Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diyauddin
"Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto adalah sebuah periode sejarah bangsa dimana seluruh potensi nasional (kementerian dan lembaga) tersubordinasi dalam konteks politik saat itu. ABRI yang merupakan salah satu elemen paling vital dalam menjalankan roda pemerintahan Orde Baru dan pendukung utama Golkar dengan konsep Dwi Fungsinya akhirnya terlibat jauh dalam urusan-urusan politik. Dengan itu, seluruh institusi intelijen yang berada di bawah naungan ABRI baik secara langsung dan tak langsung terpolitisasi oleh kepentingan Soeharto sebagai pengguna intelijen (user) dan penentu kebijakan (policy maker).
Dalam sebuah negara yang dikelola secara otoriter dengan kepemimpinan yang diktator akhirnya menjadikan institusi intelijen sebagai sebuah lembaga "intelijen politik", selain itu, seluruh institusi intelijen mengalami "militerisasi" dengan tidak adanya diferensiasi intelijen yang membawa negara dalam bentuk "negara intelijen". Politisasi institusi intelijen di masa orde baru terjadi dari berbagai spektrum baik dari sudut pandang pengguna, analis, aktivitas maupun organisasi intelijen. Di periode ini, intelijen bekerja sesuai dengan preferensi politik pribadi pengguna intelijen.
Untuk menghindari politisasi dan penyalahgunaan intelijen, diperlukan sebuah mekanisme yang dapat mengatur pengawasan terhadap badan intelijen sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Netralitas dan penguatan struktur lembaga intelijen dapat dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh parlemen sesuai yang telah dimandatkan undang-undang. Pengawasan oleh badan pengawas intelijen akan bekerja untuk mengawasi aktivitas, operasi dan penganggaran yang terkait dengan intelijen.
......
Indonesia under Suharto was a historic period in which all of national potential (ministries and agencies) subordinated in the current political context. Armed Forces (ABRI) which is one of the most vital element in running the New Order regime and the Golkar major supporter of the concept of Dwi Fungsi deeply involved in political affairs. With that, the entire intelligence institutions under the auspices of the Armed Forces (ABRI), both directly and indirectly by the interests of Suharto as politicized intelligence users and policy makers.
In an authoritarian state run by a dictator leadership eventually make intelligence institutions as an institution 'political intelligence', other than that, the whole experience intelligence institutions 'militarization' in the absence of differentiation of intelligence that brings the state in the form of 'intelligence state'. Politicization of intelligence in the new order of the various spectrum occurs from the standpoint of users, analysts, and the activities of intelligence and organizations. In this period, intelligence work in accordance with the user's personal political preferences.
To avoid politicization and misuse of intelligence, we need a mechanism that can manage the oversight of intelligence services in accordance with the principles of democracy. Neutrality and strengthening the structure of the intelligence agencies can be mechanisms of control by the appropriate parliamentary legislation mandated. Supervision by the oversight body will work to oversee intelligence activities, operations and budgeting related to intelligence."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhenna Zakia Amelia
"In 2019, the Indian parliament enacted the Citizenship Amendment Act (CAA), which gives a fast-track citizenship for immigrants of Hindu, Sikh, Buddhist, Jain, Parsi, and Christian faiths from Afghanistan, Bangladesh, and Pakistan. The BJP, a populist party with Hindutva as the ideological foundation to establish a Hindu homeland in India, propelled communal rhetoric that triggered significant protests from Muslim groups, citing discrimination against Muslim immigrants. This article explores how the BJP politicizes religious identity within the context of the CAA. It delves into the involvement of Muslim and student groups, as well as opposition parties, in Parliament to influence CAA policy dynamics. Despite massive protests, the BJP effectively utilized its popularity to implement the CAA, intensifying concerns among Hindu voters and mobilizing their political support. This article underscores that the politicization of religious identity results in majoritarian policies that pose a threat to democratic principles when populist in power.
...... Pada tahun 2019, parlemen India mengesahkan Amandemen UU Kewarganegaraan (CAA) yang mempercepat pemberian status kewarganegaraan bagi imigran dengan agama: Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen, yang berasal dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan. Dengan retorika komunal elit politik Bharatiya Janata Party (BJP), kebijakan ini menimbulkan gelombang protes kelompok Muslim karena dianggap diskriminatif terhadap imigran Muslim di India. Artikel ini membahas bagaimana BJP sebagai partai populis dengan ideologi Hindutva yang ingin membentuk tanah air Hindu di India, melakukan politisasi identitas agama dalam konteks CAA. Lebih lanjut, penulis membahas mengenai keterlibatan kelompok Muslim dan mahasiswa hingga partai oposisi dalam parlemen dalam memengaruhi dinamika kebijakan CAA. Walaupun menimbulkan protes besar, BJP berhasil memanfaatkan popularitasnya untuk memajukan agendanya, termasuk penerapan CAA, memperburuk persepsi ancaman di kalangan pemilih Hindu, dan memicu mobilisasi politik bagi pemilih Hindu. Tulisan ini menekankan bahwa politisasi identitas religius oleh aktor politik populis membentuk kebijakan mayoritarian yang membahayakan hak-hak minoritas dan demokrasi secara keseluruhan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library