Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saragih, Riahdo Juliarman
"Latar Belakang: Ventilator-associated pneumonia (VAP) merupakan infeksi yang sering terjadi di intensive care unit (ICU) dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pengetahuan tentang prediktor mortalitas dapat membantu pengambilan keputusan klinis untuk tatalaksana pasien. Studi-studi tentang faktor prediktor mortalitas VAP menunjukkan hasil yang berbeda-beda dan tidak ada penelitian yang komprehensif di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien VAP di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien ICU RSCM yang didiagnosis VAP selama tahun 2003-2012. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (hidup atau meninggal) selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan pada variabel kelompok usia, infeksi kuman risiko tinggi, komorbiditas, renjatan sepsis, kultur darah, prokalsitonin, ketepatan antibiotik empiris, acute lung injury, skor APACHE-II, dan hipoalbuminemia. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 201 pasien diikutsertakan pada penelitian ini. Didapatkan angka mortalitas selama perawatan sebesar 57,2%. Kelompok usia, komorbiditas, renjatan sepsis, prokalsitonin, ketepatan antibiotik empiris, dan skor APACHE II merupakan variabel yang berpengaruh terhadap mortalitas pada analisis bivariat. Prediktor mortalitas pada analisis multivariat adalah antibiotik empiris yang tidak tepat (OR 4,70; IK 95% 2,25 sampai 9,82; p < 0,001), prokalsitonin > 1,1 ng/mL (OR 4,09; IK 95% 1,45 sampai 11,54; p = 0,01), usia ≥ 60 tahun (OR 3,71; IK 95% 1,35 sampai 10,20; p = 0,011), dan adanya renjatan sepsis (OR 3,53; IK 95% 1,68 sampai 7,38; p = 0,001).
Kesimpulan: Pemberian antibiotik empiris yang tidak tepat, prokalsitonin yang tinggi, usia 60 tahun atau lebih, dan adanya renjatan sepsis merupakan pediktor independen mortalitas pada pasien VAP.

Background: Ventilator-associated pneumonia (VAP) is a frequent infection with high mortality rates in intensive care unit (ICU). The prediction of outcome is important in decision-making process. Studies exploring predictors of mortality in patients with VAP produced conflicting results and there are no comprehensive reports in Indonesia.
Objective: To determine predictors of mortality in patients with VAP in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: We performed a retrospective cohort study on patients admitted to the ICU who developed VAP between 2003?2012. Clinical and laboratory data along with outcome status (survive or non-survive) were obtained for analysis. We compared age, presence of high risk pathogens infection, presence of comorbidity, septic shock status, blood culture result, procalcitonin, appropriateness of initial antibiotics therapy, presence of acute lung injury, APACHE II score, and serum albumin between the two outcome group. Logistic regression analysis performed to identify independent predictors of mortality.
Results: A total of 201 patients were evaluated in this study. In-hospital mortality rate was 57.2%. Age, comorbidity, septic shock status, procalcitonin, appropriateness of initial antibiotics therapy, and APACHE II score were significantly different between outcome groups. The independent predictors of mortality in multivariate logistic regression analysis were inappropriate initial antibiotics therapy (OR: 4.70; 95% CI 2.25 to 9.82; p < 0.001), procalcitonin > 1.1 ng/mL (OR: 4.09; 95% CI 1.45 to 11.54; p = 0.01), age ≥ 60 years old (OR: 3.71; 95% CI 1.35 to 10.20; p = 0.011), and presence of septic shock (OR: 3.53; 95% CI 1.68 to 7.38; p = 0.001).
Conclusion: Inappropriate initial antibiotic therapy, high serum procalcitonin level, age 60 years or older, and presence of septic shock were independent predictors of mortality in patients with VAP.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atit Puspitasari Dewi
"Latar belakang: Pneumonia menjadi penyebab infeksi tersering yang meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasien kanker paru. Serum procalcitonin (PCT) merupakan penanda hayati yang sering digunakan untuk mendiagnosis infeksi terutama pneumonia. Nilai titik potong kadar PCT untuk mendiagnosis pneumonia pada kanker paru sampai saat ini belum diketahui. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran PCT dalam diagnosis pneumonia pada pasien kanker paru.
Metode: Penelitian uji diagnostik dengan desain potong lintang terhadap pasien kanker paru dan terduga pneumonia di Instalasi Gawat Darurat dan ruang perawatan paru RSUP Persahabatan Jakarta bulan Agustus-Oktober 2018. Pneumonia ditegakkan berdasarkan panduan pneumonia yang dikeluarkan oleh Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pemeriksaan PCT dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar PCT pada kanker paru dengan dan tanpa pneumonia serta dilakukan analisis untuk menentukan titik potong optimal kadar PCT untuk diagnosis pneumonia pada pasien kanker paru dengan menggunakan ROC.
Hasil: Sebanyak 60 pasien kanker paru diikutsertakan. Pasien kanker paru dengan pneumonia sebanyak 31 orang (51,7%) dengan karakteristik laki-laki sebanyak 77,4% dan rerata usia 54,68±10,59 tahun, jenis kanker terbanyak adenokarsinoma (51,6%), stage IV (83,9%), skala tampilan 3 (45,2%), status gizi kurang (45,2%), dan bekas perokok (54,8%). Terdapat perbedaan bermakna median kadar PCT pasien kanker paru dengan pneumonia dibandingkan tanpa pneumonia [1,81 (0,08-200)μg/L berbanding 0,30 (0,05-3,67) μg/L;p<0,001]. Terdapat peningkatan kadar PCT pasien kanker paru dengan metastasis, komponen neuroendokrin, jumlah metastasis ≥ 2, metastasis hepar meskipun hasil ini tidak bermakna secara statistik. Serum PCT berperan lebih baik dibandingkan kadar leukosit dan hitung jenis neutrofil untuk membedakan antara pneumonia dan bukan pneumonia pada pasien kanker paru (p <0,001, p=0,297; p=0,290). Serum PCT memiliki akurasi yang baik dengan AUC 0,829 (IK 95% 0,722-0,935]. Titik potong optimal kadar PCT untuk mendiagnosis pneumonia pada pasien kanker paru adalah 0,65 μg/L dengan sensitivitas 77,4% dan spesifisitas 79,3%.
Kesimpulan: Kadar PCT pada pasien kanker paru dengan pneumonia lebih tinggi dibandingkan tanpa pneumonia. Titik potong optimal kadar PCT untuk diagnosis pneumonia pada kanker paru adalah 0,65 μg/L.

Background: Pneumonia accounts for higher morbidity and mortality than any other infections in lung cancer patients. Procalcitonin (PCT) is a clinical biomarker to diagnose infection including pneumonia. Cut off point to diagnose pneumonia in lung cancer patient still unclear. The study aims to determine the roleof PCT in diagnosing pneumonia in lung cancer patients.
Methods: Diagnostic test with cross sectional design was conducted in lung cancer patients with suspected pneumonia admitted to emergency and pulmonary ward of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August – October 2018. A diagnosis of pneumonia was complying to the guideline provided by the Indonesian Society of Respirology. Serum PCT level (sPCT) between lung cancer patients with and without pneumonia was measured followed by statistical analysis. The optimal sPCT cut off point to diagnose pneumonia in lung cancer was determined using ROC curve.
Result: From sixty patients, lung cancer patients presented with pneumonia was found in 31 patients (51.7%) with mean age 54.68±10.59 yo, which 77.4% were males, 51.6% were adenocarcinomas, 83.9% were stage IV cases, 45.2% were patients with ECOG performance status of 3, 45.2% were underweight and 54.8% were ex-smokers. The sPCT were significantly higher in lung cancer with pneumonia compared to those without pneumonia [1.81 (0.08-200)μg/L vs 0.30 (0.05-3.67) μg/L; p<0.001]. The sPCT were higher in lung cancer accompanied with metastasis, neuroendocrine component, ≥2 metastatic sites and liver metastatic, although these results were not statistically significant. The sPCT showed a better performance in differentiating pneumonia in lung cancer compared to leucocyte count and absolute neutrophil count (p <0.001, p=0.297; p=0.290, respectively). The sPCT showed a good accuracy to diagnose pneumonia in lung cancer with AUC 0.829 (CI 95% 0.722-0.935). The optimal cut off point of sPCT to diagnose pneumonia in lung cancer was 0.65 μg/L with 77.4% sensitivity and 79,3% specificity.
Conclusion: The sPCT was significantly higher in lung cancer with pneumonia than those without pneumonia. The optimal cut off point of sPCT to diagnose pneumonia in lung cancer was 0.65 μg/L.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Wina Karinasari
"Latar belakang: Pneumonia rumah sakit adalah infeksi paru yang didiagnosis setelah rawat >48 jam setelah masuk rawat dan tanpa adanya tanda infeksi paru pada saat awal perawatan atau pneumonia yang didiagnosis pada saat awal masuk perawatan dengan riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya dengan jarak antar rawat inap 10-14 hari. Pneumonia rumah sakit merupakan salah satu infeksi nosokomial yang sering terjadi pada perawatan pasien anak di rumah sakit. Kasus pneumonia rumah sakit dapat berakibat meningkatkan angka kesakitan dan kematian, memperpanjang lama rawat inap serta biaya yang dikeluarkan. Tujuan: mengetahui karakteristik dan proporsi mortalitas pneumonia rumah sakit pada anak. Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap subyek usia >1 bulan dan ≤18 tahun di RSCM selama 2015-2018 melalui telusur rekam medis. Hasil: Sebanyak 86 subyek didapatkan dengan karakteristik subyek dengan pneumonia rumah sakit terbanyak pada penelitian ini adalah usia 1-24 bulan, memiliki lebih dari satu komorbiditas status nutrisi gizi baik dan memiliki awitan lambat. Simpulan: Subyek dengan pneumonia rumah sakit terbanyak pada penelitian ini mempunyai karakteristik usia 1-24 bulan, memiliki lebih dari satu komorbiditas, status nutrisi gizi baik, memiliki lama rawat 8-14 hari, dan berawitan lambat. Proporsi mortalitas subyek dengan pneumonia rumah sakit pada penelitian ini sebesar 24,4%. Karakteristik mortalitas juga dapat dipengaruhi oleh status nutrisi yaitu gizi buruk, kelompok usia, jenis komorbiditas, lama rawat dan jenis awitan.

Background: Hospital-acquired pneumonia (HAP) is defined as a pulmonary infection that occurs >48 hours after admission to hospital or within 10-14 days after discharge. It is the most common hospital-acquired infection in children. Its occurrence represents increase hospital stay, additional cost, morbidity and mortality. Objective: To investigate the characteristic and mortality of hospital-acquired pneumonia in children Methods: It is a retrospective cohort study involving 86 subjects through medical records, inclusive to >1 months old - ≤18 years old patients, in RSCM Jakarta within 2015-2018. Results: There are 86 subjects with characteristic of HAP in this study are age 1-24 months old, has more than one comorbidity, good nutritional status and late onset. Conclusion: General characteristic of HAP in this study are, age 1-24 months old, has more than one comorbidity, good nutritional status, length of stay 8-14 days and late onset. The mortality proportion of HAP in this study is 24.4%. The mortality characteristic was influenced by nutritional status (severe malnutrition), comorbidities, age, length of hospital stay and onset of the disease."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library