Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahimah Syamsi
"Salah satu permasalahan dalam perkawinan poligami adalah apabila suami yang meninggal pernah melakukan perceraian pada salah satu istrinya, namun harta bersamanya belum dibagi. Hal ini disebabkan, banyak masyarakat belum mengetahui cara pembagian harta warisan terhadap harta bersama pada perkawinan poligami terutama dalam syariat Islam. Dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor 39/Pdt.G/2020/PTA.Mtr, terdapat perbedaan pendapat Majelis Hakim pada tingkat agama dan tingkat banding. Pada putusan pengadilan tingkat agama, Hakim hanya membagi harta bersama sebagai harta warisan tanpa melibatkan istri pertama. Sedangkan, menurut Majelis Hakim tingkat banding pembagian harta tersebut harus melibatkan istri pertama, lalu setelah itu baru dapat dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Jika tidak melibatkan istri pertama, bisa dianggap tidak adil karena hanya mengungkapkan harta bersama dari salah seorang istri saja. Metode penelitian yang digunakan secara yuridis normatif berdasarkan data sekunder. Alat pengumpulan data yang digunakan dengan studi kepustakaan. Hasil penelitiannya adalah untuk pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami harus melibatkan para istri, setelah itu harta warisan baru dapat dibagikan kepada para ahli waris yang berhak. Cara pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami dapat merujuk pada Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II dan menurut pendapat Neng Djubaedah yaitu dengan equal method dan ratio method.

One of the problems in a polygamous marriage is if the deceased husband has divorced one of his wives, but the joint assets have not been divided. This is because many people do not know how to divide inheritance into joint assets in polygamous marriages, especially in Islamic law. In the case of the Decision of the Mataram Religious High Court Number 39/Pdt.G/2020/PTA.Mtr, there was a difference of opinion of the Panel of Judges at the first-level religious court and the second-level religious high court. In the decision of the first-level religious court, the judge only divided the joint assets as inheritance without involving the first wife. Meanwhile, according to the second-level religious high court, the distribution of assets must involve the first wife, and only then can it be distributed to the rightful heirs. If it doesn't involve the first wife, it could be considered unfair because it only discloses the joint assets of one of the wives. The research method used is normative juridical based on secondary data. Data collection tool used with literature study. The results of his research are that the distribution of joint assets in a polygamous marriage must involve the wives, after which the new inheritance can be distributed to the rightful heirs. The method for dividing joint assets in polygamous marriages can refer to the Guidelines for the Implementation of Duties and Administration of the Religious Courts Book II and according to Neng Djubaedah's opinion, namely the equal method and the ratio method."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina
"Lahirnya seorang anak dari perkawinan poligami yang tidak tercatat secara resmi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan fenomena yuridis yang tidak dapat dipungkiri. Peristiwa seperti ini dapat membawa konsekuensi hukum lebih lanjut terhadap anak luar kawin yang bersangkutan, dimana di dalam hukum kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan anak yang lahir dari perkawinan yang resmi. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, hukum memberikan solusi bagi anak luar kawin agar dapat memiliki kedudukan hukum yang sama sebagaimana anak sah, yaitu melalui pengesahan anak. Permasalahannya adalah bagaimana pengaturan perkawinan poligami menurut hukum positif di Indonesia, bagaimana prosedur pengesahan anak luar kawin yang lahir dari perkawinan poligami yang tidak dicatatkan menurut hukum negara, dan bagaimana Pertimbangan Hakim pada Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 36/Pdt.P/2020/PN.Jkt.Pst. dikaitkan dengan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada penelitian ini, penulis akan menjawab permasalahan tersebut dengan pendekatan yuridis-normatif dengan menggunakan data-data yang diperoleh hasil dari studi kepustakaan dan menelaah peraturan perundang-undangan terkait perkawinan poligami dan pengesahan anak. Hasil analisis menunjukkan bahwa Hakim dalam memeriksa suatu perkara seharusnya memahami latar belakang beserta fakta-fakta dari suatu perkara dan memberikan pertimbangan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

The birth of a child from an unregistered polygamous marriage according to the prevailing laws is a juridical phenomenon that cannot be denied. As the part of legal events, unregistered polygamous marriages can bring further legal consequences to children born out of wedlock, which in law children born out of wedlock have a lower position than children born from legal marriages. Because of these differences, the law provides a solution for children born out of wedlock to have the same legal status as children born from legal marriages, namely through child legalization. This research will be continued by focusing on how polygamous marriage are regulated according to positive law in Indonesia, how is the procedures of legalizing out of wedlock children born in unregistered polygamous marriages, and how is the suitability of the Judge's decision with the prevailing legislation on Verdict Number: 36/Pdt.P/2020/PN.Jkt.Pst. The author will answer these problems with the juridical-normative method using data collected from literature studies and legislation related to polygamous marriages and child legalization. The results of the study will show that a Judge in examining a case should understand the background and facts of a case and provide legal considerations in accordance with the prevailing laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merry Yusuf
"ABSTRAK
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan dimana seorang laki-laki memiliki lebih dari seorang istri, bisa 2, 3, atau 4 orang. Di Indonesia dalam perkawinan pada azasnya dianut monogami, tetapi poligami diperbolehkan dalam hal apabila pemohon memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974. Dalam prakteknya poligami sering itu sendiri sering diselewengkan. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang menyebabkan orang untuk menikah lagi, setelah dia melakukan perkawinan sebelumnya. Sehingga banyak orang melakukan perkawinan poligami dibawah tangan. Karena pada umumnya perkawinan yang dilakukan dibawah tangan adalah jenis perkawinan poligami. Sebagaimana Islam membuka peluang untuk berpoligami. Misalnya : Pegawai negri yang takut dipecat berdasarkan PP 10/1983 maupun karena tidak mungkin diizinkan oleh istrinya dirumah. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas masalah Poligami Menurut Hukum Islam Ditinjau dan Sudut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 terutama akibat hukum dari poligami yang dilakukan dibawah tangan karena akan mempersulit bahkan merugikan baik bagi istri maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut didalam hal mendapat tunjangan nafkah dan dalam masalah kewarisan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abhyasa Shidqi Nugroho
"Perkawinan apabila tidak adanya perjanjian kawin untuk memisahkan harta sebelumnya dan pada saat perkawinan berlangsung maka semua hartanya akan bercampur antara suami dan istri yang disebut sebagai harta bersama seperti apa yang dikemukakan oleh Pasal 35 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam tindakannya untuk melakukan perbuatan melawan hukum haruslah berdasar kepada kesepakatan di antara kedua belah pihak yaitu suami dan istri sesuai dengan Pasal 36 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan. Transaksi jual beli di antara suami dan istri juga dilarang oleh KUHPerdata tepatnya pada Pasal 1467 KUHPerdata. Penelitian ini membahas mengenai akibat hukum dan pertimbangan hakim terhadap Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan seorang suami dengan menjual sebidang tanah yang merupakan harta bersama dengan istri pertamanya kemudian menjualnya kepada istri keduanya berdasarkan pada Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 260 K/Pdt/2023), namun gugatannya ditolak. Penelitian ini berbentuk doktrinal dengan melalui pengumpulan data sekunder seperti bahan-bahan hukum dalam studi dokumen, yang nantinya data tersebut akan diteliti menggunakan metode kualitatif. Dari hasil analisis yang dilakukan oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa akibat hukum dari perbuatan hukum yang dilakukan terhadap Perbuatan Melawan Hukum mengenai harta bersama tanpa persetujuan istri pertama dan kemudian dijual kepada istri kedua yang menimbulkan kerugian adalah tidak sah dan jual beli tersebut batal demi hukum. Adapun terkait pertimbangan hakim mengenai penjualan harta bersama tanpa persetujuan istri pertama dan dijual kepada istri kedua terkesan keliru, dikarenakan Majelis Hakim menolak gugatan dari Nyonya DHC selaku ahli waris terhadap pembatalan Akta Jual Beli tersebut. Seharusnya Majelis Hakim lebih mengindahkan Pasal Pasal 36 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 1467 KUHPerdata kemudian menyatakan Akta Jual Beli tidak sah dan Batal Demi Hukum.

A marriage, in the absence of a prenuptial agreement to separate property before and during the marriage, results in all assets being combined between the husband and wife, referred to as joint property, as stipulated in Article 35, Paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 on Marriage. In any legal act, it must be based on mutual agreement between both parties, the husband and wife, as stated in Article 36, Paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 on Marriage. A sale and purchase transaction between a husband and wife is also prohibited by the Civil Code, specifically in Article 1467 of the Civil Code. This study discusses the legal consequences and the judge’s consideration regarding an unlawful act committed by a husband, who sold a plot of land, which was joint property with his first wife, and then sold it to his second wife, based on the Supreme Court Decision Number 260 K/Pdt/2023, where the lawsuit was rejected. This research is doctrinal in nature, involving the collection of secondary data such as legal materials through document studies, which will later be analyzed using qualitative methods. From the analysis conducted, the researcher concludes that the legal consequence of the unlawful act involving joint property without the first wife’s consent, and subsequently sold to the second wife, resulting in harm, is invalid, and the sale is legally null and void. Regarding the judge's consideration of the sale of joint property without the first wife’s consent and sold to the second wife, it appears to be flawed, as the panel of judges rejected the lawsuit filed by Mrs. DHC, as the heir, to annul the Sale and Purchase Deed. The panel of judges should have given more weight to Articles 36, Paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 on Marriage and Article 1467 of the Civil Code, and should have declared the Sale and Purchase Deed invalid and legally null and void."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library