Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rasyid Sartuni
"Kaba sebagai sastra Minangkabau sudah lama dikenal masyarakatnya sebagai sastra lisan. Perkembangan kaba ini telah diteliti oleh Junus. Ia menyimpulkan bahwa kaba dibagi atas dua zaman, yakni yang dihasilkan sebelum abad ke-20 yang dinamakan kaba klasik dan sesudah abad ke-20 yang disebut kaba nonklasik (1984:19). Semula, kaba memang milik bersama karena kaba yang tergolong kaba klasik tidak mencantumkan nama pengarang. Hal ini berlanjut dari generasi ke generasi sebelum abad ke-20. Di samping itu, norma-norma kehidupan yang dijalankan masyarakat dituangkan ke dalam kaba.
Kaba secara umum mempersoalkan pendidikan. Kaba yang dimaksudkan adalah jenis sastra tradisional Minangkabau yang berbentuk prosa lirik. Penyampaiannya dilakukan dengan gaya yang khas Minangkabau, yaitu berkisah dengan irama tertentu yang diiringi alat musik tradisional Minangkabau (Junus, 1987:17 dan Esten, 1990:107). Cara panyampaian kaba demikian disebut bakaba. Pada mulanya kaba itu tidak ditulis tetapi didendangkan atau dinyanyikan oleh tukang kaba atau si jobang (Philip, 1980).
Bakaba merupakan kesenian rakyat Minangkabau yang menyampaikan suatu kisah dengan iringan salah satu alat musik tradisional Minangkabau seperti saluang, rabab, pupuik, adok, talempong, serta korek api, dan kecapi. Bakaba dapat disampaikan oleh satu orang atau dua orang; yang disebut belakangan itu menggunakan alat musik tiup seperti saluang dan pupuik. Bakaba dilakukan oleh tukang kaba di hadapan khalayak dalam suatu upacara seperti pesta perkawinan, sunatan, panen padi, pengukuhan kepala suku, dan ulang tahun kota-kota di Sumatera Barat. Bakaba dilaksanakan setelah salat Isya sampai larut malam, bahkan ada yang sampai pagi, bahkan kadang-kadang sampai ke malam berikutnya. Dibandingkan dengan sastra tradisional lainnya, seperti sastra Sawa dan sastra Melayu, sastra tradisional Minangkabau jarang diteliti dan ditelaah dari sudut ilmu sastra (Ikram, 1980). Atas dasar latar belakang di atas saya menetapkan kaba sebagai objek penelitian tesis ini; yang saya pilih adalah kaba "Rancak Dilabuah".
Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan Pertama, kaba ini dikenal oleh masyarakat Minangkabau sampai saat ini sehingga terdapat beberapa naskah dengan judul yang sama maupun yang berbeda dari berbagai pengarang. Naskah yang berhasil saya dapatkan ada delapan dari enam penyalin dan satu penerjemah. Keenam penyalin itu adalah Datuk Panduko Alam, Soetan Pamoentjak, M.K. Soetan Pangeran, I.D. Dt. Tumanggung, H.Dj.Dt. Bandaro Lubuksati, M.Z.St. Pamuncak, dan seorang penerjemah, yakni Anthony H. Johns. Kedelapan naskah ini ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Minangkabau, bahasa Indonesia, dan terjemahan dalam bahasa Inggris. Yang terbanyak ditulis adalah dalam bahasa Minangkabau, yaitu ada enam naskah. Naskah yang "pertama" disalin oleh Dt. Pandoeko Alam berbahasa Minangkabau dengan huruf Latin dan berupa tulisan tangan di atas kertas. Tujuh naskah lainnya dicetak, yaitu enam naskah dalam huruf Latin dan satu naskah dalam huruf Arab (1910)."
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Gusti Yanti
"Western education that followed by womenhood gives influence to their life because the contradiction of traditional and modern thought in Minangkabau society, such as contained in Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Ka/au Tak Untung (Selasih), and Pertemoen II (A.St. Pamoentjak). The educated women figure in the novels have experience in their life because of education. The purpose of the study is to describe educated Minangkabau women and their conflict in the society. The study uses sociology of literature approach because of relating to the situation of Minangkabau society at the beginning of period Western education coming to Minangkabau.
The result of the study describes educated women whom have thought, view, wishing, attitude, and action which influenced by education. The consequence of the education produces infraction, conflict, or contradiction in their life. It's caused by their thought, view, wishing, attitude, and action don't jibe with norm and custom in the society. The educated women don't have strength to face conflict or contradiction which happened. They surrender to the conflict which happened in their life. The surrendering result suffering to the women figures. Sitti Nurbaya and Muslina are the figures whom don't receive the surrendering fully, so that they do resistance to the conflict. The resistance doesn't give result. On the contrary, they have worse suffering. The educated women have "defeat" in facing the conflict bacause the tradition of the society which's still strong."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library