Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ilham Sapta Aji
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh lima komposisi bahan phantom ekuivalen jaringan dan membahas karakteristik interaksi radiasi phantom ekuivalen jaringan dengan bahan penyusunnya, yaitu campuran lilin batik (lilin gondorukem, lilin cecek, lilin parafin, dan lilin lebah) dan karbon aktif. . Komposisi yang diperoleh terdiri dari lima variasi bahan phantom ekuivalen jaringan, antara lain white matter brain (20% cecek wax, 20% karbon aktif, dan 60% gondorukem wax), grey matter brain (16% cecek wax, 16% karbon aktif, 68 % lilin gondorukem), otot (10% lilin cecek, 10% karbon aktif, 80% lilin gondorukem), lemak (10% lilin cecek, 10% karbon aktif, 80% lilin parafin), dan hati (40% tepung beras, 60 % lilin). Masing-masing bahan dibuat kemudian diuji menggunakan mesin x-ray dan dosimeter ruang pengion untuk mendapatkan nilai dosis permukaan masuk (ESD) dan faktor hamburan balik (BSF) pada kondisi sinar standar Radiation Quality Attenuated Beam 5 ( RQA 5). Pengukuran ESD dan BSF dilakukan dengan variasi ketebalan phantom dari 6 cm sampai 10 cm dan variasi lapangan 20 cm × 20 cm dan 25 cm × 25 cm. Nilai rata-rata ESD dan BSF cenderung meningkat pada ketebalan 6 cm hingga 8 cm untuk jaringan otak materi putih, otak materi abu-abu, otot, lemak, hati di bidang 20 cm × 20 cm masing-masing (5,31% ± 1,73%) ; (2,86% ± 2,01%); (1,81% ± 0,79%); (0,62% ± 2,24%); dan (1,34% ± 2,2%). Sedangkan bidang 25 cm × 25 cm mengalami peningkatan (4,86% ± 0,67%); (6,03% ± 5,25%); (0,98% ± 1,31%); (12,42% ± 5,71%); dan (3,81% ± 1,16%). Nilai ESD dan BSF untuk masing-masing jaringan dijenuhkan pada ketebalan 10 cm. ......This study aims to obtain five tissue equivalent phantom compositions and discuss the interaction characteristics of tissue equivalent phantom radiation with its constituent materials, namely a mixture of batik wax (gondorukem wax, cecek wax, paraffin wax, and beeswax) and activated carbon. . The composition obtained consisted of five variations of tissue equivalent phantom materials, including white matter brain (20% cecek wax, 20% activated carbon, and 60% gondorukem wax), gray matter brain (16% cecek wax, 16% activated carbon, 68 % gondorukem wax), muscle (10% cecek wax, 10% activated carbon, 80% gondorukem wax), fat (10% cecek wax, 10% activated carbon, 80% paraffin wax), and liver (40% rice flour, 60 % wax). Each material was made and then tested using an x-ray machine and an ionizing chamber dosimeter to obtain the value of the incoming surface dose (ESD) and backscattering factor (BSF) under standard beam conditions of Radiation Quality Attenuated Beam 5 (RQA 5). ESD and BSF measurements were carried out with variations in phantom thickness from 6 cm to 10 cm and field variations of 20 cm × 20 cm and 25 cm × 25 cm. The mean values ​​of ESD and BSF tended to increase at 6 cm to 8 cm thickness for white matter brain tissue, gray matter brain, muscle, fat, liver in the areas of 20 cm × 20 cm respectively (5.31% ± 1 ,73%); (2.86% ± 2.01%); (1.81% ± 0.79%); (0.62% ± 2.24%); and (1.34% ± 2.2%). While the area of ​​25 cm × 25 cm experienced an increase (4.86% ± 0.67%); (6.03% ± 5.25%); (0.98% ± 1.31%); (12.42% ± 5.71%); and (3.81% ± 1.16%). ESD and BSF values ​​for each tissue were saturated at a thickness of 10 cm.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inas Fathinah Saepudin
Abstrak :
Dalam penelitian ini, beberapa jenis lilin (gondorukem, cecek, beeswax, parafin) dan Karbon digunakan sebagai konstituen dari bahan phantom setara jaringan. Jaringan Tubuh yang menjadi ruang lingkup penelitian adalah lemak, otot, hati, serta materi putih dan abu-abu materi di otak. Studi kelayakan material dilakukan dengan uji HU. nilai menggunakan CT scan dengan tegangan rendah 80 kVp dan tinggi 130 kVp, dan menguji koefisien atenuasi menggunakan mesin x-ray dengan tegangan 70 kVp dan pada kondisi file standar RQA 5 dengan tegangan 82 kVp. Dari hasil uji nilai HU, diperoleh komposisi dan perbandingan bahan penyusun phantom material yaitu bahan ekuivalen lemak [10 (cecek) : 10 (karbon) : 80 (parafin)], otot [10 (cecek) : 10 (karbon) : 80 (gondorukem)], hati [60 (cecek) : 40 (tepung beras)], otak putih [16 (cecek) : 16 (karbon) : 68 (gondorukem)], dan materi abu-abu otak [20 (cecek) : 20 (karbon) : 60 (gondorukem)]. Dalam pengujian koefisien redaman massa, nilai /r diperoleh dengan perhitungan koefisien atenuasi linier (μ) dan densitas massa (r) dari hasil pengukuran. Akibatnya, bahan ekuivalen jaringan memiliki nilai /r pada tegangan 70 kVp ( = 39,36 keV) untuk lemak 0,205 cm2/g; otot 0,232 cm2/g; materi putih otak 0,225 cm2/g; otak abu-abu materi 0,229 cm2/g; dan hati 0,253 cm2/g dengan kesalahan literatur masing-masing jaringan sebesar 15,7%; 15,6%; 18,8%; 17,4%; dan 8,4%; serta pada tegangan 82 kVp ( = 57,82 keV) untuk lemak 0,163 cm2/g; otot 0,187 cm2/g; materi putih otak 0,179 cm2/g; materi abu-abu otak 0,170 cm2/g; dan hati 0,185 cm2/g dengan kesalahan literatur masing-masing jaringan sebesar 18,6%; 10,5%; 15,1%; 18,9%; dan 11,9%. Secara keseluruhan, bahan ekuivalen jaringan dari pengujian memiliki nilai /r yang lebih rendah dan tidak sangat dekat dengan nilai /r jaringan berdasarkan referensi. ......In this study, several types of wax (gondorukem, cecek, beeswax, paraffin) and carbon were used as constituents of tissue equivalent phantom material. Body tissues that are the scope of research are fat, muscle, liver, and white matter and gray matter in the brain. The feasibility study of the material was carried out with the HU test. values ​​using a CT scan with a low voltage of 80 kVp and a high of 130 kVp, and testing the attenuation coefficient using an x-ray machine with a voltage of 70 kVp and on standard file conditions RQA 5 with a voltage of 82 kVp. From the results of the HU value test, the composition and comparison of the ingredients for the phantom material are obtained, namely the equivalent of fat [10 (cecek) : 10 (carbon) : 80 (paraffin)], muscle [10 (cecek) : 10 (carbon) : 80 (gondorukem) )], liver [60 (cecek) : 40 (rice flour)], white brain [16 (cecek) : 16 (carbon) : 68 (gondorukem)], and brain gray matter [20 (cecek) : 20 ( carbon): 60 (gondorukem)]. In testing the mass attenuation coefficient, the value of /r is obtained by calculating the linear attenuation coefficient (μ) and mass density (r) from the measurement results. Consequently, the tissue equivalent material has a value of /r at a voltage of 70 kVp (= 39.36 keV) for 0.205 cm2/g fat; muscle 0.232 cm2/g; brain white matter 0.225 cm2/g; gray brain material 0.229 cm2/g; and liver 0.253 cm2/g with a literature error of 15.7% for each tissue; 15.6%; 18.8%; 17.4%; and 8.4%; and at a voltage of 82 kVp (= 57.82 keV) for fat 0.163 cm2/g; muscle 0.187 cm2/g; brain white matter 0.179 cm2/g; brain gray matter 0.170 cm2/g; and liver 0.185 cm2/g with a literature error of 18.6% for each tissue; 10.5%; 15.1%; 18.9%; and 11.9%. Overall, the tissue equivalent material from the test has a lower /r value and is not very close to the network /r value based on the reference
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Latar belakang: Ada berbagai cara pemrosesan jaringan lemak sebelum dikultur, tergantung jenis sampelnya yang dapat mempengaruhi hasil kultur. Penelitian ini bertujuan membandingkan berbagai modifi kasi prosedur kultur dan subkultur jaringan lemak yang disesuaikan dengan kondisi lab yang ada.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan di Makmal Terpadu Imunologi dan Endokrinologi, Universitas Indonesia, mulai Oktober 2009 sampai April 2010. Kami membandingan tiga cara pemrosesan, berbagai jumlah sel yang ditanam yang tergatung jumlah perolehan sel, dan dua cara subkultur, lalu membandingkan hasilnya dalam hal jumlah sel yang dihasilkan dan waktu yang diperlukan. Pada cara pemrosesan pertama, pencernaan dengan collagenase-1 dilakukan selama 30 menit dan jumlah sel yang ditanam adalah 24.000 dan 36.000 sel per wadah kultur; pada cara kedua, pencernaan dengan collagenase-1 dilakukan selama 60 menit dan jumlah sel yang ditanam adalah 24.000, 48.000, dan 72.000 per wadah kultur; dan pada cara ketiga, sisa jaringan lemak dari pemrosesan pertama dicerna kembali selama 45 menit dan jumlah sel yang ditanam adalah 74.000 dan 148.000 per wadah kultur. Perbedaan cara subkultur adalah pada ada atau tidaknya tahap pencucian.

Hasil: Prosedur -1 menghasilkan jumlah sel yang paling sedikit, dan sesudah dikultur, selnya tumbuh sangat lambat, dan terkontaminasi sebelum panenan kultur primer. Prosedur-2 dan -3 berhasil menumbuhkan kultur primer. Beberapa kultur terkontaminasi, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan subkultur, dan hanya satu cara pemrosesan (prosedur-2: pencernaan collagenase-1 selama 60 menit tanpa penggunaan dapar pelisis, dan jumlah sel yang ditanam 48.000 dan 72.000) yang berhasil menyelesaikan semua proses yang direncanakan sampai subkultur ketiga. Walaupun beberapa prosedur tidak mencapai subkultur ketiga, hasilnya tetap dapat disimpulkan. Kesimpulan: Penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa pencernaan collagenase-1 selama 60 menit dipadu dengan goyangan berkala setiap 5 menit dan jumlah sel yang ditanam sekitar 50.000 atau lebih, diikuti dengan cara subkultur tanpa tahap pencucian memberi hasil yang terbaik.
Abstract
Background: There are various methods of processing adipose tissue before culture, depending on the adipose tissue samples. The aim of this study is to compare several modifi cations of culturing and sub-culturing procedures of adipose tissue to fi t the condition in our laboratory.

Method: This is a descriptive study that was done in the Immunology and Endocrinology Integrated Laboratory, University of Indonesia, from October 2009 to April 2010. Three adipose tissue processing procedures, various amount of seeding and two subculture methods were compared in term of cell yield and time needed. In the fi rst procedure, collagenase-1 digestion was done in 30minutes, cell seeding were 24,000 and 36,000 per fl ask; in the second procedure, collagenase-1 digestion was done in 60minutes, cell seeding were 24,000, 48,000, and 72,000 per fl ask; and in the third procedure, the adipose tissue remnants from the fi rst procedure were again digested for another 45 minutes, cell seeding were 74,000, and 148,000 per fl ask. Difference in subculture methods were the presence or absence of washing step.

Result: Procedure 1 yielded the lowest amount of cell, and after culture, the cells grew very slow, and was contaminated before harvest of primary culture. Procedure-2 and -3 succeeded to yield primary cultures. Some of the cultures were contaminated, so that further subculture was not applicable, and only one tissue processing procedure (procedure 2: 60 minute collagenase-1 digestion, without lysis buffer, cell seeding 48,000 and 72,000) could complete the three subcultures. Though some of the procedures could not be completed, fi nal result could be concluded.

Conclusion: In this preliminary study, 60 minute colagenase-1 digestion with intermittent shaking every 5 minutes and cell seeding around 50,000 or more, followed by subculture method without washing step gave the best result.
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rabia
Abstrak :
ABSTRAK Akumulasi lipid berlebihan dapat menyebabkan disfungsi jaringan adiposa putih yang selanjutnya mengakibatkan timbulnya kondisi inflamasi derajat ringan. Latihan fisik merupakan pendekatan untuk menginduksi proses beiging pada adiposa putih, yang dapat dimediasi melalui irisin, sehingga dapat mencegah disfungsi jaringan adiposa putih. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh akut dan kronik antara latihan fisik intensitas tinggi intermiten dan latihan fisik intensitas sedang kontinyu terhadap perubahan kadar irisin serum, adiposa, dan otot rangka pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental in vivo pada 24 ekor tikus Sprague-Dawley Jantan, yang diacak ke dalam 6 kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol normal KN , 2 kelompok normal yang diberi latihan fisik formula 1 NF1 , 3 kelompok normal yang diberi latihan fisik formula 2 NF2 , 4 kelompok kontrol diet tinggi lemak KD , 5 kelompok diet tinggi lemak yang diberi latihan fisik formula 1 DF1 , dan 6 kelompok diet tinggi lemak yang diberi latihan fisik formula 2 DF2 . Latihan fisik intensitas tinggi intermiten akut lebih efektif dalam meningkatkan kadar irisin serum. Ditinjau dari pengaruh kronik, kedua formula latihan fisik tidak meningkatkan kadar irisin darah dan kadar irisin otot rangka, akan tetapi latihan fisik intensitas tinggi intermiten efektif dalam meningkatkan kadar irisin adiposa pada tikus diet tinggi lemak.
ABSTRACT
Excessive lipid accumulation may cause dysfunction of white adipose tissue, which resulted in low grade inflammation. Physical exercise is an approach to induce beiging process in white adipose tissue, mediated by irisin, thus may prevent adipose tissue dysfunction. This study was aimed to compare the acute and chronic effects of high intensity intermittent and moderate intensity continuous exercise to serum, adipose, and skeletal muscle irisin levels in high fat diet fed rats. This study design was in vivo experimental using 24 male Sprague Dawley rats, randomly assigned to 6 groups 1 normal control group NC , 2 group fed with normal diet and exercise formula 1 NF1 , 3 group fed with normal diet and exercise formula 2 NF2 , 4 high fat diet control group HC , 5 group fed with high fat diet and exercise formula 1 HF1 , and 6 group fed with high fat diet and exercise formula 2 HF2 . High intensity intermittent exercise may acutely elevate serum irisin level. Both physical exercise formula could not increase serum irisin and skeletal muscle irisin levels chronically, however high intensity intermittent exercise effectively induced an increase of adipose irisin level in high fat diet fed rats.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mescher, Anthony L.
Jakarta: EGC, 2014
611.018 MES h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mescher, Anthony L.
New York : McGraw-Hill Education, 2016
611.018 MES j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agi Satria Putranto
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Striktur usus merupakan suatu bentuk komplikasi dari hernia stangulata, yang menyebabkan obstruksi usus setelah beberapa bulan pascaoperasi. Kejadian striktur usus sangat berkaitan dengan fibrosis. Namun tidak semua fibrosis usus akan menjadi striktur. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran TGF-β, sitoglobin, miR-21, miR-29b sebagai faktor dalam memprediksi striktur usus pada tikus dengan studi eksperimental penjepitan usus. Metode. Studi dilakuakn di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2018-2019. Hewan coba yang digunakan di dalam penelitian adalah galur Sprague-Dawley dewasa muda berusia 6-8 minggu dengan berat 150-200gram. Tikus di anestesi menggunakan ketamin dan dilakukan laparotomi untuk melakukan tindakan penjepitan pada usus tikus. Penjepitan menggunakan cable tie dengan ukuran diameter lilitan 6 mm dan terlebih dahulu lindungi plastik rigid, pada bagian ileum terminal. Spesimen yang diperoleh berupa bagian usus di antara jepitan sepanjang 1 cm serta darah dari jantung pada jam ke-6 dan ke-24. Untuk pemeriksaan histopatologi diberikan pulasan hematoksilin-eosin dan Masson trichrome. Analisa serum biokimia menggunakan RT-PCR dan ELISA. Hasil. Serat kolagen ditemukan bermakna pada perlakuan jam ke-6 vs kontrol (10.66±4.66; p<0.05) dan jam ke-24 vs kontrol (17.98±6.93; p<0.01) serta deposit serat kolagen paling banyak terdapat pada lapisan submukosa. Deposisi kolagen usus diikuti peningkatan konsentrasi miR-21 baik pada serum (med.6jam=54.25; p>0.05&med.24jam=37 ;p>0.05) maupun jaringan (med.6jam=21.9; p<0.05&med.24jam=144 ;p>0.05) Deposisi kolagen usus diikuti peningkatan miR-29b baik serum (med.6jam=631.5; p>0.05 & med.24jam=863.5 ; p>0.05) maupun jaringan (med.6jam = 675; p>0.05& med.24jam=759.5 ; p>0.05). Deposisi kolagen usus diikuti dengan peningkatan yang bermakna pada TGF-β serum (medp.6jam= 32.85; p<0.05&med.24jam = 24.87; p<0.05) maupun jaringan (medp.6jam=14.8; p<0.05&med.24jam=58.32; p<0.05). Deposisi kolagen usus diikuti dengan peningkatan bermakna sitoglobin serum (medp.6jam=162.9; p<0.05&medp.24jam=263.72; p<0.05) dan jaringan (medp.6jam=2712.61; p<0.01&medp.24jam=1308.38; p>0.05). Terdapat korelasi yang bermakna antara serat kolagen dengan TGF-β jaringan (r= 0.436; p=0.033). Uji diagnostik menunjukkan TGF-β serum yang tinggi dan sitoglobin yang tinggi yang diperiksa pada jam ke 24 setelah jepitan memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi serat kolagen (fisher<0.01; sensitivitas 100%; spesifisitas 63%). Simpulan. Pemeriksaan serum TGF-B dan sitoglobin yang dilakukan secara bersamaan pada waktu 24 jam mempunyai hubungan dengan peningkatan serat kolagen yang berpotensi menjadi fibrosis sehingga dapat digunakan sebagai prediktor kejadian striktur usus.
ABSTARCT
Background. Intestinal stricture has been a troublesome complication following strangulated hernia, which may result in intestinal obstruction after several months postsurgery. The occurrence of intestinal stricture is closely related to fibrosis. Not all of the fibrotic lesions, however, lead to stricture. The present study is aimed to investigate the role of TGF-β, cytoglobin, miR-21, miR-29b and collagen deposition as factors in predicting the occurrence of intestinal stricture in the rats underwent experimental intestinal strangulation. Methods. The study was conducted in Animal Cluster and Laboratories at Faculty of Medicine, University of Indonesia during 2018-2019. Adult, male Sprague-Dawley rats of 6-8 weeks old, 150-200 g were used in the study. Following anesthesia with ketamine, the rats were laparotomized and intestinal strangulation was conducted bymeans of a cable tie. Intestinal tissues and blood samples were collected at 6 and 24 hours of strangulation. Tissue samples were stained with Hematoxylin-eosin and Massons trichrome to visualize collagen and pathological alteration. TGF-β, cytoglobin, miR21 and miR29b were determined in blood sera and tissue samples and analyzed using RT-PCR and ELISA. Results. Collagen fiber was found to be significant at the 6th hour vs. control (10.66 ±4.66; p <0.05) and 24th hour vs control (17.98 ± 6.93; p <0.01), most collagen fibers deposit were found in the submucosal layer. Increase in intestinal collagen deposition was followed by an increase in the concentration of miR-21 both in serum (med.t.6 hours = 54.25; p> 0.05 & med. t.24 hours = 37; p> 0.05) and tissue (med.t.6 hours = 21.9; p <0.05 & med.t.24 hours = 144; p> 0.05) Increase in deposition of intestinal collagen followed by an increase in miR-29b both serum (med. t.6 hours = 631.5; p> 0.05 & med. t.24 hours = 863.5; p> 0.05) and tissue (med. t.6 hours = 675; p> 0.05 & med. t.24 hours = 759.5; p> 0.05). Increase in intestinal collagen deposition was followed by a significant increase in serum TGF-β (med.t.6 hours = 32.85; p <0.05 & med.t.24 hours = 24.87; p <0.05) and tissue (med.t.6 hours = 14.8; p <0.05 & med t.24 hours = 58.32 hours); p <0.05). Increase in intestinal collagen deposition was followed by a significant increase in serum cytoglobin (med.t.6 hours = 162.9; p <0.05 & med. t.24 hours = 263.72; p <0.05) and tissue (med.t.6 hours = 2712.61; p <0.01 & med.t.24 hours = 1308.38; p> 0.05). There was a significant correlation between collagen fiber and TGF-β tissue (r= 0.436; p = 0.033). Diagnostically, high serum TGF-β and cytoglobin that were examined at 24 hours after strangulation occur have high sensitivity to detect collagen fiber (fisher <0.01; sensitivity 100%; specificity 63%). Conclusions. Simultaneous increase of serum TGF-β and cytoglobin at 24 hours of strangulation associated with increased collagen fibers may become potential factors in predicting intestinal stricture in the rat underwent experimental strangulated intestines
2020
D2794
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mescher, Anthony L.
Jakarta: EGC, 2017
611.018 MES h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Elma Rizky Harjanti
Abstrak :
Kriopreservasi sperma pada ikan kancra (Tor soro Valenciennes, 1842) merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan waktu pemijahan yang berbeda antara induk jantan dan induk betina. Penelitian ini menggunakan metanol sebagai krioprotektan intraseluler dan susu skim sebagai krioprotektan ekstraseluler. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi pengaruh metanol dan susu skim sebagai krioprotektan terhadap kualitas serta kemampuan fertilisasi sperma Tor soro pascakriopreservasi 48 jam. Krioprotektan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metanol 10 % dan susu skim dalam berbagai konsentrasi (5%; 10%; 15%; 20%; dan 25%). Rasio sperma dan larutan pengencer dalam penelitian ini yaitu 1:9. Ekstender yang digunakan yaitu larutan fish Ringer. Sperma disimpan dalam deep freezer pada suhu –34 oC selama 48 jam. Sperma segar dievaluasi terlebih dahulu untuk menguji kelayakan sperma untuk kriopreservasi. Sperma segar dievaluasi secara makroskopik (warna, volume sperma dan pH), secara mikroskopik (motilitas, viabilitas, dan abnormalitas), dan kemampuan fertilisasi dengan menghitung jumlah telur yang terfertilisasi. Sperma pascakriopreservasi 48 jam dievaluasi dengan cara mikroskopik dan dilihat kemampuan fertilisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa krioprotektan metanol 10% dengan berbagai konsentrasi susu skim mempunyai pengaruh nyata pada beberapa konsentrasi (P<0,05) terhadap motilitas, viabilitas, abnormalitas dan kemampuan fertilisasi. Berdasarkan uji statistik one-way ANAVA yang dilanjutkan dengan uji Tukey. Penggunaan metanol 10% dengan susu skim 10% merupakan konsentrasi terbaik yang menghasilkan motilitas 82,90 ± 1,40%; viabilitas 79,00 ± 2,16%; abnormalitas terendah 27,75 ± 1,26% serta kemampuan fertilisasi 91,25 ± 2,21%. ......Cryopreservation sperm of kancra fish (Tor soro Valenciennes, 1842) is one of the solutions to overcome the problems related to different spawning times between male and female broodstock. This study used cryoprotectant methanol as intracellular cryoprotectant and skim milk as extracellular cryoprotectant. The purpose of this study was to evaluate the effect of methanol and skim milk as cryoprotectant on the quality and ability of sperm fertilization of Tor soro 48 hours post-cryopreservation. Cryoprotectants used in this study were methanol 10% and skim milk in various concentrations (5%; 10%; 15%; 20%; and 25%). The ratio of sperm and diluent solution in this study was 1:9. Extenders used are fish Ringer's solution. Sperm is stored in the deep freezer at a temperature of –34 oC for 48 hours. Fresh sperm is evaluated first to test the sperm eligibility for cryopreservation. Fresh sperm is evaluated macroscopically (color, sperm volume and pH), microscopically (motility, viability and abnormality), and the ability of fertilization by calculating the ability of fertilization. Post-cryopreservation sperm was evaluated microscopically and fertilization ability. The results showed that 10% methanol cryoprotectant and various concentrations of skim milk had a significant effect on several concentrations (P<0.05) on motility, viability, abnormality and fertilization ability. Based on the ANOVA one-way statistical test followed by the Tukey test. Optimum cryoprotectant of methanol 10% and skim milk 10% are the best concentrations that produce motility of 82.90 ± 1.40%; viability 79.00 ± 2.16%; the lowest abnormality was 27.75 ± 1.26% and the fertilization ability was 91.25 ± 2.21%.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
T55412
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eames, Arthur J.
New York: McGraw-Hill , 1953
581.4 EAM i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>