Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ririn Mudrikah
"Jual beli tanah pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk pemindahan hak atas tanah kepada pihak/orang lain. Ada tiga tahapan jual beli tanah, yaitu pertemuan antara calon penjual dan calon pembeli, pelaksanaan jual beli tanah dihadapan PPAT dan pendaftaran peralihan hak atas tanah. Akta jual beli tanah dibuat oleh PPAT atau PPAT- Sementara apabila di suatu daerah belum cukup terdapat PPAT. Akta jual beli tanah adalah akta PPAT yang merupakan akta otentik, karena memenuhi persyaratan yang terdapat dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Karena itu, akta jual beli tanah harus dibuat sesuai dengan pedoman pengisian akta .Tetapi timbul permasalahan bila akta tersebut dibuat oleh PPAT-Sementara dalam hal ini Camat yang ditunjuk di Kecamatan Jatisampurna Kota Bekasi, karena tidak ada pendidikan khusus pembuatan akta sebelum menjabat sebagai PPAT-Sementara. Permasalahan yang ada yaitu sesuaikah pembuatan akta jual beli tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT-Sementara di Kecamatan Jatisampurna Kota Bekasi dengan pedoman yang ada pada Lampiran Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 ? Adakah akibat hukum akta jual beli tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT-Sementara di Kecamatan Jatisampurna Kota Bekasi apabila tidak sesuai dengan pedoman pengisian akta yang berlaku ? Bagaimana tanggung jawab Camat sebagai PPAT-Sementara di Kecamatan Jatisampurna Kota Bekasi apabila akta jual beli tanah yang dibuatnya cacat hukum ? Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan tersebut , digunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dan tipe penelitian yang digunakan yaitu evaluatif. Camat dalam menjalankan jabatan sebagai PPAT-Sementara, yaitu dalam pembuatan akta jual beli tanah tidak sesuai dengan pedoman pengisian akta. Tidak hanya itu, Camat tersebut tidak membacakan dan menjelaskan isi akta, Serta penandatanganan oleh penjual, pembeli dan saksi-saksi tidak dihadapan Camat, sehingga mengakibatkan akta yang dibuatnya cacat hukum. Bila cacat hukum, akan dikenakan sanksi berupa sanksi administratif yaitu teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT-Sementara. Sedangkan tanggung jawab Camat tersebut yaitu memberi ganti kerugian kepada pihak-pihak yang menderita kerugian."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16505
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanjung, Kulima Nur Surliani
"Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah mengenai di masih banyaknya pertanyaan yang timbul pada kalangan sebagian masyarakat mengenai kepastian hukum akan kepemilikan hak atas tanah yang mereka kuasai dan kekuatan pembuktian sertipikat hak milik sebagai alat bukti yang kuat, karena banyaknya permasalahan yang timbul mengenai sertipikat atas tanah yang mereka miliki setelah sekian tahun nmmeka kuasai ternyata telah menjadi perkara dalam pengadilan dan dibatalkan sertipikat tersebut yang tidak diketahui oleh pemilik sertipikat atas tanah tersebut. Sedangkan Pemerintah dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai hukum atas tanah dan haknya kepada masyarakat mengadakan Pendaftaran Tanah.
Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, dengan sumber-sumber seperti buku yang berkaitan dengan kedudukan sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat dengan dihubungkan dengan kasus sengketa tanah Absentee, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, Putusan pengadilan dan undang-undang yang berhubungan dengan kedudukan sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat dengan dihubungkan dengan kasus sengketa tanah Absentee.
Setelah meneliti berbagai sumber, diperoleh basil bahwa secara teori hukum seharusnya sertipikat merupakan suatu alat bukti yang kuat, akan tetapi dalam kasus ini dapat dibuktikan sebaliknya yaitu dengan alat. bukti yang lain sehingga hakim memutuskan membuktikan sebaliknya dengan membatalkan 111 sertipikat hak milik atas tanah. Dan Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pemilik sertipikat yaitu dapat dilakukan dengan Cara musyawarah untuk mengajukan ganti rugi atas tanah beserta bangunan yang ada diatasnya kepada ahli waris dari H.M.T BAKRIE dengan harga yang dianggap sesuai oleh kedua belah pihak. Apabila tidak tercapainya mufakat, maka para pemilik sertipikat tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16552
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustin Kartika Sari
"Kegiatan pendaftaran tanah bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang tanah serta memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah mengenai kekuatan pembuktian sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat. Kegiatan pendaftaran tanah dilakukan untuk memperoleh data fisik dan data yuridis tanah, di mana data fisik diperoleh melalui pengukuran dan pemetaan bidang tanah sehingga hal ini merupakan bagian panting yang perlu mendapat perhatian serius dan seksama sebab dari proses pengukuran dan pemetaan bidang tanah inilah akan diketahui siapa pemegang haknya, hak apa yang melekat pada tanah, berbatasan dengan apa tanah itu, letaknya di mana. Hal ini dilakukan guna menghindari terbitnya sertipikat ganda atas satu bidang tanah yang lama seperti yang terjadi pada kasus antara Tommy Syariffudin sebagai Penggugat selaku pemilik sertipikat Hak Milik Nomor 247 Tahun 1985 dengan PT Town and City Properties sebagai Tergugat, selaku pemilik sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 888 Tahun 1996, di mana penyelesaian kasus tersebut berakhir dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2308 K/Pdt/2002. Terhadap putusan tersebut, tentu menimbulkan pertanyaan seputar tanggung jawab Kantor Pertanahan bila terjadi sertipikat ganda atas satu bidang tanah dan pandangan Mahkamah Agung sendiri terhadap terjadinya pengukuran bidang tanah yang mengakibatkan terjadinya sertipikat ganda atas satu bidang tanah. Dalam menjawab hal 'tersebut, dilakukan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dan untuk menunjang hal itu, dilakukan wawancara pada Penggugat dan Kepala Seksi Hak Atas Tanah Kantor Pertanahan Jakarta Selatan. Darn penelitian tersebut dapat diketahui bahwa Kantor Pertanahan seakan melepas tanggung jawab selaku badan yang menerbitkan sertipikat hak atas tanah dalam hal terjadinya sertipikat ganda dan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2308 KIPdt/2002, tidak disebutkan Badan Pertanahan Nasional sebagai pihak yang harus turut bertanggung jawab mengganti rugi atas kerugian yang diderita oleh Penggugat karena terbitnya sertipikat ganda."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anitha Zenia Yogatama
"Untuk melaksanakan suatu proses peralihan hak atas tanah dengan jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak penjual maupun pihak pembeli agar dapat dilaksanakannya penandatanganan Akta Jual Beli (AJB), apabila persyaratan jual beli tidak terpenuhi maka peralihan hak tidak dapat terlaksana. Dalam perjanjian jual beli harus terpenuhi 4 (empat) syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Selain harus memenuhi syarat sah nya perjanjian, harus pula memenuhi syarat materiil dan syarat formiil. Dalam kasus ini akta jual beli yang dibuat oleh PPAT dengan dihadiri oleh para penghadap yang mengaku sebagai pemilik tanah yang kemudian diketahui bahwa para penghadap memalsukan identitasnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tanggung jawab PPAT hanya terbatas kepada kebenaran formil semata dari keterangan dan identitas dari para penghadapnya. Jika kesalahan dilakukan secara sengaja oleh para penghadap, maka pihak yang merasa dirugikan dapat memintakan ganti rugi dan PPAT tidak dapat disalahkan apabila PPAT tersebut dapat membuktikan tidak terlibat dalam kesengajaan tersebut.

To condutct a process of transfer of right on the land through selling and purchasing before the Land Titles Registrar, there are obligations to be performed by the seller and the buyer to be able to sign the deed of purchasing. If the requirements of the selling and not completed, the transfer of the right cannot be performed. In land rights transaction there are 4 (four) requirements of a legal agreement under Article 1320 Civil Code. Besides must fulfilled the legal terms of agreement, in land rights transaction also required to fulfilled the material and formal requirements. In this case the sale and Purchase deed by PPAT was made with the presence of the parties claiming to be the owner of the land that was then been discovered that the parties are falsifying their identity. This research uses juridical normative research methods with research typology is descriptive analytical. The outputs of this research stated that PPAT confined to mere formal truth of the information and the identity of the parties. If an error is made deliberately by the parties, then the party who feels aggrieved can file a claim for damages and the PPAT can not be blamed if the PPAT can prove if they are not involved in the deliberation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peranginangin, Effendi
Jakarta: Rajawali, 1994
346.043 63 EFF p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Sutedi
Jakarta: Cipta Jaya, 2006
346.04 ADR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Novianti
"Pemilikan secara individual bagian bangunan dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dengan berlakunya UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun yang dikenal dengan nama UU Kondominium Indonesia. Kelembagaannya disebut Hak milik atas satuan rumah susun yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah, yang meliputi juga hak atas bagian, benda dan tanah bersama. Untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas pemilikan satuan rumah susun ini diperlukan suatu alat bukti yang kuat berupa sertipikat hak milik satuan rumah susun dan merupakan salah satu syarat atas bagi penyelenggara tersebut pembangunan untuk dapat menjual satuan Salah satu penyelenggara pembangunan pertama yang telah berhasil memperoleh sertipikat Hak Milik atas Satuan rumah susun adalah Perum Perumnas yang lokasinya terletak di Klender. Pembangunan rumah susun Klender yang dilaksanakan jauh sebelum UU Rumah Susun dan peraturan pelaksananya terbit, menimbulkan kesulitan peraturan perundang-undangan tersebut dalam Oleh karena sebagai berlaku itu penulis dapat mengemukakan masalah-masalah berikut ketentuan-ketentuan apa dalam kegiatan pensertipikatan Hak saja Milik yang atas Satuan rumah susun bagaimana pelaksanaan kegiatan pensertipikatan Hak Milik atas Satuan rumah susun bagaimana analisis yuridis terhadap kegiatan tersebut permasalahan apa saja yang muncul dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan diperoleh fakta- fakta sebagai berikut: Terhadap rumah susun Klender yang dibangun sebelum berlakunya UU Rumah Susun tidak diberlakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku saat itu mengenai hak atas tanah kepunyaan bersama dan pemilikan bagian-bagian bangunan yang ada di atasnya yang diatur dalam PMDN No. 14 1975, PMDN No. 4 tahun 1977 dan PMDN No. 10 tahun 1983. Sampai dengan berlakunya UU Rumah Susun tanggal 31 Desember 1985 pun yang dalam pasal 25 belum mencabut ketentuan tersebut, tidak pula diberlakukan. Pihak penyelenggara pembangunan (Perum Perumnas) bertindak menunggu ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai rumah susun. Setelah semua ketentuannya lengkap khususnya mengenai sertipikat Hak Milik atas Satuan rumah susun barulah pihak Perum perumnas mengajukan permohonan penerbitan sertipikat Hak Milik atas Satuan rumah susun berdasarkan ketentuan yang baru. Untuk memperoleh tanda bukti hak tersebut diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Perum Perumnas, yang berdasarkan ketentuan yang baru seharusnya dilaksanakan sebelumnya. Karena penerapan yang dilakukan menyusul maka segala sesuatu yang tidak sesuai disesuaikan dan apa yang seharusnya dilakukan sebelumnya dilakukan kemudian. Hal ini terlihat dalam penerapan pasal 7 ayat 2 UU Rumah Susun dimana penyelesaian status HGB di atas HPL dilakukan setelah Satuan rumah susun dijual dan dihuni. Permohonan ijin layak huni yang seharusnya dilakukan sebelum Satuan rumah susun dapat dihuni baru diurus setelah Satuan rumah susun dihuni kurang lebih 5 tahun dan terbit baru pada tahun 1990."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20429
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Miranti Tresananing Timur
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sardjana Magnakarta
"ABSTRAK
Maksud untuk menemukan ada atau tidaknya faktor keseimbangan didalarn hak dan kewajiban antara pembeli dan penjual di dalam kontrak (form) perjanjian jual-bell rumah di perusahaan Real-Estate. Tujuannya adalah untuk mendapatkan titik temu yang sebaik-baiknye didalam penyelesaian suatu perselisihan hukum yang timbul didalam kontrak jual-beli rumah di perusahaan Real-Estate.
Didalam rangka mengumpulkan data-data guna mencapai tujuan, penelitian dititik-beratkan pada penelitian lapangan agar didapat data-data primer dari para pihak, yang ditempuh melalui cara wawancara, pengumpulan berkas serta observasi langsung di kantor perusahaan Real-Estate Pondok Indah. Selain itu dikombinasikan pula dengan penelitian perpustakaan.
Perbuatan hukum jual-beli rumah merupakan materi dari hukum perjanjian yang pengaturannya terdapat didalam Buku IV KUHPer, yang penggolongannya termasuk didalam perikatan untuk memberikan sesuatu. Termasuk dalam bagian khusus yaitu kaedah-kaedah dari perjanjian tertentu yang banyak atau paling sering' dipergunakan dalam masyarakat disebut dengan perjanjian bernama. Disamping KUHPer, hukum perjanjian didalam hukum perdata Indonesia dikuasai pula olah kaedah-kaedah yang terdapat didalam hukum adat. Oleh karena itu untuk menyeiesaikan suatu perselisihan hukum didalam perjanjian jual-beli rumah dan atau tanah haruslah dipecahkan dahulu masalah persoalan pendahuluan untuk mengetahui hukum apa yang lebih tepat diterapkan, dengan menggunakan patokan-patokan tertentu.
Real-Estate sebagai suatu usaha yang berbadan hukum terutama di Indonesia bergerak di bidang pengadaan papan, yaitu suatu kebutuhan yang sangat didambakan oleh masyarakat. Pengadaan diadakan dengan jual-beli tanah umumnya yang kemudian perjanjian pembangunan rumah, yang berbentuk tunai seketika atau dengan uang muka sebesar 15 % dengan pembayaran sisanya 30 hari kemudian dengan mendapatkan discount sebesar 2 % dan penjualan dengan pembayaran secara angsuran.
Kontrak jual-beli menggambarkan tidak adanya azas keseimbangan di dalam pelaksanaan kontrak anatara penjual dan pembeli yang umumnya awam akan hukum, yang lebih banyak mengemban kewajiban, sehingga perlindungan akan hak pembeli sangat lemah, hal mana dapat dilihat dalam pasal-pasal 2,3,8 kontrak pengikatan tanah yang dibuat dalam bentuk baku oleh P.T. Metropolitan Kencana / P.T. Neu Green Land, dimana pembeli tidak dapat menikmati haknya atas tanah yang telah dibayarnya layaknya sebagai pemilik. membatalkan kontrak jual-beli dapat dil-akukan dengan mudah secara sepihak oleh pihak penjual tanpa perlu perantara hakim pengadilan, sehingga akan menampakan pengabaian akan kaedah-kaedah keadilan bagi pihak pembeli.
Sengketa yang terjadi biasanya karena kontrak yang baku tidak ditentukan oleh kedua belah pihak, melainkan hanya oleh pihak pengusaha Real-Estate saja, sehingga pembeli sudah di-fait a compli dengan syarat-syarat dalam kontrak yang harus segera ditanda-tanganinya karena kebutuhan "papan" yang sangat mendesak. Pelaksanakan kontrak baku demikian itu memberi peluang yang besar untuk terjadinya sengketa terutama karena salah penafsiran atau tidak jelasnya diatur oleh pihak pembuat kontrak baku. Juga karena pembeli yang awam akan hukum tidak menyadari dan mengetahui bahua mereka telah terperangkap kedalam sistim hukum yang diciptakan oleh pengusaha Real-Estate, sengketa juga sering muncul pada seat perusahaan Real-Estate hendak memperoleh tanah untuk menjalankan usahanya yaitu dengan pihak penduduk yang menguasai tanah asal dengan sesuatu hak, yang biasanya diselesaikan secara musyawarah perdamaian atau melalui Dading atau cara terakhir bila timbul persengketaan yang berketerusan akan diselesaikan melalui Pengadilan.
Bahwa perusahaan-perusahaan Real-Estate yang telah membantu pemerintah didalam penyediaan papan namun-kurang memperhatikan unsur pembinaan hukum.
Titik temu yang memadai ialah dibentuknya peraturan-peraturan perihal perusahaan Real-Estate yang aifatnya memberikan batasan pada perusahaan Real-Estate didalam membuat kontrak-kontrak baku sehingga tidak raerugikan pihak konsumen sehingga dapat mencapai pembangunan seutuhnya didalam rangka pembangunan nasional, tanpa ada penekanan yang berlebihan pada salah satu program pembangunan saja yang akan membawa ketimpangan yang meluas dan dapat mengaburkan arti pembangunan itu sendiri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>