Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1090 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Perkumpulan Ikatan Keluarga Besar Jagratara, 2008
360 JAG
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Ali M. A. Rachman
Bangi: University Kebangsaan Malaysia , 2000
303.4 ALI m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Peradaban, 2001
303.49 IND
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Satyagraha Hoerip Soeprobo
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996
959.803 9 SAT b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Rajawali, 1989
300 PEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Roeder, O.G.
Jakarta: Gramedia Book, 1987
915.98 ROE i (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore : Times Books International, 1990
306 CUL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Darmawan
"Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah berdiri sejak tahun 1945. Semenjak kelahirannya, PGRI senantiasa berusaha untuk memajukan, meningkatkan, dan memperjuangkan nasib guru Indonesia. Tujuan itu tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PGRI, tetapi sampai tahun 1998, permasalahan nasib guru belum memperoleh kejelasan. Undang-Undang Guru belum disusun dan ditetapkan.
PGRI sebagai organisasi profesional yang menjadi pelindung para guru dapat menjadi pos terdepan dalam memperjuangkan nasib guru. Dalam usahanya untuk memperjuangkan nasib guru, tidak selamanya PGRI memperoleh kesuksesan dan berjalan dengan lancar. PGRI mengalami pasang surut dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia.
Berdasarkan kajian terhadap track record PGRI selama tahun 1945-1998, terdapat kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang menyebabkan PGRI mengalami pasang surut dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia. PGRI yang dianggap sebagai organisasi para birokrat dibidang pendidikan sebenarnya dapat menjadi strenght (kekuatan) bagi PGRI untuk memperjuangkan nasib guru Indonesia dengan dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kesejahteraan guru. Namun duduknya para birokrat dalam PGRI dapat juga menjadi weakness (kelemahan) PGRI dalam memperjuangkan nasib guru, karena para birokrat akan lebih terfokus pengabdiannya pada pemerintah daripada organisasi (PGRI). Jika mengandalkan pada keanggotaan PGRI yang mencapai 1,4 juta jiwa, keanggotaan PGRI dapat menjadi kekuatan dan peluang (opportunity) secara intern (organisasi) untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Caranya dengan mengelola potensi yang ada dalam diri anggota dan iuran keanggotaan yang terkumpul dapat dijadikan modal usaha yang keuntungannya dapat diberikan kepada anggota. Peluang lain, masuknya PGRI dalam organisasi serikat sekerja membuka PGRI untuk lebih berani menuntut perbaikan nasib buruh termasuk guru di dalamnya. Begitu juga dengan lembaga pendidikan (sekolah-sekolah dari Tk - PT) yang telah dirintis oleh PGRI, hasil penyelenggaraannya dapat menjadi faktor pendukung untuk membantu kesejahteraan guru. Sementara itu, PGRI yang selalu mengikuti arus pemerintahan dengan menjadi organisasi pendukung dari pemerintah yang berkuasa, seperti Orde Lama dengan Nasakom-nya yang memunculkan PGRI Non-vaksentral dan Orde Baru dengan Golkarnya, akan memberikan image (citra) buruk dan ketidakpercayaan anggota terhadap PGRI. Hal itu terbukti ketika terjadi Reformasi pada tahun 1998, telah bermunculan organisasi guru di luar PGRI. Kehadiran mereka, seperti Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan Kesatuan Dosen dan Guru Swasta Seluruh Indonesia (KDGSSI), tidak menutup kemungkinan dapat menjadi threat (ancaman) atas keberadaan PGRI yang tidak tegas dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia.
Adanya kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada pada diri PGRI tersebut membuat perjuangan PGRI mengalami pasang surut dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Handini
"As an ethnic group that lives in the interior part of the Jambi Province, Suku Anak Dalam is inseparable with tropical rainforest. The rainforest is their most essential environment. Therefore, changes in the rainforest have a significant impact on the people's lifestyle Among the lifestyles that represents their dependence to nature is their pattern of subsistence, which is foraging, a combination of hunting and gathering activities that they do in nomadic fashion tracking the food sources provided by nature. That is the reason that the Suku Anak Dalam is also known as foragers, meaning people who roams in search of food.
The topic of this thesis is the foraging lifestyle, which has become very difficult to maintain due to environmental changes. The quantity and quality of the rainforest are declining as the result of the opening of plantations, transmigration areas, illegal logging, road construction, etc. The impact is immediately felt: the food sources of the Suku Anak Dalam are drastically decreasing.
The research method used in this thesis is participant observation, which is implemented in the field by conducting a descriptive technique with the inductive type of reasoning. The optimal foraging analysis by Winterhalder (1981) and Schoener (1971), which emphasizes on four aspects that should go in concert to acquire optimal results, were applied directly to the foraging of the Suku Anak Dalam. The four aspects are the food extent, foraging space foraging period, and group size.
The application of optimal foraging analysis among the Anak Dalam foragers reveals that wild boar and deer are their favorite menu because those kinds of animals are easy to find, have plenty of meat, and delicious. On the other hand, a tuber plant called bazaar (Diascrorea sp.) is also a favorite. Analysis shows that foraging lifestyle mainly depends not on animal hunting but on plant gathering activities. Protein is the supplement of carbohydrate, and the food sources can be found around the habitation camps. The foraging space is in proportion with the condition of the surrounding rainforest: the more infertile/barren a foraging area, the scarcer the food sources; as a consequence, the wider is the roaming area and the higher is the foraging intensity. In the case of the Anak Dalam foragers, the foraging space covers 2 - 6 hour walk or within a radius of 2 - 29 km from their habitation camp.
The Suku Anak Dalam people generally practice foraging for 20 - 30 hours per week, or + 6 hours per day. During the foraging period, 30 % are allocated for hunting and 70 % are for gathering activities. The ideal size for a group of foragers is 20 - 25 people, which includes at least 3 - 4 adult males as hunters. Gathering activities, on the other hand, can be done by any number of people, be it an individual, a small group, or a large group. If a foraging group becomes too large, some of its members will leave the group and form a new group.
Environmental changes have made each Anak Dalam foraging group to employ its own adaptation strategy. As a result, based on their subsistence, there are three types of Anak Dalam groups: foragers, semi-foragers, and crop growing groups. Aside from environmental changes, there are also internal and external factors that changed the lifestyle of the Anak Dalam people. Among the internal factors is their desire to move into what they thought to be a better lifestyle, while one of the external factors is government policy. This thesis will focus on the- causal relationship between environmental changes and foraging activities among the people of Suku Anak Dalam. Various aspects of their daily life will also be described in this thesis, which will include their nomadic tradition, social organization, life cycles, genealogical system, religion system, political and governmental system, and technological system.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14081
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anitasa Dewi
"Identitas mutlak merupakan suatu pilihan personal yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun bahkan oleh negara di mana personal itu tinggal dan menjadi warga suatu negara. Pilihan tersebut bukanlah hal yang mudah karena masing-masing memiliki ingatan-ingatan personal masa lalu yang tidak bisa dibuang begitu saja. Bahwa suatu tradisi bisa membuat seseorang untuk tetap bertahan di wilayah sejarah masa lampau mungkin tidak merupakan pilihannya sendiri. Demikian pula halnya terjadi pada mayoritas senior kelompok etnis Cina di mana mereka menjadi guard atau penjaga tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pada masa modern seperti saat ini ketika globalisasi masuk ke seluruh sendi-sendi kehidupan manusia tentunya memberi kemudahan bagi aktor atau pelaku yang aktif untuk menentukan atau merepresentasi dirinya seperti apa yang mereka inginkan. Seperti yang dikatakan Stuart Hall bahwa identitas merupakan sebuah produk sosial dan Iayaknya sebuah produk maka identitas dapat dibentuk sesuai dengan dinamika sosial yang terjadi. Bahkan sangat mungkin aktor dapat menjadi inovator bagi identitasnya sendiri. Dalam penelitian saya mengenai kelompok etnis Cina Pasar Baru, saya ingin menemukan sesuatu yang baru yaitu seseorang dapat menentukan pilihan identitas tanpa terbelenggu oleh sejarah masa lampau maupun tradisi yang terus mengikatnya. Seperti Wang Gungwu jelaskan bahwa orang Cina dapat meramu sejarahnya sendiri yaitu menggunakan masa lalu untuk memahami dengan lebih baik masa kini dan menentukan masa depan mereka sendiri.
MasaIah identitas seringkali melihat pelaku hanya sebagai obyek penelitian, peneliti cenderung menempatkan dirinya sebagai seseorang yang mempunyai ?otoritas penuh? untuk menterjemahkan fenomena sosial. Sementara jika kita berbicara mengenai identitas maka yang paling tersentuh adalah sesuatu yang hakiki dalam diri manusia dalam menterjemahkan ?Siapakah Aku? yang mana dilihat sebagai ?Subyek Lagi? pula identitas memberinya rasa ?belonging?. Adalah suatu kenyataan bahwa isu identitas komunitas Cina telah diabaikan dan disudutkan pada masa pemerintahan Orde Baru. Terjadinya peristiwa tragis Mei 1998 adalah karena masalah ke-identitas-an yang selalu menjadi kambing hitam dan tidak adanya usaha yang keras dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut, membuat adanya persepsi yang salah dari warganya. Bahwa identitas suatu kelompok etnis apapun tidak mungkin terus tetap atau statis seperti yang mereka bayangkan sendiri. Tanpa wawasan dan pengetahuan yang benar maka masalah ke-identitas-an tidak pemah akan berakhir. Dalam tesis ini saya menggunakan sudut pandang Stuart Hall di mana dalam konsep Cultural identity-nya menghasilkan analisis yang berhubungan dengan dinamika identitas orang Cina Pasar Baru. Bahwa munculnya pembentukan identitas kultural masyarakat dalam sebuah konteks dunia yang terus berubah. Selain itu Hall juga menjelaskan identitas kultural suatu masyarakat tidak dapat ditampilkan secara murni karena terjadinya tidak mungkin tanpa pengaruh dari kebudayaan lain. ldentitas akan selalu bergerak atau dinamis dan terus berlangsung tanpa henti. Dalam penelitian ini saya mencoba untuk tidak terjebak ke dalam wilayah politik dan bentuk-bentuk konflik yang selalu ada jika kita berbicara mengenai suatu kelompok etnis tertentu. Saya berusaha untuk melihat identitas kelompok etnis Cina Pasar Baru sebagai dinamika dan konstruksi sosial sesuai perkembangan dan fenomena sosial yang terjadi dewasa ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21694
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>