Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raz, Joseph
Oxford: Clarendon Press, 1970
340.5 RAZ c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bangkok: 0, 1987
340.5 ASE l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: San Diego Academic Press , 1991
343.099 KNO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Saira Faruza Gaffar
"UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi merupakan artikulasi proses liberalisasi sektor telekomunikasi maupun industri terkait lainnya, termasuk industri intemet dan multimedia. Regulasi, bagaimanapun juga masih dipandang sebagai penyembuh dari segala bentuk market failure. Namun apa jadinya jika terjadi yang terjadi malah sebaliknya? Dimana justru regulasilah yang perlu untuk disembuhkan?
Beberapa hal pokok menjadi permasalahan pada tataran regulator telekomunikasi. Pertama, adanya salah persepsi atas fungsi regulator itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia diususul oleh kesuksesan sektor industri, termasuk sektor telekomunikasi yang dipandang memilik leverage effect terhadap sektor lainnya. Tidaklah mengherankan jika kemudian kebijakan publik lebih ditujukan untuk melindungi kepentingan industri sebagai produsen ketimbang kepentingan konsumen. Kebijakan yang berorientasi pada produsen ini terlihat jugs pada regulasi tarif yang berfokus pada cost base price. Suara konsumen dalam pemasalahan ini, seringkali diabaikan.
Masalah kedua yang menghadang, yakni tidak adanya transparansi. Berbagai kebijakan telematika (telekomunikasi, media, dan informatika) serta permasalahn lisensilperizinan, selama ini jelas disusun tanpa disertai transparansi yang cukup. Akibatnya, masyarakat tidak dapat memberikan pandangannya secara gamblang dan juga akan manjadi masukan bagi perkembangan industri telekomunikasi.
Secara yuridis, bisa dibilang seluruh regulasi ini memenuhi persyaratan. Namun belum tentu secara sosiologis dan filosofis sebagai unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam penyusunan ketentuan hukum. Di sinilah pentingnya keterbukaan dan sikap open-minded regulator untuk mengajak pihak-pihak yang akan terkena langsung kebijakan yang dibuatnya. Apalagi jika mereka ini pintar dalam memainkan opini publik melalui media massa.
Masalah ketiga adalah hal yang klise, yakni kurangnya sumberdaya manusia yang andal. Bidang telematika memiliki ciri khas, yakni demikian dinamis perkembangannya. Sementara paradigma berpikir kalangan birokrat yang juga merupakan regulator terbilang statis. Peran regulator telematika dibutuhkan kualifikasi yang tinggi, kompeten dan tidak berpihak (impartial). lni berarti tidak boleh ada kepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atas bisnis yang diaturnya. Kompetensi membutuhkan kemampuan teknis dan operasional yang mumpuni atas bidang yang diaturnya.
Untuk terselenggaranya regulasi yang menyangkut fungsi kontrol, dibutuhkan bentuk badan regulasi mandiri atau Independent Regulatory Body (IRB). Megenai lembaga yang independen ini sebenamya telah diatur dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Demi terselenggaranya lembaga regulator yang independen, dibutuhkan independensi dari pihak pemerintah ataupun organ pemerintahan lain yang memiliki keterkaitan dengan industri telekomunikasi. Kondisi yang independen ini cukup menguntungkan saat diambilnya putusan maupun regulasi yang memiliki potensi berbenturan dengan kepentingan pihak pemerintah. Apalagi pemerintah juga berkewajiban membina sektor telekomunikasi dan perkembangan teknologi.
Seringkali pada kenyataannya, pemerintah melindungi kepentingan incumbent. Dan dalam beberapa hal seringkali kasus-kasus yang muncul seputar telekomunikasi ini hanya diam ditempat tanpa ada pemecahannya. Maksud dari sifat independen dalam istilah independent regulatory body bukanlah bebas sama sekali dari pengaruh pemerintah. Namun, lebih pada pengertian bebas untuk mengimplementasikan regulasi tanpa adanya intervensi dari pihak yang berkepentingan.
Regulator bagaimanapun juga tetaplah menjadi lembaga negara yang mengembang kepentingan publik dan harus mempertanggungjawabkan pelaksanaannya tugasnya dan harus ada yang mengawasinya.
Yang harus diperhatikan bukanlah semata-mata dari lembaga regulasi yang independen itu sendiri, melainkan menciptakan kerangka regulasi yang memungkinkan kompetisi industri, mendorong perkemjangan dan pemerataan teknologi. Selain itu, meningkatkan efsiensi dan tak lupa melindungi kepentingan konsumen dan publik yang lebih luas."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilyk Happy Priyamsari
"Dalam perjanjian penitipan barang tidak dibenarkan menuntut si penitip barang untuk menjunjukkan bukti bahwa memang dialah pemilik barang yang sah. Tetapi dalam praktek penimhunan peti kemas pada Divisi Usaha Terminal Peti Kemas dituntut bukti-bukti berupa D/0 (Delivery Order) asli, identitas diri/surat kuasa dan perhitungan-sewa penumpukan dan gerakan. Di dalam perjanjian penitipan barang itu juga ditetapkan bahwa barang yang dititipkan harus dikembalikan kepada orang yang menitipkan seketika apabila dimintanya sekalipun dalam perjanjian telah ditetapkan suatu waktu lain untuk pengembaliannya. Dalam prakteknya, Divisi Usaha Terminal Peti Kemas memberikan jadwal bagi peti kemas-peti kemas yang hendak diserahkan kepada pemiliknya. Dalam CI (Container Yard) sistem, dapat terjadi perubahan status peti kemas, yaitu dari CY menjadi CPS (Centainer Freight Station). Akibatnya ada barang milik orang/perusahaan lain yang terbawa oleh peti kemas yang semula berstatus CY. Demikian pula dengan peti kemas yang semula berstatus CPS (Container Freight Station) berubah status menjadi CY (Container Yard). Kemungkinan ini bisa terjadi karena ternyata pemilik barang itu hanya seorang, sehingga barang tersebut akan langsung dibawa beserta peti kemasnya. Ini menimbulkan masalah mengenai siapa yang bertanggung jawab memikul biaya pengembalian barang ke tempat semula. Penimbunan peti kemas berunsur perjanjian penitipan barang yang dianalogikan dengan pasal 1709 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tetapi Divisi Usaha Terminal Peti Kemas tidak pengadakan perjanjian dengan pemitip/pemilik barang. Hal ini akan merugikan pihak penitip/pemilik barang dimana ia berada dalam keudukan yang lemah, sehingga bila ada masalah-masalah yang berkaitan dengan penitipan barang dengan penitipan barang tidak ada kepastian hukum bagi pemilik/penitip barang terebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anita Nurviana
"Sebagian besar daerah Indonesia terjadi kekurangan dan kelebihan guru terutama guru PNS. Kekurangan guru menyebabkan terhambatnya proses pembelajaran, sedangkan kelebihan guru mengakibatkan daya serap Anggaran Belanja Negara besar. Kemendikbud wajib melakukan pengendalian formasi guru. Namun Kemdikbud tidak dapat mengendalikan formasi guru nasional sendiri, karena terdapat Kemen PANRB mempunyai tugas menyusun alokasi kebutuhan guru bagi pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah daerah provinsi setiap tahun. Setelah Kemen PANRB menetapkan alokasi formasi guru, Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah daerah provinsi mengangkat dan menempatkan guru. Oleh karena Pusat mempunyai kewenangan pengendalian sedangkan pemerintah daerah pengangkatan guru maka perlu adanya sinkronisasi. Kemdikbud menetapkan berbagai kebijakan sebagai standar dalam mengendalikan formasi guru yaitu beban kerja guru, standar proses pendidikan dasar dan menengah, dan alokasi waktu mata pelajaran satuan pendidikan. Kemdikbud melalui Dirjen GTK menyusun Aplikasi SIM Rasio guru. Kemdikbud bekerjasama dengan Kemen PANRB untuk mengendalikan formasi guru dengan memberikan rekomendasi kebutuhan formasi guru kepada Kemen PANRB. Pengendalian formasi masih memerlukan sinkronisasi Pemerintah daerah kabupaten/kota atau pemerintah daerah provinsi mulai dari tahap perencanaan kebutuhan formasi guru, tahap pengajuan kebutuhan formasi guru kepada Kementerian PANRB, dan tahap pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian guru. Maka dari itu perlu adanya upaya Pemerintah turun langsung ke daerah membuat program pilot project pada daerah yang bermasalah dan menyelesaikannya serta memberikan pembinaan bagi daerah lainnya.

Most of the Indonesian regions have shortages and advantages the civil servant (PNS) teacher. Lacking teachers cause the learning process to be hampered, while the excess generates the large state's budget (APBN) absorption. Ministry of Education and Culture is obliged to regulate teacher formation. However, the Ministry of Education and Culture cannot arrange the formation of the national teachers themselves, because the Ministry of PANRB must regulate the needs of teachers for the district/city or provincial governments every year. After Ministry of PANRB determines teacher allocation, district/city government or local government appoints and places teachers. Because there are two central and regional authorities that are related to the curb of teachers, there needs to be synchronization. Ministry of Education and Culture stipulates various policies which are as standards in controlling teacher formation, namely teacher workloads, standards for primary and secondary education processes, and allocation of subject matter time lessons. The Ministry of Education and Culture through the Director General of Teachers and Education Staff (GTK) arranges the SIM Application to the teacher ratio. Ministry of Education and Culture guides the Ministry of PANRB to regulate teacher formation by giving approval to the needs of teacher formation for the Ministry of PANRB. Formation control needs to be approved by the district/city government or regional government starting from formation teacher planning, submitting teacher requirements for the PANRB Ministry, and teacher appointments, placement, transfer, and dismissal of teachers. The government directly agrees with the region that makes the regional pilot project program which challenges and completes it and provides guidance for other regions."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51951
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Puspaedi
"Jasa konsultan hukum, yang merupakan salah satu jenis jasa profesional, menghasilkan produk yang sukar untuk diukur secara kualitatif, karena bergantung pada pengguna jasa tersebut dan adanya pendekatan yang bersifat pribadi, tetapi dapat menggunakan satuan waktu sebagai pengukuran atas setiap unit atau jam yang dijual. Penentuan atas jumlah jam kerja atau waktu yang dipergunakan tersebut memerlukan suatu sistem pencatatan waktu (time keeping) yang sistematis, yang akan menghasilkan laporan yang tidak hanya berguna untuk penentuan penagihan, tetapi juga akan menghasilkan laporan-Iaporan lainnya yang berguna untuk analisa bagi pihak manajemen. Alasan inilah yang mendasari penulis untuk melakukan suatu studi untuk mencoba ' melihat dan mengevaluasi sistem informasi waktu yang bagaimanakah yang benar-benar dibutuhkan oleh suatu kantor konsultan hukum. Penulis menggunakan tehnik pEmgumpulan data dengan cara riset kepustakaan dar riset lapangan di kantor konsultan hukum "X". Suatu kantor konsultan hukum yang telah memahami pengelolaan waktu secara baik, akan merasakan manfaatnya dalam penggunaan waktu yang efisien, yang akan berpengaruh pada hasil kerja yang lebih baik kepada klien serta adanya perolehan keuntungan ekonomis yang lebih tinggL Dengan bertambahnya beban kerja yang semakin tinggi sejalan dengan berkembangnya perusahaan, maka kantor konsultan hukum "X" melakukan perubahan atas sistem pencatatan waktu secara manual ke sistem komputerisasi pencatatan waktunya, dimana sistem baru tersebut akan dapat menghasilkan laporan~laporan yang lebih akurat, relevan dan tepat waktu yang dibutuhkan oleh manajemen kantor konsultan hukum "X" dalam analisa dan pengambilan keputusan. Dad pembahasan skripsi ini penulis berkesimpulan, bahwa sistem inforrnasi waktu dalam kantor konsultan hukum "X" akan dapat menghasilkan laporan-laporan sesuai dengan yang diharapkan untuk keperluan analisa dan pengambilan kepututan, serta yang lebih penting adalah adanya pemrosesan pembuatan tagihan yang lebih. cepat, yang akan berpengaruh pada arus kas perusahaan. Untuk dapat mencapai sistem informasi yang baik sesusai dengan yang diinginkan, penulis mengajukan saran~saran : peningkatan kedisiplinan dan ketaatan dari setiap pihak yang berhubungan, pengisian setiap format-format secara lengkap, penginputan data ke dalam sistem dilakukan setiap hari, adanya perjanjian tertulis untuk setiap kasus yang dibuka, penilaian rate yang lebih objektif dari setiap lawyer, peningkatan kerapihan dan kedisiplinan dari bagian ED? dalam penyimpanan laporan yang dihasilkan dan pembuatan back up ."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1993
S18565
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldi Rakhmanto
"ABSTRAK
Perselisihan juga dapat terjadi dalam dunia ketenagakerjaan, para pihak yang terlibat biasanya antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Penyelesaian dapat lewat pengadilan maupun melalui jalur luar pengadilan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) seringkali menimbulkan permasalahan yang tidak mudah terselesaikan. Selain adanya pelanggaran dalam prosedur Pemutusan Hubungan Kerja, seringkali dalam praktek adanya pemberian hak-hak yang tidak semestinya baik yang harus dikeluarkan oleh Perusahaan ataupun yang seharusnya diterima oleh Pekerja/buruh ketika Pemutusan Hubungan Kerja terjadi begitu halnya dengan PHK dikarenakan kesalahan berat. Masalah dalam penelitian adalah mengenai dasar hukum Pemutusan Hubungan Kerja dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan akibat hukum Pemutusan Hubungan Kerja yang dikarenakan kesalahan berat.
Hasil penelitian didapat bahwa PHK dengan syarat sebagaimana ditentukan Pasal 158 ayat (1) (kesalahan berat) tidak dapat dilaksanakan langsung oleh Pengusaha, karena ketentuan tersebut telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya No.012/PPU-1/2003, tanggal 17 November 2003. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005, Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar RI 1945

ABSTRACT
Disputes can also occur in the world of employment, the parties involved usually between employers and workers / laborers. Settlement can be through the courts or through the court. Termination of employment (FLE) often cause problems that are not easily resolved. In addition to the violation of the Termination procedures , often in the absence of the practice of granting rights undue good to be incurred by the Company or which should have been received by the worker / laborer when Termination occurs so as to layoffs due to severe errors. The problem in this research is the legal basis for the Termination of Employment Act 13 of 2003 on Employment and Termination legal consequences due to severe errors.
The result is that the layoffs with the requirements as provided for in Article 158 paragraph (1) (severe error) cannot be implemented directly by the entrepreneur, because the provision was annulled by the Constitutional Court in its Decision No.012/PPU- 1/2003 , November 17, 2003. Circular of the Minister of Manpower and Transmigration of the Republic of Indonesia No. : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005, On the Constitutional Court of the Right Decisions Judicial Review Act No.13 of 2003 on Labor Against the Constitution of the Republic of Indonesia 1945."
2014
S53966
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Hukum dan Ham RI, 2005
343.09 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>