raises questions about the patterns which shape Indonesia’s voting behavior and the country’s interests in managing human rights issues through the UN. To address these questions, this study adopts the conceptual framework of voting patterns proposed by Pascoe and Bae (2020), which identifies three key factors shaping state voting behaviors: affinity, consequence-based calculation, and socialization of values in foreign policy. Using quantitative regression analysis and indepth interviews, this study examines the influence of these three factors on a total of 1,084 votes cast by Indonesia in the UN General Assembly (UNGA) and the Human Rights Council (UNHRC) from the start of its membership in the UNHRC under Presidents Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) and Joko Widodo (2006–2024). The statistical analysis reveals that Indonesia’s affinity with developing countries, as well as shifts in foreign policy orientation under Presidents SBY and Widodo, significantly shape Indonesia’s voting behavior. Further analysis of the quantitative findings suggests that Indonesia seeks to reposition the international human rights regime, which it perceives as politicized and biased against developing countries. Meanwhile, Indonesia’s domestic human rights performance does not appear to exert a statistically significant influence on its voting behavior. This finding, which diverges from the propositions of Pascoe and Bae, is further explored through interviews and document analysis, which indicate that Indonesia does, in fact, consider the consequences of its voting choices in UN forums. The study concludes that Indonesia’s voting pattern is dynamic, shaped by the interaction of its affinity with developing countries, strategic calculations tied to its domestic performance, and the foreign policy approaches of its two most recent presidents. The influence of these three factors highlights Indonesia’s independent pursuit of national interests, consistent with the country’s long-standing “free and active” foreign policy principle. As such, this research contributes to the literature on Indonesia’s behavior in the UN and to broader studies of its foreign policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library