Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 248 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djoko Harmantyo
"Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000. Sedangkan konflik keruangan (spatial conflict) adalah potensi konflik kewilayahan yang timbul akibat adanya garis batas yang membagi satu wilayah menjadi dua wilayah yang berbeda. Prinsip desentralisasi dan otonomi daerah serta pemekaran daerah di Indonesia sebagai negara kepulauan daerah tropis, memiliki karakteristik tersendiri ditinjau dari besarnya jumlah penduduk yang tersebar tidak merata, keanekaragaman sosial budaya, sumberdaya alam, flora dan fauna serta keragaman fisik wilayah. Berdasarkan keragaman tersebut, dalam perspektif geografi, Indonesia memiliki potensi konflik kewilayahan yang tinggi. Berdasarkan studi awal yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan model prediktif kuantitatif terhadap data periode tahun 1999 - 2005 terjadi pemekaran 148 daerah otonom baru (141 kabupaten/kota dan 7 propinsi) atau rata rata bertambah 30 daerah otonom baru. Jumlah tersebut melebihi angka perkiraan hasil perhitungan yaitu sebanyak 460 kabupaten dan kota di bawah koordinasi 46 propinsi.
Berdasarkan model segi enam Christaller, secara teoritis diperlukan paling tidak 2760 bentuk kerjasama antar daerah otonom yang saling berbatasan untuk mengantisipasi peluang terjadinya 2760 konflik kewilayahan (spatial conflict). Penataan kembali konsep desentralisasi dan pemekaran daerah serta instrument penilaian, terutama kejelasan penetapan batas wilayah, merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan kebijakan otonomi daerah.

Area divergence is a process to establish new autonomous region by dividing formerly local authority entity. This process was driven by the Regional Autonomy Law no. 32, 2004 which ensure decentralization mechanism to occur from. Spatial conflict is a term of interregional conflicts that is potentialy related to former administrative divided border line, which then will create border line dispute. This potential for any interregional relationship (including conflict) is a function neighbour number. According to an Internal Affairs report, thus recent phenomena of local divided authorities has been escalating in Indonesia. Since 1999-2005, there has been 148 new local autonomous governments or more than thirty new additional local autonomus government were born annualy. There are two main questions arise from these issues (1) what is the ideal number of local autonomous government in Indonesia, and (2) what is the quantity of interregional relationship needed to relate spatial conflicts.
Based on the central place theory and a spatial conflicts model the ideal number of autonomous districts in Indonesia is 460 of kabupaten/kota and 46 provinces. Theoretically, they need 2760 forms of interregional relationships or six relationship forms in each local government to eliminate the spatial conflict potentialy. Rearrangement of regional autonomous policy focusing on the implementation of areal divergences shall be done as quickly as possible."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bogor: Departement for International Development (DFID), 2005
351DEPC001
Multimedia  Universitas Indonesia Library
cover
Emie Yuliati
"Kebijakan desentralisasi di Indonesia secara tegas mulai dilaksanakan pada tahun 2001 dan telah membawa perubahan besar terhadap kondisi perekonomian daerah. Salah satu bentuk dari kebijakan tersebut adalah pemekaran daerah. Pemekaran daerah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, percepatan pembangunan perekonomian daerah. Dalam perkembangannya, menurut beberapa ahli pemekaran daerah tidak membawa perubahan yang positif pada kesejahteraan masyarakat. Melihat hal tersebut, penelitian ini bermaksud meneliti lebih lanjut apakah pembentukan daerah otonomi baru karena pemekaran daerah setelah berusia 8 (delapan) tahun terjadi peningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan percepatan pembangunan ekonomi.
Penelitian ini meneliti kabupaten baru yang dimekarkan tahun awal desentralisasi yaitu tahun 1999 untuk melihat perubahan yang berarti pada fokus perekonomian daerah dan pelayanan kepada masyarakat. Penelitian ini juga metode treatment-control. Disamping dibandingkan dengan daerah induknya, daerah otonomi baru juga dibandingkan dengan daerah kontrol yaitu daerah yang tidak dimekarkan pada propinsi yang sama.
Fokus perekonomian daerah menggunakan indikator pertumbuhan PDRB, pertumbuhan kontribusi PDRB kabupaten terhadap PDRB propinsi, pertumbuhan PDRB per kapita dan pertumbuhan prosentase penduduk tidak miskin. Sedang fokus pelayanan kepada masyarakat menggunakan indikator pendidikan, ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan, serta kualitas infrastruktur.

Indonesia's decentralization policy expressly commenced in 2001 and has brought great changes to the conditions of the regional economy. One of them is pemekaran daerah. This policy is expected to improve the welfare of society through improving public services and accelerating regional economic development. In its development, according to some expert, pemekaran daerah does not bring positive change to the welfare of society. Seeing this, this research intends to investigate further whether the formation of new regions because of pemekaran daerah after the age of 8 (eight) occurred for increasing the welfare of society through improved public services and acceleration of economic development.
This study examines a new district that divided the early years of decentralization in 1999 to see meaningful change in the focus of the regional economy and public services. The study also used treatment-control method. Besides, compared with daerah induk, the new regions also compared with daerah kontrol that is not dimekarkan in the same province.
The focus of regional economic indicators are GDRP growth, GDRP growth in the district's contribution to provincial's GDRP, the growth of GDRP per capita and percentage growth in population is not poor. The focus of public services using education, the availability of facilities and personnel healths and infrastructure quality indicators."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2011
T28352
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Washington: The World Bank, 2005
352.2 Eas
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ambarita, Indra Gunawan
"Skripsi ini merupakan penelitian lanjutan yang dilakukan untuk menganalisis dampak pemberlakuan desentralisasi terhadap penurunan tutupan hutan yang terus terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan data citra satelit MODIS periode 2000-2008, penelitian ini ingin melihat dampak pemberlakuan desentralisasi kehutanan dan pemekaran daerah terhadap ekstraksi kayu dari hutan. Selain itu, penelitian ini ingin melihat pengaruh sektor-sektor ekonomi dan keuangan daerah terhadap deforestasi. Penelitian ini menggunakan tiga metode estimasi secara ekonometris terhadap data panel yaitu fixed effect, random effect, dan generalized least squares. Penelitian ini menemukan bahwa 1) desentralisasi kehutanan dan pemekaran daerah positif mendorong ekstraksi kayu yang lebih tinggi; 2) peningkatan kapasitas fiscal dibarengi dengan peningkatan deforestasi dan 3) peningkatan kesejahteraan masyarakat (diukur dalam Indeks Pembangunan Manusia) berkorelasi negatif dengan tingkat deforestasi.

This thesis is conducted to analyze the impact of decentralization on declining forest cover in Indonesia. By using MODIS satellite data between the year 2000 and 2008, this study wanted to see the impact of forestry decentralization and regional autonomy, sectoral development and the size of regional budgets on deforestation. This study uses three econometric approaches to analyzing panel data, i.e. fixed effect, random effect, and generalized least squares. The three main findings from the study are 1) that decentralized forest management function and the devolving number of local governments accompany higher timber extractions; 2) local fiscal capacity seems to be positively correlated with timber extraction, i.e. the higher the fiscal capacity, the higher the deforestation rate; and 3) improved welfare (as measured by the Human Development Index) is negatively correlated with deforestation.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S56785
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
JIP 44(2014) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>