Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 389 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tjut Dhila Rehan
"ABSTRAK
Ketika memasuki masa dewasa muda, manusia ada pada tahap intimacy dan memulai untuk membangun suatu hubungan romantis. Salah satu upaya untuk mempertahankan hubungan romantis tersebut bisa dengan melakukan pengorbanan. Pengorbanan yang dilakukan seseorang dilandasi dengan dua motif, motif approach dan motif avoidance. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara komitmen dan motif berkorban dan juga melihat peran extraversion sebagai moderator. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 985 dewasa muda yang sedang menjalin hubungan berpacaran. Partisipan diminta mengisi kuesioner yang terdiri dari alat ukur komitmen, motif berkorban dan extraversion. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa terdapat hubungan antara komitmen dan motif berkorban baik motif approach (p>0.000), maupun motif avoidance (p>0.001). Hasil lainnya juga ditemukan bahwa extraversion tidak berperan sebagai moderator pada hubungan komitmen dan motif berkorban. Dengan demikian, hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa individu yang memiliki tingkat komitmen yang tinggi akan lebih cenderung untuk melakukan pengorbanan baik dilandasi dengan motif approach maupun motif avoidance tidak bergantung dari tingkat extraversion.

ABSTRACT
In young adulthood, individuals are at the intimacy stage and begin to build a romantic relationship. To maintain a romantic relationship, it can be by making sacrifices. Individual sacrifices are based on two motives, approach motives and avoidance motives. This research was conducted to see the relationship between commitment and motives of sacrifice and also see the role of extraversion as a moderator. The participants in this study amounted to 985 young adults who were dating. Participants were asked to complete a questionnaire consisting of commitment, motives of sacrifice and extraversion measures. Based on the results of the analysis, it was found that there was a relationship between commitment and motives of sacrifice in both approach motives (p> 0.000), and avoidance motives (p> 0.001). Other findings also show that extraversion does not act as a moderator in the relationship of commitment and motives of sacrifice. Thus, the results of this study indicate that individuals who have a high level of commitment will be more likely to make sacrifices based on either the approach motives or avoidance motives and not dependent on individuals extraversion level."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prawestri Bayu Utari Krisnamurthi
"Dalam hubungan romantis berpacaran, individu menginginkan kebahagiaan dan kepuasan dalam menjalani hubungannya tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan individu dalam hubungan romantis, diantaranya tekanan dari luar yang menimbulkan stres sehingga berdampak negatif terhadap kepuasan hubungan. Sikap yang ditunjukan antar pasangan dalam menghadapi stres menjadi salah satu faktor yang mendorong kelanggengan hubungan romantis, dimana kedua pasangan terlibat dalam proses self-disclosure dan adanya respon yang sesuai diberikan oleh lawan bicara, disebut juga perceived partner responsiveness (PPR). Penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk menguji efek PPR sebagai moderator antara self-disclosure dan kepuasan hubungan romantis. Sebanyak 441 dewasa muda (18-30 tahun) berpartisipasi dalam penelitian ini. Self-disclosure diukur menggunakan Self-disclosure Scale (Wheeless & Grotz, 1976); PPR diukur dengan Perceived Partner Responsiveness Scale (Reis & Shaver, 1988) dan kepuasan hubungan diukur dengan Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) aspek amount factor dan honesty-accuracy factor pada proses self-disclosure dapat memprediksi kepuasan hubungan secara signifikan; (2) aspek understanding dan validating pada PPR tidak signifikan memoderatori hubungan antara honesty-accuracy factor dalam proses selfdisclosure; dan (3) aspek understanding dalam PPR signifikan memoderatori hubungan antara amount factor pada proses self-disclosure dan kepuasan hubungan. Dapat disimpulakan dari hasil penelitian ini, ditemukan bahwa yang memandang pasangannya secara akurat menangkap kebutuhan (understanding) dari informasi yang diungkapkan cukup banyak dan mendalam (amount factor), maka akan memiliki tingkat kepuasan hubungan yang lebih tinggi.

In a romantic relationship, individuals want happiness and satisfaction in their relationship. There are several factors that affect the level of individual satisfaction in relationships, such as external pressure that cause stress which negatively impacts relationship satisfaction. The attitude that is shown between partners in dealing with stress is one of the factors that encourages the romantic relationships satisfaction, where both couples are involved in self-disclosure process and they receive responses given by their partner are in accordance with their expectations, also called perceived partner responsiveness (PPR). This quantitative study aims to examine the effect of PPR as a moderator between self-disclosure and romantic relationship satisfaction. A total of 441 young people (18-30 years) in this study. Self-disclosure is measured using the Selfdisclosure Scale (Wheeless & Grotz, 1976); PPR is measured by the Perceived Partner Responsiveness Scale (Reis & Shaver, 1988) and relationship satisfaction is measured by the Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). The results showed that (1) amount factor and honesty-accuracy factor of self-disclosure significantly predicted relationship satisfaction; (2) the understanding and validation aspects of PPR do not significantly moderate the relationship between honesty-accuracy factor of self-disclosure; and (3) the understanding aspect in PPR significantly moderates the relationship between amount factor of self-disclosure process and relationship satisfaction. This study shows that individuals who perceive their partners as accurately capture their needs (understanding) of the deep and private information about themselves (the number factor), will have a higher level of relationship satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kelly, Marylin McGregor
New York: Harper and Row, 1990
302.112 KEL e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1996
302.3 COM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas A. Yewangoe
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
261 YEW a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Qonitah Arya Sulthanah
"Kemajuan teknologi dan berkembangnya berbagai bentuk media baru yang lebih interaktif telah mengubah cara audiens dalam menjalin hubungan dengan karakter media favoritnya. Media Sosial sebagai salah satu bentuk media baru kini digunakan oleh berbagai publik figur, salah satunya adalah
Social Media Influencer untuk membangun Personal Brand dan
berkomunikasi dengan audiensnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana pengaruh dari Hubungan Parasosial yang terjalin dalam diri pengikut akun media sosial Instagram @ariefmuhammad sebagai seorang Social Media Influencer, terhadap salah satu aspek Personal Branding dari Arief Muhammad yaitu Relationship yang
merupakan hubungan baik yang terjalin antara seseorang dengan orang lain
sebagai hasil dari praktik Personal Branding yang baik. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan sifat eksplanatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hubungan Parasosial yang dirasakan audiens
berpengaruh signifikan secara positif terhadap Relationship antara audiens dengan Social Media Influencer. Variabel Hubungan Parasosial berpengaruh sebesar 51,4% terhadap Relationship, dengan Friendship sebagai dimensi paling berpengaruh menurut responden."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfrida Dwiyanti
"Penelitian ini mengeksplorasi bentuk interaksi parasosial yang terjadi pada penggemar musik K-Pop yang berusia dewasa muda (26 – 39 tahun). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, strategi fenomenologi, serta wawancara mendalam terhadap 4 perempuan dewasa muda untuk pengambilan data. Data dianalisis melalui coding dan ditulis dengan teknik analisis naratif. Pada penelitian ini, interaksi parasosial dilihat dari aktivitas penggemar yang dilakukan dan memasukkan perspektif usia dewasa muda, sehingga dapat terlihat bagaimana interaksi parasosial berperan dalam kehidupan penggemar. Karakteristik individu dewasa muda turut melatarbelakangi bentuk interaksi parasosial yang dialami penggemar. Hasil analisis menemukan adanya keterbatasan sebagai individu dewasa muda yang berpotensi menghentikan interaksi parasosial pada diri penggemar. Namun, keterbatasan tersebut diatasi dengan penggunaan media digital dan fandom. Penelitian ini menemukan interaksi parasosial pada penggemar dewasa muda digunakan sebagai sarana media enjoyment.

This research explores forms of parasocial interactions that occur in K-Pop music fans who are young adults (26-39 years). This study uses a qualitative approach, phenomenological strategy, and in-depth interviews with 4 young adult women. The data were analyzed through coding process and written with narrative analysis techniques. Parasocial interaction in this study are seen from the fan activity and include the age perspective as young adults (life course perspectives), so the study can see how parasocial interactions have a role in the fans’ life. Characteristics of young adult individuals also contribute to the form of parasocial interactions experienced by the fans. The results of this research found that young adult fans have limitations that potentially stop parasocial interactions in fans. However, these limitations are overcome by the use of digital media and fandom. This study found interactions in young adult fans are used as media enjoyment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bani Athaya
"Mindreading merupakan kemampuan yang berguna dalam membangun hubungan interpersonal. Mindreading dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya karakteristik target. Pada penelitian eksperimen yang dilakukan terhadap 82 perempuan dewasa muda berusia 20-22 tahun ini, dibuktikan bahwa karakteristik jenis kelamin target memengaruhi kemampuan mindreading partisipan. Analisis Mixed-model ANOVA dilakukan terhadap 2 aspek alat ukur SST (Perez-Zapata, dkk., 2016) yaitu akurasi dan response time. Ditemukan bahwa perempuan lebih baik dalam melakukan mindreading terhadap target perempuan dibandingkan target laki-laki pada pengukuran aspek akurasi. Hasil yang sama tidak ditemukan pada aspek response time.

Mindreading is an ability that could be used to build interpersonal relationship. Mindreading can be affected by numerous factors, one of those is characteristic of the target. This experimental research was conducted on 82 female young adult age 20-22 years old. This study found that target's sex does impact participant's mindreading ability. Mixed-model ANOVA was used to analyse 2 aspects of SST (Perez-Zapata, et al., 2016) which is accuracy and response time. This research found that female have a better accuracy in mindreading ability towards female target. The same result does not apply to the participant's response time."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Qoriana Nurfadilah
"Penyebaran budaya K-pop melalui idol group semakin sukses di berbagai belahan dunia. Penyebaran konten K-pop tidak lepas dari pemanfaatan media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter dan Youtube. Industri hiburan Korea Selatan membuat inovasi baru dengan menciptakan beberapa aplikasi media sosial. Inovasi yang dilakukan industri hiburan Korea Selatan adalah penggemar dapat mengunggah pesan untuk idola, lalu idola akan memilih beberapa unggahan penggemar untuk diberikan komentar atau cheer. Aplikasi yang memiliki fungsi tersebut bernama Weverse. Weverse mengumumkan bahwa TREASURE menjadi artis pertama naungan YG Entertainment yang bergabung. Melalui aplikasi ini, diharapkan penggemar di seluruh dunia dapat berkomunikasi dengan TREASURE. Intensitas komunikasi yang tinggi antara idola dan penggemar dapat memunculkan hubungan parasosial. Perasaan penggemar seperti mengenal idola secara personal ketika melakukan komunikasi melalui media sosial termasuk dalam kriteria hubungan parasosial. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan parasosial yang terlihat dari ragam honorifik mitra tutur ketika TREASURE berinteraksi dengan penggemar. Penulis menggunakan metode analisis kualitatif terhadap data yang diperoleh dari hasil dokumentasi percakapan yang bersumber pada aplikasi Weverse. Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa anggota TREASURE memperlakukan penggemar sebagai teman dekat dan akrab karena lebih sering memakai ragam honorifik mitra tutur informal.

The spread of K-pop culture through idol groups is increasingly successful in various parts of the world. The spread of K-pop content cannot be separated from the use of social media such as Instagram, Facebook, Twitter and Youtube. The South Korean entertainment industry is making new innovations by creating several social media applications. An innovation made by the South Korean entertainment industry is that fans can upload messages for idols, then idols will select several uploaded fans to give comments or cheers. The application that has this function is called Weverse. Weverse announced that TREASURE will be the first artist under YG Entertainment to join. Through this application, it is hoped that fans around the world can communicate with TREASURE. The high intensity of communication between idols and fans can give rise to parasocial relationships. The feeling of fans like knowing idols personally when communicating through social media is included in the criteria for parasocial relationships. This study aims to explain the parasocial relationship that can be seen from the honorific variety of speech partners when TREASURE interacts with fans. The author uses a qualitative analysis method on the data obtained from the documentation of conversations originating from the Weverse application. The findings from this study indicate that TREASURE members treat fans as close and intimate friends because they more often use honorifics in informal speech partners."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nathania Sofie Alexandra
"Fenomena hubungan parasosial menjadi sesuatu yang kerap diperbincangkan ketika membahas tentang musisi dan penggemar. Istilah yang dikemukakan oleh Donald Horton dan Richard Whorl pada 1956 (Brisco, 2021) itu kerap diasosiasikan dengan musisi pada era media sosial pada penelitian-penelitian di masa kini. Padahal, fenomena hubungan parasosial telah terjadi jauh sebelum istilah tersebut ada. Tulisan ini menjelaskan bagaimana hubungan parasosial antara musisi dan penggemarnya berkembang dalam rentang 100 tahun, dari masa radio (1920-an hingga 1930-an), masa televisi (1940-an hingga 1980-an), dan masa internet (1990-an hingga 2020-an). Walau diklaim bahwa hubungan parasosial yang kuat muncul pada era internet di mana teknologi sangat memadai untuk para penggemar mendapatkan konten yang beragam dan terkesan lebih intim ketimbang konten melalui teknologi kuno, penulis menemukan bahwa hubungan parasosial sejak zaman radio sudah kuat jika melihat konteks dari hiburan di masa itu.

The parasocial relationship phenomenon has become a subject that is often discussed in a conversation about the musician and fan relationship. The term–put forward by Donald Horton and Richard Whorl in 1956 (Brisco, 2021)–is often associated with musicians in the social media era in current research. While in fact, the parasocial relationship phenomenon occurred long before the term existed. This paper tries to explain how the parasocial relationship between musicians and their fans has developed over a period of 100 years, from the radio era (the 1920s to the 1930s), the television era (the 1940s to the 1980s), and the internet era (the 1990-s to the 2020-s era). Even though it is claimed that strong parasocial relationships emerged in the internet era, where the technology is advanced enough to provide fans with a variety of contents that feels more intimate in comparison to old technology, the writer finds that parasocial relationships even from the radio era has already been strong when we look at the context of entertainment during that time."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>