Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 842 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fiona Natania Kurniadi
Abstrak :
Acute Kidney Injury (AKI) merupakan komplikasi serius yang umum terjadi pada pasien rawat inap. Berdasarkan penelitian tahun 2005, terjadi peningkatan insiden dan keparahan AKI hingga 50% akibat penggunaan obat selama rawat inap. Salah satu tugas apoteker di RS adalah melakukan pemantauan terapi obat, terdapat beberapa obat di RSUI yang dinilai mampu menginduksi terjadinya AKI. Oleh karena itu, dilakukan pembuatan daftar obat yang dapat menginduksi terjadinya AKI serta studi kasus terjadinya AKI pada pasien rawat inap akibat penggunaan obat di RSUI pada bulan Maret 2023. Daftar obat penginduksi AKI dibuat berdasarkan studi literatur dari pustaka tahun 2005 – 2023 kemudian obat dikategorikan berdasarkan kelas terapi obat. Sedangkan, studi kasus dilaksanakan secara retrospektif menggunakan data sekunder pasien rawat inap RSUI pada bulan Maret 2023 yaitu rekam medis salah satu pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Terdapat 26 obat yang mampu menginduksi AKI di RSUI. Berdasarkan studi kasus, terapi ramipril diduga mampu meningkatkan risiko terjadinya AKI pada salah satu pasien RSUI yang dinilai berdasarkan peningkatan nilai serum kreatinin dan penurunan nilai GFR. Ramipril diduga menjadi penyebab peningkatan risiko terjadinya AKI berdasarkan angka prevalensinya sebesar 28%, adanya riwayat perbaikan fungsi ginjal saat penghentian obat, serta fungsi ginjal yang kembali memburuk ketika terapi ramipril kembali dilanjutkan. Penilaian kondisi pasien menggunakan instrumen naranjo dibutuhkan untuk mengonfirmasi insiden terjadinya AKI akibat ramipril. ......Acute Kidney Injury (AKI) was a serious complication that commonly occurs in inpatients. Based on a study in 2005, there was an increase in the incidence and severity of AKI up to 50% due to drug induce during hospitalization. One of the responsibilities of the pharmacist in the hospital was to perform drug therapy monitor and several drugs in RSUI were considered likely to induce AKI. Therefore, a list of drugs induced AKI was created, and a case study of drug-induced AKI in hospitalized patients at RSUI in March 2023 was performed. The list of drugs induced AKI was made based on a literature study from 2005 – 2023, then the drugs were categorized based on the drug therapy class. Meanwhile, the case study was carried out retrospectively using secondary data from hospitalized patients at RSUI in March 2023, which was the medical records from one of the patients who met the inclusion and exclusion criteria. There are 26 drugs-induced AKI in RSUI. Based on the case study, ramipril therapy was thought to be likely to increase the risk of developing AKI in one of the RSUI patients as assessed by the increase of creatinine serum and the decrease GFR values. Ramipril is thought to be the cause of the increased risk of AKI based on its prevalence rate which was 28%, history of improvement in kidney function when stopping the drug, and worsened kidney function when ramipril therapy is resumed. Assessment of the patient's condition using the Naranjo instrument is needed to confirm the incidence of AKI due to ramipril.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Patient satisfaction was one thing that was very important in reviewing the quality of health services, including health center. Measuring patient satisfaction can be used to evaluate the quality of health services. In this study the dimensions related to health service user satisfaction, were in terms of reliability, assurance, tangible, emphaty and responsiveness. The purpose of this research was to know the level in district of outpatient services and inpatient care at district health center Sidoarjo.
BUPESIK
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Adriyani
Abstrak :
Perusahaan dalam ha] ini rumah sakit yang ingin berhasil dalam menjalankan usahanya pertama-lama harus disadari bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat melayani dan memuaskan semua pelanggan. Pasien di rumah sakit sangatlah banyak jumlahnya dan beraneka ragam kebutuhan, kemampuan membeli, perilaku maupun psikografinya. Agar tahu apa yang menjadi kebutuhannya , perlu mengetahui karakteristik pasiennya melalui pendekatan segmentasi. Masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui karakteristik pasien yang masuk ke rawat inap RS. Karya Bhakti serta belum diketahuinya segmen yang bagaimanakah yang tepat untuk dikembangkan di RS. karya Bhakti untuk menjadi pelanggan potensialnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pasien berdasarkan geografi, demografi, psikografi dan perilaku pasien di rawat inap. Dapat melihat pelanggan potensial berdasarkan atas : pemilihan kelas perawatan, status kesetiaan pasien dan kemampuan membayar dari pasien. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik gabungan kuantitatif dan kualitatif dengan metode survey . dalam penetapan sampel dilakukan secara stratified . Untuk pembahasannya dibantu dengan data sekunder dari BPS Bogor, DICK Bogor serta serta buku Bogor membangun . Untuk analisa dilakukan uji univariat dan bivariat dengan tabulasi silang. Berdasarkan analisis univariat dan bivariat dapat diketahui karakterislik pasien di rawat inap RS. Karya Bhakti dilihat dari pemilihan kelas perawatan potensial, status kesetiaan dengan berdasarkan geografi, demografi, psikografi dan perilaku maka dapat disimpulkan bahwa pasien potensial rawat inap RS. Karya Bhakti adalah pasien yang pemhayarannya melalui pihak ketiga yaitu perusahaan pasien . Saran yang diberikan adalah : Perlu ditingkatkan pemasaran ke perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar Bogor, buat tim pemasaran dan pelayanan RS dalam menciptakan loyal customer , serta kembangkan sumber daya yang ada untuk melakukan strategi pemasaran baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang guna mencapai tujuan dan visi organisasi.
A firm, in this case hospital, which wants to be succeed in ruling the firm must realize that it is impossible to serve and satisfy all the customer. There are many patients in the hospital with vary of need, ability to pay, behavior and psychograph. In order to know what the customer wants, it is important to know the patients characteristic by segmentation approach. The problem in this research was patient characteristic in Karya Bhakti Hospital has not been determined yet, and also what customers segment that was better to be developed as the potential customer. The research aim was to know customer characteristic based on geography, demography, psychograph and behavior of customer that use in patient. The potential customer could be determined by in patient class choice, and patient's loyalty. This research was quantitative and qualitative combination analylic descriptive with survey method. This research was done by stratification sampling method. Secondary data from BPS Bogor, DKK Bogor and Bogor Membangun Book was help to set the argument. The analysis was done with cross tabulation univariant and bivariant test. Based on the analysis, it was determined in patient patient's characteristics in Karya Bhakti Hospital based on in patient class choice, patient's by geography, demography, psychography and behavior of customer. This research shows that potential in patient Karya Bhakti Hospital is patients that paid the bill third party, that is from company patients. This research suggest Karya Bhakti Hospital to raise marketing intensity to the companies around Bogor, to build marketing and service team in order to create loyal customer, to develop the existing resources to do the short term and long term marketing strategy in order to reach the organization's aim and vision.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ririek Andri Christianto
Abstrak :
Dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat serta kemudahan mengakses dan mendapatkan informasi ditunjang dengan meningkatnya tingkat pendidikan , maka saat ini masyarakat menuntut pelayanan yang diterimanya harus bermutu diantaranya pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit, sebagai pelayanan yang bersifat jasa maka mutu diterjemahkan menjadi kepuasan akan pelayanan yang diberikan. Instalasi rawat jalan merupakan gerbang dan rumah sakit, jadi menggambarkan citra rumah sakit, karena dalam segi jumlah pasien bagian ini yang umumnya paling banyak dalam melayani pasien. Instalasi rawat jalan RSUD Majenang relatif masih muda usianya yakni 2 tahun dan sebagaian besar merupakan warisan dari bentuk puskesmas sebelumnya. Pada tahun 2000 terjadi penurunan jumlah pasien yang berkunjung ke instalasi rawat jalan yang berimbas pada penurunan pendapatan instalasi ini. Oleh pimpinan rumah sakit diperkirakan karena pasien tidak puas akan pelayanan yang diberikan apalagi telah beredar rumor di masyarakat bahwa karyawan rumah sakit kurang ramah dalam melayani pasien. Hal yang menjadi inti penelitian ini yakni ingin menganalisa kepuasan pasien dengan pasien dan karyawan instalasi rawat jalan sebagai obyek penelitian. Dasar teori yang dipergunakan ada dua yakmi dari servequal dan ultimate patient satisfaction yang digabungkan menjadi satu. Servequal mewakili sudut pandang pelanggan dalam hal ini pasien sedangkan UPS mewakili sudut pandang karyawan rurnah sakit. Alasan penggabungan ini karena dalam pelayanan terdapat dua sisi yang saling berkaitan, yakni karyawan sebagai pihak yang memberikan pelayanan dan disisi lain pasien sebagai yang menerima pelayanan yang diberikan. Maka dalam penelitian ini saya mencoba melihat dua sisi tersebut dalam menganalisa kepuasan pasien. Instrumen penelitian digunakan kuesioner yakni kuesioner A dan B diambil clan UPS sedangkan C 1 dan C 2 diambil dari servequal yang disebarkan ke pasien dan karyawan di tiga poliklinik yakni poli umum, poli kebidanan dan kandungan, serta poli anak. Hasil penelitian adalah bahwa pasien kurang puas akan pelayanan yang diberikan di instalasi rawat jalan RSUD Majenang ( 49%) dan karyawan kurang memahami pentingnya sikap/perilaku dalam melayani pasien sehingga pasien kurang puas akan pelayanan yang diberikan. Usulan dari penelitian ini adalah perbaikan sikap/perilaku karyawan dalam melayani pasien dan pembentukan team gugus kendali mutu. Semoga saran ini dapat membantu RS UD Majenang mengembalikan citra rumah sakitnya sehingga jumlah kunjungan pasien diharapkan dapat meningkat. ...... The Analysis of Patient Satisfaction in Policlinic Installation of District Hospital Majenang, 2000.With the growth up of society consciousness, openness accessibility, information and supported by education level of Society, now the society demand high quality of services, including health services provided by hospital. Then, as services product, hospital services are defined as satisfaction on services, provided by hospital. The Policlinic is a gateway of hospital, and describing the hospital image, because in quantity of patients, this part gives much more services than another parts. The Policlinic of District hospital of Majenang, relatively new at age, 2 years. And most parts of it are heritage of last Puskesmas. On the years of 2000, the decreasing quantity of patients visited this policlinic, gives impact to the revenue of this installation. The Director of the hospital assumed its all because the patients dissatisfaction with services provided by hospital, and the rumors of policlinic employee inhospitality in servicing patients. This research focusing on analysis to patients satisfaction and patients and employee as the object of this research. There are two basic theory used for this which are servequal and ultimate patient satisfaction combine to unite. Servequal represent patient, on other hand ultimate patient satisfaction represent hospital staffs. The reason for this is because in the service area, there are two parts interrelated, employee as a party provides services and patients as a part who accept the services. So, in this research I tried to look this both parts on analysis of patients satisfaction. The research instrument used questioner A and B taken from ultimate patient satisfaction, while C 1 and C 2 taken from servequal gives to patient and hospital staffs in three installation which are general policlinic, pediatric policlinic and abstetric and gynecologic policlinic. The result of this research shows, the patients are not satisfied with the policlinic services of district hospital Majenang (49 %) and the employee less understand with the importance of attitude in servicing patients. so it makes dissatisfaction of services that had given. This research proposed recovery of employee attitude in order of servicing the patients and the establishing of quality control committee. I hope my suggestion may support the district hospital Majenang recover its image and then may increasing the quantity of patients visiting this hospital.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T409
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Gordon
Abstrak :
Study Case For Control of The Use of Health Service By BTA Lung Tuberculosis Sufferers at Kapuas Hulu Regency Community Health Centers in The Year of 2000.

Up to now, lung tuberculosis (Tb) is a major community health problem. It is estimated that one third of the world population are the victims of the disease. Most of them (95 %) come from the developing countries. The low discovery of lung Tb sufferers (33%) has caused the disease transmission chain very difficult to broken causing approximately 8 millions of the world population to suffer from the disease, and 3 millions of them die each year. Indonesia is one of the developing countries with approximately 450,000 Tb cases (prevalence rate 0.22 %) and 175,000 Tb death each year, making is the third largest Tb contributor in the world.

Kapuas Hulu Regency (West Kalimantan Province) has 200,000 population. Although DOTS Strategy has been implemented gradually in the area since 1996 and adopted by all of the community health centers since 1999, there are only 33 % of estimated Tb cases can be discovered. This condition reflecting the phenomenon of community behavior towards the use of health service facility, especially the community health centers at Kapuas Hulu Regency. Thus, it induces questions about factors affecting the use of health service at the community health center by lung Tb patients.

In identifying the problem, since there are many factors affecting the use of community health center, this research used case control design with Green Theory approach (1980). Cases in this research were the BTA (+) lung Tb sufferers who were encountered through field survey during the research. While controls consisted of BTA (+) lung Tb sufferers who were listed in the Tb registry of the health centers.

Bipartite analysis shows that variables related to the use of health service in community health center are education with Odds Ratio 1.91, knowledge with OR 2.16, cost with OR 2.30, distance with OR 2.24, Transportation facility with OR 8.10, Health information OR 2.46, and service by health person with OR 2.41.

Multivariate analysis with logistic regression shows that variables related to the use of community health center by the BTA (+) lung Tb patients based on the contribution of transportation facility, knowledge, and health information, with its logistic equation : fog it (use of health service) - 2.876 + 2.547 (transportation) + 1.180 (knowledge) + 1.083 (health information).

In conclusion, knowledge, education, cost, transportation facility, distance. health information and service by health person can affect the behavior of lung Tb suffers in utilizing health service facility at the community health center. Above all, the availability of transportation facility is the most dominant factor.

Result from the study recommend that the community health centers and regency health service need to increase the frequency of health education regarding lung Tb to the community, using more understandable and simple methods. The regency government is advised to build facilities to increase community access to the health service. Health service approaching to the community is the easiest way to do for the community health center.
Library : 23 (1979-1999).
Penyakit tuberkulosis paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi penyakit tuberkolosis paru ini. Sebagian besar (95 %) dari penderita tersebut berada pada negara berkembang. Rendahnya penemuan penderita Tb paru (33%) membuat rantai penularan semakin sulit diputuskan, sehingga diperkirakan terdapat 9 juta penduduk dunia diserang Tb paru dengan kematian 3 juta orang pertahun. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang, diperkirakan setiap tahunnya terjadi 583.000 kasus Tb (prevalence rate 0,22 %) dan 140 ribu meninggal setiap tahunnya, sehingga menyumbang Tb paru terbesar ketiga.

Kabupaten Kapuas Hulu yang terletak pada Propinsi Kalimantan Barat dengan penduduk lebih kurang 200.000 jiwa, baru dapat menemukan penderita Tb paru sekitar 33 %, walaupun sejak tahun 1996 strategi DOTS sudah digunakan secara bertahap dan tahun 1999 seluruh puskesmas sudah mengadopsinya.

Rendahnya penemuan penderita Tb paru ini merupakan gambaran fenomena perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan khususnya puskesmas di Kabupaten Kapuas Hulu. Oleh karena itu menjadi pertanyaan faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh penderita Tb paru di puskesmas.

Untuk mengidentifikasi hal tersebut, penelitian ini menggunakan disain kasus kontrol dengan pendekatan teori Green (1984), mengingat bahwa banyak faktor - faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh penderita Tb paru di puskesmas. Kasus dalam penelitian ini adalah penderita Tb paru BTA (+) yang ditemukan melalui survei lapangan pada saat penelitian dilakukan. Sedangkan kontrol adalah pcnderita Tb paru BTA (+) yang ditemukan dalam register pengobatan Tb paru jangka pendek.

Analisis bivariat menunjukkan bahwa variahel yang herhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di puskesmas adalah pendidikan dengan Odds Rasio (OR) 1,91 , pengetahuan dengan OR 2,16 , biaya dengan OR 2,30 , jarak dengan OR 2,24 , sarana transportasi dengan OR 8,10 , penyuluhan dengan OR 2,46 , dan pelayanan petugas dengan OR 2,41.

Analisis multivariat dengan regresi logistik mcnunjukkan bahwa variabel yang herhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh penderita Tb paru BTA (+) di puskesmas berdasarkan kontribusinya secara berurutan adalah Sarana transportasi, pengetahuan, dan penyuluhan dengan model persamaan logistiknya : Logit (pemanfaatan pelayanan kesehatan) = - 2,876 + 2,547 (transportasi) + 1,180 (pengetahuan) + 1,083 (penyuluhan).

Sebagai kesimpulannya adalah faktor pengetahuan, pendidikan, biaya, transportasi, jarak, penyuluhan, dan pelayanan petugas dapat mempengaruhi perilaku penderita Tb paru dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di puskesmas, dan ketersediaan sarana transportasi merupakan faktor yang paling dominan.

Disarankan kepada puskesmas dan dinas kesehatan kabupaten untuk meningkatkan frekuensi penyuluhan tentang Tb paru kepada masyarakat dengan menggunakan metoda yang mudah dimengerti masyarakat. Juga kepada Pemerintah Daerah disarankan untuk membangun sarana dan prasarana yang memudahkan akses masyarakat kepada pelayanan kesehatan. Mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat merupakan alternatif yang paling mudah dilakukan oleh puskesmas.
Kepustakaan : 23 ( 1979 - 1999 )
2001
T2091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pirade, Adolfina
Abstrak :
Salah satu kesepakatan Internasional dalam meningkatkan angka kesembuhan penyakit tuberkulosis paru adalah memberikan pengobatan dengan sistem DOTS. Indonesia telah memulai program DOTS ini sejak tahun 1995 yang dilaksanakan secara bertahap di provinsi, khususnya di DKI Jakarta telah dimulai sejak Juli 1997. Sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan Program P2TB Paru bahwa seorang penderita dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada akhir bulan ke-516 dan akhir pengobatan. Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di Jakarta Pusat ternyata bahwa 38,4% penderita TB paru yang selesai berobat tidak memeriksakan ulang dahaknya, sampai saat ini belum ada penelitian di DKI Jakarta mengenai faktor yang berhubungan dengan pemeriksaan ulang dahak. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak di puskesmas Jakarta Pusat. Disain penelitian digunakan yaitu kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB paru baru BTA positif telah selesai pengobatan kategori 1 berumur 15 tahun keatas yang berobat di puskesmas Jakarta Pusat. Besar sampel 150 orang yaitu sampel kasus sebanyak 75 orang dan sampel kontrol 75 orang. Hasil penelitian dilakukan analisis multivariat dengan logistic regression dengan maksud untuk mengetahui hubungan variabel dependen dengan variabel independen. Berdasarkan hasil analisis bivariat dari 15 variabel maka didapatkan variabel yang nilai p<0,25 ada 9 variabel, ternyata pada analisis multivariat didapatkan hanya 3 variabel yang berhubungan bermakna (p<0,05) yaitu pengetahuan (OR=28,44 95% CI 4,66-173,62), persepsi (DR 13,90 95% CI 3,54-54,57), kemudahan mengeluarkan dahak (OR=7,54 95% CI 3,31-17,18), serta interaksi antara pengetahuan dengan persepsi (0R=0,11 95%CI 0,14-0,81) dan nilai p=0,031. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dengan pengetahuan rendah, persepsi buruk, sukar mengeluarkan dahak dan interaksi antara pengetahuan kurang dan persepsi buruk secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak penderita TB paru baru BTA positif di puskesmas Jakarta Pusat tahun 2000. Sesuai dengan hasil demikian maka disarankan agar dilakukan penyuluhan kepada penderita sebelum pengobatan dan setiap penderita melaksanakan pengambilan obat oleh petugas program P2TB di puskesmas, sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan petugas kesehatan yang mampu dan mau benar-benar melaksakanan pekerjaan ini tentunya dengan pelatihan, supervisi dan pertemuan yang membahas masalah pelaksanaan Program TB Paru di puskesmas.
Study of Factors Associated With Not to Re-Examine Their Sputum among New Cases with Positive Fast Acid Bacilli Pulmonary Tuberculosis in Health Centers in Central JakartaOne of the International commitments in increasing the cure rate of pulmonary tuberculosis is to give therapy with DOTS system. Indonesia has started the DOTS program since 1995 beginning in some provinces and gradually expanded to the others. Jakarta began the program in 1997. According to the criteria set by the Pulmonary TB Eradication Program, a patient is cured if laboratory examination of the sputum shows negative result by the end of the 5th or 6th month of therapy and by the end of the therapy. Secondary data collected in Central Jakarta showed that 38.4% of TB patients which have completed their therapy did not re-examine their sputum. So far there was no study in Jakarta which tried to find out factors related to this re-examination rate. This research was conducted to know what factors that influence TB patients not to re-examine their sputum in Health Centers in Central Jakarta. The research design used is a case control study where samples were taken from new pulmonary TB patients with positive Fast Acid Bacilli having completed their Category I therapy, aged more than 15 years who came to health centers in Central Jakarta. The sample size was 150, consists of 75 cases and 75 controls. The data were analyzed by multivariate analysis using logistic regression to know the relation between dependent variables with independent variables. Bivariate analysis from 15 variables showed that 9 variables had p value < 0.25, while multivariate analysis showed that only 3 variables had significant relation (p <0.05), knowledge (OR = 28.44 95% CI 4.66-173.63) p = 0.000, perception (OR = 13.90 95% CI 3.54- 54.57) p = 0.000, the ease to produce sputum (OR = 7.54 95% CI 3.31-17.18) p= 0.000 and interaction between knowledge and perception (OR = 0.11 95% CI 0.14- 0.8I) p = 0.031. The conclusion of this research is that low knowledge, bad perception, difficulties in producing sputum and interaction between lack of knowledge and bad perception have significant relation (p < 0.05) with the unwillingness to re-examine the sputum among new pulmonary TB patients with positive AFB who came to health centers in Central Jakarta in 2000. Therefore it is suggested that TB program officers in health centers give proper information/education to the patients before starting the TB therapy and every time the patients come to get the TB drugs and hence we need to have officers who are capable and willing to do their work and this certainly can be created by training, supervisions and series of meeting which discuss about pulmonary TB program in health centers.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T5783
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idrus Salim
Abstrak :
Proporsi ketidakpatuhan penderita Tb paru berobat di beberapa daerah di Indonesia, angkanya bervariasi dan umumnya masih tinggi mulai dari 30 % sampai dengan 65 %. Kepatuhan berobat sangat penting karena berhubungan dengan resistensi. Di Kota Padang Propinsi Sumatera Barat penderita Tb paru dengan pengobatan kategori 1, tidak patuh berobat sebesar 38,88 %, sehingga kemungkinan terjadinya resistensi masih cukup tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi penderita terhadap peran pengawas menelan obat dengan kepatuhan penderita Tb paru berobat di kota Padang tahun 2001. Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu satu setengah bulan dengan menggunakan data primer. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus kontrol. Sampelnya adalah sebagian atau seluruh penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang berobat ke Puskesmas di Kota Padang dari 1 Januari 2001 s/d 31 Desember 2001 yang memdapat obat anti tuberkulosis (OAT) kategori I. Jumlah sampel sebesar 260 responden, yang terdiri dari 130 responden sebagai kasus dan 130 responden sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa probabilitas penderita Tb paru BTA positif yang tidak patuh berobat terpapar oleh aktivitas PMO kurang baik 18,95 kali lebih besar, dibandingkan dengan probabilitas penderita Tb paru BTA positif yang terpapar dengan aktivitas PMO baik, setelah dikontrol oleh penghasilan keluarga dan pengetahuan penderita. Pengukuran dampak potensial memberikan informasi adanya kantribusi aktivitas PMO kurang baik terhadap terjadinya ketidakpatuhan penderita Tb paru BTA positif berobat di Kota Padang sebesar 81,46 %. Penelitian ini menyarankan kepada pengelola program perlu meningkatkan pengetahuan dan motivasi pengawas menelan obat, agar dalam melaksanakan tugas pengawasannya berjalan secara aktif. Meningkatkan pengetahuan penderita mengenai penyakit Tb paru serta akibat bila tidak patuh berobat. Dan perlu di teliti lebih lanjut terhadap variabel jenis PMO dan pekerjaan serta penghasilan keluarga dengan sampel yang lebih besar.
The Relationship of the Perception of Tb Patients on the Role of Treatment Observer and Compliance of Pulmonary Tuberculosis Patients in Padang, 2001The proportion of tuberculosis patients who does not take treatment regularly in Indonesia varies with areas, with the number ranging from 30 to 65%. Regularity in taking treatment is very crucial because it relates to drug resistance. In Padang, West Sumatra, category I tuberculosis sufferers who do not take treatment regularly is 38, 88%. Hence, the possibility of resistance is still high. The objective of the research is to study the perception relationship between the role of drug intake supervisors (DIS) or treatment observer and compliance of pulmonary tuberculosis patient attending the treatment in Padang in 2001. This study was conducted during a month and a half period using primary data. The design used is case-control study. Its sample consists of all pulmonary TB patient age 15 or above who take treatment at public health centers in Padang from January 1 to December 31, 2001. All of TB patient received-category I anti-tuberculosis drugs. The size of the sample is 260; the respondents consist of 130 as cases and another 130 as controls. The study found that the probability of positive sputum acid fast bacilli (category I) pulmonary TB patient who do not take treatment regularly under insufficient supervision of drug intake supervisors (DIS) is 18.95 times higher than the probability of category I pulmonary TB patients who do not take treatment regularly under sufficient supervision of drug intake supervisors (DIS), after improvement of family income and knowledge level of TB patients. As a conclusion, potential impact measurement provide information that insufficient activities of drug intake supervisors contribute to the irregularity of category I pulmonary TB patients in taking treatment in Padang of 81.46%. It is recommended to all program directors to improve knowledge and motivation of treatment observer and compliant in order to increase effectiveness of their supervisory duties. In addition, they should also improve knowledge of pulmonary TB patients and communicate negative impacts of not taking treatment regularly. And research of this kind should be expanded in the future, especially that relates to drug intake supervisors types, jobs, and family income, with bigger samples.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T7857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rozali Namursa
Abstrak :
ABSTRAK
Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Para) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kunci utama dalam pemberantasan penyakit ini adalah keteraturan berobat penderita. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan berobat penderita TB Paru.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni dan Juli tahun 2000. Disain penelitian adalah cross sectional. Populasi penelitian adalah penderita yang mulai berobat di BP4 kota Palembang selama bulan Januari - Desember 2000 dan di diagnose sebagai penderita TB Paru. Sample diambil secara purposif berjumlah 221 orang, merupakan seluruh penderita yang berobat di BP4 kola Palembang pada bulan Januari - Desember 1999 dan di diagnose sebagai penderita TB Paru.

Dari 221 responden dalam penelitian, 35% diantarannya tidak teratur minum obat. Hasil analisis bivariat terhadap 14 variabel bebas dengan variabel terikat, menghasilkan 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p<0,05) dengan keteraturan berobat, yaitu : sikap pengobat Odds Rasio = 1,987 (95% CI 1.112 - 3.549), jarak ke tempat pengobatan Odds Rasio = 2,171 (95% CI 1.173 - 4.017), persepsi tentang TB Paru Odds Rasio = 3,125 (95% CI 1.138 -- 8.581), manfaat berobat teratur Odds Rasio = 3,648 (95% CI 1.870 - 7.115) dan biaya pengobatan Odds Rasio = 2,754 (95% CI 1.542 - 4.919).

Hasil analisis multivariate dengan menggunakan regresi logistik metode Backward Stepwise dari 5 variabel bebas yang berhubungan bermakna pada analisis bivariat, ternyata hanya 2 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p<0,05) dengan keteraturan berobat,yaitu" biaya pengobatan Odds Rasio 2,2605 (95% CI 1.2370 - 4.1310) dan manfaat berobat teratur Odds Rasio = 2,9716 (95% CI 1.4900 - 5.9267).

Disarankan perlu penyuluhan tentang manfaat berobat teratur bagi penderita TB Paru dan penelitian lebih lanjut mengenai pembiayaan pengobatan TB Paru. Daftar Pustaka 44 : (1974 - 2000).

abstract
Pulmonary Tuberculosis has been a serious public health problem among people in the developing countries as well as Indonesia. The primary key to eliminating this disease is the regularity of taking medicine (compliance).

This research aimed to discover the factors related to the regularity of taking medicine among Pulmonary Tuberculosis patients who were undergoing treatment at Lung Clinic or BP4 Palembang from January through December 1999. The research was done in June and July 2000 with cross sectional method. The population was all patients under treatment of Pulmonary Tuberculosis in January through December 2000. The sample was taken purposively as many as 221 people.

Multivariate analysis shows that patients (33.5%) are irregularity taking medicine. Bivariate analysis towards 14 independent variables with dependent variables indicates 5 variables which have significantly relationship (p<0.05) with the regularity of taking medicine, that is : the attitude of provider Odds ratio = 1.987 (95% CI 1.112 - 3.549), the distance to the medical facility Odds ratio = 2.171 (95% CI 1.173 - 4.017), the perception about Pulmonary Tuberculosis Odds ratio = 3.125 (95% CI 1.138 - 8.581), the effectiveness of the regularity of taking medicine Odds ratio = 3.648 (95% CI 1.870 - 7.115) and medical cost Odds ratio = 2.754 (95% CI 1.542 - 4.919).

The multivariate analysis, using logistic regression of Backward Stepwise method, towards 5 independent variables having significant relationship (p<0.05) with the regularity of taking medicine, both are the medical treatment cost Odds ratio = 2.2605 (95% CI 1.2370 - 4.1310) and the effectiveness of the regularity of taking medicine Odds ratio .- 2.9716 (95% CI 1.4900 -5.9267).

The conclusion is that the factor of the regularity of taking medicine among patients of Pulmonary Tuberculosis is strongly influenced by the factor of the effectiveness of the regularity of taking medicine.

It is necessary to recommend more information about the effectiveness of the regularity of taking medicine to the patients of Pulmonary Tuberculosis as well as further research action, to get more knowledge about how strong the influence of medical cost is.

1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Marlinggom
Abstrak :
ABSTRAK
Penyakit tuberkulosis di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, dimana WHO memperkirakan insiden kasus baru = 285/100.000, BTA+ = 128/100.000 dan prevalensi = 786/100.000. Penyakit tuberkulosis juga merupakan penyebab kematian nomor 1 diantara penyakit infeksi.

Dalam upaya memutus rantai penularan penyakit diperlukan waktu pengobatan minimal 6 bulan. Oleh karena itu keberhasilan pengobatan sangat tergantung pada perilaku penderita dalam menjamin ketaatan minum obat, disamping ketersediaan obat anti tuberkulosis di tempat pelayanan pengobatan.

Dari berbagai penelitian diketahui bahwa proporsi penderita yang tidak taat atau yang putus berobat sebelum waktunya masih cukup tinggi, berkisar antara 5,7% - 42,7%. Berbagai faktor diduga berhubungan dengan terjadinya putus berobat pada penderita tuberkulosis, antara lain adalah kegagalan penyampaian informasi. Kegagalan penyampaian informasi dapat berasal dari kesalahan dalam menentukan sasaran penyuluhan, frekuensi penyuluhan, materi penyuluhan dan menentukan penggunaan media / alat bantu dalam penyuluhan.

Untuk mengetahui apakah faktor-faktor tersebut berhubungan dengan putus berobat maka dilakukan penelitian hubungan faktor komponen penyuluhan dengan putus berobat pada penderita tuberkulosis yang dilakukan di Jakarta Selatan.

Penelitian menggunakan desain kasus kontrol dengan besar sampel minimal 152 untuk masing-masing kelompok kasus dan kontrol. Sampel untuk kelompok kasus, berasal dari jumlah seluruh kasus yang ditemui di Jakarta Selatan, sedangkan untuk kelompok kontrol diperoleh dengan cara melakukan pemilihan secara acak sederhana (simple random sampling).

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa secara statistik faktor sasaran penyuluhan berhubungan dengan putus berobat OR = 2,04 pada 95% C.I : 1,02 - 4,10 dan p = 0,04. Demikian pula dengan faktor penggunaan media dalam penyuluhan, secara statistik menunjukkan hubungan yang bermakna dengan putus berobat di Jakarta Selatan dengan OR = 3,69 pada 95% C.I : 1,62 - 8,42 dan p=0,002.

Faktor banyaknya materi penyuluhan yang diberikan dan faktor frekuensi penyuluhan tidak memberikan hubungan yang bermakna dengan putus berobat di Jakarta Selatan.

Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa risiko putus berobat seorang penderita tuberkulosis, 2 kali lebih besar bila penyuluhan diberikan hanya pada penderita dibanding bila penyuluhan diberikan juga pada anggota keluarga. Dan 3,7 kali lebih besar bila penyuluhan dilakukan tanpa menggunakan media dibanding bila penyuluhan menggunakan media.

Dari kenyataan tersebut maka disarankan kepada pengelola program untuk selalu mengikutkan anggota keluarga sebagai sasaran dalam penyuluhan dan selalu menggunakan media dalam melakukan penyuluhan.
ABSTRACT
Relationship between Health Education Substances Factor and Defaulted Tuberculosis Patient in South Jakarta 1999Tuberculosis diseases remain a major public health problem in Indonesia. WHO estimated for new cases incidence 285/100.000 with smears positive incidence 128/100.000 and prevalence cases 786/100.000. Tuberculosis disease also was the commonest cause of death in Indonesia due to infectious diseases.

Treatment for tuberculosis diseases needed at least 6 months to interrupt the chain of transmission. Despite the available of drug regimens at the treatment service, success in controlling the tuberculosis disease especially treatment effort depend on patient behavior to ensure patient compliance.

From such studies that were undertaken, it shows that defaulted proportion was remaining high, account from 5.7% - 42.7%. Some factor, were assumed that caused defaulted tuberculosis patient. Failure of adequate explanation to the patient is ones of the factors that could be caused defaulted treatment. Failure to give adequate explanation especially about treatment information that patient must be taken, came from a failure to decide who is the target of health education, how many frequent health education should be taken, failure to decide health education material should be given and failure of media used in health education.

To know which factor was associated with defaulted patient, a study of Relationship between Health Education Component Factors and Defaulted Tuberculosis patient were conducted. A study was done in South Jakarta considering data from tuberculosis patient during 1999.

Study was conducted with case control design in which sample sizes were 152 samples in each group cases and controls. Cases were taken from all defaulted cases in South Jakarta during 1999, and controls were taken by selected from control sampling frame by simple random sampling.

Study result, shows that association between health education target and defaulted patient statistically significant, account for OR 2.04 (95 C.I: 1.02 - 4.10) and p value 0.04. Similarly, association between media using factor and defaulted patient significantly also, with OR 3.69 (95 C.I: 1.62 - 8.42) and p value 0.002. Association between both frequency and material of health education, were statistically not significant.

From that study result, defaulted risk is 2 times larger on tuberculosis patient which explanation just given to the patient than if explanation given to the family member also. And patients who receive explanation without media used had defaulted risk 3.7 times larger than patients who received explanation with media used.

Study recommends to the tuberculosis program officer, that member of the family should be involved as the target on health education, and should be using media when giving some explanation.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukmahadi Thawaf
Abstrak :
ABSTRAK
Penyakit TB Paru adalah penyakit infeksi kronis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diperkirakan setiap tahun di Indonesia terdapat 583.000 kasus Baru TBC , dimana 200.000 penderita terdapat disekitar Puskesmas.

Puskesmas Jayagiri di kabupaten Bandung memiliki masalah cakupan pelayanan penderita TB paru yang rendah , sehingga dilakukan studi ini yang hertujuan mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan pertama kali tersangka penderita TB Paru .

Penelitian ini menggunakan Disain Cross sectional dimana sampel penelitian adalah seluruh tersangka penderita Tb paru yang ditemukan melalui skrining sebanyak 338 penderita.

Hasil studi ini kami dapatkan Proporsi tersangka penderita TB Paru diwilayah kerja Puskesmas Jayagiri Kecamatan Lembang adalah sebesar 0,79 %,

Perilaku Pencarian pengobatan pertama kali tersangka TB Paru diwilayah kerja Puskesmas Jayagiri Kecamatan Lembang tindakan pertama pencarian pengobatan ke puskesmas sebesar 30,7 % non puskesmas 69,3%, dan dari seluruh variabel yang diamati faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan tersangka penderita TB Paru adalah yaitu Variabel Persepsi biaya, Variabel Persepsi penyakit, Variabel Pengetahuan TB paru, Variabel status pekerjaan, variabel persepsi menyembuhkan dan variabel anjuran berobat.

Selanjutnya studi ini merekomendasikan agar Puskesmas meningkatkan mutu penyuluhan dan sosialisasi Strategi DOTS sehingga bisa terjadi perbaikan persepsi terhadap TB paru. Yang pada akhirnya meningkatkan cakupan pelayanan Puskesmas dan atau disarankan untuk memperluas pelayanan strategi DOTS ke pelayanan Rumah sakit dan pelayanan swasta lainnya.
ABSTRACT
Indonesia is approximatly has 583,000 new TB cases. It is estimated that 200,000 cases are around Community Health Centre (CHC.

The coverage of TB cases in Puskesmas Jayagiri, Bandung District is low, therefore the study aims to determine factors related to the first medical treatment seeking behavior by the suspect of pulmonary tuberculosis in puskesmas.

The study using cross sectional design, the samples are the whole of pulmonary TB suspected cases founded by screening, with the total number is 338 cases.

Conclusions: The study founde proportion of suspected pulmonary TB founded in the area of Puskesmas Jayagiri, Lembang is 0.79 %, and the first health seeking behavior of pulmonary TB suspected in the area of jurisdiction of Puskesmas Jayagiri, Lembang, such as the first action of seeking behavior treatment to the CHC is the 30.7 %, non-CHC 69.3 % and based on the all observed variables factors which related to the first health seeking behavior of pulmonary TB suspected are : cost perception, occupation, disease perception, sick period, distance perception and curing suggestion.

Furthermore, this study suggested to increase the quality of personal health education and socialization of directly observed treatment short course (DOTS) strategy, to increase the coverage of TB case finding and expanded DOTS strategy service to hospital and the other private sector.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>