Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gardam, Judith Gail
London: Martinus Nijhoff, 1993
341.67 GAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Izzatii
"Skripsi ini menganalisa konflik antara hukum internasional dengan hukum internal dengan Konvensi Wina 1969. Isu yang diteliti dalam Skripsi ini adalah konflik yang dibahas dalam Kasus ECJ C-344/04 antara Konvensi Montreal 1999 dengan Regulation (EC) No. 261/2004 mengenai tanggung jawab pengangkut dalam hal keterlambatan angkutan udara. Pasal 27 Konvensi Wina 1969 diaplikasikan dalam hal ini karena Pasal ini mengatur mengenai konflik antara hukum internasional dengan hukum internal. Regulation (EC), mempertimbangkan karakteristik-karakteristiknya dan apabila dilihat dengan kacamata Global Governance, lebih cocok disamakan dengan hukum internal dibandingkan dengan hukum internasional. Konvensi Montreal 1999 telah menyatakan secara eksplisit bahwa dasar hukum untuk gugatan ganti kerugian atas keterlambatan angkutan udara adalah bersifat eksklusif, yang berarti dasar hukum untuk gugatan ganti kerugian hanya boleh berdasarkan Konvensi ini saja dan bukan instrumen hukum lain. Eksklusifitas inilah yang dilanggar oleh EU dengan membuat Regulation (EC) No. 261/2004. Kedua instrumen hukum ini mengatur hal yang sama yaitu tanggung jawab pengangkut dalam hal keterlambatan angkutan udara. Dengan demikian, ada konflik antara Konvensi Montreal 1999 dengan Regulation (EC) No. 261/2004.

This research analyzes conflict between international law and internal law using 1969 Vienna Convention. The issue highlighted in this research is the conflict between 1999 Montreal Convention and Regulation (EC) No. 261/2004 regarding air carrier`s liability in case of delay as decided by the ECJ in the Case C-344/04. Article 27 of 1969 Vienna Convention is applied since this Article regulates the conflict between international law and internal law. Regulation (EC), considering its characteristics and when it is viewed using Global Governance approach, is more appropriately determined as internal law rather than international law. 1999 Montreal Convention has explicitly stated that basis of claims for any damages arising out of delay is exclusive, meaning that this Convention is the only basis of claims for any damages arising out of delay and not any other legal instrument. This exclusivity has been breached by EU by making Regulation (EC) No. 261/2004. Both of these legal instruments are relating to the same matter, which is air carrier`s liability in case of delay. Therefore, there is a conflict between 1999 Montreal Convention and Regulation (EC) No. 261/2004."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53155
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Noviani
"Pertolongan pertama adalah tindakan medis dasar yang tidak dapat dihindari oleh SDM Potensi BASARNAS ketika Operasi SAR dilakukan. Walaupun dikategorikan sebagai tindakan medis dasar, pertolongan pertama dapat menentukan hidup korban yang ditolong karena pertolongan pertama dilakukan dengan tujuan untuk mencegah korban mendapatkan cedera yang lebih parah atau bahkan meninggal. Namun hingga saat ini, belum ada aturan yang mengatur secara khusus mengatur mengenai tanggung jawab hukum atas tindakan medis dasar yang dilakukan SDM Potensi saat Operasi SAR. Penelitian ini akan mencoba menjawab tiga permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan partisipasi relawan  saat bencana di Indonesia, bagaimana wewenang SDM Potensi atas tindakan medis yang dilakukan saat bencana, dan juga bagaimana pertanggungjawaban hukum atas tindakan medis yang dilakukan SDM Potensi kepada korban bencana. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan cara mengumpulkan data melalui studi pustaka serta wawancara dengan narasumber terkait dan hasilnya dipaparkan secara deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa SDM Potensi tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana maupun perdata apabila dalam upaya memberikan perawatan kepada korban bencana dilakukan tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, Standar Operasional Prosedur (SOP) pertolongan pertama, dan juga aturan yang berlaku.

First aid is a basic medical action that can’t be avoided by The Human Resource Potential (HR Potential) of BASARNAS during SAR Operation. Even though it is only categorized as a basic medical act, first aid can determine victims’ life because first aid is done to prevent them from getting more severe injuries or experiencing death. Despite there is no a specific regulation about basic medical action conducted by HR Potential of BASARNAS during SAR operations. This legal research focuses on answering three problems.  First, how  the legal rules in Indonesia regarding volunteer participation during disasters. Second, how is the authority of HR Potential for medical actions committed during the disaster. And last, how a HR Potential’s legal responsibilities in conducting medical actions against disaster victims. This research is performed using normative juridical method, the data are collected from library studies and interviews involving related respondents. The results will be presented descriptively. Based on these researches, it can be concluded that HR Potential of BASARNAS can still be held liable for criminal and civil liability if they give medical treatment to the disaster victims are not following with the competence owned, standard operational procedures (SOP), and rules."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amsori
"Ganti kerugian bagi korban perkosaan merupakan salah satu pemenuhan/perwujudan dari hak asasi manusia dan perlindungan hukum. Arti penting pemberian ganti kerugian bagi korban perkosaan juga mengingat bahwa pada umumnya mereka (korban) berasal dari golongan yang lemah mental, fisik dan sosial. Ilmu yang mengkaji permasalahan korban adalah viktimologi. Pandangan-pandangan ajaran viktimologi perlu mendapat perhatian dari para pihak yang terlibat baik dalam sistem dan proses peradilan pidana maupun perdata yaitu, polisi, jaksa penuntut umum, hakim dan advokat, karena dengan adanya persamaan pandangan tentang kepentingan korban dan keinginan untuk memperjuangkannya, akan dapat mewujudkan pemenuhan pemberian ganti kerugian tersebut. Adapun bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada korban dapat berupa kompensasi (pemberian ganti kerugian yang dilakukan oleh pemerintah) dan restitusi (pemberian ganti kerugian yang dilakukan oleh pelaku). Dalam kenyataan praktik peradilan masih jarang korban perkosaan mengajukan permohonan ganti kerugian disebabkan karena tidak tahu akan haknya, tidak tahu prosedur hukum, karena malu dan berbagai faktor lain. Pemberian ganti kerugian dalam perkara pidana telah diatur dalam Pasal 98 KW-1AP mengenai penggabungan gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana. Meskipun KUHAP telah memungkinkan bagi korban perkosaan untuk mengajukan ganti kerugian dengan penggabungan perkara, namun ada diantaranya yang mengajukan permohonan ganti kerugian melalui gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata karena dianggap prosesnya sering lambat dan hanya dapat diberikan berupa ganti kerugian materil. Mengingat perlunya ganti kerugian bagi korban perkosaan, seyogianya KUHAP perlu disempurnakan, sehingga ada landasan yuridis yang kuat untuk memperjuangkan hal tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16426
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
G. P. H. Haryomataram
Jakarta: Rajawali, 1984
341.6 HAR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
G. P. H. Haryomataram
Jakarta: Bumi Nusantara Jaya, 1988
341.602 HAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Romani, Carlos Fernandez de Casadevante
"These are norms generally characterized by a certain concept from the perspective of victims, as well as by the enumeration of a list of rights to which they are entitle to, rights upon which the international statute of victims is built. In reverse, these catalogues of rights are the states? obligations. Most of these rights are already existent in the international law of human rights. Consequently, they are not new but consolidated rights. Others are strictly linked to victims, concerning the following categories, victims of crime, victims of abuse of power, victims of gross violations of international human rights law, victims of serious violations of international humanitarian law, victims of enforced disappearance, victims of violations of international criminal law and victims of terrorism.
"
Berlin: Springer, 2012
e20400284
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Hasudungan, David Gilbert
"ABSTRAK
Hukuman kebiri kimia yang diatur dalam Pasal 81 ayat (7) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu hukuman pidana tambahan terbaru yang dapat dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Hukuman pidana tambahan kebiri kimia tersebut pada bulan Mei 2019 telah digunakan pertama kalinya untuk menjerat pelaku kekerasan seksual pada anak dalam putusan nomor 69/Pid.Sus/2019/PN.MJK. Namun pelaksanaan dari hukuman pidana tambahan kebiri kimia dalam putusan a quo menghadapi permasalahan dengan tidak adanya hukum formil yaitu peraturan pelaksana dari Undang-Undang No.17 Tahun 2016 tersebut. Kejaksaan selaku entitas yang mengemban kewenangan pelaksana dari putusan pengadilan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada faktanya harus melakukan penunjukkan kepada entitas yang memiliki kompetensi dalam bidang medis untuk melaksanakan hukuman pidana tambahan kebiri kimia tersebut secara langsung. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mengatur bahwa kebiri kimia termasuk ke dalam tindakan medis yang disebut upaya kesehatan kuratif, karenanya pelaksanaan dari kebiri kimia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang yaitu dokter khususnya dokter spesialis kejiwaan. Sehingga Kejaksaan dalam melaksanakan hukuman pidana tambahan kebiri kimia harus melakukan penunjukkan kepada dokter spesialis kejiwaan yang memiliki kewenangan dan kompetensi yang dibutuhkan.

ABSTRACT
Chemical castration criminal penalty regulated in Article 81 paragraph (7) of Law No. 17 of 2016 on the Establishment of Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2016 on the Second Amendment to Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection is one of the latest additional criminal penalties that can be imposed for perpetrators of sexual violence against children. The chemical penalties for additional castration in May 2019 were used for the first time to ensnare perpetrators of sexual violence against children in decision number 69 / Pid.Sus / 2019 / PN.MJK. Nevertheless, the implementation of additional chemical castration criminal penalties in the a quo decision faces a problem in the absence of formal law, particularly the implementing regulations of the Law No.17 of 2016. The Prosecutor's Office as an entity that carries out the executive authority of the court's decision according to the Criminal Procedure Code and Law No. 16 of 2004 concerning the Attorney General's Office of the Republic of Indonesia, in fact, must appoint an entity that has competence in the medical field to carry out additional chemical castration penalties. Law No. 36 of 2009 on Health and Law No. 18 of 2014 on Mental Health regulates that chemical castration is included in a medical action called curative health measures, therefore the implementation of chemical castration can only be carried out by authorized health personnel namely doctors especially psychiatric specialists. So that the Prosecutor's Office in carrying out additional criminal sentences of chemical castration must appoint a psychiatric specialist who has the authority and competence needed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sassoli, Marco
Geneva: International Committee of the Red Cross, 1999
341.6 SAS h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2003
S25871
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>