Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Toni Abdul Wahid
Abstrak :
Tekanan publik Ameriika terutama kalangan LSM dan kelompok konsumen akibat tuduhan pelanggaran HAM terutama eksploitasi buruh sejak tahun 90-an membuat banyak perusahaan multinational termasuk Gap membuat barikade melalui pelaksanaan Code of Conduct. Code of Conduct adalah satu set aturan dan etika bisnis yang memuat aspek-aspek dasar hak asasi manusia khususnya dalam bidang perburuhan seperti yang harus diikuti oleh setiap vendor, pabrik, atau subkontraktor sebagai prasyarat untuk melakukan transaksi bisnis. Isi Code of Conduct terdiri dari penghormatan terhadap hukum setempat, pembatasan jam kerja, larangan penggunaaan buruh paksa dan buruh anak, kebebasan berserikat, pembayaran upah minimum, kesehatan dan keselamatan kerja, kebijakan non-diskriminasi. Banyak pihak yang melihat bahwa Code of Conduct merupakan bagian dari startegi kehumasan semata. Oleh karena itu tujuan penelitian yang menggunakan metode studi kasus ini adalah untuk melihat pelaksanaan Code of Conduct sebagai upaya public relations dalam menghadapi tekanan dari publik terutama dari kalangan LSM seperti aktivis HAM, gerakan buruh, konsumen, pelajar dan mahasiswa. Masalah yang diidentifikasi dalam thesis ini adalah kegiatan public relations melalui penerapan Code of Conduct termasuk bagaimana perusahaan Gap sebagai suatu institusi bisnis melakukan aktivitas HAM perburuhan. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagai insitusi bisnis ternyata menunjukan bahwa Code of Conduct bukan semata-mata berfungsi sebagai alat PR, namun lebih jauh telah dilaksanakan secara sungguh-sungguh yang diperlihatkan dengan kerjasama berbagai LSM dan pemutusan hubungan bisnis dengan partner bisnisnya yang melakukan pelanggaran isi dari Code of Conduct. Many multinational company like Gap, due to growing pressure from American public particularly from non-government organizations and consumer group on human rights violations has created their own Code of Conduct. This voluntary business ethic comprised of a set of rule of basic labor rights as a compulsory measurements for each business partner e.g. vendors, factories, and subcontractors, as a condition to engage business transaction with Gap. Code of Conduct covers a full compliance with the laws of their respective countries, stipulating among others limitation of working hours, the prohibition of forced and child labor, minimum wage, workers health and safety, non-discriminatory policy, etc. Outside parties such as NGO's tend to see that this constitutes of public relations spin, hence the purpose of this research which using case study is to identify the implementation of Code of Conduct under the pressure from labor and human rights movement. Key issues in this thesis is to investigate whether or not there was a deliberate attempts to use the Code of Conduct as public relations gimmick amid a business environment. The research result revealed that COC is not merely a public relations tool as there were many actual engagement with various non-government organizations and the termination of business relationships with its business partners due to Code of Conduct violations.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11088
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elmer Quinn Surjadinata
Abstrak :
ABSTRAK
Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional yang turut serta dalam WTO pada tanggal 15 April 1994, yang dengan sendirinya tunduk pada aturan perdagangan yang dimuat dalam kesepakatan tersebut. Indonesia sebagai negara berkembang sudah menjadi anggota dan secara sah ikut dalam TRIPS melalui ratifikasi WTO Agreement yang prosedur ratifikasinya selesai pada bulan Oktober 1994 dengan Undang-Undang No.7 tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 No. 57, Tambahan Lembaran Negara No. 3564). Oleh karena itu, Indonesia tanpa tawar menawar harus menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan kerangka WTO, khususnya dalam kaitannya dengan bidang yang diatur dalam WTO tersebut yang mama HaKI masuk didalamnya. Pada saat ini, Indonesia memang sudah mempunyai perangkat hukum di bidang Desain Industri, yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 2000' tentang Desain Industri yang diundangkan pada tanggal 20 Desember 2000. Diberlakukan Uridang-Undang Desain Industri ini yang merupakan tindak lanjut dari diratifikasinya WTO Agreement dengan Undang-Undang No.7 Tahun 2000. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri ini, dibarapkan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap kreasi atas suatu produk yang dibuat oleh seorang pendesain, tetapi kenyataannya dalam praktek perlindungan hukum di bidang Desain Industri masih belum efektif yang membuat para pendesain atas suatu produk merasa dirugikan. Undang-Undang Desain Industri Tahun 2000 ini tidak mampu melindungi Desain Industri dalam negeri maupun luar negeri terhadap para pendaftar yang beritikad tidak baik. Di samping itu, mengenai kriteria Public Domain Undang-Undang Desain Industri Tahun 2000 tidak mampu untuk memberikan kriteria yang benar. Mengenai syarat kebaruan dalam Undang-Undang Desain Industri Tahun 2000 tidak memiliki definisi yang tepat untuk sebuah Desain Industri dapat dikatakan Baru. Jadi, Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 sebaiknya dilakukan revisi, untuk dapat menutupi kekurangan-kekurangan yang menjadi hambatan bagi Undang-undang ini untuk menjalankan perlindungan terhadap Desain Industri di Indonesia. Agar Undang-Undang Desain Industri tahun 2000 dapat tetap hidup dan sesuai dengan hukum yang berlaku di masyarakat, dan dapat memenuhi tujuan hukum untuk memberikan kebahagiaan kepada sebagian besar masyarakat
2007
T19610
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diena Muazizah Hasanah
Abstrak :
Skripsi ini menganalisa prinsip arbitrase yaitu, prinsip otonomi para pihak dan kompetenz-kompetenz. Khususnya, menjabarkan apakah para pihak dalam arbitrase melanggar prinsip otonomi para pihak apabila mengajukan sengketa ke Pengadilan Negeri; apakah PT Golden Spike Energy Indonesia (GSEI) melanggar prinsip-prinsip arbitrase ketika mengajukan sengketa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan apakah tindakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menerima kasus arbitrase sesuai dengan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbirase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif dan Peraturan Arbitrase oleh ICC. Berdasarkan metode penelitian hukum normatif, hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak dalam perjanjian arbitrase melanggar prinsip otonomi para pihak jika mengajukan sengketa ke Pengadilan Negeri; PT GSEI pada dasarnya melanggar kedua prinsip otonomi para pihak dan kompetenz-kometenz dengan mengajukan sengketa arbitrase ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, meskipun Pengadilan Negeri telah menyetujui untuk megadili gugatan; dan tindakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menerima sengketa arbitrase tidak sesuai dengan Pasal 3 dan 11 (2) UU No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahawa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.
This thesis analyzes the principle of party autonomy and kompetenz-kompetenz in arbitration. Particularly, it elaborates whether party to arbitration violates principle of party autonomy when filing commercial dispute to court; whether PT Golden Spike Energy Indonesia (GSEI) violates the principle of arbitration in filing dispute settlement to Central Jakarta District Court; and whether the action of Central Jakarta District Court in accepting an arbitration case is inconsistent with Law No. 30 year 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution and ICC Arbitration Rules. Based on normative legal research, it has found that party to arbitration violates principle of party autonomy when settling dispute by litigation when there is a valid arbitration clause; PT GSEI basically violates both principles of party autonomy and kompetenz-kompetenz in filing dispute to Central Jakarta District Court, even though the District Court approved to hear legal claim; and the action of Central Jakarta District Court is inconsistent with Article 3 and 11 (2) of Law No. 30 Year 1999, which states that District Court must refuse to settle arbitration disputes that contain any written arbitration clause.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65206
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyatna Abdurrasyid
Jakarta: Fikahati Aneska, 2002
341.52 PRI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Cambridge: Cambridge University Press, 2009
344.940 NEW
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rengganis
Abstrak :
Law Number 30 Year 1999 regarding Arbitration and Alternatif Disputes Resolution provides the annulment of arbitration award under article 70, stated that the parties may submit a request to annul an arbitration award, if it suspected contains false/forged documents or concealment of documents or the award was rendered as result of fraud committed by one of the parties to the dispute. The Elucidation of such article stated that the reasons for annulment referred to this article shall be evidenced by a court decision. However, there are still some inconsistencies, particularly related to the reasons used for annulment under Article 70 Law Number 30 Year 1999 in practice of annulment of arbitration award by the District Court and the Supreme Court. On one side, the Supreme Court stated that the annulment could only be done pursuant to Article 70. On the other hand, the Supreme Court that it is possible to annul an arbitration award on the basis other than mentioned in article 70 Law Number 30 Year 1999. Moreover, judiciary inconsistencies in such annulment occurred in the use of a court decision evidenced any false/forged documents or concealment of documents or fraud. In this case, Author found the District Court decision upheld by the Supreme Court has annulled an arbitration award based on Article 70 without any court decision. Such inconsistencies in court decisions regarding the annulment of arbitration award may result in legal uncertainty for the disputing parties.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 yang menyatakan bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan arbitrase tersebut diduga mengandung unsur-unsur pemalsuan surat/dokumen, atau ditemukan dokumen yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Dalam penjelasan pasal dimaksud disebutkan bahwa alasan-alasan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Namun demikian, praktek pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung masih mengalami ketidakseragaman dan inkonsistensi, khususnya berkaitan dengan penggunaan alasan-alasan pembatalan dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999. Pada satu sisi, Mahkamah Agung RI. menyatakan menegaskan bahwa suatu pembatalan putusan arbitase hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 70, namun di sisi lain Mahkamah Agung RI. menyatakan bahwa dimungkinkan untuk membatalkan putusan arbitrase dengan alasan diluar Pasal 70 dimaksud. Selain itu, inkonsistensi badan peradilan dalam pembatalan putusan arbitrase terjadi dalam penggunaan putusan pengadilan terlebih dahulu alasan-alasan adanya dokumen palsu atau penyembunyian dokumen atau tipu muslihat. Dalam hal ini Penulis menemukan putusan Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI. telah mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Pasal 70, meskipun tanpa disertai putusan pengadilan. Ketidakseragaman putusan-putusan pengadilan mengenai pembatalan putusan arbitrase tersebut dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi para pihak yang bersengketa.
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T28906
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurnaningsih
Abstrak :
Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa "Semua perjanjian yang di buat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Dari ketentuan pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum perj anjian menganut sistem terbuka. Maksudnya adalah setiap orang bebas untuk membuat perjanjian apa dan bagaimana juga, sepanjang pembuatannya di lakukan sesuai dengan undang-undang dan isi nya t1dak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan ketentuan ini dapat memungkinkan untuk menggunakan bentuk perjanjian menurut syariat Islam/akad. Dalam pelaksanaan akad dapat terjadi suatu sengketa antara para pihak yang membuat akad tersebut. Selain membawa sengketa tersebut kepengadilan, ada cara lain yang dapat dilakukan yaitu melalui lembaga arbitrase Islam penyelesaian sengketa dengan cara damai dimana para pihak sepakat agar perselisihan di antara mereka diperiksa dan di adili oleh hakim yang tidak memihak dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Keberadaan lembaga arbitrase Islam ini diakui di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ten tang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 14, yaitu tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. Alasan dipilihnya penye lesaian sengketa melalui arbitrase Islam adalah karena proses yang cepat (putusan final dan binding), hemat biaya, putusannya lebih mudah dilaksanakan dibandingkan putusan pengadilan, bersifat rahasia (tertutup) dan yang paling penting adalah tidak ada satu pihak yang dikalahkan. Keberadaan lembaga arbitrase Islam adalah sangat penting dalam kehidupan bermuamalah dan perlu untuk membahas apa dan bagaimana lembaga arbitrase Islam tersebut dan kedudukannya dalam sistem hukum positif Indonesia serta melihat pelaksanaannya dalam kegiatan BAMUI menyelesaikan sengketa yang terjadi pada pelaksanaan perjanjian kredit/pembiayaan di Bank Muamalat Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S21061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover