Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 967 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kim, Seungryeol
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019
347.0504 SEU w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Leavell, Robert N.
[place of publication not identified]: West Publishing, [date of publication no identified]
R 347.73 Lea e
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Fauzan Haryadi
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum. Praktik peradilan terkait upaya hukum peninjauan kembali telah dilakukan oleh korban baik dalam kualitasnya sebagai saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan maupun Penuntut Umum yang mewakili korban dan negara. Perbedaan dalam penafsiran ekstensif dari pemberian hak peninjauan kembali oleh MA khususnya terhadap upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban yang dinyatakan tidak dapat diterima mendorong penulis untuk melakukan penelitian terkait permasalahan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, alasan apa yang mendasari Mahkamah Agung menyatakan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh saksi korban tidak dapat diterima serta bagaimana peluangnya di masa mendatang. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa secara teoritis dan praktik kedudukan korban masih sangat terasing dan diasingkan dalam sistem peradilan yang kita anut sekarang. Terhadap upaya hukum oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban Mahkamah Agung belum menerima secara formal atas dasar korban tidak mempunyai legal standing dalam perkara pidana. Berdasarkan atas pertimbangan rasa keadilan dan asas keseimbangan dengan menggunakan landasan perspektif posisi sentral korban dan pergeseran sistem peradilan pidana seharusnya selain Penuntut Umum dalam kapasitasnya mewakili korban, masyarakat umum, bangsa dan negara, serta korban dalam kualitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, maka korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban juga beralasan untuk diberikan hak mengajukan peninjauan kembali. Guna memberi landasan yang kuat bagi korban agar dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali dikemudian hari, ketentuan Pasal 263 KUHAP sebagai dasar pengajuan permintaan peninjauan kembali perkara pidana perlu direvisi dan dilenturkan sedemikian rupa sehingga juga bisa memberikan hak kepada korban kejahatan maupun keluarganya untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
This thesis discusses review appeals by victims and prosecutors. The practice of judicial review appeals have been made by the victim both in quality as witnesses, interested third parties and the public prosecutor representing the victims and the state. Differences in interpretation of the extensive granting review appeals by the Supreme Court in particular to effective judicial review appeals of the victim in the victim's quality as a witness cannot be accepted encourage writers to do some research problems related to the position of the victim in the criminal justice system in Indonesia, what is the underlying reason for the Supreme Court request review appeals of legal action by the victims cannot be accepted and how the chances in the future. The results concluded that the theoretical and practical position of the victim is very isolated and ostracized in the justice system that we embrace today. Against legal action by the victim in the victim's quality as a witness Supreme Court has not received a formal on the basis of the victim haven't a legal standing. According to the sense of justice and the principle of balance by using runway perspective of the central position of victims and the criminal justice system should shift other than prosecution General in his capacity representing the victims, the general public, state and nation, as well as victims in quality as an interested third parties, the victim in the victim's quality as a witness was also given the right reasons to submit a review. In order to provide a strong foundation for victims to apply for review appeals in the future, the provision of Article 263 of the Criminal Procedure Code as the basis for reconsideration filing criminal cases need to be revised and bent in such a way that it can also give rights to victims of crime or their families to apply for review appeals.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33051
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wagimin Wirawijaya
Abstrak :
Penelitian mengenai Perlakuan Terhadap Tersangka Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Selama Proses Pemeriksaan di Pokes Metro Jakarta Selatan, bertujuan menunjukkan tentang perlakuan para penyidik terhadap para tersangka khususnya pelaku pencurian dengan kekerasan selama dalam proses pemeriksaan. Adapun perrnasalahan yang diteliti adalah (1) apakah selama tersangka menjalani proses pemeriksaan terjadi pelanggaran hak tersangka, berupa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu terhadap tersangka, (2) apabila terjadi pelanggaran hak tersangka, yang berupa kekerasan, (3) apa bentuk atau pola-pola kekerasan yang dilakukan dan (4) mengapa tindakan kekerasan tersebut dilakukan, serta (5) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan tersebut. Untuk membuktikan ada atau tidaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu dalam proses perneriksaan tersangka pelaku curas, maka saya telah melakukan penelitian di Polres Metro Jakarta Selatan, pada Unit Kejahatan Kekerasan, selama tiga bulan, dengan obyek penelitian para penyidik/penyidik pembantu yang menangani empat kasus pencurian dengan kekerasan, dengan menggunakan metode kualitatif. Pemeriksaan tersangka merupakan bagian dari penyidikan suatu tindak pidana, yang terkait dengan hak asasi manusia, oleh karenanya pemeriksaan tersangka harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukum acara pidana (KUHAP) yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat penegak hukum. Sebagai penjabaran KUHAP, khususnya mengenai proses pemeriksaan, Kapolri telah mengeluarkan Petunjuk Tehnis tentang Pemeriksaan Tersangka dan Saksi (Juknis/07/11/1982), yang berisi syarat-syarat dan prosedur pemeriksaan, meliputi persiapan, pelaksanaan dan evaluasi hasil pemeriksaan. Meskipun telah ada undang-undang dan petunjuk tehnis yang mengatur tatacara pemeriksaan tersangka dan Saksi, ternyata masih sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, sebagaimana terungkap dari berbagai pemberitaan media masa, baik melalui media cetak maupun media elektronik, sebagai kekurangmampuan Polri dalam melaksanakan profesinya. Berbagai faktor dapat mempengaruhi individu dalam proses pemeriksaan tersangka, yaitu motif dan tujuan, status dan peranan masing-masing serta budaya atau sistem nilai yang dianut maupun norma yang berlaku. Proses interaksi dalam pemeriksaan tersangka, tidak selalu sesuai dengan harapan masing-masing pihak, yaitu pemeriksa mengharapkan tersangka akan berterus terang dalam menjawab setiap pertanyaan pemeriksa, sedangkan tersangka ingin diperlakukan secara wajar sesuai hak-haknya yang diatur dalam ketentuan hukum acara pidana dan berusaha menutupi kesalahanya agar Jobs dari jeratan hukum, sehingga dalam proses interaksi tersebut terjadi pertentangan keinginan. Apabila pemeriksa tidak mampu menunjukkan bukti-bukti tentang keterlibatan tersangka dalam suatu peristiwa pidana yang dipersangkakan, karena kurangnya bukti yang mendukung, sedangkan pemeriksa berdasarkan persepsi, intuisi, pengetahuan dan pengalamannya, berkeyakinan bahwa tersangka adalah pelakunya, maka dapat menimbulkan ketegangan pada diri pemeriksa. Sebagai pelampiasannya adalah menunjukkan sikap-sikap, perilaku dan tindakan yang cenderung melakukan kekerasan terhadap tersangka, baik berupa penyiiksaan fisiik, penyiiksaan psiikologis maupun penyiksaan hukum. Pola-pola perilaku dan tindakan kekerasan terhadap tersangka tersebut cenderung sering dilakukan karena pemeriksa menganggap sangat efektif digunakan dalam mengungkap kasus pidana. Disamping itu para pemeriksa menganggap hal tersebut diperbolehkan dan dibenarkan, sehingga cenderung membentuk pola-pola perilaku tertentu yang secara langsung atau tidak langsung disepakti sebagai pola perilaku yang diterima dan dianggap biasa, meskipun sebenarnya menyimpang dari ketentan hukum yang berlaku serta merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Berdasarkan pengetahuan dan pengalamanya penyidik/penyidik pembantu selama bertugas melakukan pemeriksaan tersangka harus menghadapi tersangka yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi, status sosial dan budaya yang berbeda, maka pemeriksa berusaha mengolong-golongkan berdasarkan latar belakangnya itu. Penggolongan yang berisikan sangkaan-sangkaan buruk terhadap tersangka, merupakan prasangka yang dapat menimbulkan diskriminasi serta dijadikan acuan bertindak dalam melakukan pemeriksaan tersangka. Dalam tesis ini telah ditunjukkan bahwa penyidik/penyidik pembantu yang ditunjuk sebagai pemeriksa tersangka pelaku curas di Polres Metro Jakarta Selatan mempedomani aturan formal yaitu KUHAP dan Petunjuk Tennis Pemeriksaan Tersangka dan Saksi, aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh Kapolres maupun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman serta keyakinan mereka dalam menggolong-golongkan tersangka, terungkap adanya berbagai pola tindakan penyidik/penyidik pembantu dalam mencapai tujuan pemeriksaan, yang berimplikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang berupa penyimpangan berbentuk penyiksaan fisik, penyiksaan psikologis maupun penyiksaan hukum, sehingga terbukti telah melanggar hak asasi tersangka dalam proses pemeriksaan.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iksan Mardji Ekoputro
Abstrak :
ABSTRAK
Mengapa orang tidak bersalah dapat ditangkap dan ditahan? Bahkan diajukan ke depan pengadilan? Begitu pertanyaan yang sederhana sekali kedengarannya, tetapi mengandung makna yang memberikan pemahaman tersendiri untuk dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap apa yang dimaksudkannya. Berangkat dari masalah inilah, kami merasa tertarik untuk menulis persoalan tersebut yang kami tuangkan dalam bentuk tesis ini.

Sebenarnya pertanyaan tersebut jika tidak mengandung makna lain, sangat mudah untuk diberikan jawabannya. Seseorang yang sudah jelas tidak bersalah, sudah tentu tidak dapat ditangkap, ditahan dan diadili. Karena seseorang hanya bisa ditangkap apabila ada dugaan keras bahwa orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana dan di samping itu ada dasar bukti permulaan yang cukup.

Mengandung makna lain yang dimaksudkan di sini ialah kalimat pertanyaan itu ditujukan kepada suatu asas yang berlaku di dalam hukum acara pidana kita yaitu asas praduga tidak bersalah. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap (UU No. 14/1970 ps. 8).

Sebelum berlakunya UU No. 14/1970 tersebut, asas praduga tidak bersalah ini telah pula dimuat di dalam UUD RIS 1949 pasal 14, UUDS 1950 pasal 14 dan kemudian UU No. 19/1964 (Undang-Undang Pokok Kehakiman) pasal 5. Dari semua ketentuan tersebut di atas, kalimat yang dipakai untuk menyatakan asas tersebut boleh dikatakan serupa walaupun tidak sama benar. Begitu juga kalimat yang dipakai dalam penjelasan umum KUHAP angka 3c.

Timbulnya pertanyaan di awal tulisan ini, karena adanya perbedaan ataupun kekurang telitian pemahaman asas tersebut dalam hubungannya dengan proses peradilan pidana. Antara asas praduga tidak bersalah dengan proses peradilan pidana ada hubungan yang erat sekali yang bahkan tidak dapat dipisankan. Proses peradilan pidana merupakan suatu proses di mana sejak seseorang menjadi tersangka dengan dikenakannya penangkapan sampai dengan adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya. Dalam proses itulah asas praduga tidak bersalah diterapkan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa yang harus "dianggap tidak bersalah" adalah orang yang sejak saat ditangkap, ditahan, dst. sampai dengan adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahan orang tersebut, Bahkan suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Namun demikian, perbedaan pemahaman masih dimungkinkan bisa terjadi di antara para pembaca yang selalu dihadapkan kepada dua nisi kepentingan yang tidak sama antara kepentingan tersangka/terdakwa dan kepentingan aparat penegak hukum. Kepentingan tersangka / terdakwa karena "dianggap tidak bersalah" maka hak-haknya harus dihormati dan dihargai sebagaimana orang yang tidak bersalah.Dengan demikian tersangka/terdakwa harus diperlakukan sebagaimana orang yang tidak bersalah. Sedangkan kepentingan aparat penegak hukum menjadi terlupakan dengan adanya titik berat pemahaman kepada kepentingan tersangka atau terdakwa saja. Hal ini terbukti dengan timbulnya pertanyaan seperti di depan, mengapa orang tidak bersalah dapat ditangkap dan ditahan.
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usman
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan, pertama untuk mengetahui tingkat keberhasilan implementasi kebijakan penunjukan pihak ketiga dalam melaksanakan sebagian proses peneraan dan peneraan ulang meter kWh hubungannya dengan faktor-faktor kristis yang mempengaruhinya, dan kedua untuk mengetahui kesesuaian kebijakan tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Menurut Edwards III, tingkat keberhasilan implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor kritis atau variabel, yaitu komunikasi, sumber daya, sikap, dan struktur birokrasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum komunikasi yang terjalin, sumber daya yang tersedia, sikap para pelaksana kebijakan, dan struktur birokrasi yang ada pada saat ini tergolong cukup baik dalam mendukung pelaksanaan peneraan meter kWh oleh Perusahaan Pihak Ketiga, hal tersebut ditunjukkan dengan nilai skor relatif rata-rata yang diperoleh untuk keempat variabel tersebut sebesar 59,35%. Dari hasil penelitian juga terungkap bahwa secara umum sikap para pelaksana kebijakan hubungannya dengan sikap atas kesesuaian antara partisipasi Pihak Ketiga dalam proses peneraan meter kWh dengan peraturan perundang-undangan yang ada tergolong cukup baik.
This research has two targets, the first to know level of success of policy implementation of third sector designation in executing some of verification and re-verification processes meter kWh relation with critical factors influencing him, and second to know according to the policy with existing law and regulation. According to Edwards III, level of success of implementation a policy influenced by four critical factor or variable, that is communications, resource, attitude, and bureaucracy structure.

Result of research indicate that in general communications which intertwin, available resource, attitude of executors of policy, and bureaucracy structure which there is at the moment pertained good enough in supporting execution of verification of meter kWh by the Third Sector. The mentioned shown with score value relative mean obtained to be fourth of the variable equal to 59,35%. From research result is also expressed that in general attitude of the executors of policy of relation with attitude to the according to among Third Party participation in executing some of verification of meter kWh with good enough pertained existing law and regulation.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T21566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Hidayanto, Author
Abstrak :
Upaya penagqulangan kejahatan merupakan masalah universal yang terus menerus harus selalu diupayakan. Oleh karena itu dibutuhkan keterpaduan antara komponen-komponen yang terlibat dalam sistem peradilan pidana yang diatur diatur dan di tata dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. KUHAP sejak kelahirannya sangat menjunjung tinggi hak-hak tersangka atau terdakwa tanpa bertujuan secara khusus melindungi hak korban kejahatan. Terjadi ketidak seimbangan dalam perlakuan yang wajar antara tersangka atau terdakwa dengan korban kejahatan di dalam KUHAP. Masyarakat, terutama korban kejahatan sangat mendambakan keadilan dengan dipidananya pelaku kejahatan, sangat membutuhkan akses dalam penyelenggaraan peradilan. Masyarakat berhak tahu sampai sejauh mana perkembangannya penanganan perkara yang ditangani oleh aparat penegak hukum. Menyikapi hal tersebut penulis tertarik untuk mengambil permasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu: "Bagaimana penerapan pemberian informasi tentang kemajuan penanganan perkara kepada korban dalam Lahap pra-adyudikasi". KUHAP tidak mengatur ketentuan pemberian informasi penanganan perkara oleh aparat penegak hukum. Sejak tahun 1985 dunia internasional telah menyepakati Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Di Indonesia telah lahir pula Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam dua ketentuan ini telah diatur bahwa saksi dan korban berhak mendapatkan informasi perkembangan kasus. Penulis melakukan penelitian normatif dan empiris yang disajikan secara kualitatif, ternyata penegak hukum belum melaksanakan secara optimal dalam pelaksaan teknisnya di lapangan. Padahal pemberian informasi mengenai penanganan perkara ini sangat penting dan urgen untuk segera dilaksanakan dalam rangka pengawasan kinerja aparat penegak hukum serta kesuksesan proses peradilan pidana, sehingga rasa keadilan masyarakat dapat tercapai. Oleh karena itu diharapkan dalam rancangan KUHAP yang akan datang hal pemberian informasi kemajuan penanganan perkara ini perlu diatur lebih tegas. ...... The effort for overcoming crimes is a universal problem to be done continuously. Hence, it requires integration among components involved in the criminal justice system as legislated by Law No. 8/1981 of the Penal Code. Since the enactment, the penal code protect the rights of suspected or the accused more than to protect the right of victim of crime specially. Within the Penal Code there is no balance of proper treatment between the suspected or accused and the victim of crime. Society especially the victim of crime, they are very wishing justice by sentencing the offender and they need to access to courts. Society have right to know how far the progress of the case handled by the police and the prosecutor. Hence, the author in interest to write the essential problem for this research, i,e,: "How application of giving information regarding progress of the case in pre-adjudication stage". The Penal Code had not provided with regulation of giving information to settle case by police and prosecutor in pre-adjudication stage. Since the enactment of 1985 the World had agreed Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Also in Indonesia had been enacted Law No. 13/2006 of Protection for Witness and Victim(s). For those two instruments it had been regulated that 'witness and victims have right to get information about progress of the case. The author had conducted both normative and empirical research presented qualitatively, factually, the legal apparatus had not implemented its techniques in field optimally. Indeed, giving information about progress of the case is very urgent and important to be implemented immediately within framework of supervising the legal apparatus and to proceed criminal justice system successfully, so that, sense of justice of society may be achieved. Hence, it is wished to design The Penal Code for the future, giving information about progress of the case should be regulated more firmly.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Suhertika
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yang pengumpulan datanya dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan beberapa narasumber yang berkompetensi. Mengingat bahwa rumusan Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi, artinya Upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah sebagai terobosan hukum dalam upaya memperoleh keadilan dan kebenaran. Demi keadilan dan kepastian hukum, putusan hakim harus dapat dikoreksi untuk diperbaiki atau dibatalkan apabila dalam putusannya terdapat kekeliruan atau kekhilafan hakim. Hukum menyediakan sarana untuk mengoreksi suatu putusan hakim apabila ada kekhilafan atau kekeliruan melalui upaya hukumnya. KUHAP telah menetapkan larangan berkaitan dengan kewenangan untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum terhadap putusan bebas, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP), dalam butir ke-19 lampiran keputusan tersebut pada pokoknya dinyatakan bahwa “terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi”. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Dalam praktek peradilan pidana, dikenal adanya Putusan Bebas Murni dan Putusan Bebas Tidak Murni. Dalam hal kasasi terhadap putusan bebas, dalam memori kasasinya, Penuntut Umum harus dapat membuktikan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri merupakan putusan bebas tidak murni dengan menjelaskan alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan dimana letak sifat tidak murni dari suatu putusan bebas tersebut yang mengacu pada ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP yaitu apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang dan apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Terdapat korelasi antara pembuktian bebas tidak murni Penuntut Umum terhadap putusan bebas dengan pertimbangan hukum Hakim kasasi yang menerima kasasi Penuntut Umum, karena yang berwenang menilai putusan bebas murni atau bebas tidak murni adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi (judex juris).
ABSTRACT
This Study uses normative legal research, which collecting of data is by library research and interview with several competent resource persons. Considering that draft Article 244 of Criminal Code Procedures (KUHAP), the Acquittal is unable to be filed for legal effort of cassation, this means Legal Effort of Cassation By Public Prosecutor Towards Acquittal is as legal penetration in the effort to have a justice and truth. In the name of justice and legal certainty, the decision of judge shall be able to correct for improvement or cancellation in case in its decision contains error or mistake of the judge. The law provides facility to correct a decision of the judge in case it has error or mistake through its legal effort. KUHAP has stipulated a prohibition related to the authority to submit the Legal Effort of Cassation By Public Prosecutor Towards Free Verdict. Public Prosecutor submits the legal effort towards free verdict, based on the Decree of the Minister of Justice of RI Number: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 dated the 10th of December 1983 regarding Supplement to Implementing Guidance of KUHAP (TPP KUHAP), in point 19 of the attachment of its decree that principally states that “toward Acquittal is unable to request an appeal, but based on the situation and condition, in the name of law, justice and truth, the acquittal can be requested for cassation”. This matter will be based on the jurisprudence. In the criminal judicature practices, it is known Absolute Acquittal and Non-absolute Free Verdict. N the case of cassation towards free verdict, in memory of its cassation, the Public Prosecutor shall be able to prove that the decision punished by the District Court is non-absolute acquittal by mentioning the reasons as the consideration basis, in which the nature of non-absolute of a acquittal referring to the provision in Article 253 paragraph (1) KUHAP namely is it correct the law and regulation is not applied or improperly applied, is it correct the way to trial is not carried out in accordance with the provision of the Law and is it correct the court has over authority limit. There is correlation between proof of non-absolute free by Public Prosecutor towards acquittal by legal consideration of Cassation Judge who receive the cassation of Public Prosecutor, because the competent authority to decide the absolute acquittal or non-absolute acquittal in the Supreme Court as the highest court (judex juris).
2013
T35419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodora
Abstrak :
ABSTRAK
Tindakan Mahkamah Agung untuk memenuhi keadilan di masyarakat terhadap perkara tindak ringan membuat Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tanggal 27 Februari 2012. Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA ini dikarenakan batasan nilai untuk tindak pidana ringan yang ada di dalam KUHP selama ini masih senilai Rp.250,- (dua ratus lima puluh) sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Hal ini menyebabkan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana ringan yang ada di dalam KUHP saat ini seperti mati suri. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 yang merubah batasan nilai dan jumlah denda perkara tindak pidana ringan di dalam KUHP tersebut menimbulkan beberapa permasalahan jika dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan, PERMA memang diakui sebagai peraturan perundang-undangan lainnya tetapi kedudukannya masih di bawah Undang-Undang. Permasalahan yang lainnya adalah keberadaan PERMA tersebut menyebabkan berubahnya proses acara pemeriksaan yang semula dengan Acara Pemeriksaan Biasa menjadi Acara Pemeriksaan Cepat sehingga mempengaruhi Sistem Peradilan Pidana dalam menyelesaikan permasalahan perkara tindak pidana ringan tersebut. Dianutnya asas legalitas dalam KUHP mengakibatkan Hakim terikat terhadap isi dari ketentuan Undang-Undang dalam menyelesaikan perkara pidana termasuk perkara Tindak Pidana Ringan. Dalam penelitian ini, penulis menyajikan putusan Hakim dalam menyelesaikan perkara Tindak Pidana Ringan yang terkait dengan PERMA No.02 Tahun 2012, dimana terdapat ketidak seragaman dikalangan para Hakim sendiri dalam menyelesaikan perkara Tindak Pidana Ringan yaitu dengan mendasarkan kepada PERMA No.02 Tahun 2012 atau tetap berpegang kepada KUHP.
ABSTRACT
Supreme court action to fulfill justice in the society for the misdemeanor cases makes Supreme Court issued Supreme Court Regulation No.2 Year 2012 on 27 February 2012. Supreme Court issued this regulation is because the misdemeanor in the criminal code is still worth two hundred and fifty rupiahs. It unsuitable with the condition society today. This causes the articles of regulating the criminal acts in the misdemeanor of the current criminal code as a dead faint. Supreme Court Regulation No.02 Year 2012 changing limits the value and amount of fines misdemeanor cases in the criminal code, raises a number of problems if viewed from the hierarchy of legislation. This regulation was recognized as the other legislation but it’s still under the legislation. The other problem is the existence of the Supreme Court Regulation No.2 Year 2012 led to change examination procedures, which was originally with the Ordinary Examination Procedures to be the Express Examination Procedures. Thus affects The Criminal Justice System in resolve problems of the misdemeanor cases. The principle of legality in the Criminal Code are bound to lead to judge the content of the provisions of the Act in resolving criminal cases including misdemeanor cases. In this study, the authors present the Judge's decision to settle the misdemeanor cases associated with Supreme Court Regulation No.2 Year 2012, where there is a lack of uniformity among the Justices themselves to resolve the matter misdemeanor by basing the Supreme Court Regulation No.2 Year 2012 or remain adhering to the Criminal Code.
Universitas Indonesia, 2013
T35455
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairul Fadli
Abstrak :
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan merupakan landasan baru dan menjadi induk hukum materiil peradilan administrasi negara. Sehubungan eratnya hubungan antara hukum materiil dengan hukum acara yang memuat prosedur formal pelaksanaan kaidah-kaidah hukum materiil tersebut, maka diperlukan kesesuaian antara subtansi dalam undang-undang peradilan administrasi negara dengan UU No. 30/2014 tersebut. Subtansi hukum yang diangkat dalam tesis ini adalah: Pertama, UU No. 30/2014 secara signifikan memperluas makna keputusan administrasi, perluasan makna tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (7) dan Pasal 87 (Penetapan tertulis mencakup tindakan faktual, memperluas sumber terbitnya keputusan administrasi, perluasan terhadap legal standing yang akan menggugat, melegalkan keputusan berbentuk elektronik, dan merubah paradigma dalam sikap diam/ lalai pejabat dari fiktif negatif ke fiktif positif). Maka implikasinya perlu merevisi pasal 1 angka (9), pasal 2 angka (1,6), dan pasal 3 Ayat (1,2,3) undang-undang peradilan administrasi. Kedua, UU No. 30/2014 merekonstruksi dan mengembangkan eksistensi upaya administratif menjadi: 1) General untuk semua kasus; 2) Terintegrasi menjadi satu sistem dengan peradilan murni; 3) Pengujian akhir hasil banding di peradilan administrasi tingkat 1 (PTUN); 4) Memiliki hukum acara dengan berbasis fiktif positif; 5) Empowering terhadap institusi pemerintahan; 6) Pembebanan sanksi administratif. Konsekuensi hukum dari konstruksi tersebut adalah; a) Ketentuan pasal 48 UU No. 9/2004 harus dihapus, karena menempatkan upaya administratif bersifat alternatif-imperatif; b) Penghapusan Pasal 51 ayat 3 UU No. 9/2004 yang menyatakan bahwa upaya hukum setelah upaya administratif ke PTTUN; c) dan revisi Pasal 55 UU No. 9/2004 berkenaan dengan ketentuan tenggang waktu. Ketiga, dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan keputusan peradilan administrasi UU No. 30/2014 mengkonsepkan uang paksa (dwangsom) sebagai bentuk dari sanksi administratif yang dikelompokkan kedalam jenis sanksi administratif sedang (tidak memandang sebagai suatu sarana eksekutor sebagaimana konsep uang paksa dalam undang-undang peradilan administrasi negara). Dan pelaksanaan uang paksa secara yuridis menjadi tanggungjawab atasan pejabat dengan proses pemeriksaan internal instansi pemerintahan secara berjenjang. Dan mengenai sumber uang paksa tersebut dibebankan kepada pejabat yang bersangkutan sebagaimana penjelasan pasal 81 Ayat (2) UU No. 30/2014.
The Law Number 30 Year 2014on Governmental Administration a new foundation and becomes the main material law of state administrative procedure law. Due to the close relation between the material law and procedural law that contains formal procedure on the implementation of such material law rules, a conformity between the substance in the Law of the State Administrative Law Procedure by Law No. 30/2014. The substances of law being focused on in this thesis such as: First, The Law No.30/2014 is significantly provided a more extensive meaning an administration decision, extensively meaning can be seen to Article I number (7) and Article 87 (Written decision include to factual actions, extensively the source of issuance of an administration decision, extensively to legal standing of litigant, legaliting to electronic decision, and changing paradigzm in the official?s readiness/negligence from negative fictive to positive fictive. Therefore, the implication need to revise article 1 number (9), article 2 number (1,6), and article 3 number (1,2,3) from the Law of Administration Procedural. Second, The Law No. 30/2014 reconstructed and developed the existence of administrative beroep such as: 1) is generally applicable for all cases; 2) is integrated into one system under pure judicial court; 3) final testing of the appeal result in level 1 administration judicial court; 4) Has a positive fictive-based procedural law; 5) Empower the governmental institution; 6) imposition of Administration sanction. Legal consequences of such construction are; a) The provision of article 48 of The Law No. 9/2004 must be eliminated, because it disposes an imperative-alternative of administration beroep; b) Elimination of Article 5l number 3 of The Law No. 9/2004 that states legal effort following the administrative beroep to PTTUN; c) and revision of Article 55 of The Law No. 9/2004 with regard to the provision of deadline. Third, for efficiently implement administration judicial court order, The Law No. 30/2014 provides the concept of penalty payment (dwangsom) as a form of administrative sanction, grouped into a medium administrative sanction (without considering it as an executer media as thepenalty payment concept in the Law of the State Administrative Law Procedure. And then the implementation of juridical penalty payment shall be the responsibility of the official?s superior with step-by-step internal inspection process of the governmental institution. And with regard to such source of penalty payment shall be borne by the concerned official as stated in the description of article 81 number (2) of The Law No. 30/2014.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44883
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>