Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susi Nofridianita
Abstrak :
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penanganan Kanker Nasofaring. Kemajuan teknologi radioterapi termasuk perkembangan intensity modulated radiotherapy (IMRT) memberikan hasil yang cukup memuaskan dalam penanganan Kanker Nasofaring baik secara klinis maupun dosimetri. IMRT dapat mengurangi efek akut dan kronik, dengan cakupan dosis maksimal pada tumor dan dosis minimal pada organ/jaringan sehat di sekitarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan verifikasi akurasi posisi pasien IMRT Kanker Nasofaring dengan registrasi citra DRR/EPID. Analisis data retrospektif terhadap citra DRR/EPID dari 35 pasien proyeksi AP dan Lateral (140 citra) yang telah diverifikasi secara manual kemudian secara simulatif diterapkan metode fusi semiotomatis dengan program FIJI. Penggunaan program FIJI dapat memperbaiki kualitas citra DRR/EPID sehingga memudahkan dalam verifikasi geometri radioterapi. Hasil penelitian ini secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara verifikasi manual dengan metode fusi pada radioterapi pasien kanker nasofaring, namun secara deskriptif terdapat kecenderungan bahwa metode fusi denganprogram FIJI memberikan verifikasi geometri radioterapi yang lebih baik dibandingkan metode manual. Verifikasi akurasi posisi pasien sangat penting dilakukan karena besarnya translasi sangat mempengaruhi PTV dan dosis yang diterima jaringan sehat disekitarnya serta organ beresiko. ......Radiotherapy is one of common treatment modality for Nasopharyngeal Cancer. The development of intensity modulated radiotherapy (IMRT technique) gives satisfactory results in the nasopharyngeal cancer treatment, both clinically and dosimetry. IMRT can reduce the effects of acute and chronic, with a maximum dose coverage to the tumor and minimal dose to the organ or normal tissue surrounding target value. The purpose of this study is to compare the accuracy of patient positioning verification of Nasopharyngeal Cancer IMRT with DRR / EPID image registration. Retrospective data analysis of the AP and Lateral projections DRR and EPID images 35 patients (140 images) were then manually verified by simulative applied fusion semiautomatic with FIJI program. FIJI program improved the image quality of the DRR and EPID to facilitate the image registration. Results of this study shows no statistically significant difference between the manual verification and semiautomatic fusion method of nasopharyngeal cancer patients, but there is a tendency that the semiautomatic method with FIJI program provides verification geometry radiotherapy better a result than manual methods. Accuracy verification of patient positioning is very important because it greatly affects the magnitude of translational PTV and the dose received by surrounding healthy tissue and organs at risk.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S47598
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius H. Pudjiadi
Jakarta: UI-Press, 2006
PGB 0160
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Doyo Prasojo
Abstrak :
Pengobatan radiasi pada tumor kepala dan leher pada umumnya dan karsinoma nasofaring khususnya, dapat menimbulkan reaksi tubuh secara umum. Selain itu akibat radiasi bagaimanapun akan mengenai pula jaringan sehat di sekitar lokasi tumor. Kerusakan pada jaringan sehat ini merupakan hal yang tidak bisa dihindari dan bila efek ini terjadi secara berlebihan tentu saja dapat nempengaruhi efektifitas pengobatan terhadap penderita sendiri.

Pada pengobatan radiasi karsinoma nasofaring seperti diketahui dapat menimbulkan efek samping akut berupa gejala lokal pada kulit, rongga mulut dan sekitarnya dengan segala manifestasinya. Disamping itu dapat pula terjadi efek supresi terhadap sistim hemopoetik, sistim pencernaan dan lain-lain seperti pada pengobatan radiasi secara umum.

Tujuan umum : Mengupayakan agar penderita karsinoma nasofaring dapat menyelesaikan pengobatan radiasi seluruhnya sampai selesai (seoptimal mungkin).

Tujuan khusus : 1. Mengetahui jumlah penderita, sebaran umur, jenis kelamin, stadium penyakit, gambaran P.A. Serta frekuensi efek samping akut yang terjadi pada penderita karsinoma nasofaring yang menjalani terapi radiasi eksterna. 2. Mengetahui berbagai efek samping akut yang terjadi yang dihubungkan dengan dosis radiasi yang diberikan. 3. Mengetahui persentase penderita yang kontrol ke Bagian THT FKUI/RSCH. 4. Menilai hasil tindakan /pengobatan yang telah dilakukan di Unit Radioterapi FKUI/RSCM dan di Bagian THT FKUI/RSCH untuk mengatasi efek samping akut yang terjadi Serta mengetahui hambatan yang terjadi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Handayani
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang : Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan salah satu keganasan yang sering ditemukan di Indonesia dengan insiden 6,2/100 000 penduduk. Pemeriksaan serologik imunoglobulin A (IgA) terhadap viral capsid antigen (IgA-VCA) merupakan petanda tumor yang digunakan sebagai standar serodiagnostik karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap KNF. Titer antibodi IgA terhadap Epstein-Barr Virus (EBV) meningkat lebih dulu sebelum tampak tumor, dan titer pada usia ≤ 30 tahun lebih rendah daripada usia > 30 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ekspresi IgA pada jaringan biopsi KNF tidak berkeratin, tidak berdiferensiasi (WHO tipe 3) yang terinfeksi EBV pada kelompok usia ≤ 30 tahun dan usia > 30 tahun. Bahan dan Metode : Studi potong lintang terhadap jaringan biopsi pasien KNF WHO tipe 3 yang terinfeksi EBV yang ditandai dengan positifitas EBER pada 13 pasien usia ≤ 30 tahun dan 20 pasien usia > 30 tahun, kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap IgA. Hasil dan pembahasan : Positifitas EBER ditemukan pada seluruh kasus KNF WHO tipe 3. IgA terekspresi pada epitel permukaan jaringan tumor dan terdapat positifitas ekspresi IgA sel plasma yang berbeda-beda di stroma sekitar jaringan tumor, dengan rerata pada kelompok usia ≤ 30 tahun lebih rendah dari kelompok usia > 30 tahun. Hasil uji t tidak berpasangan menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara ekspresi IgA sel plasma pada KNF WHO tipe 3 pada kelompok usia ≤ 30 tahun dan > 30 tahun dengan nilai p=0,025. Kesimpulan: Ekspresi IgA sel plasma disekitar jaringan tumor pada jaringan KNF WHO tipe 3 dipengaruhi oleh kelompok usia.
ABSTRACT Background : Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is one of the most frequent malignant tumors in Indonesia, with incidence rate 6.2 / 100 000. The IgA-VCA serologic examination is considered as a useful marker for early detection of NPC because its high sensitivity and specificity to NPC. IgA antibody titer to Epstein-Barr Virus (EBV) increased before the tumor arise, and it lower in ≤ 30 years old patients compare to > 30 years old patients. The aim of this study is to evaluated the expression of IgA in biopsy specimen of EBV infected undifferentiated NPC among both ≤ 30 and > 30 years old patients. Materials and methods : A cross-sectional retrospective study was performed in 13 young and 20 old groups of age of undifferentiated NPC. The EBER positive undifferentiated NPC was stained with IgA by immunohistochemistry, and then analized it between the two of age groups. Results : EBER positivity was found in all undifferentiated NPC. IgA was expressed in the normal surface epithelial submucous plasma cells and stromal plasma cells surounding the tumor mass in all cases of undifferentiated NPC with differented positivity. Statistical analysis with unpaired t test showed that IgA expression is significantly lower in ≤ 30 years old patients than > 30 years old patients with p value 0,025. Conclusion : IgA is expressed in plasma cell cytoplasm in the stromal site of undifferentiated NPC and influenced by age.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winnugroho Wiratman
Abstrak :
Latar Belakang. Sebagian besar pasien kanker akan mengalami neuropati. Gejala neuropatik yang muncul akibat kemoterapi dapat menghambat proses terapi. Cisplatin merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan dalam terapi kanker nasofaring (KNF) dan banyak menyebabkan neuropati perifer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran neuropati pada pasien KNF yang mendapat kemoterapi di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode. Subyek penelitian ini adalah pasien KNF yang dikemoterapi dengan cisplatin kurang dari 6 bulan sebelum pemeriksaan, baik tunggal, sebagai kemoadjuvant maupun kombinasi dengan kemoterapi lain yang tidak menyebabkan neuropati perifer. Pasien Diabetes Mellitus serta gangguan neurologis sebelumnya disingkirkan dari penelitian. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis, dan elektroneurografi (ENG). Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2013. Hasil. Sebanyak 100 subyek penelitian yang terdiri dari 81 subjek laki-laki dan 19 subyek perempuan diikutsertakan dalam penelitian ini. Usia dari subjek penelitian berkisar antara 30-60 tahun. Didapatkan 76% subjek mengalami neuropati, 51 subjek diantaranya mengalami neuropati ENG, 25 subjek mengalami neuropati secara klinis dan ENG. Didapatkan neuropati sensorik 82.89%, neuropati motorik 80,26%, dan 51,32% mengalami neuropati otonom. Berdsarkan tipenya 89,47% mengalami degenerasi aksonal dan tidak satupun mengalami yang mengalami demielinisasi murni. Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara usia dan dosis dengan kejadia neuropati secara klinis (masing-masing p < 0,05). Kesimpulan. Telah didapatkan yang mendapat kemoterapi cisplatin di RSUPN Cipto Mangunkusumo termasuk tinggi yaitu sebesar 76%, dan hanya 25% yang mengalami gejala neuropati secara klinis. Lebih dari setengah (51%) pasien mengalami neuropati subklinis prevalensi neuropati perifer. Neuropati sensorik merupakan neropati paling banyak terjadi. Hampir semua pasien yang mendapat kemoterapi cisplatin mengalami neuropati aksonal. Usia lebih tua dan dosis total yang lebih besar merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi neuropati pada pasien KNF yang mendapat kemoterapi cisplatin ......Background. The majority of cancer patients will experience neuropathy. Neuropathic symptoms arising from chemotherapy can inhibit the therapeutic process. Cisplatin is the most widely used chemotherapy in the treatment of nasopharyngeal cancer (NPC) and the many causes of peripheral neuropathy. This study aims to describe the neuropathy in NPC patients who received chemotherapy in Cipto Mangunkusumo and the factors that influence it. Method. The study subjects were NPC patients whose chemotherapy with cisplatin less than 6 months before the examination, whether single, as kemoadjuvant or in combination with other chemotherapy that does not cause peripheral neuropathy. Diabetes Mellitus and patients with neurological disorders previously excluded from the study. Anamnesis, neurological physical examination, and elektroneurografi (ENG) were done. The study was conducted using a cross-sectional design. The data was collected between February and May 2013. Results. A total of 100 study subjects consisted of 81 male subjects and 19 female subjects were included in this study. Age of study subjects ranged from 30-60 years. There were 76% of the subjects had neuropathy, 51 subjects had neuropathy based on ENG only, 25 subjects based on clinical and ENG. There were 82.89% had sensory neuropathy, 80.26% had motor neuropathy, and 51.32% had autonomic neuropathy. Most (89.47%) had axonal degeneration and none had the experience of pure demyelination. There is a statistically significant relationship between age and dose with the incidence of clinical neuropathy (each p <0,05). Conclusion. The prevalence of neuropathy in cisplatin chemotherapy in NPC patients in Cipto Mangunkusumo was as high as 76%, and only 25% who experienced clinical symptoms. More than half (51%) patients had subclinical neuropathy of peripheral neuropathy. Older age and greater total doses are all factors that influence the KNF neuropathy in patients receiving cisplatin chemotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nimim Putri Zahara
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Angifibroma nasofaring belia ANB adalah tumor fibrovaskular yang jarang, secara histologi bersifat jinak tetapi secara klinis ganas dengan angka kekambuhan yang masih tinggi. Angka kekambuhan pada tumor ini banyak dihubungkan dengan karakteristik tumor yang dapat dilihat dari sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat vascular endothelial growth factor VEGF . Tujuan: Mengetahui hubungan antara karakteristik sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat VEGF terkait kekambuhan ANB sebagai upaya untuk memprediksi adanya kekambuhan. Metode: penelitian dengan rancangan observasional pendekatan kohort retrospektif yang mengevaluasi karakteristik sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat VEGF terkait kekambuhan. Hasil: didapatkan 38 jumlah kasus ANB, dengan kasus kambuh sebanyak 11 kasus dan tidak kambuh sebanyak 27 kasus. Insiden ANB terbanyak pada usia dekade kedua 12-30 tahun dengan rerata 15,8 tahun. Keseluruhan kasus berjenis kelamin laki-laki. Sumbatan hidung dan epistaksis merupakan keluhan utama pada semua kasus. Kekambuhan banyak ditemukan pada kasus usia muda, dengan onset cepat, stadium lanjut dan intensitas pewarnaan VEGF tinggi. Proporsi kekambuhan tidak berbeda secara statistik antara karakteristik sosiodemografik, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat ekspresi VEGF. Onset, massa tenggorok, stadium, embolisasi dan intensitas perwarnaan VEGF secara klinis mempunyai perbedaan yang bermakna. Pada penelitian ini embolisasi sebelum pembedahan tidak menurunkan angka kekambuhan. Kesimpulan: proporsi kekambuhan ANB sangat dipengaruhi oleh adanya residu tumor pasca operasi. Semakin bersih tumor diangkat, angka kekambuhan akan semakin menurun
ABSTRACT
Background Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma JNA is rare of fibrovascular tumor, histologically benign but clinically malignant with high recurrency rate. The recurrency rate of JNA was influenced by its characteristics that can be seen from sociodemografical, clinical, radiological, surgical and vascular endothelial growth factor VEGF . Objective the aim of this study is knowing the relation between sociodemographic, clinic, radiologic, surgical technique and expression of VEGF characteristic that influenced recurrency to predict the recurrency of JNA. Methods observasional design with retrospective cohort approach to evaluate the characteristic of sociodemografical, clinical, radiological, surgical technique, and expression of VEGF of JNA and the connection with recurrency. Result 38 cases, with 11 recurrence cases and 27 cases with disease free survival. The incidence of JNA mostly found in second decade 12 30 year with mean age 15,8 year old. All of the cases were male. Nasal blockage and epistaxis were the most common complaint in all cases. Recurrency rate is higher in young age, early onset, late stage and high expression of VEGF. Proportion of recurrency was not statistically significant among characteristics. Onset, oropharyngeal mass, stage, preoperative embolization and intensity of VEGF have clinically difference. In this study, preoperative embolization does not decrease recurrency rate. Conclusion the JNA rsquo s recurrence proportion was influenced by the residual tumor. The less residual tumor will dicrease the recurrency.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58668
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Hidayasri
Abstrak :
Penilaian karakteristik asimetris dinding nasofaring pada karsinoma nasofaring KNF pasca terapi memiliki implikasi penting pada penatalaksanaan pasien, tetapi seringkali sulit untuk mendiferensiasikan antara lesi tumoral dan non tumoral menggunakan CT scan/ MRI konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik potong nilai ADC antara lesi tumoral dan non tumoral pada follow up MRI pasca terapi. Penelitian merupakan studi kesesuaian dengan pendekatan potong lintang antara nilai ADC dan histopatologi. Penelitian menggunakan data primer 21 pasien KNF pasca kemoradioterapi yang melakukan pemeriksaan MRI nasofaring di Departemen Radiologi RSUPN-CM pada Juni 2016-Oktober 2017. Range of interest dan pemetaan ADC nilai b 1000 s/mm2 diletakkan pada komponen solid. Rerata jarak terapi dan evaluasi MRI pasca terapi adalah 9,3 bulan. Rerata nilai ADC lesi tumoral 0,7 x 10-3 mm2/s SD 0,05 dan non tumoral 1,2 x 10-3 mm2/s SD 0,3. Pada uji independent T-test menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik antara rerata nilai ADC tumoral dan non tumoral. Pada analisis ROC nilai ADC didapatkan titik potong 0,86 x 10-3 mm2/s AUC= 0,97; SE= 0,04 dengan nilai sensitivitas 100 dan spesifisitas 93,8. Berdasarkan uji McNemar nilai p> 0,005 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara temuan ADC dan histopatologi. Terdapat kesesuaian yang sangat kuat antara nilai ADC dan histopatologi untuk membedakan lesi tumoral dan non tumoral KNF pasca terapi. Pemeriksaan MRI sekuens DWI-ADC dapat digunakan untuk memberikan informasi tambahan pada kasus follow up KNF pasca terapi. ......Assessment of nasopharyngeal wall asymmetric characteristics of post treatment nasopharyngeal carcinoma NPC has important implication for management of the patients, but it is often difficult to distinguish between non tumoral and tumoral lession by using CT scan conventional MRI. The objective is to assess ADC cut off values between tumoral and non tumoral lession on MRI follow up after treatment. This research is a conformity study with cross sectional approach between ADC values compared with histopathology. This study used primary data of 21 post chemoradiotherapy NPC patients, who were examined nasopharnygeal MRI at Radiology Departement of Cipto Mangunkusumo Hospital in June 2016 October 2017. Range of interest ROI and ADC mapping b value 1000 s mm2 were placed on solid components. Mean interval between therapy and post treatment MRI was 9.3 months. Mean ADC values of tumoral lesions were 0.7 x 10 3 mm2 s SD 0.05 and non tumoral lession 1.2 x 10 3 mm2 s SD 0.3 . Independent T test showed statistically significant difference between the mean ADC values in tumoral and non tumoral lesions. In ROC analysis, ADC cut off value was obtained 0,86 x 10 3 mm2 s AUC 0,97 SE 0,04 with 100 sensitivity and 93,8 specificity. Based on the McNemar test p 0,05 , there was no significant difference between ADC findings and histopathology. There is very strong suitability between ADC and histopathologic values to differentiate tumoral and non tumoral lession in post treatment NPC. DWI ADC can be used to provide additional information on follow up post treatment NPC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monik Ediana Miranda
Abstrak :
Latar Belakang : Karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia berkaitan dengan tingginya angka kemoresistensi dan residif yang tinggi. Salah satu teori yang menjelaskan hal ini adalah terdapatnya sel punca kanker yaitu sel kanker yang memiliki kemampuan self-renewal dan menumbuhkan sendiri sel tumor. Jalur sel punca kanker mengakibatkan adaptasi genetik sehingga tumor menjadi resisten terhadap pengobatan. SOX2 adalah salah satu penanda gen sel punca yang berperan penting pada faktor transkripsi dalam proses self-renewal. Terdapat hubungan antara ekspresi SOX2 dengan respons terapi karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi.Bahan dan Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri atas 41 kasus karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM periode Januari 2014 hingga Desember 2016. Dilakukan pulasan imunohistokimia SOX2.Hasil : Ekspresi SOX2 positif pada 21 dari 41 51 kasus karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi. Sebanyak 11 dari 21 kasus diantaranya 52 memperlihatkan respons terapi pasca kemoradiasi yang baik p=0,636 . Dari 41 kasus terdapat 7 kasus residif, 2 kasus diantaranya 28,5 menunjukkan ekspresi SOX2 positif.Kesimpulan : Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi SOX2 dengan respons terapi pasca kemoradiasi.
Background Nasopharyngeal carcinoma non keratinized non differentiated still become main health issue in Indonesia concerning the high rate of chemoresistance and recurrence. One of the theories was the cancer stem cell, tumor cells with self renewal and self duplicating capabilities. The cancer stem cell pathway caused genetic adaptation resulting resistance in therapy. The main function of SOX2 as transcription factor holds key in the self renewal process. SOX2 became one of the markers for cancer stem cells. The SOX2 expressions have associations with response therapy after chemoradiation in nasopharyngeal carcinoma.Materials and Methods This was a cross sectional study with 41 cases of nasopharyngeal carcinoma non keratinized non differentiated diagnosed from Anatomical Pathology Department of FKUI RSCM during January 2014 until December 2016. All of the cases stained with SOX2 antibody with immunohistochemical methods.Results SOX2 positive expression can be found in 21 from 41 cases 51 . There were 11 out of 21 cases 52 showed well response therapy. From 41 cases there were 7 recurrent cases, 2 of them 28.5 expressing SOX2 positive.Conclusions There were no statistically significant associations between SOX2 expression with response therapy after chemoradiation.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Linggodigdo
Abstrak :
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan penyakit endemis di Indonesia dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Salah satu penyebab mortalitas adalah metastasis jauh. VEGF-A terbukti berperan pada kejadian metastasis jauh KNF, namun penelitian yang membahas hubungan langsung keduanya masih terbatas. Selain VEGF, terdapat jalur pensinyalan lain terkait VEGF yang mungkin berperan dalam kejadian metastasis jauh, yaitu jalur pensinyalan Hippo. Protein Yes-Associated Protein (YAP) adalah downstream efektor utama dari jalur pensinyalan ini. Dengan dilakukan pulasan YAP serta dievaluasi hubungan antara YAP dengan VEGF-A diharapkan hasilnya dapat memberikan informasi mengenai potensi biomarker sebagai indikator prognostik kejadian metastasis jauh KNF. Penelitian menggunakan metode analitik observasional dengan uji Chi-square dan korelasi koefisien kontingensi. Terdapat perbedaan ekspresi YAP yang bermakna pada kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Terdapat perbedaan bermakna ekspresi VEGF-A pada kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Ekspresi YAP yang tinggi berhubungan dengan peningkatan ekspresi VEGF-A (p=0,001). Terdapat korelasi signifikan antara peningkatan ekspresi YAP dan peningkatan ekspresi VEGF-A dengan kekuatan lemah (C=0,397, p=0,01). Terdapat perbedaan bermakna koekspresi YAP tinggi dan VEGF-A tinggi (double co-high-expression) antara kelompok KNF dengan dan tanpa metastasis jauh (p<0,001). Penelitian ini mendukung sifat onkogenik YAP. YAP dan VEGF-A dapat menjadi biomarker potensial untuk memprediksi kejadian metastasis jauh KNF. ......Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is an endemic disease in Indonesia with a high mortality rate. Distant metastasis is one of the leading causes of death. Although VEGF-A has been found to play a role in distant NPC metastasis, research on the relationship between the two is still limited. Another VEGF-related pathway, the Hippo pathway, may be involved in distant metastasis. Yes-Associated Protein (YAP) is the main downstream effector of this signaling pathway. It is expected that performing YAP marker and studying the relationship between YAP and VEGF-A, would provide data on the possibility of biomarkers that may be used as a prognostic predictor of the occurrence of distant metastasis in NPC. An observational analytic study was conducted—statistical analysis using SPSS 25.0 with Chi-square and contingency coefficients test. There was a significant difference in YAP expression between NPC with and without distant metastasis (p<0.001). The expression of VEGF-A differed significantly between NPC with and without distant metastasis (p<0.001). There was a significant relationship between YAP and VEGF-A (p=0.001) and a weak correlation (C 0.397, p=0.01). There was a significant difference in the double co-high-expression group between the KNF with and without distant metastasis (p<0.001). This study highlights YAP's oncogenic role in NPC, suggesting that YAP and VEGF-A might be potential biomarkers to predict distant metastasis in NPC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Ronald Barata Sebastian
Abstrak :
Tujuan : untuk mengetahui waktu terbaik dilakukan adaptasi perencanaan radiasi terhadap kasus kanker nasofaring yang menjalani radiasi di RSCM serta mencari tahu hubungan penurunan berat badan dan pengecilan ukuran tumor terhadap perubahan dosimetri pasien kanker nasofaring serta batasan perubahan separasi leher yang memerlukan tindakan adaptasi perencanaan radiasi. Metode : Dilakukan studi kohort prospektif pada 11 pasien kanker Nasofaring. Dilakukan pengukuran berat badan dengan timbangan dan separasi pada tip mastoid , kelenjar getah bening terlebar menggunakan alat ukur di TPS pada data set CT Simulator dan pada CBCT fraksi 1,6,11,16,21,26,dan 31. Data set hasil CBCT dilakukan fusi terhadap data set CT simulator kemudian dilakukan delineasi dan dilanjutkan rekalkulasi dosis dengan parameter yang sama seperti perencanaan radiasi awal kemudian dilakukan evaluasi dosimetri. Jika terdapat deviasi pada minimal 1 organ normal berisiko atau target volume maka masuk ke kriteria untuk dilakukan adaptasi perencanaan radiasi. Batasan waktu dalam menilai hubungan adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis dilakukan menggunakan kurva ROC (Receiving Operator Characteristic) Hasil : Dari 11 pasien yang diteliti,terdapat 10 pasien yang memerlukan adaptasi perencanaan radiasi dikarenakan melewati batas toleransi. Perubahan dosimetri yang menyebabkan adaptasi perencanaan radiasi, terjadi pada fraksi dan struktur organ yang berbeda. Hubungan antara waktu fraksinasi dengan indikasi tindakan adaptasi perencanaan radiasi signifikan mulai fraksi ke 6 sedangkan perubahan relative risk terbesar terdapat pada fraksi 11 ke fraksi 16. Indikasi adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis; Δ separasi KGB terlebar (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), Δ separasi Tip mastoid (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, Δ persentase berat badan ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). dengan batas tengah kurva ROC pada Δ separasi KGB terlebar 1,21 cm dan Δ persentase berat badan 4,49 %. Kesimpulan : dari penelitian ini, pasien kanker nasofaring membutuhkan radiasi adaptif untuk memberikan terapeutik ratio yang baik dan didapatkan adanya hubungan antara perubahan separasi dan penurunan berat badan dengan adaptasi perencanaan radiasi. ......Objectives: to determine appropriate timing for adaptive radiation therapy for nasopharyngeal cancer cases undergoing radiation at the RSCM and to find out the relationship between weight loss and tumor size reduction on dosimetry changes in nasopharyngeal cancer patients and the cut off of changes in neck separation that require adaptive radiation therapy. Methods: A prospective cohort study was conducted on 11 nasopharyngeal cancer patients. Separation measurements were made on the tip mastoid, the widest neck lymph node using a measuring instrument at the treatment planning system (TPS) on the CT Simulator data set and the CBCT data set fractions 1,6,11,16,21,26, and 31. The CBCT data set was fused to the CT data set. The CBCT data set was then delineated and continued with dose recalculation using the same parameters as the initial radiation plan, then dosimetry evaluation was carried out. If there is deviation in at least 1 normal organ at risk or target volume, then it is included in the criteria for adaptive radiation therapy. The time limit in assessing the relationship between adaptive radiation planning adaptive and clinical parameters was carried out using the ROC (Receiving Operator Characteristic) curve. Results: there were 10 out of 11 patients who required adaptive radiation planning due to exceeding the tolerance limit. Dosimetry changes that cause adaptive radiation planning occur in different fractions and organ structures. The relationship between fractionation time and indications of radiation planning adaptative measures is significant starting from the 6th fraction, while the largest relative risk changes are found in fractions 11 to 16. Indications of adaptive radiation planning with clinical parameters; widest lymph node separation (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), tip mastoid separation (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, weight percentage ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). with the middle limit of the ROC curve at the widest KGB separation 1.21 cm and body weight percentage 4.49%. Conclusion: Nasopharyngeal cancer patients require adaptive radiation to provide a good therapeutic ratio and there is relationship between changes in separation and weight loss with adaptive radiation planning
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>