Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kenyorini
"Penyakit TB masih merupakan masalah kesehatan kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. Upaya diagnostik TB paru masih terus ditingkatkan. Pemeriksaan penunjang diagnosis TB yang sekarang digunakan masih mempunyai sensitiviti dan spesitiviti yang rendah. Tujuan penelitian mengetahui tingkat akurasi uji tuberkulin dan PCR terhadap penegakkan diagnosis TB serta hubungan uji tuberkulin dan PCR dengan BTA mikroskopis dan biakan M. Tb dalam diagnosis TB paru.
Metode penelitian cross-sectional, uji diagnostik dan analisa data menggunakan Chi-Square. Kriteria inklusi penderita terdapat gejala klinik riwayat batuk 3 minggu disertai atau tanpa batuk darah, nyeri dada, sesak napas dan riwayat minum obat TB dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan serta bukan TB (kontrol). Seluruh sampel dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, lekosit, LEDI/II, foto toraks, uji tuberkulin, PCR, BTA mikroskopis 3X dan biakan M. Tb mctode kudoh. Baku emas yang digunakan biakan M. Tb metode kudoh. Data diolah menggunakan SPSS versi 11.00.
Berdasar 127 sampel masuk kriteria inklusi 121. Sampel berjumlah 121 terdiri dari 61 sampel tersangka TB dan 60 sampel kontrol Sensitiviti dan spesivisiti uji tuberkulin terhadap biakakn metode Kudah menggunakan cut-off point 15,8 mm 33% dan 93%. Sensitiviti PCR terhadap biakab metode Kudoh 100%, spesitiviti PCR 78%. Didapatkan perbedaan bermakna dan hubungan lemah uji tuberkulin dengan biakan M. Tb dan PCR serta didapatkan perbedaan dan hubungan bermakna PCR dengan BTA mikroskopis biakan M. Tb.
Kesimpulan basil keseluruhan penelitian mendapatkan basil 39 sampel biakan positif, 36 sampel BTA mikroskopis positif, 57 sampel PCR positif dan 18 sampel uji tuberkulin positif. Ditemukan sensitiviti basil uji tuberkulin lebih rendah daripada PCR, BTA mikroskopis dan biakan M. Tb mctode Kudoh. Meskipun terdapat perbedaan bermakna basil uji tuberkulin pada biakan positif clan negatif, BTA mikroskopis positif dan negatif, serta PCR positif dan negatif, akan tetapi uji tuberkulin (menggunakan cut-off point 15.8 mm) kurang dapat membantu penegakan diagnosis TB para. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa diantara keempat pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru PCR mempunyai nilai sensitivit dan spesitiviti tinggi ( 100% dan 78%). sehingga PCR dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru apabila didapatkan klinis dan radiology mendukung TB paru. Menggunkan pemeriksaan PCR akan didapatkan metode penegakan diagnosis TB paru yang cepat ( 1 hari ) dibandingkan dengan menunggu hasil biakan M. Tb hingga 8 minggu.

Objective. In an attempt diagnosis pulmonary tuberculosis still increased continuously. Now additional examination pulmonary tuberculosis have been lack sufficient sensitivity and sensitivities. The aim of this study was to determine the validity of tuberculin skin testing (TST) and PCR toward assessment diagnosis pulmonary of tuberculosis with correlation between tuberculin skin testing to PCR with AFB microscopic and solid media culture of M. tuberculosis for the diagnosis of pulmonary tuberculosis.
Method. A cross-sectional study, diagnostic test and analysis with Chi-Square test. Inclusion criteria patient with pulmonary symptom include chronic cough 3 weeks with or without hemoptysis, chest pain, breathlessness and past history of ATA less than 1 month with non-tuberculosis patient (control). The general samples was examination Ro thorax, tuberculin skin testing, PCR, AFB microscopic and conventional culture. The golden standard is conventional culture test using Kudoh method. Analyze of the data with SPSS version 11.0.
Result. The study material comprised 121 samples from 127 samples. These samples include 61 samples from patient with probably active pulmonary tuberculosis and 60 control comprising healthy individuals. The sensitivity and specificity of tuberculin skin testing with cut-off point 15.8 mm greater was 33% and 93% on conventional culture test using Kudoh method. PCR sensitivity was 100% and spesitivity was 78%. It was showed the positivity correlation between pulmonary tuberculosis and conventional culture as well as PCR and AFB microscopic, the conventional culture test.
Conclusion. The sensitivity of tuberculin skin testing less than PCR, AFB microscopic and conventional culture test. So that not enough to assessment diagnosis pulmonary tuberculosis. The sensitivity and specificity PCR was I00% and 78%. With the use of PCR test, we were able to detect diagnosis pulmonary tuberculosis more rapidly in less than I day, compared to average 8 week required for detection by conventional culture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William
"Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) adalah penyebab utama kematian akibat infeksi di dunia. Sejak tahun 2008 - 2017 terdapat penurunan angka keberhasilan pengobatan TB di Indonesia (< 90%). Rekomendasi pengobatan TB di Indonesia adalah paduan obat antituberkulosis (OAT) dosis berselang sebagian (2RHZE/4R3H3) atau harian (2RHZE/4RH). Menurut WHO, paduan OAT RHZE/R3H3 mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang lebih tinggi. Namun, penelitian meta-analisis RCT menyatakan bahwa kedua paduan OAT mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang sama. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/2RH dengan 2RHZE/4R3H3.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain cross sectional yang membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/4RH dengan 2RHZE/4R3H3 pada pasien TB paru kategori I di RSUP Persahabatan periode Januari 2015 sampai Juni 2018. Data sekunder diambil dari rekam medik. Hasil pengobatan dinilai sesuai definisi dalam pedoman nasional penanggulangan TB di Indonesia dan WHO. Efek samping dinilai dari seluruh efek samping terkait OAT yang tercatat dalam rekam medik.
Hasil: Terdapat 175 pasien pada masing-masing kelompok. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4RH terdapat 89.1% pasien berhasil, 13.1% sembuh,76.0% pengobatan lengkap, 10.6% putus berobat, 0.6% gagal, dan tidak ada yang meninggal. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 terdapat 91.4% pasien berhasil, 39.4% sembuh, 52.0% lengkap, 8% putus berobat, tidak ada yang gagal, dan 0.6% meninggal. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), putus berobat (p=0.659 ,OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), gagal (p=1.000), dan meninggal (p=1.000) di antara kedua kelompok. Namun, terdapat perbedaan bermakna untuk kesembuhan (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) dan pengobatan lengkap (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540). Sebagian besar pasien mengalami efek samping pengobatan (51.1%) terutama di tahap intensif (73.2%). Pada tahap lanjutan tidak ada perbedaan bermakna kejadian efek samping antara kedua kelompok (p= 0.324, OR=1.386, IK95%; 0.723-2.657).
Kesimpulan: Kesembuhan kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 lebih baik daripada 2RHZE/4RH, sedangkan pengobatan lengkap sebaliknya. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan, putus berobat, kegagalan, meninggal, dan kejadian efek samping pada tahap lanjutan di antara kedua kelompok.

Introduction: Tuberculosis (TB) is the main cause of death for infectious disease in the world. Since 2008 - 2017, there was a decline of TB success rate (< 90%) in Indonesia. Treatment of TB in Indonesia are using antituberculosis drugs with part daily dose combination (2RHZE/4R3H3) or daily dose combination (2RHZE/4RH). WHO concluded that 2RHZE/4R3H3 combination had higher failure and recurrence rate. However, a meta-analysis study showed that both combinations had same failure and recurrence rate. Therefore, this study is conducted to compare treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination.
Method: This was an observational analytic study with cross sectional design which compared treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination in pulmonary tuberculosis patient at RSUP Persahabatan period January 2015 until June 2018. Secondary data was taken from medical record. Treatment outcomes were assessed using definition in Indonesia National Guideline of TB and WHO. Adverse effects were assessed from all adverse effects that written in medical record.
Result: There are 175 patients in each group. In 2RHZE/4RH combination group, there were 89.1% patients succeed, 13.1% cured, 76.0% completed treatment, 10.6% lost to follow up, 0.6% failed and no one died. In 2RHZE/4R3H3 combination group, there were 91.4% patients succeed, 39.4% cured, 52.0% completed treatment, 8% lost to follow up, no one failed, and 0.6% died. There was no significant difference for success (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), loss to follow up (p=0.659, OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), failure (p=1.000), and death rate (p=1.000) between two groups. However, there was a significant difference for cure (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) and complete treatment rate (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540) between two groups. Most patients had adverse effects (51,5%), especially in intensive phase (73,2%). In continuation phase, there was no significant difference of adverse effects event between two groups (p = 0.324, OR= 1.386, IK95%; 0.723-2.657).
Conclusion: Cure rate was better in 2RHZE/4R3H3 group than 2RHZE/4RH group, for completed treatment on the contrary. There was no significant difference for success rate, loss to follow up rate, failure rate, death rate, and adverse effects event in continuation phase between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59177
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darayu Calvert Wilson
"Perbedaan antara tes untuk infeksi tuberkulosis (TB) yang resistan terhadap obat menjadi lebih umum karena alat diagnostik menjadi lebih bervariasi. Hal tersebut membingungkan dokter karena belum ada tes TB diagnostik cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Kasus suspek-TB di RSUPP, pusat primer dan tersier untuk kasus TB paru Indonesia, disaring dengan GeneXpert MTB / RIF dan dikonfirmasikan dengan uji kepekaan obat anti-tuberkulosis.
Discrepancies between tests for drug-resistant tuberculosis (TB) infections are becoming more common as diagnostic tools become more varied. These discrepancies confuse clinicians because there is not yet a rapid diagnostic TB test with good sensitivity and specificity. Suspected-TB cases at Rumah Sakit Umum Pusat Perhasabatan (RSUPP), a primary and tertiary center for Indonesia’s pulmonary TB cases, are screened with GeneXpert MTB/RIF and confirmed with conventional drug- susceptibility testing (DST)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Adiwidia
"Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis yang salah satunya menyerang paru-paru dan ditularkan melalui droplet (udara) dari penderita TB paru aktif. Pengendalian penyakit TB paru adalah dengan meningkatkan pengetahuan penderita. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien TB paru rencana pulang rawat inap tentang penyakit TB paru. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan 64 sampel. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa tingkat pengetahuan pasien adalah 51,6% berpengetahuan baik dan 48,4% berpengetahuan kurang. Rumah sakit perlu mengoptimalkan pengetahuan dan evaluasi pengetahuan pasien rawat inap yang akan pulang.

Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by mycobacterium tuberculosis germs, the disease can attacks the lungs and transmitted by droplets (air) by patients TB active. Control of TB with increase knowledge of the patient TB. The purpose of this research for to know about the knowledge TB patients which have to plan depart from hospital about TB disease. This is the descriptive research with 64 sample. The result of this research show that level of patient knowledge is good knowledge 51.6% and 48.4% is poor knowledge. Hospitals must to optimize knowledge and evaluation patients will go home."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
S42072
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sagala, Torangso
"Pencegahan penyakit tuberkulosis paru dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat, terutama remaja sebagai generasi penerus bangsa. Selain itu, remaja mampu menggunakan berbagai media komunikasi untuk menyebarkan informasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan pelajar salah satu SMA Negeri Jakarta tentang tuberkulosis paru. Disain penelitian ini adalah deskriptif sederhana dengan metode sistematic random sampling dengan 110 responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tinggi sebanyak 81.80 %; tingkat pengetahuan cukup sebanyak 17.30%; dan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 0.90%. Puskesmas dan sekolah disarankan untuk bekerja sama dalam meningkatkan pengetahuan pelajar tentang tuberkulosis. Pelajar dapat menyebarkan informasi tentang pencegahan tuberkulosis melalui berbagai media informasi.

Prevention of pulmonary tuberculosis can be done by increasing knowledge of society, especially adolescent as next generation because they are capable to spread out information.
This study aimed to determine the level of knowledge about pulmonary tuberculosis of high school students at one of Jakarta. A simple descriptive method with systematic random sampling was applied. Sample size
was 110 respondents.
Results showed that high level of knowledge is 81.80%; sufficient level is 17:30%, and low level is 0.90%. Health centers and schools are suggested to work together increasing student knowledge about pulmonary tuberculosis and they will share information to others.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
S61317
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Nurmala Sari
"Tuberculosis paru berdampak pada masalah fisiologis terutama masalah respirasi. Masalah keperawatan yang umum pada klien dengan TB paru adalah pola napas tidak efektif yang disebabkan oleh deformitas dinding thorak dan kondisi penyakit. Bentuk tindakan keperawatan yang sederhana dan mudah dilakukan adalah pemberian posisi semi fowler. Posisi semi fowler akan membuat paru dapat memaksimalkan ekspansinya dan menurunkan penggunaan otot bantu napas. Karya Ilmiah Akhir ini memberikan gambaran tentang keefektifan pemberian posisi semi fowler terhadap penurunan sesak napas pada Tn. S dengan TB Paru. Hasil evaluasi yang dilakukan selama lima hari menunjukkan penurunan sesak napas dan penurunan penggunaan otot bantu pernapasan pada Tn. S setelah diberikan posisi semi fowler. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, posisi semi fowler mampu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya penggunaan otot bantu napas. Pemberian posisi semi fowler dapat diaplikasikan sebagai salah satu intervensi non-farmakologi utama dalam mengatasi pola napas tidak efektif.

Pulmonary tuberculosis has an impact on physiological problems, especially respiratory problems. A common nursing problem in clients with pulmonary TB is an ineffective breathing pattern caused by thoracic wall deformities and disease conditions. One of the nursing actions that is simple and easy to perform is the provision of a semi-Fowler's position. The semi-Fowler's position will allow the lungs to maximize their expansion and reduce the use of accessory muscles for breathing. This final scientific work provides an overview of the effectiveness of giving the semi-fowler position to reduce shortness of breath in Mr. S with pulmonary TB. The results of the evaluation carried out for five days showed a decrease in shortness of breath and a decrease in the use of accessory muscles of respiration in Mr. S after being given a semi-Fowler's position. Based on the research that has been done, the semi-Fowler position is able to maximize lung expansion and reduce the effort to use the accessory muscles of breathing. Provision of a semi-Fowler's position can be applied as one of the main non-pharmacological interventions in overcoming ineffective breathing patterns."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arifa Rahma Izzati
"Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular dari satu orang ke orang lain melalui droplet yang ditransmisikan melalui udara. Tingginya angka kasus penyakit TB dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor kepadatan penduduk, cakupan rumah sehat, serta iklim (suhu udara, kelembaban udara, dan curah hujan) terhadap angka proporsi kasus TB paru BTA Positif di Kota Surabaya pada tahun 2015-2019. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistika dan Dinas Kesehatan Kota Surabaya dengan metode studi ekologi time trend dan analisis spasial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara variabel kepadatan penduduk (p = 0,000; r = 0,308), cakupan rumah sehat (p = 0,000; r = -0,363), serta kelembaban udara pada lag time 1 tahun (p = 0,014; r = 0,949) dengan proporsi TB paru BTA positif. Sementara untuk faktor suhu udara serta curah hujan menunjukkan hubungan yang tidak signfikan dengan proporsi TB paru BTA Positif. Berdasarkan peta analisis spasial, didapatkan pola yang jelas bahwa angka proporsi yang tinggi terdapat pada wilayah kecamatan yang memiliki cakupan rumah sehat yang rendah, namun pada faktor kepadatan penduduk tidak terlihat pola yang jelas. Oleh karena itu, disarankan untuk dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit TB paru terutama pada wilayah kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan juga melalui upaya pengembangan rumah sehat yang optimal.

Pulmonary tuberculosis or pulmonary TB is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. This disease is transmitted from one person to another through droplets that are transmitted through the air. The high number of TB cases can be caused by various factors, one of which is environmental factors. This study aims to determine the relationship between population density, healthy housing coverage, and climate factors (air temperature, relative humidity, and rainfall) to the proportion smear-positive pulmonary TB cases in Surabaya city in 2015-2019. This study uses secondary data from the Central Bureau of Statistics and the Surabaya City Health Office with time trend ecological study methods and spatial analysis. The results showed that there was a significant relationship between population density (p = 0.000; r = 0.308), healthy house coverage (p = 0.000; r = -0.363), and humidity at a 1 year lag time (p = 0.014; r = 0.949) with the proportion of smear-positive pulmonary TB. Meanwhile, the air temperature and rainfall factors showed a non-significant relationship with the proportion of smear-positive pulmonary TB. Based on the spatial analysis map, a clear pattern is found that the high proportion is found in sub-districts that have low coverage of healthy homes, but on the population density factor there is no clear pattern. Therefore, it is recommended to prevent and control pulmonary TB disease, especially in sub-districts that have a high population density and also through efforts to develop optimal healthy homes."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhadi
"TB Paru menjadi salah satu penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmet global dalam SDGs. Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TBC adalah Case Detection Rate (CDR), yaitu Jumlah semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan diantara perkiraan jumlah semua kasus TBC (insiden). Kementerian Kesehatan menetapkan target CDR minimal pada tahun 2021 sebesar 85%. Pencapaian Cakupan Treatment (TC) Provinsi Jambi pada tahun 2021 sebesar 26,91% angka ini belum memenuhi target minimal yang telah ditetapkan yaitu sebesar 85%. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko kejadian TB paru di RSUD Raden Mattaher. Desain penelitian menggunakan Cross sectional, dengan jumlah sampel sebanuak 116 sampel. Hasil penelitian diperoleh faktor determinan terhadap kejadian TB di RSUD Raden Mattaher adalah status gizi dan status diabetes militus. Diperoleh status gizi (OR=3,12 ; 1,07 – 9,04) dan Status DM (OR=3,63 ; 1,17 – 11,27)

Pulmonary Tuberculosis (TB) has become one of the diseases whose control is a global commitment within the SDGs (Sustainable Development Goals). One of the indicators used in TB control is the Case Detection Rate (CDR), which is the number of all treated and reported TB cases among the estimated number of all TB cases (incidence). The Ministry of Health has set a minimum CDR target of 85% in 2021. The achievement of the Treatment Coverage (TC) in Jambi Province in 2021 was only 26.91%, which did not meet the set minimum target of 85%. This research aims to analyze the risk factors for pulmonary TB incidents at RSUD Raden Mattaher. The research design used in this study is Cross-sectional, with a sample size of 116. The research results revealed that the determinants for TB incidents at RSUD Raden Mattaher are nutritional status and diabetes mellitus status. The obtained odds ratio for nutritional status was 3.12 (confidence interval: 1.07 - 9.04), while for diabetes mellitus status, it was 3.63 (confidence interval: 1.17 - 11.27)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Eka Saputri
"Tuberkulosis paru merupakan sebuah penyakit yang menular sehingga mengakibatkan kesehatan buruk dan juga salah satu dari sepuluh penyebab kematian paling atas di dunia. Penyebab penyakit tuberkulosis paru yakni Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis paru masih menjadi salah satu masalah Kesehatan di kota bogor dari tahun 2020-2022. Tujuan: Menganalisis hubungan cakupan rumah sehat, cakupan rumah tangga ber PHBS, fasilitas kesehatan dan kepadatan penduduk terhadap kasus tuberkulosis paru di Kota Bogor pada tahun 2020-2022. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi ekologi berbasis waktu. Hasil: Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa Rumah sehat (p=0,256), Rumah ber-phbs (p=-0,257), Fasilitas Kesehatan (p=0,338), Kepadatan penduduk (p=-0,943) terhadap kejadian tuberkulosis paru. Kesimpulan: Terdapat hubungan signifikan antara fasilitas Kesehatan dan kepadatan penduduk terhadap kejadian tuberkulosis. Dan terdapat hubungan yang tidak signifikan antara rumah sehat dan rumah tangga ber-phbs terhadap kejadian tuberkulosis paru.

Pulmonary tuberculosis is an infectious disease that causes poor health and is also one of the top ten causes of death in the world. The cause of pulmonary tuberculosis is Mycobacterium tuberculosis. Pulmonary tuberculosis is still one of the health problems in Bogor City from 2020-2022. Objective: To analyze the relationship between healthy home coverage, PHBS household coverage, health facilities and population density with pulmonary tuberculosis cases in Bogor City in 2020-2022. Method: This study is a quantitative study with a time-based ecological study design. Results: The results of the correlation analysis showed that Healthy houses (p = 0.256), PHBS houses (p = -0.257), Health facilities (p = 0.338), Population density (p = -0.943) on the incidence of pulmonary tuberculosis. Conclusion: There is a significant relationship between health facilities and population density on the incidence of tuberculosis. And there is an insignificant relationship between healthy houses and PHBS households on the incidence of pulmonary tuberculosis.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Gardenia Partakusuma
"Untuk mengetahui aplikasi klinis pemeriksaan serologi dalam mendeteksi antibodi IgG spesifik terhadap Tuberkulosis ( TB ) dengan kit Pathozyme-TB yang menggunakan antigen 38 kDa, kit Pathozyme-Myco yang menggunakan antigen 38 kDa dan Lipopolisakarida ( LPS ), serta kit MycoDot yang menggunakan antigen Lipoarabinomanan ( LAM ) , dilakukan penelitian pada penderita TB paru di Jakarta. Bahan penelitian berupa 194 serum dari 79 orang penderita TB paru dengan BTA positip, 61 orang penderita TB paru dengan BTA negatip, 31 orang penderita penyakit paru non-TB dan 23 orang sehat yang kontak dengan penderita TB minimal 1 tahun, diperoleh dari Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Pada ke empat kelompok tersebut penelitian dilakukan secara crosssectional. Penelitian longitudinal dilakukan terhadap 39 penderita TB paru dengan BTA dan biakan positip selama terapi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 3 dan 6 bulan. Hasil penelitian didapatkan nilai batas diagnosis yang sebaiknya digunakan untuk kit Pathozyme-Myco adalah serapan kontrol positip rendah ( SKPR ) dibagi dengan 1,5 sedangkan untuk kit Pathozyme-TB adalah SKPR dibagi dengan 3. Menggunakan kit Pathozyme-Myco didapatkan nilai sensitivitas sebesar 78 % dan spesifisitas 78 % pada penderita TB dengan BTA positip dan negatip, sensitivitas 82 % dan spesifisitas 78 /o pada penderita TB paru dengan BTA positip, sensitivitas 72 % dan spesifisitas 78 % pada penderita TB paru dengan BTA negatip. Menggunakan kit Pathozyme-TB didapatkan sensitivitas sebesar 44 % dan spesifisitas 91 % pada pendenta TB paru dengan BTA positip dan negatip, sensitivitas 51 % dan spesifisitas 91 % pada penderita TB paru dengan BTA positip dan sensitivitas 34 % dan spesifisitas 91 % pada penderita TB paru dengan BTA negatip. Menggunakan kit Myco-Dot didapatkan sensitivitas sebesar 67,8 % dan spesifisitas 95,6 % pada penderita TB paru dengan BTA positip dan negatip, sensitivitas 75,9 % dan spesifisitas 95,6 % pada TB paru dengan BTA positip, sensitifitas 57,4 % dan spesifisitas 95,6 % pada penderita TB paru dengan BTA negatip. Sensitivitas kit Pathozyme-Myco dan MycoDot cukup tinggi terutama pada TB paru dengan BTA positip, sedangkan sensitivitas Pathozyme-TB kurang tinggi terutama pada TB paru dengan BTA negatip. Spesifisitas pemeriksaan menggunakan ketiga macam kit yaitu Pathozyme-Myco, Pathozyme-TB dan MycoDot cukup baik.Menggunakan kit Pathozyme-Myco dan Pathozymc-TB didapat nilai diagnosis dan interval kepercayaan cukup baik yaitu berturut-turut 0,847 (0,771-0,923) dan 0,725 (0,629- 0,821). Nilai prediksi positip pada kit Pathozyme-Myco, Pathozyme-TB dan MycoDot baik yaitu berturut-turut 74,6 - 88%, 70,8 - 88,9% dan 94,6 - 97,9%. Nilai prediksi negatip pada kit Pathozyme-Myco dan MycoDot cukup baik yaitu berturut-turut 56,5 - 75,0 % dan 53,6 - 85,2 %. Tetapi nilai prediksi negatip pada kit Pathozyme-TB tidak cukup baik, yaitu 35,9 - 54,0 % . Ketiga macam kit yaitu Pathozyme-Myco, Pathozyme-TB dan MycoDot dapat digunakan untuk serodiagnostik TB. Menggunakan kit Pathozyme-Myco dan Pathozyme-TB, tidak didapatkan perubahan kadar antibodi IgG terhadap TB setelah terapi OAT 3 bulan dan tidak didapatkan kadar antibodi IgG TB di bawah nilai batas diagnosis setelah terapi OAT 6 bulan, sehingga pemeriksaan ini tidak dapat digunakan pada pemantauan terapi dan tidak dapat membedakan penderita TB paru aktif dengan bekas TB paru yang baru sembuh. Pada penelitian ini tidak dijumpai adanya pengaruh status gizi pada hasil pemeriksaan dengan menggunakan kit Pathozyme-Myco, Pathozymc-TB dan MycoDot.

To determine the clinical application of serologic test by detection of IgG antibodies for tuberculosis (TB), researeh was done on TB patients in Jakarta, using 38 kDa antigen in Pathozyme-TB, 38 kDa and Lipopolysaccharides (LPS) antigens in Pathozyme-Myco and Lipoarabinomannan (LAM) antigen in MycoDot kit. One hundred and ninety four sera were collected from 79 pulmonary TB patients with positive sputum smears, 61 patients with negative sputum smears, 31 patients with pulmonary disease other than TB and 23 healthy persons who had minimal 1 year contact with TB patients. All patients were got from Persahabatan Hospital Jakarta. The study was done cross-sectionally. Longitudinal study was accomplished to 39 TB patients with positive sputum smears and culture, during their 3 months and 6 months oral anti tuberculosis therapy. The detection limit for diagnosis using Pathozymc-Myco and Pathozyme-TB kit are the absorbance oflow positive control devidcd by 1.5 and 3 repectivcly. Pathozyme-Myco kit had sensitivity of 78 % and 78 % specificity in pulmonary TB patients with either positive or negative sputum smears, 82 % sensitivity and 78 % specificity in positive sputum smears pulmonary TB patients, 72 % sensitivity and 78 % specificity in smearnegative pulmonary TB patients. Pathozyme-TB kit had 44 % sensitivity, 91 % specificity in pulmonary TB patients with either positive or negative sputum smears, 51 % sensitivity and 91% specificity in smear-positive pulmonary TB patients, 34 % sensitivity and 91 % specificity in smear-negative pulmonary TB patients. MycoDot kit had 67.8 % sensitivity and 95.6 % in either positive or negative sputum smears pulmonary TB patients, 75.9 % sensitivity and 95.6 % specificity in smear-positive pulmonary TB patients, 57.4 % sensitivity and 95.6 % specificity in smear-negative pulmonary TB patients. Pathozymc-Myco and MycoDot had a high sensitivity especially for pulmonary TB patients with positive sputum smears, while the sensitivity of Pathozyme-TB was lower especially for negative sputum smears pulmonary TB patients. All the kit had a good specificity. Pathozyme-Myco and Pathozyme-TB had a diagnosis value and confidence interval of 0.847(0.771-0.923) and 0.725(0.629-0.821) respcctivcly. Positive predietive value for PathozymeMyco, Pathozyme-TB and MycoDot are 74.6 - 88 %, 70.8-88.9 % and 94.6-97.9 %. Negative predietive value for Pathozyme-Myco and MycoDot (56.5- 75.0 % and 53.6 - 85.2 %) were better than Pathozyme-TB (35.9-54 %). From these results, it was concluded that the detection of IgG antibodies against 38 kDa, LPS and LAM are uscful for serodiagnosis of pulmonary TB. Pathozyme-Myco and Pathozyme-TB kits did not show IgG TB antibodies dccreased lower than detection limit for diagnosis after 3 and 6 months therapy, so it cannot be used for therapy monitoring and for differentiated the active TB from currently recovcrcd TB patients. There is no nutrional status effect to the result ofthe three kits. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>