Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syafruddin
Abstrak :
Penahanan adalah salah satu dari lima upaya paksa yang dikenal dalam hukum acara pidana di Indonesia. Kekhususan penahanan dibandingkan dengan upaya paksa lainnya adalah pelaksanaannya mengakibatkan kebebasan sebagai hak yang paling asasi dari manusia dicabut dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu KUHAP telah menentukan berbagai persyaratan dan pembatasan dalam pelaksanaan penahanan. Di samping itu dalam KUHAP terkandung sepuluh asas yang dapat memenuhi unsur-unsur prinsip proses hukum yang adil dalam upaya meningkatkan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana prinsip proses hukum yang adil telah diwujudkan dalam pelaksanaan penahahan dan apakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penerapannya. Penelitian ini dilaksanakan dengan mempergunakan pendekatan yuridis-sosiologis. Penentuan sampel dilakukan dengan dua cara; untuk sampel dari aparat penegak hukum dilakukan secara purposive sampling dan untuk para tahanan ditentukan secara random sampling. Sampel wilayah atau lokasi penelitian adalah Propinsi Sumatera Utara khususnya Kotamadya Medan. Alat pengumpul data yang dipergunakan adalah kuesioner dan pedoman wawancara. Analisis data dilakukan secara analisis deskriptif, sedangkan analisis kuantitatif hanya sebagai pendukung yakni dengan penggunaan statistik sederhana dalam bentuk tabel dan prosentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam prakteknya penahanan merupakan upaya paksa yang perlu bagi kelancaran proses peradilan pidana, terlihat dari tingginya frekuensi pelaksanaan penahanan di Kota Medan terlebih lagi bila dibandingkan dengan jumlah kasus yang diselesaikan. Tetapi dalam pelaksanan penahanan tersebut masih sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan yang tidak sesuai ketentuan hukum acara pidana yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Hal itu merupakan indikasi bahwa prinsip proses hukum yang adil belum dapat diterapkan sebagaimana mestinya. Hambatan yang dihadapi antara lain masih adanya kelemahan dalam KUHAP itu sendiri. Di samping itu sikap mental aparat penegak hukum belum mengedepankan penghormatan dan perlindungan martabat manusia sebagai hal yang utama dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Akhirnya perlakuan yang adil dan manusiawi tidak hanya suatu tuntutan tapi kebutuhan yakni dalam memanfaatkan masa penahanan bagi pengembangan diri pribadi tersangka ke arah yang lebih baik sebagai bagian dari apa yang disebut proses terapeutik.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinandus Hartadi Edy Nugroho
Abstrak :
Dalam proses peradilan pidana setelah ada putusan pengadilan, selanjutnya jaksa akan melaksanakan putusan itu dan membawa terpidana untuk dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan. Pada tahap selanjutnya pengadilan masih memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk mengendalikan putusannya dengan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaaan pidana yang harus dijalani oleh terpidana. Lembaga baru berupa hakim yang bertugas untuk mengawasi eksekusi dari putusan pidana awalnya diambil dari negara Perancis, yaitu "juge de l'application des peines", yang dapat disejajarkan dengan hakim pengawas dan pengamat yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 14 Tabun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tabun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hakim pengawas dan pengamat melaksanakan tugas pengawasan dan pengamatan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan terpidana menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan, pidana bersyarat, pelepasan bersyarat, maupun setelah selesai menjalani pidana dan kembali ke masyarakatan. Hakim pengawas dan pengamat dalam KUHAP diatur pada Pasal 277 sampai dengan Pasal 283.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Acik Veriati
Abstrak :
ABSTRAK
Penulisan tugas akhir ini mengenai Modul Analisis Kemampuan Psikososial Remaja Di LAPAS Anak Pria Tangerang.

Minat untuk memilih judul tulisan ini berawal dari kenyataan bahwa hak Remaja yang berada di dalam LAPAS untuk memperoleh pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik mereka belum dapat dipenuhi oleh pihak LAPAS Anak secara optimal.

Remaja yang berada di dalam LAPAS sesuai dengan tahapan usia perkembangannya memiliki sejumlah tugas perkembangan yang harus dipenuhinya agar dapat berperan sebagaimana tuntutan lingkungan masyarakatnya. Salah satunya adalah tugas perkembangan psikososial yang menempatkan remaja pada tahap identity vs identity diffusion. Keberhasilan mereka mengatasi tahapan tersebut akan sangat menentukan keberhasilan mereka pada masa depan. Hal ini belum secara maksimal dipahami oleh pihak LAPAS Anak dalam merancang dan merencanakan jenis program pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan remaja yang menjadi warga binaannya. Hal ini mengakibatkan banyak program pembinaan yang salah sasaran dan belum mencapai tujuan secara optimal. Ini ditunjukkan dengan masih banyak remaja yang merasa tidak memiliki kemampuan dan penguasaan ketrampilan kerja yang memadai serta belum tercapainya identitas peran (pemilihan karir, nilai-nilai hidup dan peran seksual) mereka secara optimal.

Hal tersebut agak mengherankan mengingat selama ini berdasarkan basil pengamatan, banyak program kegiatan pembinaan kemandirian dan pengembangan diri yang telah diberikan oleh LSM, yayasan, instansi atau institusi di luar LAPAS. Mestinya kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan kepada remaja yang berada di dalam LAPAS Anak Pria Tangerang untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam hal peningkatan ketrampilan dan pencapaian tugas perkembangan psikososialnya. Berdasarkan hasil konseling dan bimbingan kelompok lebih lanjut, sebagian besar remaja mengaku bahwa keikutsertaan mereka dalam suatu program kegiatan hanyalah sebagai pengisi waktu luang dan untuk menghilangkan kebosanan saja. Menurut mereka, seringkali materi dan metode program pembinaan yang ada selama ini kurang sesuai dengan kebutuhan dan kurang memberikan manfaat seperti yang mereka harapkan. Hal ini membuat mereka seringkali kehilangan minat mengikuti program kegiatan.

Masalah di atas menunjukkan bahwa ada hal yang luput dari perhatian pihak LAPAS maupun penyelenggara dalam proses perencanaan program pembinaan bagi remaja yang berada di dalam LAPAS. Mereka seringkali melupakan proses analisis terhadap kebutuhan dan karakteristik masing - masing anak didik dalam penyelenggaraan suatu program pembinaan kemandirian. Penentuan jenis program pembinaan yang diberikan pada remaja yang berada di dalam LAPAS Anak hanya berdasarkan asumsi penyelenggara atas program yang mungkin dibutuhkan mereka tanpa melihat perbedaan kebutuhan dan karakteristik mereka secara lebih jauh.

Mengingat sampai saat ini analisis kebutuhan program yang berorientasi pada kebutuhan dan karakteristik anak didik belum pemah dilakukan di LAPAS Anak Pria Tangerang, maka penulis memilih merancang suatu "Modul Analisis Kemampuan Psikososial Remaja Di LAPAS Anak Pria Tangerang" yang bertujuan untuk mengidentifikasi kemampuan psikososial remaja. Berdasarkan basil identifikasi tersebut diharapkan petugas LAPAS Anak dapat membuat perencanaan program pengembangan kemampuan psikososial yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing - masing.
2007
T17664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Hartono
Abstrak :
Pembinaan narapidana di Lapas dilakukan bertahap mulai dari tahap masa pengenalan lingkungan (Mapenaling) sampai dengan masa asimilasi. Pada tahap Mapenaling narapidana mempersepsikan apa yang dialaminya melalui proses penilaian tentang atribusi pengamatannya dengan menggunakan kesadarannya (kognisi). Persepsi dan tingkah laku dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu bentuk keseluruhan atau totalitas dari rangsang (emergent) dan kekuatan-kekuatan (forces) yang ada dalam lapangan psikologi (Field theory: Lewin,1914) yang saling berinteraksi dan membuat hubungan konsonan, tidak relevan dan hubungan disonan. Hubungan yang terakhir inilah yang menimbulkan perasaan yang tidak enak atau tidak senang (disonansi kognitif) yang berakibat penilaian narapidana terhadap pembinaan menjadi negatif. Dalam tulisan ini penulis mencoba merancang program intervensi untuk mengurangi disonansi kognitif narapidana dengan menerapkan Teori Sumber Perhatian dalam Kesadaran (Conscious Attentional Resourches Theory: Festinger, 1957) yang menekankan pada proses kognisi individu. Rancangan Program Mapenaling yang diusulkan di Lapas Paledang adalah intervensi berbasis evaluasi did pada tahap Mapenaling melalui latihan meditasi dan penyusunan Buku Panduan Melakukan Evaluasi Diri. Yang menjadi pertimbangan adalah efektivitas pelaksanaan program ini dan perlunya dukungan para Pemangku Kebijakan (Stake Holder) disamping kegiatan-kegiatan lain sebagai pelengkap.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Aswani
Abstrak :
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang menyaakan, bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan (narapidana) menjadi manusia seutuhnya baik sebagai pribadi, anggota masyarakat maupun sebagai insan Tuhan. Untuk itu suasana yang kondusif, tertib dan kesehatan jasmani dan psikologis yang terpelihara dari warga binaan pemasyarakatan merupakan sesuatu yang sangat berarti dan diharapkan olel, sebuah institusi lembaga pemasyarakatan di Iingkungan Departemen Hukum dan HAM RI. Undang-undang nomor 12 tahun 1995 telah menggariskan hak-hak yang dimiliki oleh warga binaan lembaga pemmasyarakatan, tanpa kecuali. Adapun hakhak tarsebut antara lain mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jamani. Selain itu UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 juga mencantumkan tentang Hak untuk Hidup : Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf hidupnya, hidup tenterani, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta berhak atas lingkungan hidup yang balk dan sehat. Bunuh diri (suicide) di dalam lembaga pemasyarakatan dapat terjadi dan merupakan kasus yang paling fatal karena merupakan gangguan psikologis yang paling berbahaya dan wargabinaan yang melakukan bunuh diri dapat menimbulkan kericuhan pada teman-teman sekamarnya maupun orang-orang sekitarnya. Data yang diambil dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang bunuh din di dalam lembaga pemasyrakatan di seluruh Indonesia yang terlihat cenderung meningkat Pada tahun 2004 ada 19 kasus, tahun 2005 sebanyak 21 kasus, dan tahun 2006 dari Januari Dktober sebanyak 17 kasus. Berdasarkan kejadian diatas maka perlu upaya identifikasi resiko bunuh diri (suicide risk) terhadap warga binaan pemasyarakatan oleh petugas kesehatan lembaga pemasyarakatan melalui pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuannya dalam memberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan fisik dan psikologis warga binaan sehingga dapat dilakukan pencegahan bunuh diri warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya Petugas kesehatan lembaga pemasyarakatan akan dapat berfungsi sebagai pintu terdepan untuk deteksi diri bunch diri dan terampil untuk melakukan prevensi dan mencegah terulangnya tindakan bunuh diri, kemudian bila menemukan warga binaan yang berisiko bunuh did akan dapat melakukan konseling psikologik dan atau merujuk warga binaan untuk tindakan medik psikiatrik. Dengan demikian maka diperlukan upaya advokasi kepada Diijen PAS untuk pelatihan bagi petugas kesehatan lembaga pemasyarakatan agar mampu melakukan identifikasi asesmen bunuh diri, Akhirnya sangat diperlukan kerja sama dengan psikolog, pckerja sosial, konselor, psikiater dan rumah sakit untuk pelaksanaan konseling dan atau rujukan bagi warga binaan yang berisiko bunuh diri.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Yuswanto
Abstrak :
Penulisan Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengembangkan program pembinaan narapidana untuk mengurangi kekerasan verbal antar narapidana, dengan cara memberikan pelatihan LVE (Living Values Education) sebubungan dengan adanya pennasalahan tindakan kekerasan verbal yang dilakukan narapidana selama menjalani masa pidananya di dalam Rumah Tahanan Negara Jakarta Timur. Teuri yang dirujuk sebagai dasar dalam pembuatan rancangan program pelatihan untuk mengurangi kekerasan fisik melalui pelatiban LVE adalah teori pembinaan narapidana, teori agresifitas, teori Kognitif, teori Cognitif behaviorisme dan teorl masa perkembangan manusia. Analisis pemecahan masalah berangkat dari adanya sejumlah pennasalahan, permasalahan yang ada di dalam Rumah Tahanan Negara Jakarta Timur. Salah satu permasalahan yang menjadi minat untuk diselesaikan oleh penulis adalah masalah tindakan kekerasan verbal yang dilakukan narapidana. Karena biasanya dimulai dari tindakan kekerasan verbal, kemudian dapat berakibat, tindakan kekerasan fisik, kekerasan domestik, dan meluas menjadi anarkis, cacat fisik dan bahkan bisa meninggal dunia. Sebagai salah satu langkah untuk membantu mengatasi permasalahan yang ada di Rutan, diantaranya adalah melalui pelatihan untuk mengurangi tindakan kekerasan verbal antar narapidana, dengan cara memberikan pelatihan LVE selama 6 hari kerja kepada 20 orang narapidana sebagai contoh dengan latar belakang tindak pidana dengan kekerasan. Untuk dapat terlaksananya pelatihan LVE tersebut maka dibuatlah rancangan program pelatihan LVE begi narapidana. Program pelatihan LVE ini, sangat memperhatikan beberapa hal yang berhubungan dengan kebutuhan suatu pelatihan, seperti : identifikasi kebutuhan pelatihan, sasaran pelatiban, pelatih/instruktur pelatihan, materi, metode, alat bantu, durasi pelaksanaan, tempat pelaksanaan, biaya dan evaluasi pelatihan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutut Jemi Setiawan
Abstrak :
Anak didik pemasyarakatan sebagai seorang yang sedang menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Rumah Tahanan Negara harus dibina dan dibimbing sesuai dengan peraturan yang ada agar tujuan sistem pemasyarakatan untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana lagi dapat terwujud. Bagi anak didik, kehadiran keluarga (orangtua) dan teman-temannya sangat penting karena kondisi psikologis anak yang masih labil mempengaruhi keberadaannya dalam Lapas/Rutan. Ketidakhadiran keluarga atau peran keluarga yang tidak tergantikan dapat mengakibatkan anak didik lebih mudah cemas, bingung, dan depresi dalam menghadapi permasalahannya. Melihat kondisi tersebut, peran wall sangat penting untuk mengatasi hal tersebut. Konsep perwalian dalam Lapas 1 Rutan adalah sebagai pengganti orangtua bagi anak didik pemasyarakatan yang dapat berbicara dari hati ke hati dan membantu permasalahannya. Oleh sebab itu, dengan adanya wali diharapkan akan mampu mengulangi perasaan terpisah anak didik dari keluarganya; perasaan bingung, frustasi, cemas, dan depresi; dan membantu memecahkan permasalahan yg dihadapi Andik. Pentingnya tugas wali tersebut menuntut adanya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki petugas wali, yg meliputi : pengetahuan tentang perkembangan dan kondisi psikologis anak, Parenting skill, dan problem solving. Kenyataan di lapangan, perwalian belum berjalan optimal. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah kurangnya pengetahuan dan/atau ketrampilan petugas sebagai wali. Akibatnya, wali kurang mampu mendeteksi dan memecahkan permasalahan anak didik; komunikasi antara wali dan anak didik tidak berjalan dengan balk; rendahnya tingkat kepercayaan anak didik terhadap wali; dan perkembangan anak didik selama dalam Lapas I Rutan tidak berjalan dengan baik atau terjadi gangguan. Sebagai upaya mengatasi permasalahan tersebut, penulis mengajukan program pelatihan Parent Effectiveness Training (P.E.T). Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas wali sebagai upaya mengoptimalkan peran wall dalam menunjang proses pembinaan di Lapas 1 Rutan. Adapun alasan pemilihan program pelatihan P.E.T adalah : (1) P.E.T ditujukan bagi pars orangtua agar menjadi orangtua efektif, hal ini sejalan dengan konsep perwalian yaitu agar wali menjadi pengganti orangtua bagi anak didik, sehingga dengan dibekali pengetahuan dan ketrampilan P.E.T pelaksanaan wali menjadi lebih efektif; (2) P.E.T mengajarkan ketrampilan pada orangtua dalam membantu anak mengatasi masalah-masalah emosional dan tingkah laku maladaptif, hal ini sesuai dengan keadaan di Lapas t Rutan dimana terdapat anak didik yang mempunyai masalah-masalah emosional dan tingkah laku maladaptif yang perlu dilakukan pembinaan; dan (3) Konsep inti dalam P.E.T menggambarkan keadaan dalam Lapas 1 Rutan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Erni Kartikawati
Abstrak :
Makna Hidup sangat bermanfaat dan diperlukan untuk menjadi pedoman bagi kehidupan seseorang. Manusia dibagi dalam 2 (kelompok) pertama, adalah kelompok yang masih mencari makna hidupnya dan kedua adalah mereka yang telah menemukan makna hidupnya. Mereka yang masih belum berhasil dalam pencarian makna hidup sebagai manusia dalam keraguan " People in doubt " , bagi mereka kehidupan ini dirasakan membingungkan dan mempersepsikannya secara negatif dan pada akhirnya mereka dapat menjadi manusia dalam keputus asaan 1 " People in despair " sehingga hidupnya berjalan tanpa pedoman dan perilakunyapun cenderung negatif dengan memenuhi keinginan dan kebutuhannya tanpa memperdulikan niiai-nilai moral dan aturan hukum yang berlaku. Berdasarkan perkara 1 pasal, seseorang menjadi " Offender" ( pelanggar hukum ) dapat disebabkan karena intensi 1 kesengajaan atau tanpa intensi 1 ketidak sengajaan. Perilaku kriminal pada kasus-kasus yang dilakukan dengan intensi I kesengajaan, cenderung diulangi di dalam LAPAS tidak terlepas dari berbagai sebab yaitu faktor ekstemal dan faktor internal narapidana itu sendiri. Selain faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perilaku narapidana, faktor internal juga layak diperhitungkan , karena tidak semua narapina melakukan pengulangan perilaku kriminal,. Pada kondisi eksternal ( lingkungan LAPAS ) yang sama, ternyata perilakunyapun dapat berbeda. Sebagian besar dapat melakukan penyesuaian diri yang baik, namun ada pula yang yang tidak dapat melakukan penyesuaian diri dengan melanggar aturan tata tertib (mengulangi perilaku kriminal kembali di dalam LAPAS). Sampai saat ini Program Pembinaan Kepribadian masih banyak kelemahannya dan belum menyentuh aspek-aspek psikologis narapidana. Untuk mengurangi pengulangan perilaku kriminal di dalam LAPAS, maka penulis mencoba untuk mengaplikasikan program Makna Hidup untuk Narapidana. Pada awalnya program ini disosialisasikan terlebih dahulu dalam bentuk pelatihan terhadap petugas dan selanjutnya petugas sebagai fasilitator yang dapat membimbing narapidana untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya, sehingga perilaku kriminal tidak lagi dilakukan dan gangguan keamanan dan ketertiban di dalam LAPAS pun berkurang. Dalam menyusun rancangan program ini, penulis merujuk pada Teori Containment, Penemuan Makna Hidup. Berdasarkan uraian di atas, maka disusun langkah-langkah menemukan makna hidup dalam " Panca Cara Menemukan Makna Hidup, yaitu : ? Pemahaman Pribadi ( identik dengan self evaluation ) ? Berlindak Positif ( identik dengan acting as if ) ? Pengakraban Hubungan ( identik dengan personal encounter ) ? Pendalaman Tri Nilai ( identik dengan exploring human values ) ? Ibadah. ( identik dengan spiritual encounter ). Untuk efektifnya program Makna Hidup, maka sebelumnya petugas perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan menjadi " trainer " yang baik, sehingga " Training For Trainer " bagi petugas akan sangat mendukung terselenggaranya Program Pelatihan Makna Hidup bagi narapidana.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T 17812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Santoso
Abstrak :
Pencegahan konflik di Lembaga Pemasyarakatan sudah seharusnya menjadi prioritas utama dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, di mana kondisi keamanan di Lapas menjadi barometer utama keberhasilan Lapas. Untuk menjadikan kondisi Lapas aman, jauh dari konflik dibutuhkan petugas Lapas yang mampu membaca situasi apabila konflik di Lapas akan terjadi. Untuk itu diperlukan suatu intervensi kepada petugas Lapas, berupa intervensi peningkatan kapasitas petugas Lapas dengan pelatihan mencegah konflik, terutama konflik yang bersifat laten. Pelatihan merupakan salah satu bentuk pilihan alternatif yang dirasa paling efektif untuk meningkatkan kemampuan petugas, khususnya petugas pengamanan. Adapun modul dari pelatihan tersebut menitikberatkan pada 4 (empat) hal yaitu; memahami konflik, strategi menangani konflik, metode peringatan dan tanggapan dini (Early Warning System), Participatory Action Research. Penulis berharap agar intervensi yang penulis buat dapat dijadikan sebagai acuan untuk pelatihan penanganan konflik, baik penanganan konflik yang terjadi di Lapas Klas I Cipinang pada khususnya dan lembaga pemasyarakatan lainnya pada umumnya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17807
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Choirinah
Abstrak :
Penelitian mengenai ketangguhan khususnya mengenai remaja yang tangguh sudah beberapa kali diteliti, akan tetapi sangat jarang ditemukan penelitian yang membahas mengenai ketangguhan pada anak atau remaja yang mengalami pemenjaraan/pemidanaan khususnya tahanan atau narapidana anak yang berada di lingkungan penjara orang dewasa. Teori yang dirujuk sebagai dasar dalam pembuatan rancangan program pelatihan adalah teori belajar,konsep remaja dan dewasa menengah,teori ketangguhan dan teori pelatihan. Penelitian ini mencoba memahami proses ketangguhan yang terjadi pada remaja yang berada di lingkungan tahanan atau narapidana dewasa dengan berbagai tindak kriminal yang pemah dilakukan seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan tindak kekerasan lainnya. Dimensi ketangguhan yang akan dijelaskan terdiri dari problem solving skill (kemampuan memecahkan masalah) dan dimensi positive feelings (kemampuan seseorang dalam mempertahankan perasaan positif pada dirinya. Selanjutnya akan dikembangkan sumber ketangguhan yang terdapat dalam diri anak yaitu "I have", "I am ", "I can "(Grotberg,1998). Ketangguhan sebagai hasil dari karakteristik personal yang dibawa sejak lahir (Garmezy dalam Kosteck 2005) pada dasarnya dapat dipelajari dan dibentuk. Hasil penelitian menemukan tiga faktor yang mendukung berkembangnya ketangguhan, yaitu karakteristik ketangguhan pada remaja, kualitas pendidik yang responsif serta jaringan organisasi yang efektif.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>