Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 78 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Latifah Nuraini
Abstrak :
Tujuan: Reliabilitas dan validitas kuesioner COHIP-SF 19 versi Bahasa Indonesia. Metode: Dibuat berdasarkan pedoman proses adaptasi cross-cultural. Penelitian dilakukan pada 548 anak usia 12 - 15 tahun dari enam SMP Negeri di Jakarta yang dipilih secara acak. Tes psikometrik mencakup konsistensi internal, reliabilitas test-retest, validitas diskriminan, dan validitas konvergen. Hasil: Mean usia subjek penelitian adalah 13,3 tahun (SD 0,9) dan 54% subjek penelitian merupakan perempuan. Mean COHIP-SF 19 adalah 57,8 (SD 8,8) dan mediannya adalah 58 (rentang 27 - 75). Konsistensi internal dan reliabilitas test-retest COHIP-SF 19 sangat baik dengan nilai Chronbach’s alpha 0,83 dan intra-class correlation coefficient (ICC) 0,81. Anak-anak dengan decay aktif, PUFA positif, rongga mulut tidak bersih, atau gingivitis memiliki skor COHIP-SF 19 yang lebih rendah secara signifikan (P ≤ 0,030). Korelasi antara skor COHIP-SF 19 dan masing-masing domain, dengan tingkat keparahan klinis dan penilaian diri terhadap kesehatan umum atau kesehatan rongga mulut setelah disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, dan sekolah sangat rendah hingga rendah (│rs│ = 0,04 – 0,27, P ≤ 0,028). Kesimpulan: COHIP-SF 19 versi Bahasa Indonesia berhasil dibuat untuk digunakan sebagai instrumen OHRQoL pada anak-anak usia sekolah di Indonesia. Konsistensi internal, reliabilitas test-retest, validitas diskriminan, dan validitas konvergen COHIP-SF 19 versi Bahasa Indonesia sudah dibuktikan. ......Objectives: Assessing reliability and validity of COHIP-SF 19 Indonesian version. Methods: Developed according to the guidelines for the cross-cultural adaptation process. The instrument was tested among 548 children age 12 – 15 years old, from randomly selected six junior high school in Jakarta. The psychometric test include internal consistency, test-retest reliability, discriminant validity, and convergent validity. Results: Mean age of the participants was 13,3 years (SD 0,9) and 54% of the participants were girls. The mean score was 57,8 (SD 8,8) and the median was 58 (range 27-75). The internal consistency and test-retest reliability was excellent with Chronbach’s alpha 0,83 and intra-class correlation coefficient (ICC) 0,81. Children with active decay, positive PUFA, not clean oral cavity, or gingivitis had significantly lower scores (P ≤ 0,030). Correlation between COHIP-SF 19 score, subscale scores and clinical severity as well as self-rated general or oral health were very low to low (│rs│ = 0,04 - 0,27, P ≤ 0,028), after adjustment for children’s age, gender, and school. Conclusion: The Indonesian version of COHIP-SF 19 was successfully developed to be used as an OHRQoL instrument for Indonesian school-age children. The internal consistency, test-retest reliability, discriminant validity, and convergent validity of COHIP-SF 19 Indonesian version were confirmed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulandari Arumrahayu
Abstrak :
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini digunakan untuk menentukkan validitas dan reliabilitas kuesioner C-OIDP pada anak SMP dengan rentang usia 12-15 tahun di Wilayah DKI Jakarta. Metode: Versi Bahasa dari C-OIDP dibentuk sesuai dengan pedoman proses adaptasi cross-cultural. Penelitian dilakukan pada 502 anak usia 12 - 15 tahun dari enam SMP Negeri di Jakarta yang dipilih secara acak. Tes psikometrik mencakup konsistensi internal, reliabilitas test-retest, validitas diskriminan, dan validitas konvergen. Hasil: mean usia subyek penelitian adalah 13.3 tahun (SD ± 0.9) dan 54% subyek penelitian merupakan perempuan. Mean C-OIDP dari peserta adalah 3.49, (SD ±5.61). Konsistensi internal dan reliabilitas test-retest C-OIDP dengan nilai Chronbach’s alpha 0.72 dan intra-class correlation coefficient (ICC) 0.61. anak-anak dengan decay aktif, PUFA positif, rongga mulut tidak bersih, atau gingivitis memiliki skor C-OIDP yang lebih rendah secara signifikan (P ≤ 0.001). Dua per tiga (64.9%) dari sampel memiliki paling sedikit satu dampak oral yang berpengaruh pada performa keseharian. Kesimpulan: C-OIDP versi Bahasa Indonesia berhasil dibuat untuk digunakan sebagai instrumen OHRQoL pada anak-anak usia 12-15 di Indonesia. ......Obejctives: The aim of this study is to assess validity and reliability an Indonesian Version of C-OIDP in among 12-15 years old high-school-children in Jakarta. Method: The Indonesian version of C-OIDP was developed according to the guidelines for the cross-cultural adaptation process. The Indonesian version was tested for reliability and validity on random sample of 502, 12–15 years old school children in Jakarta. Psychometric analysis of the Indonesian Child-OIDP involved construct validity tests as well as internal and test-retest reliability. Result: Mean age of the participants was 13.3, (SD± 0.9) and 46% of the student are males, 54% are females. Crohnbach’s alpha value was 0.72. In terms of test-retest reliability, the intraclass correlation coefficient (ICC) was 0.61. Two-third (64.9%) of the sample had oral impact affecting one or more performances in the past 3 months. The mean of C-OIDP score was 3.49 (SD±5.61). The construct validity was confirmed by C-OIDP scores being significantly associated with oral health condition.The Spearman’s correlation coefficients significant (all p<0.001). Conclusion: This study indicates that the Indonesian Child-OIDP index is a valid and reliable measure to be used as an OHRQoL index among 12–15 years old children in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rania
Abstrak :
Latar belakang: Di Indonesia prevalensi kehilangan gigi pada usia 35-44 tahun adalah 35,3% dan terus meningkat seiring bertambahnya usia. Kehilangan gigi dapat menyebabkan penurunan fungsi gigi dan mulut. Untuk mengembalikan fungsi gigi individu dapat menggunakan gigi tiruan, namun hanya 4% penduduk usia 35-44 tahun yang menggunakan gigi tiruan. Literasi kesehatan gigi dan mulut/Oral Health Literacy (OHL) didefinisikan sebagai kapasitas individu untuk memperoleh, memproses dan memahami informasi dasar kesehatan gigi, mulut dan kraniofasial serta pelayanannya yang diperlukan untuk membuat keputusan yang sesuai mengenai kesehatan gigi dan mulut. Oleh karena itu, mungkin saja nilai OHL memengaruhi persepsi kebutuhan individu. Akan tetapi, penelitian mengenai topik ini masih terbatas di Indonesia. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara nilai OHL dengan persepsi kehilangan gigi yang dilihat dari fungsi gigi dan perawatan kebutuhan gigi pada dewasa hingga lansia. Metode: Penelitian deskriptif potong lintang menggunakan kuesioner The Health Literacy in Dentistry HELD-29 versi Indonesia (skor 0-116) dan pertanyaan mengenai persepsi fungsi gigi serta kebutuhan perawatan prostodonsia. Populasi penelitian adalah orang dengan usia 17 tahun keatas yang sudah mengalami kehilangan gigi. Hasil: 205 responden berusia 17-82 tahun dan mayoritas perempuan (66,3%). Nilai OHL (82 ± 16,75) lebih tinggi pada kelompok dengan persepsi fungsi gigi sangat baik dan memilih tidak memerlukan perawatan prostodonsia. Terdapat hubungan bermakna (p<0,05) antara nilai OHL dengan persepsi fungsi gigi (r= 0,285), jumlah kehilangan gigi (r= -0,265), jumlah dukungan oklusal berdasarkan indeks Eichner(r= -0,262), dan lokasi kehilangan gigi (r= -0,233). Tidak terdapat hubungan bermakna antara nilai OHL dengan persepsi kebutuhan perawatan prostodonsia (r= 0,083, p>0,05). Terdapat perbedaan bermakna nilai OHL pada usia dan tingkat pendidikan individu (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna nilai OHL berdasarkan jenis kelamin dan status ekonomi individu (p<0,05). terutama pada kelompok usia 17-29 tahun dengan ≥60 tahun (p= 0,006) dan kelompok usia 45-59 tahun dengan ≥60 tahun (p= 0,000) dan tingkat pendidikan SD dengan SMP (p= 0,002), SD dengan SMA (p= 0,000), dan SD dengan perguruan tinggi (p= 0,000). Tidak terdapat perbedaan bermakna nilai OHL berdasarkan jenis kelamin dan status ekonomi individu (p<0,05). Kesimpulan: Semakin tinggi nilai OHL, semakin baik penilaian persepsi fungsi gigi. Semakin rendah nilai OHL maka semakin banyak jumlah kehilangan gigi, berkurangnya zona dukungan oklusal, dan semakin banyak lokasi kehilangan gigi yang terlibat. ......Background: Prevalence of tooth loss in Indonesia is 35.3% at 35-44 years old and continues to increase with age. Tooth loss can lead to decreased oral function. To restore the oral function, individuals with tooth loss can wear denture, but only 4% of the population aged 35-44 years old wears denture. Oral health literacy (OHL) is defined as the degree to which individuals have the capacity to obtain, process, and understand basic dental, oral, and craniofacial health information and services needed to make appropriate oral health decisions. Therefore, low OHL score may be a cause of the low perceived need. Nonetheless, research concerning this issue is still limited in Indonesia. Objective: To assess the correlation between OHL score and perception of tooth loss in adults to elderly. Methods: Cross-sectional study was performed using The Health Literacy in Dentistry (HeLD)-29 Indonesian version (score 0-116) and questions about perception of dental function and perceived need for prosthodontics treatment. The population of this study were people aged 17 years old and over who had experienced tooth loss. Results: There were 205 respondents with age range 17-82 years old and 66.3% of the respondents were female. The mean OHL score was 82. The OHL score was higher in the group of individuals who choose the higher perception of dental function and choose not to get Prosthodontics treatment. There is a significant correlation (p<0.05) between the OHL score and the perception of dental function (r= 0.285), number of tooth loss (r= -0.265), the number of occlusal support based on the Eichner index (r= -0.262), and the location of tooth loss (r= -0.233). There is no correlation between the OHL score and the perceived need for prosthodontics treatment (r= 0.083; p>0.05). There is a significant difference in the OHL score on age and educational level (p<0.05), especially in the aged 17-29 years old with ≥60 years old (p= 0.006) and the aged 45-59 years old with ≥60 years old (p= 0.000) and the level of education between elementary school with junior high school (p= 0.002), elementary school with senior high school (p= 0.000), and elementary school with higher level of education (p= 0.000). There is no significant difference in the OHL score on gender and individual economic status (p>0.05). Conclusion: Higher OHL scores show better perception of dental function. Lower OHL scores are associated with higher tooth loss, loss of occlusal support zone, and more locations of tooth loss.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Tsania Zahra
Abstrak :
Latar Belakang: Self-perceived halitosis ditandai dengan bau tidak sedap yang timbul dari rongga mulut dan ditemukan penyebab utamanya berasal dari intraoral. Sehingga sangat penting bagi setiap individu untuk memelihara kesehatan mulutnya. Selain itu, walaupun etiologi utama dari faktor intraoral tersebut adalah tongue coating, namun prevalensi masyarakat yang membersihkan lidah setiap hari masih rendah. Oleh karena itu, pada penelitan ini akan lebih dikhususkan untuk membahas mengenai kebiasaan membersihkan lidah. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara kesehatan oral subjektif dengan self-perceived halitosis. Metode: Penelitian cross-sectional pada 298 remaja yang berusia 12-21 tahun yang berdomisili di DKI Jakarta dan merasa memiliki halitosis melalui kuisioner yang pengisiannya dilakukan secara daring menggunakan google form. Hasil : Penilaian subjektif penyakit dan kondisi rongga mulut yang terdiri dari gingivitis, mulut kering, dan tongue coating memiliki hubungan dengan self-perceived halitosis (p<0.05). Semakin besar responden yang merasa memiliki gingivitis, mulut kering, dan tongue coating di dalam rongga mulutnya, semakin tinggi nilai self-perceived halitosis. Faktor kesehatan oral subjektif lainnya yaitu penilaian subjektif karies dan kebiasaan menjaga kesehatan gigi dan mulut yang terdiri dari menyikat gigi, flossing, menggunakan obat kumur, dan membersihkan lidah tidak memiliki hubungan dengan self-perceived halitosis (p>0.05). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara faktor penilaian subjektif penyakit dan kondisi rongga mulut yang terdiri dari gingivitis, mulut kering, dan tongue coating terhadap self-perceived halitosis pada remaja di DKI Jakarta. ......Background: Self-perceived halitosis is characterized by an unpleasant odor arising from the oral cavity. It was found that the main cause of halitosis was from intraoral origin, so it is very important for each individual to maintain their oral health. In addition, although the main etiology of the intraoral factor is tongue coating, the prevalence of people cleaning their tongue every day is still low. Therefore, this research will be more devoted to discussing the habit of cleaning the tongue. Objective: This study aims to identify the relationship between subjective oral health and self-perceived halitosis. Methods: A-cross sectional study of 298 adolescents who live in DKI Jakarta and have a subjective halitosis through a questionnaire with a google form. Results: Subjective assessment of oral diseases and conditions consisting of gingivitis, dry mouth, and tongue coating were associated with self-perceived halitosis (p <0.05). The greater the respondents who feel they have gingivitis, dry mouth, and tongue coating in their oral cavity, the higher the self-perceived halitosis value. Other subjective oral health factors, namely the subjective assessment of caries and oral hygiene habits which consisted of brushing, flossing, using mouthwash, and cleaning the tongue had no relationship with self-perceived halitosis (p> 0.05). Conclusion: There is a relationship between the subjective assessment of oral diseases and conditions consisting of gingivitis, dry mouth, and tongue coating with self-perceived halitosis of adolescents who live in DKI Jakarta.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akrom Ibaad
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Kesehatan gigi merupakan salah satu hal yang penting dalam menunjang kesehatan umum, dimana penyakit gigi dan mulut dapat menyebabkan penyakit pada bagian tubuh yang lain ataupun dapat meningkatkan keparahan dari penyakit sistemik yang telah ada. Sebaliknya kesehatan sistemik dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Terdapat beberapa penyakit sistemik yang dapat ermanifestasi pada mulut, seperti Diabetes Melitus dan SLE yang merupakan kelainan sistem imun. Etiologi dari penyakit ini masih belum diketahui. Walaupun demikian terdapat faktor-faktor predisposisi yang sudah diketahui.. Faktor predisposisi yang ditemukan antara lain genetik, infeksi, hormonal, antibodi, kompleks imun, sinar matahari, makanan dan minuman, stress dan kelelahan fisik.
Tujuan: untuk mengetahui status kesehatan gigi dan mulut pada Orang Dengan Lupus (Odapus) yang berkunjung di Yayasan Lupus Indonesia(YLI). Dari 30 responden diketahui bahwa 26 orang adalah perempuan dan 4 orang laki-laki. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara dan pemeriksaan klinis kesehatan gigi dan mulut pada Odapus dengan Index OHIS untuk melihat status kebersihan gigi dan mulut, Index DMFT untuk mengukur kesehatan gigi ,dan Index CPITN untuk mengukur kesehatan jaringan periodontal.
Hasil: Rata-rata Odapus yang diteliti, 21 orang (70 %) memiliki tingkat kebersihan mulut sedang, 13 orang ( 44%) memiliki tingkat kesehatan gigi sedang dan 10 orang (34 %) memiliki kelainan periodontal dengan kedalaman poket antara 4-5 mm.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukan bahwa status kesehatan gigi dan mulut pada Odapus masih tergolong sedang. Hal ini dapat dipengaruhi dari tingkat pendidikan yang sebenarnya sudah baik, tetapi dari faktor perilaku yang masih kurang dan dari penyakit SLE yang dapat memperburuk kondisi kesehatan gigi dan mulut
ABSTRACT
Background: Oral health is one of the most important that supports general health. Oral diseases can cause systemic diseases or worsen the existent systemic diseases. On the revearse, systemic diseases can influence oral health. Etiology of this disease is still unknown. Nevertheless, several predisposition factors found, e.g. genetic, infection, hormonal factors, antibody, immune complex, sunburn, food, stress, and exhausted.
Pruposes: to know oral health status of SLE patient that visited Indonesian Lupus Organization. From 30 respondents, it is found that 26 patients are women and 4 patients are men. This research uses interview and clinical examination methods which the respondents are examined with Index OHIS to see oral hygiene status, Index DMFT to messure teeth health, and Index CPITN to meassure periodontal tissue health.
Results: The avarage of SLE patients examined, 21 patients (70%) have moderate oral hygiene, 13 patients (44%) have moderate teeth, and 10 patients (34%) have periodontal diseases with pocket depth between 4- 5 mm.
Conclusion: This research result shows that SLE patients have moderaten oral health status. This condition is influenced by bad behaviour factors, although their education status is good, and also the SLE which worsen their oral health.
2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Supaporn Sangouam
Abstrak :
Objective: To assess the oral health status and oral hygiene habits of the dependent elderly in Muang Phitsanulok, Thailand. Methods: 70 dependent elderly with an activity of daily living score of 0 - 4 were selected for this study using a convenience sampling technique. Both participants and their caregivers were interviewed and an oral examination was carried out on all subjects. Information regarding demographics, oral health care habits, and oral health status including dental caries, remaining dentition, and occluding pairs of teeth was collected. The data was analysed using descriptive statistics. Results: Results showed that 82.1% of the participants had at least one carious lesion. 62.9% of subjects possessed their natural dentition, however 52% of those did not have any occluding teeth. The majority of the edentulous group were categorised as a low socioeconomic status. Interestingly, none of the dentate group reported ever flossing their teeth, 31.9% brushed their teeth twice daily, and 14.3% reported that they did not employ any oral hygiene methods. Additionally, it was found that the caregivers played a major role in the oral health care of the dependent elderly. Conclusion: The oral health of the dependent elderly is generally poor, especially amongst the low socioeconomic community. The subject’s declining dexterity and increase of general health risks limits their ability to maintain acceptable oral health.
Naresuan University, Faculty of Dentistry, Department of Preventive Dentistry, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dame, Margaretha Taruli
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengamati perubahan kekerasan email gigi sapi setelah direndam dalam larutan ekstrak kelopak bunga rosela. Sepuluh buah spesimen gigi sapi direndam selama 15, dilanjutkan sampai menit ke 30, 45 dan akhirnya 60. Pada permukaan email dilakukan uji kekerasan dan pengamatan secara mikroskopis. Kekerasan email gigi sapi sebelum perendaman adalah 328 KHN dan setelah perendaman 15 sampai 60 menit menurun berturut-turut menjadi 57,4 KHNdan 11 KHN. Disimpulkan, terjadi penurunan kekerasan email yang signifikan (p<0,05). Gambar SEM memperlihatkan perubahan prisma email setelah perendaman sampai dengan 60 menit. ......Organic acid contained in roselle calyx are capable of causing acidic condition on oral cavity. The aim of the present study was to analyse the effect of immersion in roselle extract solution on hardness of bovine enamel. Ten specimen of bovine tooth were immersed in roselle extract solution up to 60 minutes. Bovine enamel surface was characterized in hardness and in microscopy. Result showed hardness value before immersion was 328 KHN while after immersion for 15 minutes up to 60 minutes was 57,4 KHN and 11 KHN. In conclusion, hardness of bovine enamel was significantly decrease (p<0,05). SEM revealed changes of enamel rod after immersion up to 60 minutes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Pontiviana Akbari
Abstrak :
Latar belakang: Angka kejadian Early Childhood Caries di Indonesia termasuk tinggi di dunia yaitu 90% untuk anak usia 5 tahun pada tahun 2018. Banyak faktor terkait dengan hal itu, salah satunya adalah orang tua dan juga para pengasuh yang masih mempercayai mitos terutama mitos mengenai kesehatan gigi dan mulut. Mitos juga memiliki pengaruh yang kuat pada proses pencarian pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan ibu terhadap mitos mengenai kesehatan gigi di Indonesia. Metode: Penelitian dengan desain potong lintang menggunakan kuesioner online yang disebarluaskan kepada para ibu hamil dan atau ibu menyusui dan atau yang memiliki anak balita di Indonesia selama 10 hari. Mulai tanggal 22 Juli sampai 2 Agustus 2022. Kuesioner terdiri atas 4 domain yaitu biodata responden, riwayat  kesehatan  responden,  mitos kesehatan  gigi  ibu  hamil  dan  menyusui, mitos kesehatan gigi anak balita. Hasil: Jumlah responden sebanyak 895 orang dan yang termasuk kedalam kriteria inklusi sebanyak 801 orang responden dan mayoritas adalah ibu menyusui (47,2%) dengan rerata usia 31,7 tahun (±4,7 tahun) dan rerata jumlah anak responden 1,8 (±1,1). Ibu dengan pendidikan formal dasar lebih mempercayai mitos (r=0,001, p<0,05) begitu juga dengan Ibu Rumah Tangga dibandingkan dengan ibu yang bekerja diluar rumah (r=0,001, p<0,05). Ibu yang pernah melakukan kunjungan ke dokter gigi sebelum hamil (r=0,001, p<0,05) maupun selama kehamilan (r=0,001, p<0,05) kurang memiliki kepercyaan terhadap mitos dibandingkan dengan ibu yang tidak pernah melakukan kunjungan ke dokter gigi. Tingkat kepercayaan terhadap mitos paling tinggi yaitu pada ibu hamil dibandingkan dengan ibu menyusui ataupun ibu yang memiliki anak balita (r=0,010, p<0,05). Kesimpulan: Faktor latar belakang pendidikan baik pendidikan ibu maupun suami, pekerjaan ibu dan riwayat kunjungan ibu ke dokter gigi merupakan fakto-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan ibu terhadap mitos kesehatan gigi anak balita. ......Myth belief might have an impact on oral health, especially in mothers. The aim of this study was to describe the myths related to oral health and the belief in such myths by pregnant women, breastfeeding mothers, and mothers with preschool children in Indonesia. A cross-sectional study was conducted using a self-administered online questionnaire. The questionnaire was designed to collect data on the sociodemographics and medical histories of mothers, oral health histories of mothers and their children, oral health behavior during pregnancy, and related myths and beliefs. The identified myths and associated variables were then analyzed. A total of 895 respondents participated; however, only 801 respondents were eligible for inclusion in the analysis. Women who were housewives, had a lower educational levels, and had not visited a dentist before or during pregnancy tended to believe in myths. In Indonesia, belief in myths related to oral health exists and may potentially be a barrier to optimizing maternal and child oral health, and health in general. Educating the community about myths and facts in oral health is encouraged.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amiroh
Abstrak :
Latar Belakang :Pesantren merupakan institusi pendidikan di Indonesia yang menjalankan sistem tempat tinggal asrama. Kondisi status kesehatan gigi mulut di beberapa pesantren masih menunjukkan hasil sedang hingga rendah, padahal terdapat lebih dari empat juta remaja yang menempuh pendidikan di pesantren. Upaya meningkatkan kesehatan gigi mulut adalah melaksanakan program promosi kesehatan mulut berbasis sekolah, dan program ini dapat disusun dengan sebelumnya melakukan identifikasi perilaku kebersihan gigi mulut.Tujuan : Menganalisis hubungan antara perilaku kebersihan gigi mulut dengan indeks plak, laju alir saliva, dan kuantifikasi bakteri Veillonella Parvula dalam saliva di komunitas pesantren populasi anak usia 12 – 14 tahun. Metode: Penelitian dilakukan pada 101 siswa Ibnu Hajar Boarding School. Pengisian kuesioner indeks OHB untuk menilai perilaku kebersihan gigi mulut. Pengambilan sampel saliva tanpa stimulasi dan diukur lajur alir, dilanjutkan pemeriksaan indeks plak. Sampel saliva dibawa ke laboratorium untuk mengetahui kuantifikasi bakteri Veillonella parvula melalui metode RT-PCR. Hasil: Koefisien korelasi antara OHB dengan Indeks plak adalah r = 0.127 p-value = 0.204. Koefisien korelasi antara OHB dengan laju alir saliva adalah r = -0.211, p-value = 0.034. Koefisien korelasi antara OHB dengan Ct Veillonella parvula adalah r = -0.156 , p-value = 0.119. Kesimpulan: Terdapat hubungan berbanding terbalik dan bermakna antara perilaku kebersihan gigi mulut dengan laju alir saliva, dan hubungan tidak bermakna antara perilaku kebersihan gigi mulut dengan indeks plak dan kuantifikasi bakteri Veillonella parvula. ......Background: Boarding schools in Indonesia operate as residential educational institutions. The oral health status in some boarding schools still indicates moderate to low results, despite more than four million adolescents pursuing education in these institutions. Efforts to improve oral health include implementing a school-based oral health promotion program, which can be designed after identifying oral hygiene behaviors. To date, there has been no study examining the relationship between oral hygiene behaviors and plaque index, saliva flow rate, and quantification of Veillonella Parvula. Objective: To analyze the relationship between oral hygiene behaviors and plaque index, saliva flow rate, and quantification of Veillonella Parvula in a population of 12- to 14-year-old students in a boarding school. Method: The OHB index questionnaire was used to assess oral hygiene behaviors. Unstimulated saliva samples were collected and saliva flow rate measured, followed by plaque index examination. Saliva samples were taken to the laboratory to determine the quantification of Veillonella Parvula bacteria using RT-PCR. Results: The correlation coefficient between OHB and the plaque index was r = 0.127, p-value = 0.204. The correlation coefficient between OHB and saliva flow rate was r = -0.211, p-value = 0.034. The correlation coefficient between OHB and Ct Veillonella Parvula was r = -0.156, p-value = 0.119. Conclusion: There was an inverse and significant relationship between oral hygiene behavior and salivary rate, and a non-significant relationship between oral hygiene behavior and plaque index and quantification of Veillonella parvula bacteria.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>