Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 547 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heru Susetyo
"Kebebasan menikah dan memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dijamin pemenuhannya. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Perempuan telah menegaskan bahwa tidak boleh terjadi suatu perkawinan berlangsung tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Laki-laki dan perempuan yang akan menikah berhak untuk menentukan pilihannya, untuk menikah maupun tidak menikah, serta untuk diperlakukan secara sama dalam kehidupan rumah tangga.
Dalam implementasinya, jaminan hukum akan kebebasan menikah dan memilih jodoh nyaris menjadi utopia bagi golongan masyarakat tertentu. Dalam penelitian ini diketengahkan betapa perempuan keturunan Arab di Jakarta masih sering mengalami pembatasan-pembatasan untuk menikah dan memilih jodoh, hal mana tidak terjadi pada kaum laki-lakinya.
Pembatasan untuk menikah dan memilih jodoh bagi perempuan keturunan Arab pada kenyataannya masih hidup sebagai suatu tradisi dalam kehidupan masyarakat Arab di Jakarta. Diduga tradisi ini merupakan warisan dari kultur masyarakat Arab di jazirah Arab sejak zaman sebelum Islam. Hal ini cukup ironis, sebab warga masyarakat Arab Indonesia secara geografis terpisah ratusan ribu kilometer jauhnya dengan masyarakat Arab di jazirah Arab.
Guna mengidentifikasi sebab musabab bertahannya tradisi ini dan mengetahui persepsi dan pengalaman perempuan Arab terhadap ketentuan yang sudah out of date ini, maka penelitian ini dilakukan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Roswita Harimurti
"Perkawinan sangat penting artinya dalam kehidupan manusia. Dengan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi lebih terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan kehidupan rumah tangga dapat terbina dalam suasana yang lebih harmonis. Oleh karena itu, sangat tepat jika Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 digunakan sebagai pedoman pelaksanaan perkawinan.
Masalah perkawinan juga telah diatur di dalam Hukum (Syari'at) Islam yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat di Kompilasi Hukum Islam di samping sumber hukum Islam yaitu al Qur'an, hadits dan sunnah Rasul. Hazairin telah menyatakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan ijtihad bagi umat Islam sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur'an dan sunnah Rasul. Terkait dengan perkawinan, ditemukan beberapa permasalahan hukum perkawinan di bawah umur.
Persoalan yang timbul adalah (a) bagaimana kriteria "di bawah umur" menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan menurut Hukum Perkawinan (Syari'at) Islam, (b) bagaimana keabsahan perkawinan di bawah umur sesuai ketentuan syari'at Islam dan (c) bagaimana upaya penyelesaian hukum terjadinya perkawinan di bawah umur yang tidak mendapatkan persetujuan kedua orangtua. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis telah melakukan penelitian pada kasus yang terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Pembahasan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat Yuridis-Normatif dikaitkan dengan analisa data sekunder dan dirangkai dengan hasil wawancara dengan narasumber. Pada bab Simpulan sesuai analisis, ditemukan adanya kejanggalan pada pertimbangan hukumnya karena tidak dinyatakan secara tegas bahwa perkawinan itu dilakukan karena alasan utama yaitu calon isteri telah hamil sebelum melakukan perkawinan yang sah. Tetapi lebih ditekankan pada faktor kecakapan melakukan perbuatan hukum terkait faktor usia. Namun pada akhirnya, perkawinan itu dapat terlaksana didasarkan pada pertimbangan sesuai syari'at Islam yaitu demi kepentingan kedua mempelai di kemudian hari dan demi kepentingan kemaslahatan masyarakat pada umumnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Maulydia Apple
"Agama memiliki peranan penting dalam sebuah keluarga, karenanya peran agama-dalam perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 tentang Perkawinan. Perkawinan di dalam Islam menjadi hal penting dan sakral. Perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan yang non muslim dilarang oleh Islam begitu pula sebaliknya. Hal ini telah diatur dalam Q.S. 2:221 dan Q.S.60:10, dengan tegas menyatakan perkawinan beda agama hukumnya haram. Tetapi akibat adanya pandangan kontroversial yang dikemukakan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal tentang Islam, antara lain menyatakan bahwa perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan non muslim dibolehkan sepanjang perempuan non muslim tersebut adalah ahli kitab(Q.S.5:5). Oleh karena itu belakangan ini banyak terjadi kawin beda agama di kalangan umat Islam, dan menimbulkan masalah yaitu bagaimana kawin beda agama dipandang baik menurut hukum Islam, hukum positip Indonesia dan pandangan aliran Islam Liberal serta apa akibat hukum terhadap suami istri yang melakukan kawin beda agama ini juga keturunannya. Tipe penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian hukum Normatif, yang bersifat deskriptif analitis. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara serta sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder baik dari bahan hukum primer, sekunder maupun tertier. Mengenai perbedaan pendapat mengenai masalah ini, Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa yang isinya melarang kawin beda agama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa baik menurut hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu dari mereka yang melangsungkan perkawinan dan perkawinan tersebut dicatat baik di Kantor Urusan Agama (Muslim) ataupun di Kantor Catatan Sipil (Non Muslim) yang dibuktikan dengan adanya bukti otentik (Akta Nikah/Buku Nikah). Status perkawinan, kedudukan anak, harta bersama dan kewarisan yang timbul akibat perkawinan menjadi jelas bila perkawinan yang dilakukan itu bukan dengan pemeluk agama yang berbeda. Oleh karena itu kesamaan agama dalamsuatu perkawinan bisa dikatakan memegang peranan yang penting agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari dalam perkawinan tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16312
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Okta Permana
"Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Perkawinan campuran merupakan perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan antara kedua orang yang menikah tentunya akan menimbulkan suatu permasalahan hukum terkait dengan adanya perkawinan campuran tersebut. Pertama, bagaimanakah prosedur dan tata cara perkawinan campuran. Kedua, dalam hal perkawinan tersebut putus, aspek apakah yang terdapat dalam putusan hakim terkait dengan anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
Kedua permasalahan tersebut diteliti dalam penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif evaluatif dengan studi dokumen menggunakan data sekunder yang akan dianalisa secara kualitatif.
Prosedur dan tata cara perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut ketentuan dalam undang-undang nomor 1 Tahun 1974 dengan memperhatikan aspek-aspek Hukum Perdata Indonesia. Disamping itu, ketentuan Undang-Undang Kewarganegaran juga turut memberikan kontribusi dalam menentukan status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran. Dalam hal perkawinan putus, maka hakim bisa memutuskan hak asuh anak kepada ibunya. Namun, status kewarganegaraan anak yang mengikuti ayahnya.
Dalam hal ibunya warganegara Indonesia dan ayahnya warga Negara asing, maka anak yang masih dibawah umur berada dalam asuhan ibunya setelah orangtuanya bercerai akan menimbulkan masalah bagi si ibu.
Dalam perkawinan campuran, seharusnya dibuka peluang yang sama besar bagi anak yang masih dibawah umur untuk ikut warganegara ayah atau ibu, bukannya secara otomatis ikut ayah. Sebaiknya anak dari perkawinan campuran yang masih dibawah umur diberikan kewarganegaraan ganda, agar dapat tinggal dengan bebas di Indonesia, tidak lagi dihantui oleh ketakutan untuk dideportasi keluar negeri dan bagi si ibu dapat dengan tenang mendidik dan memelihara anak di Indonesia, barulah setelah dewasa (berumur 18 Tahun) si anak dapat memilih kewarganegaraan yang ia kehendaki. Dalam perkawinan campuran, hak perempuan warganegara Indonesia, tidak sekalipun dapat dicabut, dikurangi atau dibatasi sebagai akibat dari perkawinan campuran."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cecilia
"Pada dasarnya setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan, sehingga sangat wajar apabila seorang pria dan seorang wanita menyatakan untuk hidup bersama dalam waktu yang sangat lama dalam suatu lembaga yang disebut dengan perkawinan. Dalam perkawinan tersebut, mereka akan dihadapi masalah-masalah yang harus mereka hadapi bersama, dimana masalah yang paling sensitif adalah masalah mengenai harta benda (keuangan). Untuk mencegahnya, pasangan suami istri tersebut dapat membuat perjanjian perkawinan sebelum mereka menikah. Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) peraturan yang mengatur masalah perjanjian perkawinan, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 tahun l974 mengenai Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
Penulis ingin mengetahui perbedaan dari isi perjanjian perkawinan yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam tersebut.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode kepustakaan. Dalam mengumpulkan datanya ditunjang dengan wawancara dengan narasumber yang terkait.
Perjanjian perkawinan yang dilakukan pasangan suami-istri merupakan suatu sarana unruk mempermudah dan memperjelas pengaturan harta kekayaan calon pasangan suami istri tersebut. Pada dasarnya perjanjian perkawinan yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No.l Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, tidak mengandung perbedaan yang terlalu banyak. Sayangnya masyarakat Indonesia masih menganggap perjanjian perkawinan tidak terlalu diperlukan, padahal perjanjian perkawinan memiliki banyak manfaat dalam pengaturan masalah keuangan di rumah tangga mereka."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16351
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Sugeng Fajar
"Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ketentuan mengenai perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan mempunyai akibat hukum terhadap harta kekayaan suami isteri yaitu sejak perkawinan dilangsungkan akan terbentuk harta bersama. Terhadap ketentuan mengenai harta bersama, suami isteri dapat melakukan penyimpangan dengan membuat perjanjian perkawinan. Ketentuan mengenai perjanjian perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Agar dapat berlaku bagi pihak ketiga, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mewajibkan perjanjian perkawinan untuk didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mewajibkan perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Catatan Sipil bagi golongan masyarakat yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat atau oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama bagi golongan Indonesia asli. Tesis ini membahas apakah perjanjian perkawinan yang dibuat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dapat berlaku terhadap pihak ketiga serta apa akibat perjanjian perkawinan terhadap pihak ketiga? Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan hukum mengenai perkawinan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga. Dengan pendaftaran perjanjian perkawinan sesuai ketentuan yang berlaku, perjanjian perkawinan membawa akibat hukum bagi pihak ketiga yaitu dalam melakukan perbuatan hukum pihak ketiga hanya terkait dengan harta salah satu pihak dari suami isteri tanpa melibatkan harta pasangannya. Pemerintah perlu mensosialisasikan ketentuan mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan untuk menghindari kesimpangsiuran yang terjadi di masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16432
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tapi Omas Ihromi
"ABSTRACT
The main topic in this dissertation is outlined in the Introduction. It concerns the customs or adat pertaining to marriage, which prevail among a group called Sedan Torajas in South Sulawesi, and the inquiry concerning the position of that adat within the context of positive law in contemporary Indonesia.
A description of the Sa?dan Torajas, i.e. a subsection of an ethnic group inhabiting the central part of the island of Celebes (Sulawesi) and which in the literature is referred to am the Torajas, is rendered in Chapter I, Part I.
A question on the relevancy of studying the position of customary law regulating marriage within the context of contemporary positive law in Indonesia could be raised. In our opinion the topic needs to be discussed after the introduction of Law No. 1, 1974 and of the Government regulation Na. 9, 175 (law regulating marriage and the implementation of that law), because the question arises whether customary law or adat law is still to be applied, or whether it is invalidated on account of the new matrimonial law. Some explaination about the state of the legal regulations pertaining to marriage before the new matrimonial law was introduced is perhaps needed at this point in order to get a better picture of the topics discussed in this dissertation.
Legal policy of the Dutch colonial government was such that with regard to civil matters, society was divided in three groupings, i.e. the Europeans, Foreign Orientals and indigenous Indonesians, the first group being subjected to a civil coda modeled after the civil code in the Netherlands. The second group was subject to certain parts of the Dutch civil code, except for the people of Arab origin who were subject to customary law. With regard to the third group the colonial government adopted a non-interference policy to the effect that norms, partly related to religious beliefs -functioning as guide for behavior and referred to in the Literature as adat with legal consequences or more- known as "adat laws - were sanctioned as laws which the judges should apply when cases were brought to court. In other words "adapt law" was part of positive law. Regarding marriage, at_ a later point new legislation wan introduced by the colonial government, specifically for Christian Indonesians. Although strong feelings arose against legal pluralism, the division of the groupings could not be invalidated yet after Indonesia?s independence, since national laws governing the affairs of family law and other civil matters have not been enacted. Thus a plurality of regulations existed -When tire' new matrimonial law was introduced and one of the reasons of the introduction of the law was to bring about unification of matrimonial law. However, when one reads the new matrimonial law, one can see that up to a certain degree the plurality of legal regulations can not be entirely eradicated. It is in such context that the question of the validity of adat law as positive law becomes) relevant.
In order to grasp fully what the position is of the Toraja Adat law within the context of positive law, specifically of regulations on marriage, the writer first presents a description about the customs (adat) around marriage prevailing among the Toraja Sa?dan. The writer is of the opinion that a thorough understanding of the adat on marriage could only be reached when one relates these customs to the cultural background of the group. In view of this, a description of some basic aspects of the culture of the Sa?dan Toraja is offered. In this context the writer would like to stress that culture is used in the sense commonly understood in disciplines dealing with various societies, i.e. a concept which could be succinctly formulated as the way of life of n people, which could be expressed is three kinds of phenomena: (1) in the form of ideas, which arm possessed by the adherents of a specific culture as their ideas and concepts and which function as guidelines for their behavior, (2) in the form of activities, and (3) in the form of cultural objects.
In order to collect information about the culture of the Toraja Sa?dan people, the writer has done fieldwork in their area of origin known as Tana Toraja in South Sulawesi. During fieldwork the writer has concentrated herself on studying those aspects of the culture which could be established as being prevailing concepts of the Toraja people about the proper way of living and which could be regarded as their guidelines for the life of a Torajanese. The writer could only afford to upend four months on fieldwork, which would not be sufficient for the basis of a study reporting at length patterns of behaviour, patterns of activities, which truly reflect the way of life prevailing among the Iia'dan afro people. When one wants to describe such actual patterns, a thorough fieldwork for the duration of at least one year, during which observations are made, is a prerequisite. In view of the limited time allocated for fieldwork, the writer hA elected to illustrate in this dissartat` on the aspect of t4he culture known ae ideas, or underlying concepts, which function as guidelines for behaviour rather than the actual behaviour patterns.
Thus the main sources of information, which enable the writer to describe Toraja culture, are fieldwork, during which depth interviews took place, library research and judicial yerdicte, relevant to the understanding of matters underlying the system and the customs of Toraja marriage. During her stray in Tana Toraja, with the aid of persons who have thorough knowledge of the culture and the people, the writer was able to identify knowledgeable persons there, and various depth interviews were conducted with them.
In the section dealing with the general background of the Sa'dan Toraja people it was brought forward, that there are about 312.436 people residing in the regency of Tana Toraja in South Sulawesi. The majority of them are adherents of the tribal religion referred to by the people as aluk to dolo, and basic institutions, such as marriage can not be understood when it is not related to tribal religion the beginning of this century Sa?dan Toraja people had relatively lived in isolated environment. Except for contacts with ethnic groups contiguous to their area, such as the Baginese, long lasting contacts with the outside world started with the Dutch colonial government, which in 1906 sent an army to this region; Afterwards long lasting contact with Christian missionaries followed suit.
According to traditional belief of the Sa'dan Toraja people, society proper consists of several stratified layers and the concept of this stratified society should also be related to marriage if one wants to understand the system in the right way. In Chapter II stratification according to traditional concepts is elaborated,. Marriage as many other areas in Indonesia can not be separated from kinship system and in Chapter III a description of the kinship system in offered. In the Sa'dan Toraja kinship system a person belongs to the kinship group of his mother's family as well as to the kingroup his father belonge to. Furthermore, there is no obligation on the part of a wife to follow her husband and to live among his relatives. In Chapter IV a description is given about the most important asnocta of aluk to dole, the tribal religion including ceremonial life, I irriage is also closely related to this belief system as it is indicated in that chapter.
Thus the First Part of this dissertation covers information about the cultural background of the Sa'dan Toraja people, specifically the background of customs around marriage. The Second Part, beginning with the 5th, Chapter, covers information about legal matters, which are relevant for understanding positive law and its relationship to customary law.
Chapter V contains information about matrimonial customary law prevailing among Sa'dan Toraja people. As an example of living law among Sa'dan Taraja people an important institution is discussed, namely the kapa'. In most districts belonging to the regency of Tana Toraja kapa' is meant as an agreement pronounced by husband and wife during marriage ceremony, whereby each partner recognizes the obligation to pay a fine when he or she will be found guilty of being the cause of the dissolvement of their marriage. The value of the fine is expressed in a certain number of buffaloes, and the parties decide the number according to their status. For persons from the top layer, i.e. puang (persons believed to have an ancestor descended from heaven), the fine is settled for the value of 24 buffaloes, each with a horn of 30 centimeter length. Usually a kapa' is documented in a contract during the performance of every carriage, and in some village offices one can read a copy of the text of such a kapa? should disharmony arise among husband and wife to the point that they are thinking of a divorce, a decision on determining the guilty will be made by the council of elders (Hadat). The person who is found guilty has to pay the fine. The value in stipulated in the kapa? is used as a guideline by the Hadat. The actual decision may deviate from the fixed value, since and economic condition of the guilty person will be considered as the realistic criteria.
After the description about Sa'dan Toraja customs on marriage, attention is given in Chapter VI to the atrimonial Law (Law No. It 1974), the regulation concerning its implementation and all other matters which in the writer's opinion are relevant for answering the question regarding the applicability of customary lava, specifically Sa'dan Toraja matrimonial customary law. After studying the afore-mentioned law and regulation, it appears that one can draw the conclusion, that for many affairs legal norms known as customary law in the literature, and referred to as living law in the Law to. 14, 1970, are still valid as positive law. Article 66 of Law No. 1, 1974 and the General Explanation of the Lax, specifically point 2 and point 5, are the support for such conclusion. Furthermore, an instruction of the Supreme Court, mainly issued for reiterating points of guidance for the implementation of Law No. 1, 1974 (bearing the official number II.A/Pem/0807/75), strengthens the conclusion the writer has put forward. Accordingly, norms, which for a long time has been referred to as customary law or customs with legal consequences, are still important, and the discipline concerned with studying these rules should be sustained and 4 serves to be developed. Within such context the writer has cited a conceptual framework developed by Leopold Pospisil for studying law cross-culturally, as one example which could be drawn upon in studying customary law or adat law, or which Could function as a proposition for innovative approaches in making research on adat norms and on adat institutions. pospisil has acquired experience in studying legal system among preliterate societies, such as the Kapauku in Irian Jaya, as well as in modern context,
One question which logically would come up is that on the fate of adat law in the process of the renewal of the Law, i.e. the shaping of the National Law. In chapter VII the writer has cited the line of thinking about that question as it has come up in a meeting of 45 scholars in the field of law, who convened at Yogyakarta (1975) for the dissuasion on "Adat Law and the Development of National Law." We have quoted what has been said in that meeting, in order to give a picture of the opinion of lawyers active in various professions, such as those working in the ministry of Justice, in universities, in bodies providing legal aid and those functioning as judges and attorneys The participants rightly suggested, that institutions of adat law should not be neglected in
formulating legislation within the prospective National Law dealing with kinship matters in particular and the family in general; and that a great deal of caution should be considered with regard to the unification of law regulating affairs of "spiritual" matters, to which kinship and marriage in many cases belong.
When we say, that norms known as adat norms are partly still valid as positive law - pertaining to matters not regulated yet in Law Na. 1, 1974 and Its implementation - regulation, and to matters already regulated but not effective yet ,- we do not moan to say that the valid norms are those already identified as adat law) many decades ago. In Law No. 14, 1970 (the law regulating the basic principles of judicial power in Indonesia), it is stipulated in Article 27(9), that, as he functions to secure justice, the judge hue the obligation to ?dig up", to trace and to understand legal values prevalent in society. Furthermore, it is mentioned in the Official Explanation accompanying that law, that the judge is the formulator and the researcher of living legal values prevailing among the people. For that purpose, it is stated, that the judge should go down into society in order to discern, to feel what concepts of ewity and justice exist. Accordingly, the judge will be in the position to extend aid to the people. As an illustration of the role of a judge in bringing about equity and justice, the writer has referred to the example of the development in case law regarding the right of a woman to inheritance in a patrilineal family structure. The Decision of the Supreme Court of November 9, 1961, contains the right of a woman to inheritance from her~ parents in. Karo-Batak society. One should compare this, for example, with the decision of the Judicial Court in Padang of September 9, 1937, denying a woman to have the right to inherit from her parents according to the adat law of Nias, which has a patrilineal structure. In many cases of conflicts about inheritance, solution has been perhaps provided through informal channels. Traditional adat law might still be applied, denying daughters to be considered as rightful heirs, but for those who want to seek justice and who bring their case to court, the afore-mentioned legal precedence is now the prevailing guide for courts. Changes have- thus taken place regarding the recognition of the right of daughters in patrilineal family structures, The change has not been channeled through the introduction of regulations, but through the judicial court.
Another matter, which in the course of time has undergone development through legal practice (and'not through legislation) is that concerning adoption. Couples wishing to adopt a child with the same legal rights as a biological child, can now appeal to courts. Regulation on the salary of civil servants opens the possibility for providing full child allowance to one adopted child, whose status must be confirmed by a Court's decision. (See Government Regulation No. 7, 1977, Artikel 16 (2) and (3), in conjunction with Government Regulation V o. 12, 1967, Article 9 (2) b).
Finally, the writer has presented some thoughts on the potentiality of a law as means for change in the existing pattern of behaviour within the realm of kinship and family. She is of the opinion, that change can be expected to take place only when certain requirements are met and when certain conditions exist, and such a development proceeds in a gradual way. To clarify this point examples are presented of marriage and of family patterns. Patterns of marrying off a daughter at a relatively young age were expected to change after the introduction of the new Matrimonial Law. (See Article 7: the minimal age at first marriage is 19 years for the groom and 16 years for the bride .There was no comparable stipulation valid for all ethnic and religious groups in Indonesia prior to this law.) Another example is the small family pattern, which is expected to replace the large family pattern. It is hoped, that the implementation of the matrimonial law will support the Government in the implementation of its population policy.
The writer is of the opinion that those objectives can only be realized when the following conditions can be wet:
a. Prior to the introduction of the new law, members of the society, or the majority of them, have already accepted values which are in harmony with the value embedded in the new law, and which are being promoted by the new law.
b. When conditions as they are spelled out in point a have not
been established yet , social-economic policy of the government should be directed in such a way so that the introduction of the new law be accompanied by a social economic-cultural policy guiding people towards the acceptance of the values promoted through the new law. In view of these points, the writer would like to state her stands that in its implementation, the new Matrimonial Law should be regarded as an opportunity for guiding people to accept the law. It thus could be utilized as a means of adult education. Through the implementation of that law, people, specifically those who are underprivileged in terms of educational opportunity and in terms of social-economic condition, could be given guidance and means to enable them internalizing the ideal values which are so attractively formulated and reflected in the Law and its Official Explanation. Various institutions, government as well as private, such as women's organizations, could play in important role in this process, and mass media can be used to amplify the valuable common concern of the people."
1978
D1072
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nitra Reza
"Pada saat ini perbuatan perjanjian kawin masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat tidak setuju karena perjanjian kawin dianggap tidak etis sehingga dapat menyinggung perasaan suami. Sebagian kecil masyarakat setuju dengan perjanjian kawin karena merupakan salah satu kebutuhan bagi yang membutuhkannya. Perjanjian kawin merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan oleh isteri untuk melindungi harta yang dimilikinya. Pada saat ini perjanjian kawin dapat dibuat secara tertulis balk notariil maupun dibawah tangan. Dari beberapa macam perjanjian kawin yang aria, maka perjanjian kawin yang tepat untuk melindungi harta isteri dalam perkawinan ialah perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda dalam perkawinan. Dengan adanya perjanjian kawin maka isteri dapat melakukan berbagai perbuatan hukum. Misalnya menandatangani perjanjian kredit dan juga berbagai macam perbuatan lainnya antara lain yang berkaitan dengan tanah dalam rangka menandatangani Akta Jual Beli, Akta Hibah, Akta Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tanpa meminta persetujuan suami sebagai teman nikahnya. Peranan Notaris sangat dibutuhkan untuk melayani kepentingan masyarakat umum dalam hal membuat akta otentik maupun legalisasi akta dibawah tangan. Perbedaan antara akta notaril dengan dibawah tangan terletak pada daya pembuktiannya. Akta notaril memiliki daya pembuktian secara lahiriah sehingga menjamin kepastian hukum dan tanggal. Dengan metode kepustakaan dan wawancara dengan informan, terbukti bahwa semua akta perjanjian kawin yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan semuanya dibuat secara notariil."
2005
T14532
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nirbito Prastyono
"Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa suatu perkawinan harus dicatatkan di lembaga pencatatan perkawinan. Menurut undang-undang ada dua lembaga pencatatan perkawinan yaitu Kantor Urusan Agama bagi para pemeluk agama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang tidak beragama Islam. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan sangat penting, dan berguna untuk mendapatkan bukti otentik yang dapat menjelaskan tentang perkawinan tersebut Serta bukti pengakuan dleh Negara. Jika suatu perkawinan tidak dicatatkan maka akan menimbulkan masalah terhadap status perkawinan, status anak yang dilahirkan dan status harta bersama.Dalam Kenyataannya para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dengan mudah mencatatkan perkawinannya pada Kantor Catatan sipil. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mengenai penafsiran ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kegercayaannya itu. Ada pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan agamanya dan kepercayaannya adalah kepercayaan terhadap agamanya tapi ada yang berpendapat bahwa kata agama dan kepercayaannya merupakan dua kata yang terpisah.Untuk mencari pemecahan masalah ini upaya hukum yang dapat dilakukan hingga saat ini dengan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memperoleh Penetapan/Persetujuan/Dispensasi. Sedangkan bagi mereka yang telah terlanjur menikah tapi permohonan pencatatan perkawinannya ditolak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mendrofa, Juniman
"Bangsa Indonesia merupakan sebuah Negara yang memiliki penduduk yang majemuk yang terdiri dari berbagai suku, adat istiadat dan agama yang berbeda. Masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari saling berinteraksi dengan pemeluk agama lainnya, mereka dapat hidup rukun dan berdampingan serta saling menghormati maka terjadinya
perkawinan antar umat beragama ini merupakan suatu hal yang sulit dicegah. Pada dasarnya setiap agama melarang setiap umatnya untuk melakukan pernikahan dengan umat pemeluk agama lain. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan perkawinan adalah sah bila telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu. Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Perkawinan ditegaskan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya. Faktor larangan tersebutlah yang
menyebabkan banyak pasangan berbeda agama ini memilih
perkawinan diluar wilayah Indonesia antara lain di Australia. Tesis ini berjudul Pengaruh hukum perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri dan yang telah dicatat di kantor catatan sipil jakarta terhadap hubungan perdata suami isteri dan harta benda perkawinan
Serta anak yang dilahirkan analisis kasus nomor: 195/KHS/II/1933/2003 menurut undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan. Untuk melangsungkan Perkawinan di luar negeri bagi warga negara Indonesia berlaku ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi ?Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang waraganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara
Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang ini. Dan Pasal 56 ayat (2) berbunyi ?Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus
didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka". Dari ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri harus mengikuti tata-cara perkawinan di luar negeri dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, lebih khususnya Pasal 2 ayat (1). Dari hal-hal tersebut di atas dirumuskan pokok permasalahan yaitu (1)Bagaimana keabsahan Perkawinan Beda Agama yang dilangsungkan di luar wilayah R.I. antara Joharson Esterlla Sihasale dengan Vanya Zulkarnaen yang telah dicatat di kantor catatan sipil Jakarta? (2) Adakah pengaruh hukum Perkawinan Beda Agama tersebut terhadap
hubungan perdata suami isteri; terhadap harta benda dan terhadap anak yang dilahirkan? Dalam penulisan tesis ini metode penelitian. yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat normatif sedangkan teknik pengumpulan data mempergunakan metode studi dokumen. Tipelogi penelitian bersifat eksplanatoris dengan bentuk
evaluatif. Adapun metode pengolahan datanya dilakukan secara kualitatif dengan demikian bentuk penelitian bersifat evaluatif analisis. Kesimpulan dalam tesis ini bahwa perkawinan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia adalah tidak sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pejabat
kantor catatan sipil Jakarta tidak mempunyai pengaruh hukum terhadap hubungan perdata suami isteri, harta benda Suami isteri dan anak yang dilahirkan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>