Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Satria Indratmoko
Abstrak :
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang sangat bervariasi, baik dalam skala ruang maupun waktu. Variasi curah hujan ini berdampak pada penentuan awal masa tanam khususnya tanaman padi. Melalui penghitungan statistik dan pemetaan data spasial, penelitian ini akan mengungkapkan pola awal musim tanam sebagai respon terhadap variabilitas curah hujan di Kabupaten Kebumen selama periode tiga puluh tahun, yaitu tahun 1981 - 2010. Analisis spasial yang diperkuat dengan pendekatan statistik mengungkapkan bahwa wilayah pesisir di Kabupaten Kebumen memiliki variabilitas curah hujan yang tinggi dengan rata rata curah hujan rendah. Semakin tinggi tempat, variabilitas curah hujannya semakin menurun diikuti rata-rata curah hujan yang semakin tinggi. Selain itu, Awal musim tanam padi dimulai pada wilayah dengan variabilitas curah hujan yang rendah (perbukitan) menuju wilayah variabilitas curah hujan tinggi (pesisir). Pada periode 1981 - 2000, awal musim tanam padi dimulai dari utara dan bergerak menuju Selatan Kabupaten Kebumen. Sedangkan pada periode 2001-2010, awal musim tanam padi dimulai dari barat laut dan bergerak menuju tenggara dan selatan Kabupaten Kebumen.
Rainfall is one element of climate that varied, both in space and time scale. These variations of rainfall affect the beginning of paddy growing season. Through a statistical calculation and mapping of spatial data, this research reveal a pattern of early growing season in response to rainfall variability in Kebumen Regency over a period of thirty years from 1981 to 2010. Spatial analysis with a reinforced approach statistics reveal that the coastal region in Kebumen Regency has high rainfall variability with an average of rainfall is low. The higher variability of annual precipitation, followed by the higher rainfall. In addition, the beginning of paddy planting season from the areas with low rainfall variability (the hills) to the region's high rainfall variability (coastal). In the period 1981-2000, paddy planting season move from the North and South Kebumen Regency. While from 2001-2010, paddy planting season move from Northwest to the Southeast and South Kebumen Regency.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1424
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Baried Izhom
Abstrak :
Longsor merupakan kejadian yang terjadi akibat kombinasi dari faktor penyebab dan faktor pemicu. Faktor penyebab dapat meliputi topografi, geologi, tanah, dan penggunaan lahan, sedangkan faktor pemicu utama terjadinya longsor adalah hujan. Intensitas curah hujan yang tinggi ditambah dengan karakteristik topografi Pulau Jawa yang sekitar 22 wilayahnya berlereng curam, menyebabkan pulau ini berpotensi terhadap longsor. Penelitian ini mengelompokan kejadian longsor di Pulau Jawa selama tahun 2012-2015 berdasarkan faktor penyebabnya. Analisis menunjukan bahwa terdapat 4 kelompok cluster kejadian longsor berdasarkan faktor penyebabnya. Berdasarkan pengelompokan tersebut diidentifikasi hujan pemicu longsor menggunakan data curah hujan Qmorph. Pendekatan empiris intensitas dan durasi hujan pada setiap kejadian longsor dilakukan untuk menentukan ambang hujan pemicu longsor mengikuti model kurva Intensitas-Durasi Kurva ID yang diperkenalkan Caine pada tahun 1980. Nilai dari ambang hujan ini menunjukan nilai curah hujan minimum yang diperlukan untuk terjadinya longsor. Hasil penelitian menunjukan nilai ambang hujan yang berbeda untuk setiap kelompok kejadian longsor. Kelompok kejadian longsor 1 memiliki ambang intensitas hujan 24,71 mm/jam, kelompok 2 didapatkan 12,32 mm/jam, kelompok 3 didapatkan 8,65 mm/jam, dan kelompok 4 didapatkan ambang intensitas hujan 19,17 mm/jam. Menurut ambang hujan, kelompok kejadian longsor 3 merupakan kelompok yang paling rawan dibandingkan kelompok lainnya. Nilai dari ambang hujan pemicu longsor pada penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan pembuatan sistem peringatan dini kejadian longsor.
Landslides is an event that occurs due to a combination of causes factor and triggers factor. Causes factor may include the topography, geology, soil, and land use. Meanwhile, the main trigger factor of landslide is the rainfall. The intensity of heavy rainfall coupled with the topographic characteristics of Java that about 22 of its territory steep slopes, causing this island has great potential to landslides. This research is aiming to grouping the landslide in Java during the years of 2012 2015 based on causes factor. The result show that there were 4 groups clusters landslide based on causes factors. Based on these groupings, it successfully determined the rainfall triggered landslides using Qmorph. Empirical approach of the intensity and duration of rain on any landslide carried out to determine the threshold of rain triggers landslide following the model of intensity duration curve curve ID introduced by Caine in 1980. The value of the rainfall threshold shows the minimum value required for the occurence of landslides. The results showed that the value of rainfall threshold different for each group of the landslide. The rain threshold value for the first group is 24,71 mm h, the second group is 12,32 mm h, the third group is 8,65 mm h, and the fourth group is 19,17 mm h. According to the equation, the landslide points in the third group is the most vulnerable than other groups. The value of rainfall triggered landslide in this research can be used as a reference for the development of the landslide early warning system.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
T47212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Henry Pribadi
Abstrak :
Kondisi iklim tropis terutama curah hujan merupakan fenomena iklim yang sangat kompleks, yang dipengaruhi oleh faktor lokal, regional dan global. Penelitian ini mengkaji variabilitas curah hujan dan pergeseran musim di wilayah Banten sehubungan dengan adanya anomali suhu muka laut di Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan perairan Indonesia. Variabilitas curah hujan dan pergeseran musim diolah dari data hujan harian dari 15 lokasi pos hujan selama periode tahun 1981-2010, sedangkan suhu muka laut diolah dari data hasil reanalisis JMA melalui analisis komparatif secara spasial dan temporal dengan tehnik overlay peta dan cross tab dihasilkan bahwa pada saat terjadi Elnino, DM+ dan INA- berakibat terhadap berkurangnya curah hujan di wilayah Banten yang mengindikasikan awal musim kemarau terjadi lebih cepat serta lebih panjang dibandingkan normalnya. Sedangkan sebaliknya kondisi Lanina, DM- dan INA+ berakibat terhadap bertambahnya curah hujan yang mengindikasian awal musim hujan terjadi lebih cepat serta lebih panjang dibandingkan normalnya.
The climate tropics system especially rainfall is very complexs climate systems, its affected by local, regional and global factors. This research analyzing of rainfall and seasonal shift variability related with sea surface temperature anomaly over Pasific and Hindian Ocean and also Indonesian sea. Rainfall and seasonal shift analyzed from daily rainfall data derived from 15 location in the years of 1981 to 2010, while sea surface temperature data analyzed from JMA reanalysis through comparative spatial analysis distribution and temporal using map overlay and cross tab tehniques. The results are generally, the impact of Elnino, Dipole Mode Positive and cold is decreasing rainfall in Banten Province. Its indicates dry season occurred earlier and longer than normal condition. While Lanina, Dipole Mode Negative and warm over Indonesian sea indicates to increasing rainfall and the rainy season earlier and longer than normal condition.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T30176
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1992
S27982
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ririn Rahayu
Abstrak :
Salah satu pola umum curah hujan di Indonesia adalah adanya dua rezim hujan, yaitu rezim hujan Barat dan rezim hujan Timur dengan batas kira-kira 120°BT atau di Pulau Sulawesi. Meskipun ganis bujur 1200 BT mi juga melintasi Pulau Flores dan Pulau Sumba, namun untuk pulau-pulau di Timur Pulau Jawa adalah terkecualian. Akan tetapi batas tersebut tentu tidak tepat pada garis lurus 120°BT karena faktor-faktor yang mempengaruhi hujan yaitu 1. Kelembaban, di Sulawesi kelembaban rata-rata sekitar 80% perbulan, 2. Ketinggian, daerah penelitian dibagi menjadi empat wilayah ketinggian yaitu 0-100 m, 100-500 m, 500-1000 m dan diatas 1000 m, 3. DKAT, yang berpengaruh di Sulawesi adalah pada bulan -bulan Desember - Januani dan Maret-April, 4. Arah dan kecepatan angin, sesuai dengan arah datangnya angin dibagi menjadi empat yaitu angin musim Barat, angin musim peralihan I, angin musim Timur dan angin musim peralihan H. Masalah yang diajukan adalah Dimana batas rezim hujan Indonesia Barat dan rezim hujan Indonesia Timur? Dengan batasan daerah penelitian adalah Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan,mengingat kedua propinsi inilah yang dilalui oleh garis 120° BY Rezim hujan adalah kelompok atau region hujan yang menunjukkan perbedaan waktu jatuhnya curah hujan maksimum dan curah hujan minimum di suatu tempat. Wilayah rezim hujan Barat adalah wilayah dimana curah hujan maksimumnya jatuh pada bulan-bulan Desember-Januari dan curah hujan minimumnya pada bulan-bulan Juli- Agustus. Wilayah rezim hujan Timur adalah wilayah dimana curah hujan maksimumnya jatuh pada bulan-bulan Mei-Juni dan curah hujan minimumnya jatuh pada bulan-bulan September-Oktober. Penarikan garis region berdasarkan stasiun pengamat hujan. Dari hasil pengolahan data, diperoleh 42 stasiun yang terbagi menjadi dua wilayah rezim hujan yaitu Barat dan Timur. Wilayah rezim hujan Barat terdiri dari 16 stasiun yaitu Pinrang, Parepare, Palanro, Pangkajene, Maros, Ujungpandang, Sungguminasa, Penggentungan, Jeneponto, Sabang, Tompe, Tawaeli, Donggala, Mejene, Malino dan Malakaji. Wilayah rezim hujan Timur terdiri dari 26 stasiun yaitu: Tinombo, Ampibabo, Parigi, Poso, Mekuli, Toili Batui, Luwuk, Rantepao, Palopo, Batubatu, Watansopeng, Rappang, Belawa, Tancung, Paria, Sinjai, Macope, Watampone, Manipi, Bulukumba, Cellu, Canru Enrekang, Palu dan Singkang
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryatmaning Hany W.
Abstrak :
Perencanaan bangunan-bangmman air yang besar dan bermanfaat bagi umum harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati. Bangunan air yang efisien dad segi biaya tetapi berfungsi optimum dan tinggi keamanannya membutuhkan pilihan kapasitas yang tepat yang akan ditampung oleh bangunan tersebut, yang diukur dari banyaknya air yang ditampung atau dialirkan melalui bangunan tersebut dalam satuan waktu tertentu. Intensitas hujan adalah salah satu komponen pengolah data yang diperlukan untuk menentukan kapasitas suatu bangunan air. Intensitas hujan merupakan ukuran banyaknya curah hujan yang jatuh dalam satuan walclu tertenm Penelitian yang sudah umum dilakukan terhadap intensitas hujan adalah padajumlah curah hujan setiap jam dan jumlah curah hujan setiap hari, sementara hubungan antara jumlah curah hujan tahunan dengan jumlah hari hujan tahunan belum banyak diteliti. Tulisan ini meneliti ada tidaknya hubungan antara jumlah curah hujan tahunan dengan jumlah had hujan tahunan. Penelitian dilakukan dengan metode statistlka terhadap data-data jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Data-data yang digunakan diambil dan stasiun-stasiun pengukur curah hujan yang ada di Pulau Jawa.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S34638
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Prameswari
Abstrak :
Tanah longsor di Kabupaten Kebumen dipengaruhi oleh beberapa faktor dan sebagai pemicunya adalah hujan lebat. Curah hujan yang dinilai mempengaruhi terjadinya tanah longsor adalah curah hujan kumulatif sepuluh harian sebelum tanah longsor (CH H -10), curah hujan kumulatif lima harian sebelum tanah longsor (CH H -5), curah hujan kumulatif tiga harian sebelum tanah longsor (CH H -3), dan curah hujan saat terjadinya kejadian tanah longsor (CH H). Sebanyak 247 kejadian tanah longsor di Kabupaten Kebumen selama 2010-2016, dianalisis secara spasial-temporal dengan basis pewilayahan curah hujan menggunakan metode Poligon Thiessen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik curah hujan pemicu tanah longsor di Kabupaten Kebumen dengan CH H -10 adalah 101-200 mm, CH H -5 adalah 81-160 mm, CH H -3 adalah 71-140 mm, dan CH H adalah 51-100 mm; terutama curah hujan yang paling berpengaruh di kondisi fisik Kabupaten Kebumen adalah CH H -10.
Landslides in Kebumen are influenced by several factors and as the trigger is a heavy rain. Rainfall affecting landslides are cumulative rainfall ten days before landslide (CH H -10), cumulative rainfall five days before landslide (CH H -5), cumulative rainfall three days before landslide (CH H -3), and the current rainfall of landslide occurrences (CH H). A total of 247 occurrences of landslides in Kebumen during 2010-2016 are analyzed by spatial-temporal with rainfall zoning base using Thiessen Polygon method. The results show that characteristics of rainfall triggered landslides in Kebumen with CH H -10 is 101-200 mm, CH H -5 is 81-160 mm, CH H -3 is 71-140 mm, and CH H is 51-100 mm; especially the most influential rainfall in physical conditions are CH H -10.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S66349
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Khairunnisa
Abstrak :
Curah hujan adalah input dalam sistem hidrologi yang memberikan output dalam aliran sungai dalam bentuk debit aliran. Debit adalah jumlah air yang mengalir dalam satuan volume per waktu (m3/detik). Sungai Cilutung adalah anak sungai Cimanuk yang memiliki a fungsi yang lebih besar, yang merupakan salah satu pengendali banjir di bagian Muara Cimanuk setelah Cimanuk di bendung. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola hidrograf banjir dan menentukan hubungan antara pola hidrograf banjir dan tata ruang variasi curah hujan di Aliran Sungai Cilutung. Variabel dalam penelitian ini termasuk curah hujan dan debit. Metode penelitian menggunakan spasial deskriptif analisis, analisis hidrologi dan analisis statistik. Pola banjir hidrograf dapat terbentuk jika memiliki debit minimum 10 m3/detik dengan a minimum naik turun waktu 1 jam dan memiliki volume debit minimum 100 m3/dtk. Pola hidrograf banjir terkait dengan curah hujan di mana jika curah hujan yang terjadi di Aliran Sungai Cilutung semakin tinggi, maka akan menghasilkan semakin tinggi laju aliran dan membentuk pola hidrografi banjir yang lebih tinggi. Ini didukung oleh terjadinya 22 sampel dipelajari, secara spasial ketika hujan turun pertama di Hulu bagian dari DAS Cilutung dan disertai dengan curah hujan dan intensitas tinggi dan waktu yang relatif lama akan mempengaruhi pola hidrograf banjir yang memiliki a nilai debit maksimum yang lebih tinggi dan volume pembuangan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Selain itu, Topografi DAS juga mempengaruhi hubungan banjir pola hidrograf dengan pola spasial curah hujan dimana semakin tinggi Cilutung Daerah aliran sungai, semakin tinggi debit dan disertai dengan curah hujan yang lebih tinggi baik. Ini menunjukkan hubungan antara pola hidrograf banjir dan spasial variasi curah hujan yang didukung oleh hasil uji korelasi yang menunjukkan a hubungan yang kuat antara debit maksimum dan debit total dengan curah hujan dan intensitas curah hujan. ...... Rainfall is an input in a hydrological system that provides output in a river flow in the form of a flowrate. Discharge is the amount of water flowing in units of volume per time (m3/sec). Cilutung River is a tributary of Cimanuk which has a greater function, which is one of the flood controllers in the Cimanuk estuary after Cimanuk is in the weir. This study aims to identify patterns of flood hydrographs and determine the relationship between flood hydrograph patterns and spatial variations in rainfall in the Cilutung River Flow. Variables in this study include rainfall and discharge. The research method uses descriptive spatial analysis, hydrological analysis and statistical analysis. Hydrograph flood pattern can be formed if it has a minimum flow of 10 m3 / sec with a minimum up and down within 1 hour and have a minimum discharge volume of 100 m3 / s. The flood hydrograph pattern is related to rainfall where if the rainfall that occurs in the Cilutung River Flow is higher, it will produce higher flow rates and form higher hydrographic flood patterns. This is supported by the occurrence of 22 samples studied, spatially when the first rain fell in the Upper part of the Cilutung watershed and accompanied by rainfall and high intensity and a relatively long time will affect the flood hydrograph pattern which has a higher maximum discharge value and a higher discharge volume or vice versa. In addition, the watershed topography also influences the relationship between hydrographic flood patterns and spatial rainfall patterns where the higher the Cilutung watershed, the higher the discharge and is accompanied by higher rainfall. This shows the relationship between flood and spatial hydrograph patterns variations in rainfall are supported by correlation test results which show a strong relationship between maximum discharge and total discharge with rainfall and rainfall intensity.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendy Pratama
Abstrak :
Aplikasi penginderaan jauh dalam bidang meteorologi dan klimatologi sangat membantu terutama dalam memperoleh informasi perkiraan curah hujan pada suatu wilayah, karena cakupan wilayahnya yang luas. Penelitian ini mengkaji mengenai pola curah hujan yang terjadi di Pulau Jawa selama periode normal, El Nino dan La Nina pada bulan Desember, Januari dan Februari menggunakan data curah hujan dari citra satelit MTSAT dengan menginterpretasi dari suhu puncak awan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola curah hujan yang terjadi menunjukkan pola yang berbeda dimana pada periode normal curah hujan yang tinggi tersebar pada ketinggian 100 ? 1000 m, pada periode El Nino curah hujan yang tinggi tersebar pada ketinggian 100 hingga diatas 1000 m dan pada periode La Nina curah hujan yang tinggi tersebar pada ketinggian 0 ? 500 m. Namun, pola curah hujan tersebut menunjukkan lebih terkonsentrasi di bagian utara Jawa terutama Jawa bagian tengah.
Remote sensing application in study of meteorology and climatology is very helpful, particularly in acquisition of rainfall information in an area, because of its wide coverage area. This research is about rainfall pattern in Java Island on the normal, El Nino and La Nina periods for Desember, January and February using rainfall data from MTSAT-1R satellite that interpreted from cloud top temperature. The result showed that rainfall patterns that happened had different pattern where on the period of normal the highest of rainfall can be found at elevation of 100 ?1000 m; on the periode of El Nino, the highest of rainfall can be found at elevation of 100 until > 1000 m; and on the period of La Nina, the highest of rainfall can be found at elevation of 0 ? 500 m. However, the rainfall patterns showed that the highest of rainfalls can be found in the northern of Java, especially in the northern of central Java.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S619
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Permana
Abstrak :
Delapan kasus kelongsoran tertentu akibat hujan di Jawa selama satu dekade terakhir dimodelkan menggunakan analisis balik SLOPE/W berdasarkan pada sumber data sekunder dan studi parametrik. Analisis dilakukan pada berbagai permodelan lereng dengan variasi: (berat jenis, kohesi, dan sudut geser) untuk setiap lapisan tanah, serta elevasi muka air tanah, yang menghasilkan angka faktor keamanan mendekati satu. Hasil analisis secara statistik memperlihatkan bahwa pengaruh curah hujan intens dan lama akan meningkatkan berat jenis tanah, menurunkan nilai kohesi dan sudut geser, meningkatkan elevasi muka air tanah, dan akhirnya menurunkan angka faktor keamanan lereng. Hasil ini berlaku untuk delapan permodelan kasus kelongsoran. ......Eight particular cases of landslides in Java due to rainfall during the last decade was modeled using the back analysis SLOPE/W, based on secondary data sources and parametric study. Analyses were performed on various slopes modeling variation (unit weight, cohesion, and friction angle) for each layer of soil and ground water level, which generates a number close to one safety factor. The analysis shows that the influence of intense and long-term rainfall will increase unit weight, decrease cohesion and friction angle, increase the ground water level, and finally reduce slope safety factor. These results are valid for eight landslides case modeling.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42834
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>