Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Krichene, Noureddine
Singapore: John Wiley &​ Sons Singapore Pte. Ltd, 2013
332.041 KRI i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqi Kartiko Fathianto
"Sektor perbankan syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan positif yang menjanjikan. Namun, kinerja bank syariah di Indonesia masih di bawah bank konvensional secara keseluruhan, bahkan pangsa pasar (market share) bank syariah masih di kisaran 5,94% per Juni 2019. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kinerja bank syariah sejauh ini atau belum efisien. Efisiensi merupakan salah satu ukuran dalam mengukur kinerja bank dengan melihat bagaimana bank dapat memaksimalkan output yang dihasilkan dengan batasan input tertentu atau meminimalkan input yang digunakan untuk menghasilkan output dalam jumlah tertentu. Beberapa bank melakukan diversifikasi model bisnisnya untuk mencapai kinerja efisiensi yang diinginkan. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui apakah terdapat kesenjangan efisiensi antar bank syariah di Indonesia, dan apakah diversifikasi aset dan pendanaan dapat berpengaruh signifikan terhadap efisiensi bank syariah. Dengan menggunakan semua bank umum syariah (BUS) sebagai sampel, penelitian ini menguji pengaruh diversifikasi aset dan pendanaan terhadap efisiensi bank syariah dengan menggunakan metode regresi data panel Fixed Effect Model. Diversifikasi bank dihitung dengan menggunakan modifikasi Herfindahl-Hirschman Index (HHI), sedangkan skor efisiensi bank diukur dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Penelitian ini memberikan hasil bahwa diversifikasi aset tidak berpengaruh signifikan terhadap efisiensi bank, namun peran kepemilikan dan ukuran bank berpengaruh signifikan terhadap efisiensi. Selain itu, diversifikasi pendanaan berpengaruh signifikan terhadap efisiensi bank, namun tidak dipengaruhi oleh kepemilikan dan ukuran bank.

The Islamic banking sector in Indonesia is experiencing promising positive growth. However, the performance of Islamic banks in Indonesia is still below conventional banks as a whole, even the market share of Islamic banks is still in the range of 5.94% as of June 2019. This raises the question of whether the performance of Islamic banks so far has not been efficient. Efficiency is one measure in measuring bank performance by seeing how the bank can maximize the output produced with certain input constraints or minimize the input used to produce a certain amount of output. Several banks are diversifying their business models to achieve the desired efficiency performance. This study seeks to determine whether there is an efficiency gap between Islamic banks in Indonesia, and whether the diversification of assets and funding can have a significant effect on the efficiency of Islamic banks. By using all Islamic commercial banks (BUS) as a sample, this study examines the effect of asset diversification and funding on the efficiency of Islamic banks using the Fixed Effect Model panel data regression method. Bank diversification is calculated using a modified Herfindahl-Hirschman Index (HHI), while bank efficiency scores are measured using the Data Envelopment Analysis (DEA) method. This study provides the results that asset diversification does not have a significant effect on bank efficiency, but the role of ownership and bank size has a significant effect on efficiency. In addition, funding diversification has a significant effect on bank efficiency, but it is not influenced by ownership and bank size.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anasthasia Gloria C.S.
"Sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memperoleh titel daerah spesial, Aceh diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur dan mengelola urusan daerahnya sendiri, sebagaimana diberikan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Terkait dengan kewenangan untuk mengatur urusan daerahnya sendiri, terdapat kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah Aceh unuk membentuk dan mengesahkan peraturan daerahnya sendiri yang disebut sebagai Qanun Aceh. Terkait dengan hal ini, Pemerintah Daerah Aceh baru saja mengesahkan Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah. Melalui Qanun ini, Pemerintah Daerah Aceh memberikan pengaturan yang komprehensif mengenai implementasi Prinsip-Prinsip Syariah bagi seluruh Lembaga Keuangan yang beroperasi di wilayah Aceh. Pada dasarnya, Qanun ini menimbulkan kewajiban bagi seluruh Lemabga Keuangan di Aceh untuk beroperasi dengan menggunakan dasar Prinsip-Prinsip Syariah. Terkait dengan hal ini, implikasi serta konsekuensi hukum dari keberadaan Qanun ini akan dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metodie penelitian hukum normatif dengan tipe analisis deskriptif, yang akan menggunakan data yang diambil dari hasil penelitian dokumen-dokumen terkait dan materi-materi kepustakaan, serta melalui beberapa wawancara terhadap narasumber terkait. Maka dari itu, seluruh Bank di Aceh wajib beroperasi berdasarkan Prinsip-Prinsip Syariah sebelum tanggal 4 Januari 2022, atau dengan kata lain, seluruh kegiatan finansial dan kegiatan perbankan secara konvensional tidak diperkenankan untuk beroperasi lagi di Aceh setelah tanggal 4 Januari 2022. Pada saat ini, terdapat beberapa Bank di Aceh yang masih melaksankan kegiatan perbankannya secara konvensional. Sebagai akibat dari adanya kewajiban bagi seluruh Bank untuk beroperasi berdasarkan Prinsip-Prinsip Syariah sebagaima tertera dalam Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, maka seluruh Bank di Aceh wajib menyesuaikan dirinya dengan peraturan yang ada. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa saran dan gagasan yang dapat digunakan oleh masing-masing jenis kegiatan perbankan di Aceh dalam rangka memenuhi kewajiban yang diatur dalam Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah ini.

As one of the regions in Indonesia which obtain the title of special region, Aceh is given the authority by the central government to regulate and manage its own regional affairs as given through Law No. 11 Year 2006 regarding the Aceh Government. In regard to the management of its own regional affairs, there is an authority given for the Government of Aceh to promulgate and enact its own regional regulation called Qanun Aceh. In relation to this, the Government of Aceh has recently enacted Qanun Aceh No. 11 Year 2018 regarding Sharia Financial Institutions. Through this Qanun, the Government of Aceh provides comprehensive regulations on the implementation of Sharia Principles for all Financial Institutions operating in Aceh. In essence, the enactment of this Qanun gives rise to the obligation for all Financial Institutions in Aceh to operate in accordance with the Sharia Principles. In regard to this, the implications on the enactment of this Qanun, as well as the legal consequences for Banks operating in Aceh in fulfilling such obligation will be analysed further. This research will use the normative legal research method with a descriptive analysis type of research, which uses data taken from the examinations of relevant documents and library materials, as well as the conduct of several interviews.  In essence, all Banks in Aceh shall be operating based on the Sharia Principles by January 4, 2022, or in other words, no Conventional-Based financial or banking activities shall be operating in Aceh after January 4, 2022. At the moment, there are still several Conventional-Based banking activities conducted by Conventional Banks in Aceh. Due to the obligation set forth in Qanun Aceh No. 11 Year 2018 regarding Sharia Financial Institutions, then those Banks need to adjust themselves with the applicable regulation. In this research, there are several suggestions that might be conducted by each types of Banking activities existing in Aceh in implementing the obligation set forth in Qanun Aceh No. 11 Year 2018 regarding Sharia Financial Institutions.
Keywords: Qanun Aceh, Sharia Bank, Conventional Bank, Sharia Principles, Banking Law"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Handayani
"Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) merupakan instrumen yang telah dijamin oleh pemerintah, namun sebagai sebuah instrumen investasi memiliki resiko terjadinya gagal bayar, sehingga aset wakaf uang perlu mendapatkan kepastian hukum. Berdasarkan hal tersebut, dalam tulisan ini mengkaji: pertama, landasan pemikiran penggunaan dana wakaf oleh pemerintah untuk mewujudkan kemaslahatan. Kedua, mengkaji kepastian hukum keutuhan aset wakaf uang dalam pelaksanaan CWLS. ketiga, mengkaji model CWLS dalam mewujudkan kesejahteraan. Metode Penelitian menggunakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan penelitian perundang-undangan dan pendekatan konsep. Data yang digunakan data primer dan sekunder serta menggunakan teknis penulisan deskriptif analitis. Pembahasan disertasi ini pertama, Lahirnya CWLS merupakan upaya pemenuhan kemaslahatan daruriyat, karena kemaslahatan ini merupakan sesuatu yang harus ada untuk melanjutkan kehidupan manusia sehari-hari dan menjamin maqasid utama syariah dan tanpanya dapat mengakibatkan hilangnya maqashid. Dalam kemaslahatan daruriyat diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan akan makanan, kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan dasar ini merupakan hak dasar semua manusia yang wajib dipenuhi tanpa terkecuali, termasuk warga negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat tersebut. Kedua, kepastian hukum keutuhan aset wakaf uang dalam pelaksanaan CWLS, dianalisis berdasarkan teori kepastian hukum pada Pasal 9 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN menjelaskan bahwa pemerintah wajib membayar imbalan dan nilai nominal setiap SBSN yang diambil dari anggaran APBN tiap tahunnya, serta Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan pemindahtanganan barang milik negara dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal pemerintah. Dalam hal ini, ketika terjadi gagal bayar pemerintah berkewajiban membayar pokok CWLS dengan mempergunakan barang milik negara yang dijadikan underlying asset dengan cara dijual. Ketiga, model pelaksanaan CWLS dalam mewujudkan kesejahteraan sosial disalurkan oleh BWI tidak hanya bermitra pada nazhir wakaf yang ditujukan pada bidang kesehatan, Pendidikan, ketahanan pangan, UMKM dan sebagainya, tetapi juga ditujukan kepada Lembaga Kesejahteraan Sosial yang mendapatkan izin dari Kementerian Sosial dengan program-program diantaranya rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Berdasarkan hal tersebut diharapkan kesejahteraan sosial dapat terwujud.

Cash Waqf Linked Sukuk is a government-guaranteed bond that carries the risk of default, making it crucial to establish legal certainty for cash waqf assets. This study examined various aspects related to this issue. Firstly, it analyzed the rationale behind the utilization of waqf funds to maximize benefits. Secondly, it investigated the legal certainty of CWLS assets concerning Cash Waqf Linked Sukuk. Lastly, it explored the role of the CWLS model in enhancing the welfare of the community. This research adopted a normative legal research approach, utilizing both statutory and conceptual methods. Primary and secondary data were collected, analyzed, and presented using technical descriptive analytical writing. The findings showed that the management and development of cash waqf necessitate investments in LKS products and Islamic financial instruments to ensure long-term benefits. Consequently, the establishment of an Islamic institution becomes necessary to safeguard the security of this high-risk investment, which involves the State Revenue and Expenditure Budget in the development of public service infrastructure. Waqf assets are protected by various legal provisions, including Article 45, paragraph (2) of Law Number 1 of 2004 concerning the State Treasury, which governs the transfer of state property through sale, exchange, grant, or inclusion as government capital. In the event of default, the government is obligated to repay the principal of the Cash Waqf Linked Sukuk by selling the underlying state property. Thrid the CWLS implementation model in realizing social welfare distributed by BWI is not only partnered with nazhir waqf aimed at the fields of health, education, food security, UMKM but also aimed at Social Welfare Institutions that obtain permission from the Ministry of Social Affairs with programs including rehabilitation social security, social security, social empowerment, and social protection. Based on this, it is expected that social welfare can be realized"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library