Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan, 2004
R 336.598 HIM
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Ksatriyo Hajriawan
"Penelitian ini menganalisis implikasi hukum dari unrealized loss investasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan dan statusnya apakah termasuk kerugian negara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. BPJS Ketenagakerjaan merupakan badan hukum hybrid (sui generis) karena menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi pemerintahan di bidang pelayanan kepada masyarakat dan fungsi self regulatory yang bertindak sebagai pelaksana teknis organisasi. Hal ini tercermin dari pengelolaan keuangan BPJS Ketenagakerjaan yang terbagi menjadi dua, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 UU BPJS, yaitu Aset BPJS yang bersumber dari Penyertaan Modal Negara (PMN) dan pengalihan aset BUMN Jamsostek. Serta Aset Dana Jaminan Sosial yang bersumber dari iuran peserta jaminan sosial ketenagakerjaan dan hasil pengalihan hak peserta pada BUMN Jamsostek. Kedua aset tersebut dimandatkan untuk dikelola, salah satunya dengan cara diinvestasikan. Selanjutnya rumusan kerugian negara dalam UU Perbendaharaan Negara, UU BPK, UU Tipikor haruslah dalam bentuk pasti (actual loss). Sedangkan dalam ilmu akuntansi, unrealized loss tidak dihitung sebagai kerugian (tidak dicatat dalam laporan laba rugi), melainkan dimasukkan ke dalam pendapatan menyeluruh (comprehensive income). Penurunan nilai saham tersebut akan menjadi kerugian nyata atau tidak tergantung pada saat penjualan aset tersebut dilakukan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa unrealized loss investasi BPJS Ketenagakerjaan bukanlah merupakan kerugian negara, melainkan kerugian bisnis. Oleh karena itu, Direksi BPJS Ketenagakerjaan tidak perlu bertanggungjawab dikarenakan dirinya juga sudah mengikuti berbagai instrumen mitigasi hukum yang dikeluarkan oleh OJK dan BPK. Lebih lagi, unrealized loss ini adalah risiko bisnis akibat keadaan pasar yang tidak menentu akibat Covid-19, sehingga Direksi tidak dapat dipidana berdasarkan UU Tipikor maupun ketentuan pidana dalam UU BPJS.
......his research analyzes the legal implications of the unrealized loss on investments made by BPJS Ketenagakerjaan and its status regarding whether it constitutes a state loss. The study employs a doctrinal research method. BPJS Ketenagakerjaan is a hybrid legal entity (sui generis) because it performs two simultaneous functions: a governmental function in the field of public service and a self-regulatory function acting as the technical executor of the organization. This is reflected in the financial management of BPJS Ketenagakerjaan, which is divided into two parts, as mentioned in Article 40 of the Social Security Administrators Law: BPJS Assets (state finance) sourced from State Capital Participation (PMN) and the transfer of assets from the state-owned enterprise Jamsostek. Additionally, there are Social Security Fund Assets (not state finance) sourced from social security employment contributions and the transfer of participants' rights from the state-owned enterprise Jamsostek. Both of these assets are mandated to be managed, one of which is through investment. Furthermore, the definition of state loss in the State Treasury Law, the State Audit Law, and the Anti-Corruption Law must be in the form of an actual loss. Meanwhile, in accounting, unrealized loss is not calculated as a loss (not recorded in the income statement) but included in comprehensive income. The decrease in stock value will become an actual loss or not depending on the sale of the asset. The results of this research indicate that the unrealized loss on BPJS Ketenagakerjaan's investments is not a state loss but a business loss. Therefore, the Board of Directors of BPJS Ketenagakerjaan should not be held responsible as they have followed various legal mitigation instruments issued by OJK and BPK. Moreover, this unrealized loss is a business risk due to the uncertain market conditions caused by Covid-19, thus the Board of Directors cannot be criminally prosecuted under the Anti-Corruption Law or the criminal provisions in the Social Security Administrators Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mellysa Cahya Kartika
"Tulisan ini menganalisis status hukum pemisahan kekayaan negara dalam BUMN dan bentuk pertanggungjawaban direksi atas kerugian yang terjadi dalam pengelolaan BUMN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam menjalankan BUMN, dibutuhkan pemimpin yang mampu mengarahkan BUMN ke arah progresif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu, pengelolaan BUMN memerlukan direksi yang bertanggung jawab atas seluruh aspek perusahaan. Namun, dalam praktiknya, direksi sering dihadapkan pada kasus tindak pidana korupsi. Status hukum kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN menerapkan prinsip separate legal entity, sehingga kekayaan negara yang disertakan dalam modal BUMN tidak lagi menjadi milik negara, melainkan milik BUMN. Dalam pengelolaan dan pembinaan BUMN harus tunduk pada UU PT. Oleh karena itu, segala risiko yang timbul menjadi tanggung jawab BUMN sebagai badan hukum privat. Maka dari itu, kerugian yang timbul akibat kesalahan dalam pengelolaan BUMN oleh direksi merupakan kerugian BUMN sebagai entitas hukum privat, sehingga direksi dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi.
......This paper analyzes the legal status of the separation of state assets within SOEs and the forms of accountability of directors for losses incurred in the management of SOEs. This research employs doctrinal research methods. In managing SOEs, leaders capable of directing the SOEs towards progressive goals are needed to achieve the desired objectives. Therefore, the management of SOEs requires directors who are responsible for all aspects of the company. However, in practice, directors are often faced with cases of corruption. The legal status of state assets separated within SOEs applies the principle of a separate legal entity, so the state assets included in the capital of SOEs no longer belong to the state but to the SOE. In the management and supervision of SOEs, they must adhere to the Company Law. Therefore, all risks that arise are the responsibility of the SOE as a private legal entity. Consequently, losses resulting from errors in the management of SOEs by the directors are losses of the SOE as a private legal entity, so the directors can be held personally accountable."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mellysa Cahya Kartika
"Tulisan ini menganalisis status hukum pemisahan kekayaan negara dalam BUMN dan bentuk pertanggungjawaban direksi atas kerugian yang terjadi dalam pengelolaan BUMN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam menjalankan BUMN, dibutuhkan pemimpin yang mampu mengarahkan BUMN ke arah progresif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu, pengelolaan BUMN memerlukan direksi yang bertanggung jawab atas seluruh aspek perusahaan. Namun, dalam praktiknya, direksi sering dihadapkan pada kasus tindak pidana korupsi. Status hukum kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN menerapkan prinsip separate legal entity, sehingga kekayaan negara yang disertakan dalam modal BUMN tidak lagi menjadi milik negara, melainkan milik BUMN. Dalam pengelolaan dan pembinaan BUMN harus tunduk pada UU PT. Oleh karena itu, segala risiko yang timbul menjadi tanggung jawab BUMN sebagai badan hukum privat. Maka dari itu, kerugian yang timbul akibat kesalahan dalam pengelolaan BUMN oleh direksi merupakan kerugian BUMN sebagai entitas hukum privat, sehingga direksi dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi.
......This paper analyzes the legal status of the separation of state assets within SOEs and the forms of accountability of directors for losses incurred in the management of SOEs. This research employs doctrinal research methods. In managing SOEs, leaders capable of directing the SOEs towards progressive goals are needed to achieve the desired objectives. Therefore, the management of SOEs requires directors who are responsible for all aspects of the company. However, in practice, directors are often faced with cases of corruption. The legal status of state assets separated within SOEs applies the principle of a separate legal entity, so the state assets included in the capital of SOEs no longer belong to the state but to the SOE. In the management and supervision of SOEs, they must adhere to the Company Law. Therefore, all risks that arise are the responsibility of the SOE as a private legal entity. Consequently, losses resulting from errors in the management of SOEs by the directors are losses of the SOE as a private legal entity, so the directors can be held personally accountable."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widhya Mahendra Putra
"ABSTRAK
Berlakunya PP No. 72 Tahun 2016 yang memuat aturan penyertaan modal negara kepada BUMN persero tanpa melalui mekanisme APBN menimbulkan permasalahan dalam konsep pengelolaan keuangan negara. Ruang lingkup keuangan negara yang sangat luas dalam UU No. 17 Tahun 2003, menempatkan persetujuan DPR sebagai unsur yang sangat penting. Sebagaimana dipahami oleh kalangan anggota legislatif, mekanisme PMN kepada BUMN persero merupakan bagian keuangan negara yang memerlukan persetujuan DPR. Sedangkan, dalam lingkungan hukum keuangan publik, keuangan BUMN dianggap sebagai keuangan otonom badan hukum privat, sehingga ada hal-hal tertentu baik pemerintah maupun DPR tidak dapat ikut campur dalam pengelolaannya. Penelitian ini diharapkan memberikan kajian hukum yang komprehensif mengenai kriteria dalam menentukan PMN yang dilakukan dengan atau tanpa persetujuan DPR sesuai doktrin hukum keuangan publik. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menganalisis kebijakan dari sisi hukum. Selain itu, penelitian ini menggunakan tipologi bersifat perskriptif dan jenis data sekunder. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil, mengenai jenis-jenis tindakan atas PMN meliputi tindakan kepemerintahan yang memerlukan persetujuan DPR dan tindakan korporasi. Jenis tindakan tersebut digunakan untuk mengklasifikasikan jenis mekanisme PMN kepada BUMN persero. Jenis PMN untuk pendirian dan penambahan PMN termasuk dalam jenis tindakan kepemerintahan, sedangkan pengurangan PMN seperti pengalihan aset dan restrukturisasi termasuk tindakan korporasi kecuali privatisasi. Doktrin badan hukum maupun teori transformasi menunjukkan bahwa mekanisme PMN dalam PP No. 72 Tahun 2016 tidak bermasalah. Untuk itu, Pemerintah dan DPR hendaknya menentukan batas-batas persetujuan DPR terhadap PMN yang didasarkan pada klasifikasi jenis dan tindakan atas PMN kepada BUMN persero dan sejalan dengan doktrin hukum keuangan publik.

ABSTRACT
The implementation of Government Regulation No. 72 of 2016 which contains the rule of State Capital Participation (SCP) for State-Owned Enterprises (SOEs) without going through State Budget mechanism raises problems in the concept of state finance management. The broad scope of state finance in the Law No. 17 of 2003 places The House of Representatives' (DPR) approval as an important element. As understood by members of parliament, the SCP mechanism towards SOEs is a part of state finances that requires DPR's approval. Whereas, within public finance law, SOEs finance is considered an autonomous financial private legal entity, so there are certain things in its management that cannot be interfered by both the Government and the Parliament. This research is expected to provide a comprehensive legal study regarding the criteria in determining SCP conducted with or without the approval of DPR according to the doctrine of public finance law. This study employs a normative juridical method by analyzing policy from legal point of view. In addition, this study uses typological descriptive and secondary data. Based on the research, the obtained result includes the types of actions against SCP including governmental actions that require DPR's approval and corporate actions. This type of action is used to classify the type of SCP mechanism towards SOEs. According to this research, governmental actions include SCP for the establishment and addition of SCPs while SCP reductions, such as asset transfers and restructuring, are classified as corporate actions except privatization. Both legal entity doctrine and transformation theory show that the SCP mechanism in Government Regulation No. 72 of 2016 does not indicate problem. For this reason, the Government and DPR should determine the limits of the DPR's approval for SCP based on the classification of types and actions of the SCP towards SOEs and in line with the doctrine of public finance law."
2019
T54829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library