Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 30 Document(s) match with the query
cover
Elvira Dianti
"Tesis ini berjudul Intervensi ASEAN terhadap Myanmar, Tahun 2003: Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Topik ini menarik untuk diteliti karena ASEAN telah berani melakukan intervensi low coercion terhadap negara anggotanya yang dalam hal ini adalah Myazunar berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan proses demokrasi di negara itu. Mengingat sebelumnya ASEAN sangat kaku dengan prinsip non-intervensinya. Tetapi kasus pelanggaran HAM dan demokratisasi yang tidak mendapat perhatian dari junta militer Myanmar mendorong ASEAN untuk ikut mengkritik negara tersebut.
Tujuan ASEAN untuk ikut campur terhadap urusan dalam negeri Myanmar adalah untuk menegakkan HAM dan mewujudkan demokrasi di negara itu termasuk membebaskan Aung San Suu Kyi, yang merupakan tokoh demokrasi negara itu dari tahanan junta militer serta menciptakan stabilitas kawasan.
Penulis melakukan penelitian ini melalui pendekatan atau teori intervensi low coercion yang menurut Joseph S. Nye, Jr merupakan tingkatan intervensi yang paling rendah yaitu merupakan pernyataan untuk mempengaruhi politik domestik suatu negara. Berdasarkan teori tersebut, penulis menyimpulkan penelitian ini bahwa intervensi ASEAN terhadap Myanmar pada tahun 2003 telah membuat junta Myanmar melaksanakan Konvensi Nasional untuk membentuk UUD Myanmar sebagai dasar penyelenggaraan pemilu di negara itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Aty Rachmawaty
"Setelah berakhimya perang dingin, konflik intra-state semakin mengemuka sehingga menimbulkan banyak masalah di negara-negara yang belum mapan perekonomian serta politiknya. Pada akhirnya konflik internal ini kemudian menjadi berkepanjangan dan mengakibatkan stabilitas keamanan menjadi terancam dan pada akhirnya mempengaruhi perdamaian dunia. Somalia merupakan salah satu negara yang terlibat dalam konflik berkepanjangan sehingga mengancam perdamaian dan stabilitas kawasan. Konflik yang berkepanjangan ini juga menimbulkan krisis kemanusiaan yang mengakibatkan rakyatnya menderita.
PBB sebagai organisasi intemasional, merasa berkewajiban untuk menyelesaikan konflik yang dianggap telah mengancam perdamaian dan stabilitas keamanan ini dengan melakukan intervensi. Intervensi ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung tidak hanya oleh pihak yang melaksanakannya namun juga oleh negara yang menjadi target. Intervensi PBB di Somalia sering dikatakan sebagai suatu bentuk intervensi kemanusiaan karena dilandaskan pada aspek kemanusiaan. Namun begitu, intervensi kemanusiaan ini tidak terlepas dari pengerahan pasukan bersenjata sehingga menimbulkan banyak pertanyaan tentang aspek hukum, moral, dan politik di dalamnya.
Berdasarkan dari analisa penulis, intervensi PBB di Somalia sudah merupakan sebuah intervensi kemausiaan jika didasarkan pada fakta yang ada. Berdasarkan aspek hukum, intervensi PBB di Somalia dalam pelaksanaannya selalu dilandasi oleh isi Piagam PBB yang merupakan salah satu sumber hukum internasional. Aspek moral dari intervensi PBB di Somalia didasari oleh konsep just war yang terdiri dari dua hal penting yaitu ius ad bellum dan ius in bello. Tidak semua kategori dari kedua hal ini bisa dipenuhi oleh pelaksanaan intervensi PBB di Somalia. Namun begitu, ketidaksempurnaan ini menunjukkan sisi kemanusiaan dari para pengambil keputusan di PBB. Adapun aspek politik intervensi kemnusiaan di dasarkan pada cara pengambilan keputusan hingga bisa menjadi sebuah resolusi. Proses ini dipengaruhi oleh situasi politik yang berkembang serta pendapat dari pihak-pihak yang kompeten. Bila dilihat dari aspek politik ini, intervensi PBB dianggap tidak berhasil menjalankan misinya. Walaupun mengalami beberapa perkembangan di bidang kemanusiaan, tetapi dibidang keamanan dan politik hal ini tidak bisa dicapai. Kegagalan ini menyebabkan PBB memutuskan untuk menarik mundur pasukannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paladin Ansharullah
"Fokus dari penelitian ini adalah intervensi militer yang dilakukan Rusia terhadap Georgia pada bulan Agustus 2008. Georgia terlibat dalam konflik dengan wilayah otonom Ossetia Selatan yang ingin bergabung dengan Rusia. Rusia melakukan intervensi militer sebagai respon atas upaya Georgia untuk menyelesaikan konflik tersebut. Penelitian ini menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan Rusia memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi, kekuatan dan kemampuan militer Rusia, perluasan NATO ke timur, dan prestise menjadi faktor-faktor yang menyebabkan Rusia melakukan intervensi militer terhadap Georgia sebagai upaya untuk menunjukkan kekuatannya yang telah pulih setelah mengalami penurunan sejak keruntuhan Uni Soviet.

The focus of this study is the Russian military intervention in Georgia which occurred in August 2008. Georgia was involved in a conflict with the South Ossetia autonomous region which intends to join Russia. Russia initiated a military intervention as a response to Georgia?s attempt to resolve this conflict. This study explains the factors which caused the Russian decision to use military force.
The results of this study show that economic conditions, military strength and capability, NATO?s eastward expansion and prestige were the factors which caused Russia to intervene militarily in Georgia as an effort to demonstrate its power which has been in decline since the collapse of the Soviet Union.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26155
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam Az Zahra
"Penggunaan kekuatan di dalam hukum internasional dibagi menjadi penggunaan kekuatan tanpa senjata dan penggunaan kekuatan bersenjata. Penggunaan kekuatan bersenjata kerap digunakan oleh otoritas suatu negara terhadap negara lain, yang salah satunya terlihat dari adanya intervensi, sebagaimana yang dilakukan oleh pasukan militer Rusia terhadap Georgia di wilayah Ossetia Selatan pada Agustus 2008 lalu. Pelaksanaan penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara terhadap negara lain sesungguhnya merupakan tindakan yang dilarang di dalam hukum internasional. Larangan tersebut salah satunya dapat dilihat di dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Namun demikian, hukum internasional juga memberikan dua kondisi utama yang mengizinkan pelaksanaan penggunaan kekuatan bersenjata sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 Piagam PBB dan Bab VII Piagam PBB. Di dalam prakteknya, negara-negara kerap menggunakan kekuatan bersenjata berdasarkan alasan lain di luar pengaturan Pasal 51 Piagam PBB dan Bab VII Piagam PBB. Rusia di dalam intervensinya terhadap Georgia bersandar di balik alasan intervensi kemanusiaan, perlindungan terhadap warga negara di luar negeri, dan bela diri. Sementara Georgia berlindung di balik alasan bela diri.

Use of force in international law is divided into use of unarmed force and use of armed force. Use of armed force is frequently employed by an authority of a certain state towards other state, which can be seen in an intervention, for instance military intervention of Russia?s army towards Georgia in South Ossetia during August 2008. International law prohibits the use of armed force, the prohibition itself can be found in Article 2 par.4 UN Charter. However, international law grants two circumstances which authorize use of armed force. The provision itself can be found in Article 51 UN Charter and Chapter VII UN Charter. Practically, States frequently use armed force due to other reason beyond the one that stipulated in Article 51 UN Charter and Chapter VII UN Charter. The intervention or Russia towards Georgia lied within the reason of humanitarian intervention, protection of civilians abroad, and self defense. Meanwhile, Georgia solely use of its armed force in reason of self-defense."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42768
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sunan Jaya Rustam
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S25669
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niwa Rahmad Dwitama
"Kajian dalam review literatur ini membahas perdebatan ilmiah yang terjadi dalam aspek legitimasi intervensi kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P). Sebagai norma internasional, R2P menghadapi berbagai dilema politik pada tataran perumusan dan implementasi kebijakan intervensi dalam sistem PBB. Salah satu dilema politik yang terjadi adalah aspek legitimasi. Legitimasi adalah suatu proses legalitas di mana intervensi harus dilakukan hanya melalui validasi wewenang Dewan Keamanan PBB (Bab VII, Piagam PBB). Di lain pihak, beberapa akademisi berpendapat bahwa legitimasi legal rentan akan kontestasi kepentingan anggota DK sehingga legitimasi moral/ etis adalah hal yang lebih penting dalam membentuk legitimasi dan lebih adil dalam menyelamatkan isu kemanusiaan. Legitimasi moral dibentuk melalui aksi multilateralisme dan pembuktian tragedi kemanusiaan. Melalui analisis komparatif perdebatan legitimasi legal dan moral dalam karya akademisi hubungan internasional, hukum internasional dan HAM, review literatur ini mengidentifikasi bahwa kontestasi antara pembentukan legitimasi tersebut merupakan pengejawantahan dari pertentangan paradigmatis realisme dan konstruktivisme, yaitu narasi: (1) faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika kepatutan, (3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, dan (4) aktor top-down lawan agen bottom-up.

The studies in this literature review discusses the scientific debate that occurred in the aspect of legitimacy of humanitarian intervention / Responsibility to Protect (R2P). As an international norm, R2P is facing numbers of political dilemmas at the level of policy formulation and implementation in UN system. One of the political dilemmas is divisive voice on legitimacy aspect in intervention. Legitimacy is a legal process in which intervention should be done only through UN Security Council authority (Chapter VII of the UN Charter). On the other hand, some scholars argue that legal legitimacy is vulnerable to contestation of interests of security council members, thus moral/ ethical legitimacy is more important in establishing legitimate and fairer intervention in saving humanity from humanitarian tragedy. Moral legitimacy is formed through multilateralism mechanism in intervention and empirical evidence of human tragedy. Through a comparative analysis of the legal and moral legitimacy debate in the work of international relations scholars, international law and human rights intellectuals, this literature review identifies that the contestation in legitimacy aspect of intervention epitomizes paradigmatic opposition between realism and constructivism. This can be explicated through following points: (1) material factors versus ideational, (2) the logic of appropriateness versus the logic of consequence, (3) the norm as benefit versus the norm as right, and (4) top-down actor versus bottom-up agent.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Ibrahim
"Skripsi ini membahas tentang consent sebagai pengecualian larangan intervensi bersenjata negara asing pada konflik non-internasional dalam kasus Permintaan Pemerintah Transisional Mali atas Operation Serval ke Perancis. Kodifikasi hukum internasional dalam Pasal 20 ILC Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts telah mengatur consent selaku prinsip yang dapat mengecualikan pelanggaran internasional, khususnya larangan penggunaan kekuatan bersenjata. Perkembangan kodifikasi hukum internasional yang dikumpulkan International Law Commission dan preseden kasus intervensi militer asing di Yunani (1946), Muscat & Oman (1957), Kongo (1964), Chad (1968 dan 1978), Zaire (1977 dan 1978), dan Liberia (1990) telah mengembangkan pengaturan pemberian consent maupun kriteria otoritas yang berlegitimasi memberikan consent. Penelitian ini menyimpulkan bahwa permintaan Pemerintah Transisional Mali atas Operation Serval adalah sah sebagai consent yang mengecualikan larangan intervensi bersenjata negara asing dalam konflik Mali utara. Pemerintah Transisional Mali merupakan otoritas yang berlegitimasi dalam memberikan consent.

This study explains the application of consent as preclusion to the prohibition of foreign military intervention in non-international conflict on the case of Malian Transitional Authority's request of Operation Serval to France. The codification of international law under Article 20 of ILC Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts has invoked consent as a principle to preclude internationally wrongful acts, specifically, prohibition of use of force. The development of consent as had been compiled by International Law Commission and precedents of foreign military intervention in Greece (1946), Muscat & Oman (1957), Congo (1964), Chad (1968 and 1978), Zaire (1977 and 1978) and Liberia (1990) has shaped together the requirement of consent which needs to be fulfilled and the criteria for the legitimate authority to provide consent. Hence, the study concludes that the formal request from Malian Transitional Authority is accepted as a valid consent to preclude the prohibition of foreign military intervention in northern Mali conflict and Malian Transitional Authority as legitimate authority to provide such consent."
2014
S53947
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Gracias Ruth Hasianna
"ABSTRACT
Tugas karya akhir ini menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya intervensi militer Perancis di dalam konflik C te d rsquo;Ivoire tahun 2002. Konflik yang terjadi di dalam politik C te d Ivoire berawal dari masalah perekonomian dan juga masalah rasisme yang mengakar di dalam politik C te d rsquo;Ivoire. Masalah tersebut mengalami puncak di pemberontakan tahun 2002. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan studi literatur. Di dalam memahami faktor pendorong kebijakan intervensi Perancis, penelitian ini menggunakan konsep kepentingan nasional di dalam pendekatan realisme. Digunakan pula faktor-faktor pendukung terjadinya intervensi militer yang dikemukakan oleh Neil MacFarlane. Penelitian ini menyimpulkan bahwa setidaknya ada tiga faktor yang mendorong terjadinya intervensi militer yang dilakukan oleh Perancis. Ketiga faktor tersebut adalah faktor ekonomi, faktor hubungan historis, serta faktor pengaruh tokoh atau aktor politik.

ABSTRACT
This study tries to analyze the causes of Frances intervention in C te d rsquo Ivoires 2002 conflict. The conflict which occured in C te d Ivoire caused by economic issues and also racism problems which have rooted in C te d Ivoires politics. These problems reached its peak in the 2002 rebellion in C te d Ivoire. The qualitative method was used in this study by conducting a study of literature. In understanding the the causes of Frances policy of intervention, this study uses the concept of national interests in realism approaches. This study also use the causes of military intervention which put forward by Neil MacFarlane. In conclusion, there are three factors which caused Frenchs military intervention. They are economic factors, historical factors, and the political actors. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moore, John Norton
New York: Oceana Publications , 1992
956.704 42 MOO c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Pahmi Rohliansyah
"ABSTRACT
Local Wisdom, Local Knowledge dan Local Genius masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini. Kearifan lokal berdasarkan pengetahuan dan kecerdasan lokal, bersumber dari nilai nilai agama, adat istiadat, petuah moyang kita atau budaya setempat yang beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Adanya globalisasi merupakan konsekuensi majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada sendi kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, bila tidak disertai dengan nilai etika dan spritualitas yang baik,akan merusak moral dan budaya masyarakat yang ada di Indonesia dalam skala mikro yang pada akhirnya akan hancur dan runtuhnya kehidupan berbangsa dan , bernegara dalam skala makro. Keanekaragaman etnis, agama, adat istiadat, kebiasaan, bahasa daerah dan lainnya di Indonesia yang tumbuh dan. berkembang sebagai nilai nilai yang mengakar atau membumi dalam kelompok kelompok masyarakat sebenarnya merupakan modal dasar sekaligus kekuatan untuk menjadi bangsa yang besar."
Jakarta: The Ary Suta Center, 2018
330 ASCSM : 40 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>