Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Wardhana
Abstrak :
Tujuan : Mengetahui apakah HTA Indonesia 2003 sudah berjalan di departemen bedah RSCM dan mengetahui pengeluaran pemeriksaan rutin yang mungkin bisa ditekan. Meningkatkan kemampuan pemeriksaan fisik dan memilih pemeriksaan prabedah lebih selektif dan efisien. Tempat : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metodologi : Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dan data disajikan dalam bentuk deskripif. Sebanyak 106 pasien diambil datanya dari status pasien yang masih dirawat (44 orang) dan dari status pasien rawat jalan (62 orang). Pengambilan subjek dengan consecutive sampling untuk yang masih dirawat dan acak sederhana pada pasien rawat jalan. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik pasien, sebaran penyakit/kelainan sitemik, sebaran pasien pra dan pascabedah, komplikasi pascabedah, permintaan foto toraks sesuai HTA dan rutin berikut biaya, penyakit sistemik yang mendasari pemeriksaan fate toraks, pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan BTICT sesuai HTA dan rutin berikut biaya, pemeriksaan kimia darah sesuai HTA dan rutin berikut biaya, pemeriksaan foto torak dan darah sesuai HTA dan rutin. Hasil : Berdasarkan karakteristik pasien kelompok yang sehat lebih banyak dari pasien dengan kelainan sistemik. Penyakitlkelainan sistemik terbanyak adalah kardiopulmonal diikuti tuberculosis dan anemia. Prabedah dalam kondisi baik dan tidak ada komplikasi pasca bedah. Terdapat perbedaan foto toraks HTA dan rutin ( 21 dan 85 dengan biaya Rp.1.050.000 dan Rp.4.250.000). Terdapat perbedaan pemeriksaan BTICT HTA dan rutin (2 dan 104 dengan biaya Rp.30.000 dan Rp.1.560.000). Terdapat perbedaan pemeriksaan kimia darah HTA dan rutin dengan biaya Rp.2.175.000 dan Rp.6.993.500 dan pemeriksaan kimia darah dan foto toraks menurut HTA dan rutin: 7 dan 99 dengan biaya Rp 2.525.000 dan Rp 12.803.500. Kesimpulan : Pemeriksaan prabedah sesuai HTA belum berjalan.pemeriksaan rutin masih dominan dengan selisih biaya tiga sampai enam kali lebih mahal dari pemeriksaan sesuai HTA dan juga tidak efisien karena tidak terdapat komplikasi pascabedah.
Objective: The aim of this study was to know whether HTA Indonesia 2003 had been performed in the department of surgery RSCM and to know how much its cost for the preoperative routine examination. To improve physical examination and selective choosing preoperative examination based on physical findings. Place: Cipto Mangunkusumo Hospital Method: The design was descriptive and cross-sectional retrospective study. There was 44 patients in the ward room and 62 patients at out patience clinics all taken from the status. The sample was taken with consecutive sampling for patients who still in the ward and simple random for patients at out patients clinics. Data collected were characteristics of the patients, systemic diseases, preoperative and postoperative, complications, chest x-ray according HTA and routine with its cost, chest x-ray with systemic diseases, routine blood test, coagulation test, blood chemistry test routine and HTA, blood test and chest x-ray routine and HTA. Results: Most patients were in good conditions. Sistemic disesase were cardiopulmonal, tuberculosis, and anemia_ Preoperative were in good conditions and there were no complications. There were differences between HTA and routine chest x-ray (21 and 85 with the cost Rp 1.050.000 and Rp 4.250.000), HTA and routine coagulation test were 2 and 104 with the cost Rp 30.000 and Rp 1.560.000, HTA and routine blood chemistry test were Rp.2.175.000 and Rp.6.993.000, HTA and routine chest x-ray and blood chemistry test were 7 and 99 with cost Rp 2.525.000 and Rp 12.803.500. Conclusions: HTA preoperative examination had not been performed yet, routine preoperative test were dominant and were cost three and six times more expensive than HTA. There were no complications postoperatively, so routine preoperative test should be considered.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18155
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Makagiansar, Irinawati N.
Abstrak :
Objective : To measure sensitivity and specificity diagnostic finding of convensional radiography in midfacial fractur performed at the Emergency room of Cipto Hospital and to evaluate its quality.

Design and Main Outcome Measures: In this diagnostic testing 35 patients with clinical signs of midfacial fracture were investigated. All patient underwent radiography examination at the Emergency room (Anteroposterior, Lateral and reverse Waters view). X ray photo were expertised by a plastic surgeon and a radiologist, both of them without knowing the clinical conditions, and by the residen who received the patient at the ER. Then we compare radiographic and intraoperative findings as goal standard, The results were analyzed by statistical testing (for sensitivity, specificity, positive, negative predictive value).

Results: The result showed that sensitivity and specificity varied between plastic surgeon, radiologist and residen but still high, and we noted that clinical examinations revealed to be very helpful in the assessment of an inadequate imaging fracture.

Conclusion: Conventional radiography performe at the Emergency Room of Cipto hospital has high specificity although the quality is considered substandard. Clinical findings is still very important to distinguished uncertain fracture.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umu Istikharoh
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Diced cartilage banyak digunakan dalam praktek bedah plastik. Keuntungannya sangat beragam, dari rekonstruksi hingga estetik. Tetapi data mengenai viabilitas antara bentuk kasar dan halus belum ada, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar tersebut.Metode: Penelitian menggunakan kelinci New Zealand dewasa. Menggunakan tujuh ekor kelinci yang dibagi menjadi tiga grup yaitu grup block cartilage, coarsely diced cartilage dan finely diced cartilage. Pengabilan cartilage dilakukan dari satu sisi bagian telinga kelinci, dibagi dengan ukuran yang sama dan ditanam di bawah kulit scapula. Setelah 12 minggu dilakukan pemeriksaan makroskopik untuk menilai warna, dan kontur dari kartilago yang sudah diimplantasikan lalu juga dilakukan pemeriksaan histologis dengan pewarnaan : Haematoxylin Eosin dan Mason Tricrhome untuk menilai viabilitas masing ndash; masing grup.Hasil: Secara makroskopik didapatkan perbedaan berat cartilage dari masing ndash; masing grup. Masing ndash; masing menunjukkan peningkatan berat cartilage antara sebelum dan sesudah 12 minggu. Tidak didapatkan perbedaan viabilitas antara masing ndash; masing grup, dengan nilai p > 0.312.Kesimpulan: Penggunaan coarsely diced cartilage memiliki keuntungan untuk pengisian volume organ yang besar. Hal ini dikarenakan tidak adanya perbedaan secara makroskopik maupun mikroskopik antra finely dan coarsely diced cartilage.
ABSTRACT
The use of diced cartilage grafts is common in plastic surgery, it is very useful for reconstruction after secondary accident and malignancies in the facial region. In recent years it is very useful for aesthetic surgery. The study to compare between coarsely and finely diced cartilage is not provide.Methods We use New Zealand white rabbits for this study. We used seven samples with three group, one group of block cartilage, one group of coarsely diced cartilage and the last group of finely diced cartilage. Three equal sized auricular cartilage grafts were harvested from each rabbit and implanted on the scapulae of the same rabbits. Twelve weeks after implantation, all cartilage grafts were examined macroscopically and microscopy. Post implanted cartilage grafts were stained by Haematoxylin Eosin and Thricrhome to know the viability of each group.Result Macroscopically there is different weight before and after implantation, every group was gain the weight. The viability between the each group is not different significant, p 0.312. The advantages for the coarsely diced cartilage than fined diced cartilage was same in contour, color, viability and absorpsion weight was gained .Conslusion We can used the coarsely diced cartilage for the bigger defect that need more volume. The result is same between finely and coarsely in clinical and histologic
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gillies, Harold Delf Sir
Boston : Little, Brown, 1957
617.95 GIL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Widiarni Widodo
Jakarta: Department of Otolaryngology Head and Neck Surgery, 2021
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Guntoro
Abstrak :
Surgical delay is a manuever that designed to improving survival of skin flap. The basic mechanism of the delay procedure is vascular reorientation that produced by the stimulus of ischemia. This study introduces a new method of surgical delay with ligation suture. This ligation interrupt blood flow to the planned skin flap and thereby producing ischemic condition. We investigated wether this method will improve flap survival, compared with survival in "conventional" surgical delay and non-delay group. Fifty-one McFarlane flaps on rat model were divided in three groups. After 7 days of delay (in the delay group) the flap was elevated. Then, 7 days post elevation, the survival length of the flaps in all groups was measured. Flap survival ii the ligation suture delay group (72,83% ± 3,84%, n=17) was not different from "conventional" surgical delay group (73,34% ± 9,73%, n=17), and significantly greater than in the non-delay group (47,92%± 6,62%, n=17). This study suggest that, in rat model, this ligation suture delay procedure was effective to produces ischemic condition that stimulus changes of blood patterns and thus increasing the flap survival.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Agustini
Abstrak :
Dewasa ini perkembangan dunia kedokteran semakin bertambah pesat sehingga tidak saja berfungsi dalam hal penyembuhan namun juga memberikan suatu peluang yang positif terhadap dunia kecantikan. Salah satunya ialah bedah plastik. Dulu suatu tindakan bedah plastik selalu dikaitkan dengan suatu keadaan dimana pasiennya menderita suatu indikasi medis sehingga memerlukan penanganan bedah plastik. Namun dunia kedokteran kini tidak lagi hanya berfungsi apabila adanya indikasi medis, tetapi juga dapat berfungsi sebagai penambah daya tarik kecantikan seseorang. Bedah plastik mempunyai karakteristik yang khusus misalnya dalam hal bedah plastik estetik yang berbeda dengan tindakan medis lainnya. Hal ini disebabkan karena bedah plastik estetik lebih mengutamakan kepada suatu hasil kerja dari dokter bedah plastik yang bersangkutan (Resultaatverbintenis), walaupun memang bedah bedah plastik rekonstruksi merupakan bedah plastik yang lebih mengutamakan daya upaya atau usaha maksimal dari tindakan dokter (Inspaningverbintenis). Perlindungan hukum atas hak-hak konsumen (pasien) di Indonesia, sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Begitu juga hak-hal pasien telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Salah satu hak tersebut adalah untuk mendapatkan ganti kerugian atas tindakan pelaku usaha yang menyebabkan kerugian itu. Aspek hukum perlindungan konsumen (pasien) menjadi fokus penting karena tindakan dokter bedah plastik yang sering merugikan konsumen. Dalam hal bedah plastik ada beberapa permasalahan yang dapat timbul seperti tidak adanya pengaturan secara eksplisit yang mengatur mengenai dokter yang berwenang untuk melakukan tindakan bedah plastik. Hal ini menyebabkan banyak dokter yang mengklaim dirinya mampu untuk melakukan bedah plastik.Permasalahan lainnya ialah apabila seorang dokter melakukan Perbuatan Melawan Hukum maupun wanprestasi yang biasanya disebut dengan Malpraktek. Pemberlakuan klausula-klausula yang bersifat baku sehingga konsumen (pasien) hanya bisa menerima dan tidak adanya kesempatan bernegosiasi dan terkadang klausula tersbut berisi pembebasan tanggung jawab dari pihak dokter bedah plastik. Klausula tersebut sering terdapat dalam Informed consent. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa antara konsumen (pasien) dengan dokter bedah plastik apabila terjadi suatu tindakan malpraktek dalam bidang Perdata, maka dapat diselesaikan baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan yaitu dengan cara musyawarah serta dapat diajukan permasalahan kepada organisasi profesi yang terkait yaitu MKEK IDI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran).
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trimartani
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan. Perkembangan analisis wajah pada bedah rekonstruksi wajah sangatlah pesat, sejalan dengan perkembangan teknologi pencitraan dan komputerisasi. Program perangkat lunak yang tersedia pada saat ini, seperti Rhinobase, hanya dapat mengukur daerah hidung, tidak seluruh wajah. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu program perangkat lunak yang lebih lengkap, dapat menyimpan data medis, mengukur dan menganalisis foto (fotogrametri dan analisis fotografi) guna merencanakan tindakan operasi rekonstruksi wajah secara keseluruhan. Pengakat lunak ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat ukur dan menjadi panduan untuk melakukan tindakan bedah rekonstruksi wajah (reaksilofasial).
2008
D1753
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hayati
Abstrak :
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dalarn beberapa dekade belakangan ini berkembang sangat pesat, terutarna sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2. Diantara kemajuan di bidang kedokteran yang saat ini banyak diminati orang adalah bidang bedah plastik (plastic surgery). Menurut Ensiklopedi Indonesia, bedah plastik adalah cabang ilmu bedah yang mempelajari cara melakukan perbaikan bentuk organ tubuh yang tidak sempurna (hal.269-270). Oleh sebab itu tujuan dati ilmu yang di Indonesia dikembangkan pertama kali oleh Prof Moenadjat Wiraatmaja adalah untuk peningkatan fungsi organ tubuh yang tidak/kurang sempurna serta mengurangi kecacatan yang mengganggu. Dalam perkembangannya, ternyata ilmu bedah plastik ini juga dipergunakan untuk mempercantik diri, memperbaiki penampilan fisik yang dirasa kurang sempurna meski tidak cacat. Melalui pemaduan dengan ilmu kecantikan, maka lahirlah ilmu bedah kosmetik (cosmetic surgery). Tindakan-tindakan dalam bidang bedah plastik biasanya barn dapat dikatakan berhasil bila pasien puas setelah tindakan itu dilakukan. Namun hila yang terjadi sebaliknya, pasien merasa tidak puas akan hasilnya maka besar kemungkinan hal ini akan menjadi masalah hukum. Narnun mungkinkah hila pasien tidak puas itu berarti ada kesalahan dokter? Tentu perlu ditelaah lebih jauh lagi, misalnya apakah tindakan dokter sudah sesuai dengan Standar Profesi? Memang kasus tuntutan terhadap kegagalan operasi menunjukkan peningkatan bila kita baca di surat kabar belakangan ini. Hal ini karena dalam tindakan bedah plastik terdapat banyak aspek hukumnya. Salah satu aspek hukumnya adalah bahwa hubungan dokter dengan pasien dalarn bidang bedah plastik ini termasuk Inspanningverbintenis dan bukan Resultaatverbintenis. Artinya bahwa dok1er tidak dapat menjamin hasil dari setiap tindakan bedah plastik tetapi hanya akan berupaya semaksimal mungkin. Juga perihal kewenangan yakni dokter apa yang berwenang untuk melakukan tindakan bedah plastik itu? Menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan selain Dokter Spesialis Bedah Plastik, yang berwenang juga Dokter Spesialis THT, Dokter Spesialis Mata dan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Tentunya kewenangan tersebut tergantung pada bidang spesialisasinya. Juga seorang dokter yang melakukan tindakan bedah plastik harus tetap memperhatikan hak-hak pasien, khususnya penerapan hak atas informed consent. Dengan informasi itu diharapkan pasien tidak akan mempunyai harapan yang berlebihan akan hasilnya, tapi juga tidak merasa takut yang tidak wajar pula. lni akan banyak memberi manfaat kepada pasien maupun dokternya serta dapat menghindari dati tuntutan malapraktek medis. Hal yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari masalah-masalah hukum yang timbul dari tindakan bedah plastik disarnping masalah lain seperti bagaimana tanggung jawab dokter dan rumah sakit bila terjadi malapraktek, bagaimana aturan hukum yang ada mengenai penyelenggaraan bedah plastik yang mempunyai keunikan dan kekhususan dibanding tindakan bedah lain. Oleh sebab itu menarik penulis untuk mengungkap lebih jauh hal itu dalam skripsi ini.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Rifa Rahadina
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang inspanningverbintenis dan resultaatverbintenis dalam praktik bedah plastik serta kaitannya dengan tanggung jawab hukum dokter yang melakukan praktik diluar kompetensinya. Pembahasan dilakukan melalui studi kasus pada putusan No.1207/Pid.S/1992/PN.SBY dan No. 944/Pid.Sus/2015/PN.JKT.SEL, serta wawancara dengan ahli bidang hukum kesehatan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa antara inspanningverbintenis dan resultaatverbintenis, keduanya dapat diterapkan dalam praktik bedah plastik. Inspanningverbintenis dapat diterapkan pada bedah plastik rekonstruksi, sedangkan resultaatverbintenis dapat diterapkan pada bedah plastik estetik. Tindakan bedah plastik haruslah dilakukan oleh dokter yang kompeten di bidangnya, apabila seorang dokter terbukti melakukan pelanggaran disiplin profesi, maka dapat dikenakan sanksi disiplin.
ABSTRACT
This thesis discusses inspanningverbintenis and resultaatverbintenis in the practice of plastic surgery and its relation to the legal responsibility of doctors who practice outside of its competence. The study was conducted through case studies on the decision number 1207 Pid.S 1992 PN.SBY and number 944 Pid.Sus 2015 PN. JKT.SEL, as well as interviews with the experts in the field of medical law. This research is a qualitative research in the form of normative juridical study. The results of this study concluded that between inspanningverbintenis and resultaatverbintenis, both of which can be applied in the practice of plastic surgery. Inspanningverbintenis can be applied to reconstructive plastic surgery, while resultaatverbintenis can be applied to aesthetic plastic surgery. Plastic surgery should be performed by doctors who are competent in their fields, if a doctor was guilty of violation of professional discipline, he or she could be subjected to the disciplinary sanctions.
2017
S67310
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>