Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Armaidy Armawi
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam rangka memperingati Kemerdekaan Indonesia sudah menjadi tradisi, Presiden -- sebagai Kepala Negara -- menyampaikan pidato kenegaraan dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat. Pidato Presiden ini senantiasa mendapat tanggapan dari anggota Dewan dan kalangan tokoh masyarakat.

Pancasila bukan agama. Pancasila tidak akan dan tidak mungkin menggantikan agama. Pancasila tidak akan diagamakan juga agama tidak mungkin di Pancasilakan. Tidak ada sila-sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan agama. Dan tidak ada satu agamapun yang ajarannya memberi tanda-tanda larangan terhadap pengamalan dan sila-sila dalam Pancasila. karena itu walaupun fungsi dan peranan Pancasila dan agama berbeda namun dalam negara Pancasila ini kita dapat menjadi pengamal agama yang taat sekaligus pengamal Pancasila yang baik. Dalam negara Pancasila ini negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Karena itu jangan sekali-kali ada yang mempertentangkan agama dan Pancasila, karena memang kedua-duanya tidak bertentangan.

Pidato kenegaraan Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1983 di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tersebut di atas mendapat tanggapan dari Soenawar Soekowati yang pada waktu itu kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia. Tanggapan Soenawar Soekowati dikemukakan dalam rapat intern Fraksi Partai Demokrasi Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat khusus mempelajari pidato kenegaraan Presiden Soeharto. Menurut Soenawar Soekowati :

Negara Republik Indonesia tidak mencampuradukkan masalah ketatanegaraan dengan masalah keagamaan. Karena itu dalam negara yang berfalsafah Pancasila ini, tidak boleh ada yang alergi untuk menyebut negara Republik Indonesia menganut faham sekularisme. Faham sekularisme yang memisahkan masalah keagamaan dengan masalah kenegaraan dapat ditemui dalam pidato kenegaraan Presiden Soeharto. Kepala negara secara tegas menyatakan Pancasila bukan agama. Untuk ini Partai Demokrasi Indonesia harus berani menegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah 'Secular State'?.

Reaksi terhadap pernyataan pendapat Soenawar Soekowati datang dari berbagai tokoh masyarakat. Krissantono, wakil sekretaris Karya Pembangunan, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memberi tanggapannya :

Tidak tepat kalau dikatakan negara Republik Indonesia adalah negara sekuler, karena ini bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam UUD '45. Negara Republik Indonesia adalah negara Pancasila. Dan yang penting dalam negara Pancasila itu harus dapat dijaga secara lurus dan proporsional, jangan sampai arah pemerintahannya menjurus ke negara sekular maupun negara agama... Saya menghargai pendapat Pak Soenawar Soekowati bahwa Republik Indonesia negara sekular atau secular state, meskipun saya belum mendengar dengan lengkap apa yang dinyatakannya itu. Tapi dari apa yang saya baca dari beberapa koran, sebenarnya pernyataan tersebut mengandung ?contradictio interminis?.

Sementara itu, juru bicara pimpinan Pusat Muhammadiyah Lukman Hann menyatakan: Pendapat bahwa Indonesia adalah negara yang menganut paham sekular adalah bertentangan dengan Pancasila dan UUD '45. Pada Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan bukti dalam Pancasila tidak ada pemisahan antara negara dan agama?.

Ketua tim Penasehat Presiden tentang Pelaksanaan P-4 (Tim P-7) Roeslan Abdulgani mengatakan,bahwa tidak melihat dan merasakan adanya nilai atau unsur sekularisme di dalam pidato Presiden Soeharto tanggal 16 Agustus 1983. Ia mengatakan bahwa sekularisme mengandung pemisahan antara agama dan pemerintahan. Pemerintah tidak mencampuri bahkan dikatakan mengabaikan atau tidak mengurus agama. Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menggaakan : pengertian sekularisme sebagai ideologi negara dengan negara sekular tak bisa dipisahkan. Keterangan Ketua Umum Partai Dernokrasi Indonesia Soenawar Soekowati akan dijajaki kebenarannya.
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roosi Rusmawati
Abstrak :
Timbul gelombang protes yang meluas, baik dari masyarakat Prancis maupun dari masyarakat di berbagai belahan dunia, ketika pada tanggal 17 Desember 2003, Presiden Prancis Jacques Chirac mengeluarkan pengumuman bahwa di Prancis akan diberlakukan Undang-Undang Laїcité, sebuah undang-undang tentang pelarangan pemakaian simbol-simbol keagamaan di sekolah negeri di Prancis. Meskipun begitu Pemerintah Prancis tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang Laїcité yang diajukan oleh Menteri Urusan Pemuda, Pendidikan Nasional dan Penelitian, Luc Ferry tersebut, menjadi Undang-Undang Laїcité pada tanggal 15 Maret 2004. Tujuan Pemerintah Prancis memberlakukan Undang-Undang Laїcité 2004 adalah menegakkan budaya dan ideologi sekuler yang dianut oleh Prancis. Dengan tegaknya prinsip sekuler maka akan terwujud integrasi nasional dan kerukunan hidup bersama antara penduduk Prancis yang semakin heterogen. Keheterogenan penduduk di Prancis disebabkan oleh banyaknya pendatang dari berbagai negeri di dunia, yang datang dan menetap di Prancis. Pendatang atau orang asing tersebut datang ke Prancis dengan membawa ideologi dan budaya mereka masing-masing. Latar belakang Pemerintah Prancis memberlakukan Undang-Undang Laїcité 2004 adalah pertama, sudah sejak lama Prancis menganut ideologi sekuler, dan ideologi yang telah menjadi budaya Prancis tersebut diperoleh melalui sejarah yang panjang dan tidak mudah; kedua, telah terjadi friksi ideologi dan budaya antara penduduk asli dan pendatang dan antara pendatang itu sendiri. Salah satu pendatang yang makin lama makin banyak jumlah populasinya adalah pendatang yang berasal dari negeri-negeri Maghribi. Pendatang tersebut dinilai masih belum bisa beradaptasi. Mereka masih cenderung memegang dan melaksanakan budaya asli mereka yaitu Arab-Islam. Manfaat lain dari diberlakukannya Undang-Undang Laїcité 2004 adalah membantu pendatang asal negeri-negeri Maghribi untuk menyesuaikan diri dengan budaya sekuler Prancis, sebab sekolah negeri dapat memberikan "kekuatan akulturasi yang besar" pada anak-anak imigran. Penelitian ini ditinjau dari dua sudut pandang, sudut pandang politik menggunakan teori Kepentingan Nasional dan sudut pandang budaya menggunakan teori Adaptasi Lintas Budaya.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etin Nurhaetin Ningrum
Abstrak :

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya Barat sebagai suatu peradaban baru yang lebih maju sebagai  fenomena global yang memengaruhi dan mengubah tatanan peradaban dan geopolitik dunia. Konsep sekuler Ali Abd ar-Raziq dan Soekarno merupakan produk dari fenomena tersebut. Studi ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan: pertama, bagaimana latar belakang faktor internal dan eksternal yang memengaruhi pemikiran Negara Sekuler Ali Abd ar-Raziq di Mesir serta pemikiran Negara Pancasila Soekarno di Indonesia; kedua, Bagaimana kedua konsep pemikiran tersebut? dan ketiga, bagaimana perbandingan pemikiran-pemikiran tersebut. Penelitian ini menggunakan teori Negara Sekuler, Negara Pancasila. Sosialisasi Politik dan Perbandingan Politik. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif-analitis dengan memakai studi kepustakaan.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa perbedaan pemikiran kedua tokoh tersebut disebabkan  perbedaan latar belakang, pendidikan, dan wawasan keagamaan. Soekarno adalah seorang politisi, negarawan, dan nasionalis radikal, sedangkan  Ali Abd ar-Raziq adalah seorang ulama, akademisi, dengan wawasan Islam yang luas dan modern. Keduanya ingin memisahkan Islam dan Negara, namun tujuan mereka berbeda. Ali Abd Ar-Raziq lebih cenderung ingin memurnikan Islam dari  politik yang dianggapnya kotor, sedangkan Soekarno ingin me’muda’kan agama dan menempatkannya di tempat yang mulia. Persamaan kedua pemikiran tersebut disebabkan oleh kondisi politik global. Pada saat itu, terjadi kolonialisme Barat yang menyebarkan pemikiran dan gagasan sekularisme. Di Timur Tengah, politik regional dipengaruhi oleh melemahnya Turki Usmani dan penjajahan Barat. Di Indonesia, politik regional dipengaruhi oleh bangkitnya nasionalisme negara-negara Asia terhadap kekuasaan kulit putih.

Kesimpulannya, secara nasional kondisi politik yang terjadi di Mesir dan Indonesia menjadi sebab utama munculnya gagasan Negara Sekuler dari Ali Abd ar-Raziq dan Negara Pancasila dari Soekarno. Munculnya ide sekuler di Indonesia didorong dan dipengaruhi oleh semangat ingin merdeka dari penjajahan Belanda dan kaum ulama yang berpikiran terbelakang. Gagasan sekuler Ali Abd ar-Raziq di Mesir muncul sebagai reaksi untuk mencegah keinginan Raja Fu’ad  menjadi khalifah di Mesir. Soekarno memandang hubungan negara dan agama Islam harus dipisahkan. Ia bermaksud membawa Indonesia agar lebih maju seperti bangsa Eropa, sedangkan Ali Abd ar-Raziq memandang bahwa Islam harus dipisahkan dari unsur-unsur negara secara yuridis. Menurutnya, khilafah tidak mempunyai legitimasi dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun Ijma karena hal tersebut bukan merupakan institusi agama.

 


This study is based on the advancement and rise of Western civilization, a global phenomenon that affected and transformed the world’s civilization and geopolitics. It produced Both Ali Abd ar-Raziq’s and Soekarno’s secular concepts of the State.

This research aims to answer the following questions: First, what are the internal and external factors that affected Ali Abd ar-Raziq-s concept of the Secular State in Egypt and Soekarno concept of the Pancasila State? Second, what are the two concepts of the State? Third, what are the similarities and differences between the two concepts? This study uses the Secular State theory, the Pancasila State theory, the Political Socialization theory, and the Political Comparison theory. The method used is descriptive-analytical and the information are gathered through literary review.

The principal finding of this research reveals that the differences between the two is caused because of a difference in background, education, and religious knowledge. Soekarno was a politician, statesman, and radical nationalist. Ali Abd ar-Raziq was a religious scholar, as well as an individual with a broader and more modern Islamic knowledge. Although both aimed to separate Islam and the State, they had a different motivation. Ali Abd Ar-Raziq wanted to cleanse Islam from politics, while Soekarno wanted to renew Islam and place it in a noble position. The similarities between the two concept lies in the global political condition at the time. During that period, Western colonization had spread secularism. While in a regional scope, the political condition was affected by the weakening of the Ottoman Dinasty in the Middle East and secularism. The political condition in Indonesia was influenced by the rise of nationalism in Asian countries towards colonization.

Conclusively, the political condition in Egypt and Indonesia is the catalyst of Ali Abd ar-Raziq and Soekarno’s conceopt  of the State. In Indonesia, secularism were highly influenced by the fervor to be from Dutch colonization and religious leaders with outdated thoughts and  beliefs. While in Egypt, secularism was a reaction towards King Fuad’s desire to be a Caliphate in Egypt. Soekarno opined that religion and the state must be separated, while Ali Abd ar-Raziq believed that Islam has to be separated from the State in legal terms because the Al-Qur’an, Hadits, and Ijma does not give a caliph legitimacy to rule a State as it is not a religious institution.

Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Azriel Lilo Timothy
Abstrak :
Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa skeptisisme sains dipengaruhi oleh berbagai hal seperti konservatisme politik, religiusitas, literasi sains, dan kepercayaan terhadap sains. Namun, pengaruh kepercayaan sekuler masih belum banyak diteliti dan penelitian yang ada memperlakukan kepercayaan sekuler sebagai kebalikan dari religiusitas. Disamping itu, mekanisme dari hubungan kedua variabel itu belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan melihat pengaruh kepercayaan sekuler terhadap skeptisisme sains dengan mediasi literasi sains dan kepercayaan terhadap sains. Partisipan merupakan 202 warga negara Indonesia (95 laki-laki, 101 perempuan, 6 memilih tidak menjawab; M=32,25 tahun, SD=11,823). Penelitian ini menemukan bahwa kepercayaan terhadap sains memediasi pengaruh ketiga dimensi kepercayaan sekuler terhadap skeptisisme sains, yaitu dimensi pertama (b=0,289, p=0,005; b=-0,287, p=0,000), dimensi kedua (b=0,378, p=0,000; b=-0,258, p=0,000), dan dimensi ketiga (b=0,440, p=0,000; b=-0,306, p=0,041). Sementara itu, literasi sains hanya memediasi dimensi ketiga (b=-0,041, p=0,005; b=-0,444, p=0,044). Artinya, pengaruh kepercayaan sekuler terhadap skeptisisme sains lebih kuat dimediasi oleh kepercayaan terhadap sains, dibandingkan dengan literasi sains. ......Previous studies have found that scientific skepticism is influenced by various things such as political conservatism, religiosity, scientific literacy, and belief in science. However, the effect of secular belief has not been studied much and the existing research treats secular belief as the opposite of religiosity. In addition, the mechanism of the relationship between the two variables is not yet known. Therefore, this research was conducted with the aim of looking at the effect of secular belief as a predictor of scientific skepticism with the mediation of scientific literacy and belief in science. Participants were 202 Indonesian citizens (95 males, 101 females, 6 chose not to answer; M=32.25 years, SD=11.823). This study found that belief in science mediates the effect of the three dimensions of secular belief on scientific skepticism, namely the first dimension (b=0.289, p=0.005; b=-0.287, p=0.000), the second dimension (b=0.378, p=0.000; b=-0.258, p=0.000), and the third dimension (b=0.440, p=0.000; b=-0.306, p=0.041). Meanwhile, scientific literacy only mediated the third dimension (b=-0.041, p=0.005; b=-0.444, p=0.044). This means that the influence of secular belief on scientific skepticism is more strongly mediated by belief in science, compared to scientific literacy.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresa Serafim Nafiria
Abstrak :
Penelitian ini menganalisis gerakan Ni Putes Ni Soumises (NPNS) yang bertahan dari 2003 hingga 2020 melalui kacamata ideologi gender dan sekularisme. NPNS merupakan gerakan berbasis ideologi gender yang berumur panjang dalam memperjuangkan kepentingan politik perempuan migran melawan ideologi fundamentalis yang represif di komunitas banlieue. Selama lebih dari satu dekade, NPNS telah menjadi gerakan yang signifikan dalam lanskap sekularisme Prancis. Oleh sebab itu, penelitian ini ingin mengungkap alasan perkembangan dan kebertahanan NPNS sebagai gerakan ideologi gender yang signifikan di Prancis. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi pustaka, penelitian ini menerapkan teori Butler dan Lauretis tentang ideologi gender, serta konsep Aparatus Negara (State Apparatuses) milik Althusser, untuk menganalisis dinamika NPNS melalui tiga periode: kebangkitan, kejayaan, dan masa bertahan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kebertahanan NPNS disebabkan oleh dukungan negara secara politis dan materi melalui penentangan gerakan terhadap dominasi budaya patriarki laki-laki Muslim banlieue, yang sejalan dengan ideologi sekuler Prancis. Selain itu, peran signifikan NPNS sebagai ruang aman bagi perempuan migran yang menjadi korban kekerasan berbasis gender memicu dukungan dari masyarakat yang turut berkontribusi atas bertahannya NPNS. ......This research analyzes the Ni Putes Ni Soumises (NPNS) movement that lasted from 2003 to 2020 through the lens of gender ideology and secularism. NPNS is a long-term gender ideology-based movement that fights for migrant women's political interests against repressive fundamentalist ideologies in banlieue communities. For more than a decade, the NPNS has been a significant movement in the French secularism landscape. Therefore, this study aims to uncover the reasons for the development and survival of the NPNS as a significant gender ideology movement in France. Using qualitative approach with literature studies methodology, this research applies Butler and Lauretis' theories on gender ideology, as well as Althusser's concept of State Apparatuses, to analyze the dynamics of NPNS through three periods: the rise, the triumph, and the defensive stage. This research findings show that the longevity of the NPNS is due to political and material state support through the stance of the movement against the dominance of the banlieue's Muslim male patriarchal culture, which is aligned with French secular ideology. In addition, the significant role of NPNS as a safe space for migrant women who are victims of gender-based violence triggers support from the community, which contributes to the longevity of NPNS.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfan Firmanto
Abstrak :
Sebagian besar pemikir politik Islam klasik, memandang bahwa hubungan agama dan negara adalah satu kesatuan yang organis, yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bentuk kelembagaan bagi hubungan yang organik tersebut, muncul dalam bentuk khilafah, yang dianggap sebagai representasi sebuah sistem kekuasaan dan pemerintahan Islam, sejak dari zaman Abu Bakar Shidiq hingga berakhirnya kekhalifahan Usmani di Turki. Selama itulah kedudukan khalifah tetap aman dan selalu mendapat legitimasi dari para ulama yang memegang otoritas keagamaan dalam Islam. Kondisi tersebut menggambarkan hubungan antara politik atau kekuasaan dengan agama, sebagai hubungan simbiosis yang sating menguntungkan. Seiring dengan masuknya bangsa Eropa ke Timur Tengah, maka masuk pulalah pemikiran-pemikiran modern di kawasan tersebut. Salah satu diantara pemikiran tersebut adalah Sekularisme. Dengan faham itulah Ataturk di Turki mengejutkan dunia politik Islam dengan menggusur kekhalifahan Usmani yang memang sudah lemah. Menyusul satu tahun kemudian AIi Abd Raziq di Mesir dengan menerbitkan bukunya "Islam wa Ushul al-hukmmr ; Buhl fi al-Khila_;ah wa al-Hukumah fi al-Islam", yang juga inengkritisi eksistensi khilafah yang selama itu "disucikan". Namun keduanya menganggap bahwa khilafah adalah rezim otoritarianisme dan absolutisme yang tidak lagi relevan di zaman modem ini.
Mostly classical Islamic political scholar, looking that the relation of religion and state is one organic union, inseparable one with other. Form of the institutution for those relation, emerge in the form of khilafah, what is considered_ to be representation a system of power and Islamic, governance, since Abu Bakar Shidiq till the end of Usmani Emperor in Turki. During that's dimiciling khalifah remain to be peaceful and always get the legitimation from all moslem scholar, whom had holding religious authority in Islam, The Condition depict the relation of between politics or power with religion, as mutual symbiosis a profiting relation. With the arrival of Europe people to Mid-East area, they bring the new ideology to the area, one of that ideology is Secularisme. With that ideology Ataturk in Turki set the river on fire the Islamic politics by aborting imperium Usmani which is true have weak. One year later, then Ali Abd Raziq in Egypt, also critizied the khilafah power by publishing his book " Islam of Ida Ushul alhuk'n ; Bahs El al-Khilafah wa al-Hukumah fr al-Islwn", which is during that "sanctified". But both assuming that khilafah is regime of otoritarianisme and absolutisme which shall no longger be relevant in this modem epoch. Both emerging almost at the same time, with the same opinion, and global political in a same condition, regional and national which more or less is equal. Even both dissociated by far distancer, owning different personality, with the different of intellectual background, and of course own the different target, hence non an matter which coincidence happened, if both sudden emerge at the time of and same condition. This is one of reason disturbing to be checked in this thesis.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T18707
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devika Rahmasari
Abstrak :
ABSTRAK
Tulisan ini menganalisis Laicite sebagai salah satu manifestasi nilai-nilai sekularisme di Prancis dan dampaknya terhadap komunitas Muslim di Prancis ketika Laicite diimplementasikan dalam berbagai bentuk kebijakan dan aturan formal. Argumen utama penulis adalah Laicite merupakan bentuk Cultural Defense Prancis terhadap nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengan apa yang telah dimaknai dan diyakini Prancis pasca Revolusi Prancis. Pertama, penulis mengulas Laicite sebagai landasan normatif dan gambaran tentang komunitas Muslim di Prancis. Kedua, penulis mengelaborasi bagaimana Prancis memaknai dan menerapkan Laicite sebagai Cultural Defense yang diawali dengan menciptakan sebuah Cultural Hegemony. Ketiga, penulis menjelaskan implikasi mdash;sosial, politik, budaya, ekonomi, dan hukum mdash;penerapan Laicite yang dialami oleh kaum minoritas imigran muslim Prancis. Penulis menggunakan Historical Representation dibantu dengan wawancara terbatas sebagai metode penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada kajian transnasional dalam ilmu hubungan internasional.
ABSTRACT
This paper analyzes Laicite as one of the manifestations of secularism in France and its impact on the Muslim community in France when Laicite is implemented in various forms of formal policies and rules. The author 39 s main argument is Laicite is a form of French Cultural Defense against values that are considered contrary to what has been interpreted and believed in France after the French Revolution. First, the author reviews Laicite as the normative foundation and description of the Muslim community in France. Secondly, the author elaborates on how the French interpreted and applied Laicite as Cultural Defense which began by promoting the concept of Cultural Hegemony. Thirdly, the authors explains the social, political, cultural, and legal implications of the Laicite application experienced by a minority of French Muslim immigrants. The author uses Historical Representation assisted by a limited interview as a research method. This research is expected to contribute to transnational studies in the discipline of international relations.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hani`ah
Abstrak :
ABSTRAK
Agama merupakan masalah yang menarik untuk diketahui karena pretensinya sebagai pembawa kebenaran. John Dewey, seorang filsuf pragmatisme Amerika yang terkenal, mempermasalahkan hal itu dalam pemikirannya. Pragmatisme adalah filsafat naturalistik, yaitu filsafat yang lebih mengutamakan aspek praktis daripada aspek teoritis. Jadi , pandangan Dewey terhadap agama pun bersifat praktis-pragmatis: sesuatu yang berbeda secara diametral dari hakikat agama itu sendiri. Dan yang kuga membuat masalah ini menarik adalah sikap Dewey yang tampa enggan memasuki bidang ini sehingga bukunya mengenai agama A Common Faith baru ditulis pada senja hidupnya setelah ia berusia 75 tahun.

Dari sudut filsafat, karya Dewey yang terpenting adalah kritiknya terhadap kebenaran tradisional yang dinyatakan dalam teorinya instrumentalisme...
1985
S16183
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denny J.A.
Jakarta : Putra Berdikari Bangsa, 2000
321 NEG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New Delhi : Manohar Publishers &​ Distributors, 2007.
211.609 LIV
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>