Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benny Raymond
"ABSTRAK
Latar belakang : Beberapa tahun belakangan, penanganan luka dengan madu
telah banyak diterapkan oleh para praktisi klinis diseluruh dunia. Namun sampai
sekarang, belum ada prosedur standar tentang bagaimana aplikasi madu pada luka.
Di divisi Bedah Plastik RSCM, madu diaplikasikan pada luka dengan frekuensi
satu kali perhari, dan secara observasional hasilnya memuaskan. Namun
bagaimana jika madu diaplikasikan setiap dua hari? Apakah hasilnya akan lebih
memuaskan? Kami ingin mencari metode mana yang akan memberikan hasil yang
paling memuaskan dan nantinya akan dijadikan standar aplikasi madu di divisi
kami.
Metodologi: Penelitian ini bersifat prospektif eksperimental, dilakukan di RSCM
pada bulan Juli – September 2012. Melibatkan 14 pasien dengan luka partial
thickness akut yang akan diwakili oleh luka donor STSG. Jumlah sampel ini
diyakini cukup untuk keakuratan penelitian ini. Pasien dibagi dalam 2 kelompok,
kelompok kontrol akan diberikan aplikasi madu pada luka tiap hari dan kelompok
perlakuan akan diberikan aplikasi madu tiap dua hari. Laju penyembuhan luka
akan dinilai sebagai persentase reduksi area yang belum terjadi epitelialisasi pada
hari ketujuh. Area yang telah epitelialisasi dan yang belum akan ditentukan
menggunakan program AnalyzingDigitalImages®. Data yang didapatkan akan
dianalisa secara statistik menggunakan SPSS versi 17. Data akan dibandingkan
menggunakan Wilcoxon signed rank test dimana p<0,05 secara statistik akan
dianggap terdapat perbedaan yang bermakna.
Hasil : Rerata persentase reduksi area non epitelialisasi pada kelompok perlakuan
adalah 86,76%, sedangkan rerata persentase reduksi area non epitelialisasi pada
kelompok kontrol adalah 97,97%. Dari analisa statistik didapatkan perbedaan
persentase reduksi yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol (p 0,00)
Kesimpulan: Rerata persentase reduksi area non epitelialisasi pada luka dengan
penggantian balutan madu tiap hari dan tiap 2 hari, berdasarkan uji statistik
didapatkan berbeda secara bermakna. Namun dalam 2 hari, meskipun efektifitas
madu sudah berkurang, madu masih dapat memberikan hasil yang baik.
Penemuan ini akan berguna untuk pasien dengan luka partial thickness dimana
penggantian balutan madu tiap hari tidak dapat/sukar dilakukan.

ABSTRACT
Backgrounds: In the past few years, clinicians worldwide have been using honey
for wound treatment. But until now, there was no such standard on method of
honey application on wound. In our center, honey was applied on wound by once
a day application and the result was observationally satisfactory. What if
application of honey were done once every two days? Would the result become
more satisfactory? This study aims to search honey application method, which
gives the best result on wound treatment.
Methods: This is a single-blinded non-randomized clinical trial, which was
conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from July until September
2012. 14 patients with acute partial thickness wound resulted from STSG
harvesting were involved in this study. Patients were divided into 2 groups:
control (once a day application of honey) and treatment (once every two days
application of honey) and the rate of wound healing were evaluated. Rate of
wound healing will be assessed as number of percentage of reduced nonepithelialized
areas on the seventh day of application.
Results: The mean percentage of non-epithelialized area reduction on treatment
group was 86.76%, and 97,97% on control group. There was significant
difference on percentage of reduced area between control and treatment group (p<
0,00).
Conclusion: There was statistically significant difference between once a day and
once every two days application of honey. However, changing of honey dressing
once a day is still a preferable method in wound treatment"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Tri Susilo
"Latar Belakang : Tebal ramus mandibula merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan saat melakukan Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Fraktur unvaforable atau bad split dapat terjadi saat melakukan BSSO apabila ramus mandibula tipis. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula masih belum banyak diteliti. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula bisa dipakai sebagai acuan jika akan melakukan BSSO.
Tujuan : untuk mengetahui tebal ramus mandibula berdasarkan CBCT Scan sebagai acuan tindakan BSSO.
Metode : Subjek penelitian ini terdiri dari 61 sampel data DICOM CBCT Scan yang kemudian dilakukan reorientasi dalam 3 bidang dan dilakukan pengukuran pada tebal ramus mandibula menggunakan software Osirix LXIV.
Hasil : Didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula pada laki-laki 8.049 1.205 mm dan pada perempuan 8.463 1.358 mm. Pada kelompok usia 18-30 tahun didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula 8.087 1.29 mm, kelompok usia 31-40 tahun 8.176 1.49 mm, kelompok usia 41-50 tahun 8.742 1.04 mm.
Kesimpulan : Berdasarkan CBCT Scan, secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna tebal ramus mandibula pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan maupun pada kelompok usia.

Backgorund: Ramus mandibular thickness is one of the most important factor that has to be concerned when performing Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Unfavorable fracture or bad split could happen when performing BSSO if the ramus mandible thickness is thin. There only a few regarding antropometric data about thickness of mandibular ramus.
Objective: To measure thickness of mandibular ramus based on CBCT Scan as a reference when performing BSSO.
Methods: Subject of this research consist of 61 data sample DICOM CBCT Scan which reoriented in three planes and measuring thickness of the ramus mandible using Osirix LXIV.
Result: Mean thickness of the ramus mandible for male is 8.049 1.205 mm and female 8.463 1.358 mm. In group age of 18 30 mean thickness of the ramus mandible is 8.087 1.29 mm, group age 31 40 is 8.176 1.49 mm, group age 41 50 is 8.742 1.04 mm.
Conclusion: Based on CBCT Scan there are no difference statistically between thickness of ramus mandible in male and female, and group of age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007
617.95 Gra
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: EGC, 2004
617.423 BUK
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
New York: McGrawHill education, 2015
617 SCH
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Bedah rawat jalan adalah suatu pelayanan kesehatan dalam bidang pembedahan di mana penderita setelah mendapat pelayanan bedah dapat pulang tanpa melalui rawat inap. Dengan teknik Fast Track Anesthesia dan teknik pembedahan yang mutakhir didukung dengan obat-obat anestesi baru, waktu yang dibutuhkan untuk pemulangan pasien dapat dipersingkat. Nilai pemulangan yang digunakan berdasarkan penilaian Aldrete Scoring System dan Postanesthesia Discharge Scoring System yang dapat dicapai dalam waktu singkat. Melihat bahwa 60%-70% kasus bedah sebetulnya dapat dilakukan di unit bedah rawat jalan, maka pelayanan bidang bedah dengan biaya yang relatif terjangkau dapat ditingkatkan."
KWK 17:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
New York: McGraw-Hill Education Medical, 2015
617 SCH
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Okabe, Hiroshi
"
ABSTRACT
Purposes
Laparoscopic gastrectomy using ultrasonic devices occasionally causes postoperative pancreatic fistula. Robotic gastrectomy using monopolar scissors may reduce intraoperative injury to the pancreas. We evaluated the safety and feasibility of robotic gastrectomy.
Methods
A multicenter prospective study was conducted to evaluate the surgical outcomes of robotic gastrectomy. The primary endpoints were the incidence of intraoperative and postoperative complications and operative mortality.
Results
A total of 115 patients were enrolled. The clinical T stages were T1 in 68 patients and T2 or higher in 47 patients. The types of surgery included distal gastrectomy (n = 72), total gastrectomy (n = 39), and proximal gastrectomy (n = 4). Two patients developed intraoperative complications (1,7%), but no cases required conversion to open surgery. The amylase concentration in drainage fluid was higher in cases with pancreatic compression, especially in those with compression for longer than 20 min. Postoperative complications of Clavien-Dindo grade ≥ II occurred in 11 patients (9,6%). There was no mortality. A multivariate analysis indicated that a high body mass index and pancreatic compression by an assistant for longer than 20 min were independent risk factors for postoperative complications (P = 0,029 and P = 0,010).
Conclusions
Robotic gastrectomy using monopolar scissors is safe and feasible. Robotic dissection without compression of the pancreas may reduce postoperative complications."
Tokyo: Springer, 2019
617 SUT 49:10 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
William Stephenson Tjeng
"Latar belakang : Infeksi daerah operasi (IDO) merupakan salah satu infeksi terkait perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan di rumah sakit. IDO pasca operasi jantung masih merupakan masalah serius. Prevalensi IDO pasca operasi jantung berkisar 0,25 sampai 6%. Banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian IDO. Baik faktor risiko pre-operatif, peri-operatif, intra-operatif maupun pasca-operatif. Faktor usia, status nutrisi, tindakan transfusi, lama rawat inap sebelum dilakukan tindakan dan ketepatan pemberian antibiotik profilaksis dapat menjadi faktor risiko yang memengaruhi kejadian IDO paska operasi jantung.
Tujuan : Mengetahui faktor-faktor risiko yang meningkatkan kejadian IDO operasi jantung anak dan kesintasan pada anak.
Metode : Penelitian kohort retrospektif dengan rancangan penelitian potong lintang yang mengalami IDO pada operasi jantung di RSCM. Data penelitian diambil dari rekam medis. Data yang dikumpulkan adalah usia, status nutrisi, tindakan transfusi, lama rawat inap pasien sebelum dilakukan tindakan operasi dan ketepatan pemberian antibiotik profilaksis terhadap kejadian IDO pasca operasi jantung. Data tersebut kemudian dianalisis dengan analisis univariat, bivariat dan analisis multivariat.
Hasil : Jumlah subyek yang direkrut sebesar 360 subyek, prevalensi IDO sebesar 13,8%. Faktor risiko usia tidak memengaruhi kejadian IDO dengan p=0,178 RR 0,54(0,217-1,327) pada kelompok umur 0-1 tahun, p=0,415 RR 0,72(0,331 – 1,578) pada kelompok usia 1-5 tahun dan p=0,205 RR 0,27(0,035 – 2,052) pada kelompok usia 5 – 10 tahun. Status nutrisi tidak memengaruhi kejadian IDO dengan p= 0,287 RR0,75(0,436-1,278). Lama rawat inap sebelum tindakan operasi tidak memengaruhi kejadian IDO dengan p=0,324 RR 0,772 (0,662-1,292). Ketepatan pemberian antibiotik profilaksis tidak memengaruhi kejadian IDO p=0,819 RR 1,011(0,918-1,114).
Simpulan : Faktor risiko usia, status nutrisi, lama rawat inap sebelum tindakan, ketepatan antibiotik profilaksis tidak memengaruhi kejadian IDO pada operasi jantung anak.

Background : Surgical site infection (SSI) is one of the hospital associated infections, and increases morbidity, mortality and hospital care costs. SSI Post cardiac surgery is still a serious problem. The prevalence of SSI post cardiac surgery ranges from 0.25 to 6%. Many risk faktors can increase the incidence of IDO. Faktors such as age, nutritional status, transfusion , length of hospitalization before surgery and accuracy of prophylactic antibiotik administration can be risk faktors that affect the incidence of IDO after cardiac surgery.
Aime : to investigate the risk faktors in pediatric cardiac surgery that will increase the incidence of SSI and to improve the survival of the child after cardiac surgery.
Method : Retrospective cohort study with cross-sectional research design that undergoes Surgical site infection in cardiac surgery at RSCM. The research data is taken from medical records. The data collected are age, nutritional status, transfusion procedure, length of hospitalization of the patient before surgery and accuracy of prophylactic antibiotik administration against the incidence of postoperative SSI cardiac surgery. The data were then analyzed by univariate, bivariate and multivariate analysis.Result : The number of subjects recruited was 360 subjects, the prevalence of SSI was 13.8%. Age risk factors did not affect the incidence of SSI with p=0.178 RR 0.54(0.217-1.327) in the age group 0-1 years, p=0.415 RR 0.72(0.331 – 1.578) in the age group 1-5 years and p=0.205 RR 0.27(0.035 – 2.052) in the age group 5 – 10 years. Nutrient status does not affect the incidence of SSI with p= 0.287 RR0.75(0.436-1.278). The length of hospitalization prior to surgery did not affect the incidence of SSI with p=0.324 RR 0.772 (0.662-1.292). The accuracy of prophylactic antibiotik administration did not affect the incidence of IDO p=0.819 RR 1.011(0.918-1.114).
Conclusion : risk faktors such as Age, nutritional status, length of hospitalization before treatment, accuracy of prophylactic antibiotiks do not affect the incidence of IDO in pediatric cardiac surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dibart, Serge
Lowa: Blackwell Munksgaard, 2007
617.632 DIB p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>