Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R.M. Koentjaraningrat, 1923-1999
Jakarta: Balai Pustaka , 1993
301 KOE r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Inke Nur Dewanti
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang festival Tabut sebagai salah satu kebudayaan yang dibudidayakan oleh masyarakat kota Bengkulu. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode sejarah. Hasil analisis yang penulis dapatkan, Tabut adalah sebuah tradisi bawaan yang masuk ke Bengkulu karena dibawa oleh orang Bengali, India Selatan. Pada saat itu orang-orang Bengali ini masuk ke Bengkulu untuk menjadi pekerja dalam membangun Benteng Malborough milik Inggris. Tabut selalu dirayakan pada 1-10 Muharam setiap tahunnya. Tabut memiliki ritual khusus yang kegiatannya hanya boleh dilakukan oleh keluarga asli keturunan Tabut yang dinamai KKT (Kerukunan Keluarga Tabot). Ritual tersebut antara lain mengambik tanah, duduk penja, menjara, meradai, arak seroban, arak gedang, dan tabut tebuang. Tabut terbagi menjadi dua, yaitu Tabut Sakral dan Tabut Pembangunan. Tabut sakral adalah tabut resmi milik keluarga Tabut sedangkan Tabut Pembangunan adalah tabut pemerintah yang dibuat untuk ikut meramaikan kegiatan festival ini. Tabut merupakan budaya dari kaum Bengali, India Selatan yang kini telah berakulturasi dengan budaya lokal.

ABSTRACT
This Minithesis explain about Tabut‟s festival as a culture which cultivation by Bencoolen. The research methods that using in this minithesis is history methods. The results from this research, Tabut is a culture which entered to Bencoolen by Bengali‟s people from South India. In the past, Bengali‟s people entered to Bencoolen to became employee who building fort malborough‟s of England. Tabut‟s usually attend on 1-10 Muharram in every year. Tabut‟s have special rituals that only doing by the real family of Tabut who the named KKT (Kerukunan Keluarga Tabut). The rituals is mengambik tanah, duduk penja, menjara, meradai, arak seroban, arak gedang, and tabut tebuang. Tabut divided into two, like Sakral‟s Tabut and Building‟s Tabut. Sakral‟s tabut is an official Tabut from Tabut‟s family, meanwhile Building‟s Tabut is a Government‟s Tabut which made for enliven this festival. Tabut is a culture from Bengali‟s people, South India which have acculturation with local culture of Bengkulu.;"
2016
S65230
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Romi
"Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Suku Baduy yang terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Penelitian ini mengambil tema tentang ritus kematian, salah satu ritual khusus yang dianggap sakral bagi masyarakat Suku Baduy. Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat Suku Baduy adalah bentuk ketaatan masyarakat dalam menjalankan aturan adat yang mengharuskan mereka menjalankan prosesi ritual ketika salah seorang dari mereka meninggal dunia. Ritual ini dilakukan bukan hanya sebatas aturan adat yang menjadi acuan masyarakat dalam melakukannya, melainkan sebagai bentuk penghormatan terakhir keluarga terhadap si mayit. Selain itu, ritual kematian dianggap penting karena masyarakat Baduy percaya bahwa ritual kematian diyakini mampu mengantarkan roh si mayit ke tempat suci (Mandala Hiyang), dan tidak tersesat ke tempat larangan (Buana Larang). Ritus kematian masyarakat Suku Baduy dilakukan karena masyarakat percaya bahwa kematian adalah awal dari perjalanan roh si mayit menjalankan kehidupan barunya di tempat lain bersama para leluhur mereka terdahulu. Oleh karena itu, masyarakat Suku Baduy percaya bahwa dengan mentaati semua aturan adat dan mampu menjaga alam semesta titipan leluhur mereka, berharap setelah kematian bisa bersama-sama dengan para leluhur. Interaksi yang dibangun oleh masyarakat Baduy dengan para leluhur adalah dengan cara menjaga alam semesta. Dengan demikian, makna kematian bagi masyarakat Baduy sangat mendalam karena menyangkut keberlangsungan orang hidup dan keberlangsungan roh si mayit dengan para leluhurnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan antropologis. Sedangkan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi pustaka. Ritus kematian masayarakat Suku Baduy diwarnai berbagai macam simbol yang menunjukan adanya relasi antara orang hidup, orang mati dan alam semesta. Masyarakat Suku Baduy juga memahami bahwa kematian merupakan bagian dari siklus hidup manusia dan sekaligus menunjukan adanya keberlangsungan roh si mayit dengan roh para leluhurnya di tempat suci. Oleh karena itu, relasi yang dibangun masyarakat Suku Baduy antara orang mati dan orang hidup melalui ritus yang dilakukan sebagai bentuk keterjalinan dan memastikan roh si mayit dapat menghadap yang suci dan bisa bertemu dengan para leluhurnya di tempat suci (Mandala Hiyang).

This research was conducted on the Baduy Tribe community located in Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten. This research takes the theme of the death rite, the special ritual that is considered sacred to the Baduy tribe. The death rite performed by the Baduy people is a form of community obedience in carrying out customary rules that require them to carry out a ritual procession when one of them dies. This ritual is carried out not only to the extent of the customary rules that are the reference for the community in doing so, but as a form of the family's last respect for the dead. In addition, the death ritual is considered important because the Baduy people believe that the death ritual is considered to be able to deliver the spirit of the dead to the holy place (Mandala Hiyang), and not stray to the place of prohibition (Buana Larang). The death rite of the Baduy people was carried out because the people believed that death was the beginning of the mayit living his new life elsewhere with their previous ancestors. Therefore, the people of the Baduy Tribe believe that by obeying all customary rules and being able to maintain the universe entrusted by their ancestors, hope that after death they can be together with the ancestors. The interaction built by the Baduy people with the ancestors was by taking care of the universe. Thus, the meaning of death for the Baduy people is very deep because it concerns on the continuity of the living and the continuity of the spirit of the dead with his ancestors. This research used qualitative methods with anthropological approach. Observation, interviews and literature studies were used in collection data. The death rites of the Baduy people are colored by various simbols that indicate the relationship between the living, the dead and the universe. The Baduy people also understand that death is part of the human life cycle and at the same time shows the continuity of the spirit of the dead with the spirit of his ancestors in the holy place. Therefore, the relationship built by the Baduy tribe between the dead and the living through rites is carried out as a form of intertwining and ensuring that the spirit of the dead can face the holy and can meet his ancestors in the holy place (Mandala Hiyang)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Muflih Mappaujung
"Masyarakat petani di Segeri dapat dikategorikan sebagai petani pedesaan (rural cultivator) karena praktik kegiatan pertaniannya masih sangat dipengaruhi oleh eksistensi praktik ritual lokal-tradisional. Namun sejak tahun 2017, para petani telah mengalami perubahan keyakinan serta pandangan terhadap cara mereka mempersepsikan praktik ritual. Kelompok petani yang menjadi informan utama dalam penelitian ini ialah para petani yang sawahnya digunakan oleh pihak adat sebagai arena untuk melaksanakan kegiatan ritual adat. Sebelumnya, sawah petani ini bukan merupakan sawah adat. Namun, lepasnya kepemilikan sawah adat membuat pihak adat memindahkan status sawah adat ke sawah petani tersebut. Saat ini, para petani dibebani oleh kewajiban mengikuti sistem ritual, yakni petani tidak boleh turun sawah sebelum ritual adat dilaksanakan. Melalui kerangka konsep resistensi dan sekularisasi, penelitian ini akan melihat dinamika religiusitas masyarakat petani Segeri yang mulai menyangkal keterikatan kegiatan pertanian dengan praktik ritual, mempertanyakan signifikansi praksis ritual terhadap kegiatan pertanian, hingga mewacanakan akan meninggalkan tradisi turun sawah yang merupakan lambang kearifan lokal mereka dan masyarakat Segeri. Penelitian ini menemukan bahwa perlawanan petani justru tidak berimplikasi terhadap rusaknya tatanan simbol dan praksis sistem ritual adat, melainkan membuat petani bertumbuh menjadi petani yang lebih rasional. Dengan melepaskan sebagian besar keyakinan mereka terhadap ritual adat, para petani kini lebih sadar akan penerapan rekomendasi teknis, lebih menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah-masalah pertanian, serta tidak lagi sepenuhnya menumpukan keberhasilan panen dari kesakralan ritual adat.

Peasant society in Segeri can be categorized as rural cultivators because their agricultural practices are still strongly influenced by the existence of local ritual practices. However, since 2017, the peasants have experienced a change in their beliefs and views on the way they perceive ritual practices. The peasants who became the main informants in this study were peasants whose fields are used by adat parties as an arena to perform traditional ritual activities. Previously, these pessants’ fields were not adat rice fields. However, the loss of ownership of rice fields made the adat party transfer the status of adat rice fields to these peasants' fields. Currently, peasants are burdened with the obligation to follow a ritual system, which the peasants are not allowed to plant before the traditional rituals are carried out. Through the framework of resistance and secularization, this research will look at the dynamics of the religiosity of peasant society in Segeri which denies the attachment of agricultural activities to ritual system, questioning the significance of ritual praxis, and amplifying disobedience that they will leave the tradition that had become a symbol of their local wisdom and also the Segeri society. This study found that peasant resistance did not have implications for the destruction of symbol and praxis of the ritual system, but instead making peasants to grow up to become more rational human beings. By relieving most of their beliefs in adat rituals, the peasants are now more aware of implementing recommendations, using a more scientific approach to solving problems, and no longer relying entirely on the sacred aspects of this adat rites."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.S. Subalidinata
Yogyakarta: Depdikbud. Dir.Jen. Kebudayaan, 1985
301 SUB s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Telukbetung: Lampung Kanwil Depdikbud , 1985
392.598 UPA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978
390 ADA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978
390 IND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Lontar Bali Bekel Ari-ari ini menguraikan tatacara perawatan bayi yang baru lahir hingga berumur tiga bulan. Disebutkan bahwa jika lahir bayi laki-laki, ari-arinya ditaruh pada buah kelapa yang telah ditulisi mantra dan harus ditanam oleh seorang pria di sebelah kanan rumah lengkap dengan sarana upacara sebagai bekalnya, di antaranya tulisan mantra di atas daun lontar yang berbunyi Ong, Ong, Ang, Ang, 3. Jika bayi yang lahir perempuan, ari-arinya juga ditaruh pada buah kelapa yang bersurat mantra dan ditanam oleh seorang wanita di sebelah kiri rumah disertai dengan sarana upacaranya dan dibekali selembar tulisan di atas daun lontar yang berbunyi Ong, Ong, Ung, Ung, 3. Dilanjutkan dengan keterangan tentang upacara dan tatacara perawatan bayi sebelum nelain (sebelum puser bayi lepas) atau ketika bayi berumur tujuh hari. Diuraikan juga tentang Penugrahan sang Hyang Dharma sehubungan dengan pemeliharaan bayi dengan segala sarana, tata krama dan rincian sesajen sampai bayi berumur tiga bulan. Informasi penulisan teks maupun penyalinan naskah ini tidak ditemukan."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
UR.1-LT 195
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
M. Sinu Mundisura
"Naskah ini merupakan bendel keempat belas dari 24 bendel Catatan Mundisura (FSUI/UR.49-73) perihal kebudayaan Jawa. Menerangkan tentang syarat-syarat (ila-ila) merawat bayi dari sebelum lahir sampai dengan bayi berumur 1 tahun. Syarat-syarat tersebut di antaranya adalah: 1. Ketika bayi hendak lahir, semua pintu rumah harus dibuka supaya gampang dalam melahirkannya. Sesudah lahir dan dirawat hingga bersih, maka di dekat bayi harus diberi kaca hias, lampu, pisau, dan saji-sajian berupa nasi tumpeng, sayuran, jenang putih, jajan pasar, serta pecel yang ditaruh di daun nyiru; 2. Bila bayi sudah berumur sepasar, dan sudah puput puser, diberikan saji-sajian seperti di atas, ditambah dengan tumbak sewu yang berupa sapu lidi ditancapi empon-empon dan kembang, serta diberikan mainan wayang bila bayi laki-laki, dan payung serta boneka bila bayi perempuan. Di sebelah kiri dan kanan pintu dilengkapi daun nanas yang dihias dengan jelaga, kunir dan dadap srep, alang-alang. Di sekitar rumah dilingkari dengan benang dan dlingo bawang; 3. Anak berumur satu selapan (35 hari), diadakan upacara selamatan. Pada pergelangan tangan anak tersebut diberi gelang kayu; 4. Anak berumur tujuh selapan, diadakan upacara selamatan dengan tumpeng tujuh macam, telur tiga macam, jadah tujuh macam, lompyang tujuh butir. Uapacara selamatan diadakan kembali bila anak tersebut telah berumur satu tahun. Sesudah itu selamatan hanya dilakukan pada hari kelahirannya (metu/wetori). Naskah diterima Pigeaud dari Sinu Mundisura pada bulan Oktober 1934, di Surakarta. Tidak ditemukan keterangan tarikh penulisan/penyalinan naskah."
[place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
UR.62-W 32.14
Naskah  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>