Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fir Abdurrahman
Abstrak :
Amphidromus, a genus of arboreal pulmonate land snails belong to the family Camaenidae, is found in Indonesia. The total species of Amphidromus in Indonesia are almost half of the total number of species in the world. Most of these species were described before 1900. The collections of Amphidromus at the Museum Zoologicum Bogoriense, were collected after 1900.

Shell of subgenus Amphidromus rather stout, either dextral or sinistral, usually solid, and with periodical colour-stripes or varix, and shell of subgenus Syndromus always sinistral, usually thin, never marked with varix, the varietals callus usually thin and transparent.

The aim of the study is to know the diversity and distribution of Amphidromus in Indonesia based on the specimen of Museum Zoologicum Bogoriense, and also to study the difference of morphometric and genitals between subgenus Amphidromus and Syndromus. This study was carried out in the period of May - October 1996 at the Laboratory of Malacology, Museum Zoologicum Bogoriense, Bogor.

Each species was measured and described the shell measurement, shell colour, locality and the date of specimen collection. Morphometric data consist of high, diameter, and high of aperture of adult shells. Cluster analysis of morphometric data is primarily dissimilarity index Bray - Curtis's method. The difference of penial complex of genitals is counted based upon the length of epiphalic flagellum and length of epiphallus.

The result of this study showed that the Museum Zoologicum Bogoriense has 67,57 % (25 species) of total species from Indonesian Amphidromus. One of those species has never been collected, Amphidromus (Syndromus) annae, which might be endemic species located in Selayar island. The specimen from Mount Buntung, East Kalimantan, will be described as a new species in separate publication.

The new record for their distribution of Amphidromus javanicus was recognized from Jambi, A. sumatranus from Siberut island, and A. contrarius from Alor island. The subgenus Syndromus in Indonesia is distributed in Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, NTB, NTT, Timor island, Wetar island, Roma island, and Tanimbar islands. While subgenus Amphidromus dispersed in Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, and Bali. Based on the data collections, Amphidromus palaceus was found through out the years.

The epiphallic flagellum of subgenus Amphidromus, is longer than epiphallus, while subgenus Syndromus, is shorter. Cluster analysis showed that only 92 % of subgenus Amphidromus and Syndromus has morphometric differences.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apri Utami Parta Santi
Abstrak :
Research of freshwater Mollusca in Wonogiri was conducted in November 2010 in six rivers which estuary in Gajah Mungkur Dam. The Mollusca specimens was collected from Keduang river, Tirtomoyo river, Temon river, Solo Hulu river, Ngunggahan river and Wuryantoro river. A kuadrat transect method was used from area which have 1 kilometer in distance from estuary. The kuadrat transect was systematically located every 1 kilometer in 3 sampling sites. The specimens categorized in 13 spesies and there are one spesies have dominated in each river. The distribution of Mollusca in Solo Hulu and Ngunggahan river were random, whereas in Keduang, Tirtomoyo, Temon and Wuryantoro river were clumped. Mollusca commonly found in river which have mud substrate. The highest diversity index found in Ngunggahan river and the lowest was found in Wuryantoro river.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
T29596
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
The condition of ecosystem mangrove of tambak wedi has poluted. Molluscs as one of bioindicator of polution. Observation on molluscs on Tmbak Wedi mangrove ecosystem, Madura Strait was conducted on June 2005....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vaught, Kay Cunningham
Melbourne: American Malacologists, 1989
594 VAU c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman
Abstrak :
Penelitian mengkaji aspek subsistensi manusia yaitu dalam pemanfaatan sumber daya fauna dalam hal ini dari jenis moluska sebagai bahan makanan dan peralatan. Pemanfaatan fauna sebagai salah satu alternatif makanan manusia pada masa lalu tercermin dan banyaknya temuan arkeologis di situs arkeologi dan temuan lukisan gua yang menggambarkan jenis-jenis fauna dan aktivitas perburuan. Melimpahnya deposit sisa fauna, selain dapat menjelaskan pola makan manusia melalui sisa makanan, juga dapat memberikan keterangan tentang kondisi lingkungan, kebiasaan (habit), atau kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh manusia masa lalu, Selain sebagai bahan makanan, temuan sisa fauna sering ditemukan dalam bentuk perkakas atau peralatan. Sisa fauna yang ditemukan dalam suatu penelitian arkeologi dapat dikelompokan menjadi ; fauna-fauna kecil (micro fauna), seperti burung, ikan, serangga, tikus, ikan dan moluska ; dan fauna-fauna besar (macro fauna), seperti sapi, gajah, bison. Sisa fauna kecil (micro fauna) yang dominan yaitu moluska yang ditemukan dalam bentuk cangkangnya baik utuh maupun pecahan (fragmen). Melimpahnya deposit temuan sisa-sisa cangkang moluska di satu situs dapat menggambarkan strategi perolehan pangan yang tidak terbatas hanya pada hewan besar, hat tersebut terlihat dari sebaran temuan sisa-sisa cangkang moluska di situs Song Terus yang merupakan situs yang memiliki sejarah hunian yang panjang. Usaha untuk menginterpretasi adanya pemanfaatan moluska oleh penghuni Song Terus pada masa lalu dilakukan dengan beberapa tahap analisis. Tahapan analisis tersebut terdiri dari analisis faunal yang mengamati aspek fisik dari cangkang moluska yang ditemukan. Gambaran yang diperoleh dari analisis faunal yaitu tingkatan taksonomi dari cangkang-cangkang yang ditemukan, jumlah minimal individu dan jejak-jejak kerusakan kultural (wilayah pukul, jejak pemukulan, jejak pemotongan dan jejak hangus terbakar) melalui pengamatan fisik permukaan cangkang. Analisis artefaktual dilakukan melalui pengamatan morfologi cangkang yang mengamati jejak-jejak pembuatan dan pemakaian cangkang berdasarkan aspek bahan, bentuk, ukuran, jejak buat dan jejak pakai. Jejak yang diamati yaitu adanya kemunculan perimping, penghalusan, goresan, tajaman, dan kerusakan pada tajaman cangkang. Dari analisis ini dihasilkan tipe-tipe artefak dan perkiraan fungsi dari masing-masing tipe artefak. Analisis kontekstual dilakukan dengan mengamati keberadaan cangkang dalam lapisan tanah. Temuan cangkang moluska di Song Terus terdiri dari moluska dari tiga kelas, yaitu ; kelas gastropoda, pelecypoda dan cephalopoda, dan dari tiga habitat yang berbeda, yaitu ; darat, air tawar dan laut. Pemanfaatan moluska di Song Terus terdiri dari pemanfaatan sebagai makanan dan sebagai peralatan. Pemanfaatan sebagai makanan ditunjukan oleh temuan moluska dari kelas gastropoda, terutama dari habitat air tawar yang menunjukan adanya kerusakan pada bagian puncak (apex) cangkang dan bibir (lips) cangkang. Pemanfaatan sebagai peralatan dapat diamati dari temuan fragmen cangkang pelecypoda (habitat laut) yang menunjukan adanya modifikasi untuk tujuan tertentu. Jejak-jejak yang dapat diamati berupa perimping dan permukaan yang halus pada bagian margin, ujung yang runcing pada salah satu sisi cangkang (posterior dan atau anterior margin) dan kerusakan pada runcingan tersebut. Temuan moluska dari Song Terus menunjukkan adanya lima tipe artefak yang kemungkinan dapat diidentitikasi sebagai : 1) penyerut, 2) penyerut dan penusuk, 3) penggosok, 4) penggosok dan penusuk dan 5) mata panah. Kehadiran sisa-sisa cangkang moluska menandakan adanya keragaman pola makan dan penggunaan peralatan oleh manusia Song Terus. Hal ini dapat diasumsikan kerena temuan moluska yang dihasilkan dari ekskavasi tersebar di seluruh kotak gali dan berasosiasi dengan temuan lain. Temuan tersebut diantaranya sisa fauna vertebrata dari jenis ikan (Pisces), unggas (Gallus sp.), War (Boaidae), biawak (Varanidae), kura-kura (Testudinidae), tikus pohon (Soricidae), kelelawar (Chiropteridae), landak (Hyastricidae), tupai (Sciuridae), tikus (Muridae), anjing liar (Canidae), kucing (lelidae), musang (Viverridae), kerbau (Bovidae), rusa (Cervidae), babi (Suidae), badak (Rhinoceritidae), dan gajah (Elephantidae). Temuan lain yaitu artefak dari tulang, artefak litik, material litik, fragrnen tembikar, sisa flora, lapisan tanah dan rangka manusia. Interpretasi terhadap keadaan lingkungan purba di sekitar wilayah gua dapat diamati dari sebaran moluska darat, selain jenis hewan lain. Kehadiran moluska darat pada satu daerah menunjukan bahwa daerah tersebut memiliki tingkat kelembaban yang tinggi. Keragaman jenis fauna dan sumber daya alam lain inilah yang menjadi salah satu faktor keidealan hunian, sehingga manusia memiliki banyak alternatif bahan makanan dan peralatan, selain sumber lain seperti air dan morfologi tempat hunian tersebut.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S11558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Yulita Masjhur
Abstrak :
Cangkang Mollusca, khususnya dari kelas Gastropoda dan Pelecypoda, sering ditemukan di situs-situs arkeologi. Cangkang yang terbuat dari kapur ini tidak mudah hancur, suatu hal yang menguntungkan bagi interpretasi arkeologi. Situs Saentis yang berada di pantai Timur Pulau Sumatra bagian Utara yang merupakan situs sampah dapur (kjokkenmoddinger) berupa cangkang Mollusca, diakui keberadaannya sebagai sampah dapur adalah dengan adanya temuan-temuan artefak. Mollusca dari kelas Gastropoda dan Pelecypoda yang cangkangnya ditemukan di situs Saentis, merupakan Mollusca yang hidup di laut, air payau, air tawar dan di darat. Dengan habitat-habitat seperti daerah pasang surut, muara sungai, hutan bakau, sungai, danau (bagi Mollusca yang hidup bukan di darat); dengan media seperti terumbu karang, pasir, lumpur, batu atau campuran antara pasir dan lumpur. Mollusca yang hidup di darat, media hidupnya adalah tumbuhan. Tidak semua Mollusca dari situs Saentis tersebut merupakan Mollusca pangan. Mollusca yang merupakan Mollusca pangan, ada yang beracun atau mengandung bisa yang mematikan. Sehingga perlu pengolahan khusus seperti masih yang dilakukan oleh masyarakat Irian. Umumnya Mollusca pangan sebelum dimakan dimatangkan terlebih dahulu dengan perebusan atau pembakaran seperti yang dilakukan oleh masyarakat Gindjingali yang hidup di tepi pantai Benua Australia bagian Utara. Tetapi ada yang dimakan tanpa dimatangkan dahulu; ada pula yang sebelum dimatangkan harus diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan racunnya. Dari situs Saentis ditemukan pula alat-alat batu yang mungkin ada hubungannya dengan penggunaan Mollusca sebagai pangan. Misalnya untuk melepaskan Mollusca dari media tempatnya hidup untuk mengeluarkan isinya (dengan memecahkan cangkangnya). Selain alat batu, ada kemungkinan digunakannya peralatan lain seperti lancipan atau sudip untuk membantu dalam perolehan dan pengolahan Mollusca. Meskipun peralatan yang terakhir ini tidak ditemukan di situs Saentis. Dalam akhir kajian dapat diperkirakan bagaimana lingkungan situs Saentis pada masa situs tersebut masih dihuni, yang merupakan sumber perolehan Mollusca pangan; dan bagaimana manusia masa lalu menggunakan lingkungan tersebut sebagai sumber pangan (hubungan antara lingkungan sebagai sumber pangan dengan situs sebagai sisa pangan).
1987
S11971
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stevanus Tofan Laksmana
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian mengenai lama waktu pemangsaan dan ukuran lubang pengeboran Chicoreus capucinus terhadap Cerithidea cingulata, pada bulan Juni--Desember 2010. Tujuan penelitian untuk mengetahui lama waktu pemangsaan Chicoreus capucinus terhadap Cerithidea cingulata dan mengetahui ada tidaknya hubungan antara ukuran cangkang Chicoreus capucinus dengan ukuran lubang pengeboran pada Cerithidea cingulata. Hasil analisis regresi linear menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara ukuran cangkang Chicoreus capucinus dengan luas lubang pengeboran pada Cerithidea cingulata. Berdasarkan perbandingan rata-rata lama waktu pemangsaan dan rata-rata jeda waktu antar pemangsaan, Chicoreus capucinus yang memiliki cangkang berukuran 5--6 cm paling efisien dalam memangsa Cerithidea cingulata. Tetapi berdasarkan jumlah dan ukuran Cerithidea cingulata yang dimakan, Chicoreus capucinus dengan kisaran ukuran cangkang 4--5 cm, 5--6 cm dan 6--7 cm dapat digunakan sebagai pengontrol populasi Cerithidea cingulata.
Research about the time spent and the drill hole size predation of Chicoreus capucinus to Cerithidea cingulata has been studied. The aim of a research is about to know the time spent predation of Chicoreus capucinus to Cerithidea cingulata and determine whether there is a relationship between Chicoreus capucinus? s shell size and Cerithidea cingulata?s drill hole size. The regresi linier test result showed that the shell size of Chicoreus capucinus and the drill hole size of Cerithidea cingulata had not significantly relationship. Based on the comparison of the average length time spent predation and the rest time interpredation, a Chicoreus capucinus which has shell size range about 5--6 cm most efficient in prey. However, based on the number and the size of edible Cerithidea cingulata, a Chicoreus capucinus which has shell size range about 4--5 cm, 5--6 cm, 6--7 cm can use to population control of Cerithidea cingulata.
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S614
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Solem, Alan
Chicago: Field Museum of Natural History, 1976
R 594.38 SOL e I
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Yasman
Abstrak :
Penelitian mengenai Nudibranchia di terumbu karang Pulau Pramuka dan Karang Lebar, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu telah dilakukan pada bulan November dan Desember 2000 serta bulan Januari 2001. Sebanyak 18 jenis Nudibranchia (4 Suku) ditemukan tersebar pada kedalaman 20-80 kaki (6-25 meter). Jenis-jenis dari suku Phyllidiidae (13 jenis) merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan paling banyak jumlah individunya serta tersebar di berbagai kedalaman. Secara umum, jenis jenis Nudibranchia paling banyak dijumpai di kedalaman 50-60 kaki. Jumlah jenis Nudibranchia yang ditemukan akan menurun pada kedalaman yang kurang (20-40 kaki) dan lebih (70-80 kaki) dari 50-60 kaki. Pengamatan pemangsaan salah satu jenis Nudibranchia memberikan hasil catatan pertama (first record) pemangsaan Phyllidia varicosa terhadap sponge Axinyssa cf. aculeata. Teramatinya bekas pemangsaan pada sponge juga merupakan catatan pertama (first record).
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>