Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 247 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stella Vania
Abstrak :
Kulit sebagai organ terbesar dan terluar dari tubuh manusia yang langsung berhadapan dengan lingkungan luar menjadi pertahanan fisik lini pertama sekaligus tempat kolonisasi mikrobiota komensal dalam mencegah invasi patogen. Identifikasi komposisi mikrobiota kulit menarik dilakukan untuk mengetahui interaksi antar mikrobiota sehingga mikrobiota kulit komensal yang bersifat probiotik dapat dikembangkan menjadi bahan aktif terapeutik mikrobioma kulit untuk menjaga kesehatan kulit. Keberagaman mikrobiota kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor etnis. Penelitian ini mempelajari pengaruh faktor etnis pada dewasa muda pria dan wanita yang mewakili etnis Papua, Jawa, dan keturunan Tionghoa terhadap profil mikrobioma kulit. DNA genomik mikrobiota dari sampel kulit wajah diekstraksi dan disekuens dengan metode Next Generation Sequencing lalu dilakukan analisis diversitas alfa dan beta. Berdasarkan analisis alfa dengan indeks OTU yang dterobservasi, Shannon, dan Faiths PD, diversitas dalam grup tertinggi terdapat pada grup etnis Papua dan terendah pada grup etnis keturunan Tionghoa, namun diversitas alfa ketiga grup tidak berbeda signifikan secara statistik. Analisis beta dilakukan berdasarkan kualitatif dan kuantitatif menunjukkan pengaruh faktor etnis pada profil mikrobioma kulit antar etnis yang signifikan secara statistik serta pengelompokkan yang baik berdasarkan hasil PCoA pada indeks Jaccard, disimilaritas Bray Curtis, Unweighted, dan Weighted. Bakteri yang bersifat komensal dan dominan selanjutnya dapat dikembangkan menjadi bacterial cocktail maupun formula postbiotik untuk terapi mikrobiota kulit dengan pertimbangan interaksi komposisi mikrobiota kulit pada etnis terkait.
Skin as the largest and the outermost part of human body that directly exposed to the outer environment serves as the first physical barrier and colonised by commensal bacteria to prevent pathogen invasion. Identifying composition of commensal skin microbiota is interesting to know the interaction between the microbiota so the commensal skin microbiota who has probiotic effect can be developed as active substance of skin microbiome therapeutic to maintain skin health. The skin microbiome diversity is influenced by several factors, one of them is ethnicity. This study shows the influence of ethnicity factor in Papuans, Javanese, and Chinese descent young adults on skin microbiome profiles. The microbiota genomic DNA are extracted from the face skin samples and sequenced with Next Generation Sequencing method to be further analysed on its alpha and beta diversity. According to alpha diversity analysis with observed OTU, Shannon, and Faiths PD indices, the greatest alpha diversity shown in Papuans, while the smallest is shown in the Chinese descent group, but alpha diversity differences between three groups are not statistically significant. Beta diversity was assessed by the use of Jaccard index, Bray Curtis dissimilarity, Unweighted and Weighted Unifrac with PCoA shows the difference skin microbiome profiles according to ethnicity and is statistically significant between ethnic group. The characterised commensal and dominant bacteria can be further developed as bacterial cocktail and postbiotic formula as skin microbiome therapeutic with interaction between skin microbiota composition within each ethnicity taking into account.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Indria Anggraini
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Prevalensi xerosis pada lanjut usia (lansia) berkisar antara 30-85%. Tatalaksana xerosis yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi. Urea sebagai humektan dan lanolin 10% dalam petrolatum yang bersifat oklusif dan emolien mampu memperbaiki hidrasi kulit. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas dan efek samping krim yang mengandung urea 10% dengan lanolin 10%/petrolatum pada pengobatan xerosis lansia. Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 35 orang penghuni suatu panti lansia di Jakarta. Evaluasi skin capacitance (SC), specified symptoms sum score (SSRC), dan derajat gatal dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat. Setelah prakondisi selama dua minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan pelembap yang berbeda secara acak pada kedua tungkai bawah. Hasil: Persentase peningkatan nilai SC setelah empat minggu lebih besar pada tungkai yang mendapat krim urea 10% dibandingkan lanolin 10%/petrolatum (64,54% vs. 58,98%; p=0,036). Persentase penurunan SSRC setelah empat minggu tidak berbeda antara kedua kelompok perlakuan (100%; p=0,089). Derajat gatal pada minggu kedua menurun pada kedua kelompok, hingga menjadi tidak gatal pada seluruh SP (100%) setelah minggu keempat. Efek samping rasa lengket lebih banyak ditemukan pada kelompok krim urea 10% daripada lanolin10%/petrolatum, tetapi tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan: Pelembap yang mengandung urea 10% meningkatkan SC lebih besar secara bermakna daripada lanolin 10%/petrolatum setelah empat minggu pengolesan pada tungkai lansia yang xerotik. Efek samping tersering adalah rasa lengket yang lebih sering ditemukan pada lanolin 10%/petrolatum, tetapi tidak berbeda antar kelompok perlakuan.ABSTRACT Background and objectives: The prevalence of xerosis among elderly is 30-85%. Inadequate treatment may result in complications. Urea as a humectant and 10% lanolin in petrolatum as an occlusive agent and emollient can restore skin hydration. This study aimed at comparing the efficacy and side effects of cream containing 10% urea and 10% lanolin/petrolatum in the treatment of xerosis in elderly Methods: A randomized, double blind clinical trial was conducted in 35 elderly from a nursing home in Jakarta. Evaluation of skin capacitance (SC), specified symptoms sum score (SSRC), and pruritic degree were measured at baseline, week-2 and -4 after the start of therapy. Following a 2-week precondition period, each subject received a random moisturizer for each limb, to be applied twice daily. Results: The percentage of SC increase at week-4 was significantly higher in limb receiving cream containing 10% urea than 10% lanolin/petrolatum (64.54% vs. 58.98%; p=0.036). The percentage of SSRC decrease at week-4 did not differ between groups (100%; p=0.089). Pruritus was equally improved in both groups at week-2, and completely diminished at week-4. Sticky feel was more frequent in lanolin10%/petrolatum than 10% urea cream, although not statistically significant. Conclusion: After four-week application, moisturizer containing 10% urea gave higher percentage of SC increase than 10% lanolin/petrolatum in the xerotic limbs of the elderly. Sticky feeling was more frequently found in 10% lanolin/petrolatum group, but statistically not significant.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anik Rustiyaningsih
Abstrak :
Ruam popok dapat meningkatkan ketidaknyamanan pada bayi baru lahir, bahkan bisa menjadi masalah yang serius. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktorfaktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ruam popok pada bayi baru lahir dan prevalensinya, di ruang perinatologi salah satu rumah sakit rujukan di Jakarta, Indonesia. Penelitian menggunakan metode survey dengan desain cross sectional restrospective study. Sampel (n=95) dipilih berdasarkan teknik consecutive sampling. Ruam popok ditentukan menggunakan instrumen DDSIS (Diaper Dermatitis Severity Intensity Score). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi ruam popok 26,3 %. Analisis multivariat regresi logistik menunjukkan dua faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ruam popok: infeksi mikroorganisme dan lama hari rawat. ......Besides increasing infant's discomfort, diaper rash could cause other serious problems. This study aimed to investigate the risk factors of infant's diaper rash and its prevalence in a perinatology ward at a recommended hospital in Jakarta, Indonesia. This study used a survey method with cross-sectional retrospective design. The respondents (n=95) were chosen based on consecutive sampling. Diaper rash was identified using DDSIS (Diaper Dermatitis Severity Intensity Score). The results showed that the prevalence of diaper rash was 26.3%. The multivariate logistic regression analysis showed that there were two risk factors related to diaper rash prevalence: microorganism infection and inpatient time.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T34600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Siska Virgayanti
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar belakang. Rekomendasi Global Alliance dalam penanganan AVS meliput antibiotik, asam retinoat, dengan atau tanpa BPO. Resistensi obat menjadi perhatian utama pada penggunaan antibiotik jangka panjang dalam terapi akne vulgaris sedang. Kombinasi antibiotik dan BPO direkomendasikan untuk mengatasi masalah tersebut. Pada tipe kulit IV-V hiperpigmentasi pasca akne merupakan masalah yang sering dikeluhkan. Tujuan. Membandingkan efektivitas, efek samping dan kejadian hiperpigmentasi pasca inflamasi penggunaan BPO sebagai paduan terapi lini pertama AVS pada tipe kulit IV-V Fitzpatrick. Metode. Penelitian analitik dengan desaain uji klinis acak tersamar ganda membandingkan dua sisi wajah. Subyek diberikan paduan terapi lini pertama. Sisi wajah perlakuan diberikan gel BPO 2,5% sedangkan kelompok kontrol gel plasebo. Hasil. Pada minggu ke-2,4,6,8 didapatkan penurunan persentase total lesi sebesar 51,47%, 71%, 75%, 82,84% pada kelompok BPO dan 30%, 53,75%, 62,28, 71% pada kelompok plasebo (p<0,001 .) Efek samping dan kejadian HPI pada minggu ke 2,4,6 dan 8 tidak berbeda bermakna. Kesimpulan. Penggunaan BPO sebagai bagian dari paduan terapi lini pertama AVS lebih efektif, tidak meningkatkan efek samping ataupun kejadian HPI. Kata kunci. akne vulgaris, gel BPO 2,5%,
ABSTRACT
Background. Global alliance recommendation for moderate acne treatment are antibiotic, retinoic acid with or without benzoyl peroxide. Drug resistance become the most common problem due to longterm use of antibiotic in acne treatment. Combination of antibiotic and BPO is recommeded to overcome this problem. In patient with skin type IV-V post acne hyperpigmentation is one of the most significant complaint. Aim. To compare efectivity, side effect and post inflammatory hyperpigmentation of BPO 2,5% gel as a part of first line therapy regiment in patient with skin type IV-V. Method. This is an analytic study with randomized control trial design comparing both half-face (split-face). Subjects were given first line therapy regiment. Half-face was given BPO 2,5% gel twice daily while other half face with placebo. Result. Total lesions reduction in BPO group on week 2,4,6,8 were 51,47%, 71%, 75%, 82,84% respectively and 30%, 53,75%, 62,28, 71% in placebo group respectively. Conclusion. BPO as a part of first line therapy regiment for moderate acne is more effective, with no increase of side effect nor post inflammatory hyperpigmentation compared to placebo. , Background. Global alliance recommendation for moderate acne treatment are antibiotic, retinoic acid with or without benzoyl peroxide. Drug resistance become the most common problem due to longterm use of antibiotic in acne treatment. Combination of antibiotic and BPO is recommeded to overcome this problem. In patient with skin type IV-V post acne hyperpigmentation is one of the most significant complaint. Aim. To compare efectivity, side effect and post inflammatory hyperpigmentation of BPO 2,5% gel as a part of first line therapy regiment in patient with skin type IV-V. Method. This is an analytic study with randomized control trial design comparing both half-face (split-face). Subjects were given first line therapy regiment. Half-face was given BPO 2,5% gel twice daily while other half face with placebo. Result. Total lesions reduction in BPO group on week 2,4,6,8 were 51,47%, 71%, 75%, 82,84% respectively and 30%, 53,75%, 62,28, 71% in placebo group respectively. Conclusion. BPO as a part of first line therapy regiment for moderate acne is more effective, with no increase of side effect nor post inflammatory hyperpigmentation compared to placebo. ]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Aisah Boediardja
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
616.5 SIT m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
London : Jaypee Brothers Medical Publishers , 2014
615.5 COM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Louise Ferdinandus
Abstrak :
ABSTRAK Salah satu industri kecil sektor informal yang terdapat di desa maupun di kota adalah industri tempe. Pekerja industri tempe berhadapan dengan masalah kesehatan/gangguan kulit yang berkaitan dengan potensi bahaya/hazard di lingkungan kerja. Penelitian ini dilaksanakan pads 35 industri tempe di Kelurahan Cipulir, Jakarta Selatan dengan 120 pekerja sebagai sampel dan bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang kejadian DAK serta faktor yang berhubungan dengan kejadian DAK. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara dengan kuesioner yang terstruktur disertai dengan pemeriksaan fisik/kulit pada pekerja. Hasil penelitian didapatkan prevalensi DAK sebesar 35 % dengan jenis kelainan kulit terbanyak adalah kalus, mikosis (tinea pedis, onikomikosis), dermatitis kontak, miliaria dan paronikia serta lokasi kelainan terutama di tangan dan kaki. Selain itu didapatkan bahwa pekerja di bagian pencucian, perebusan dan perendaman mempunyai risiko 5(lima) kali lebih besar untuk menderita DAK. Upaya pencegahan untuk menurunkan risiko terjadinya DAK pada pekerja industri tempe perlu dilakukan dengan cara perubahan proses kerja dari basah menjadi proses kering, pengaturan ventilasi udara tempat kerja, mengupayakan tempat kerja yang bersih dan sehat dengan fasilitas mandi dan cuci yang memadai, pelatihan dan penyuluhan bagi pekerja di industri tempe dan petugas pembina upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
ABSTRACT Analysis of Occupational Dermatoses Among Tempe Making Workers In Kelurahan Cipulir,South JakartaTempe making workers, one of the small-scale industries workers which exist in rural as well as in urban area face health hazards such as skin problem related to the potential hazards in their working environment. A study was conducted on 120 tempe making workers from 35 small-scale tempe making industries in Kelurahan Cipulir South Jakarta, measuring the prevalence and the relationship between the occurrence of occupational dermatoses and the work. A cross sectional descriptive analysis study was carried out and data were collected through and interviewer using a structured questionnaire followed by physical examination of the tempe making workers. The results showed that the prevalence of occupational dermatoses was 35 %.The main type of lesion were callus, mycosis (tinea pedis & onychomycosis), contact dermatitis, miliaria, paronychia. The common affected areas were hand and feet. Working in the washing, boiling and soaking section had a higher risk for having occupational dermatoses, 5 times compare to the workers in non washing, boiling and soaking section. Effort should be made for prevention of occupational dermatoses, this include alteration of the processes from wet to dry, efficient exhaust system, maintain of clean and hygiene work place with adequate washing facilities, health education and training to workers & health providers and proper used of protective equipment.
Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kasyunnil Kamal
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi kandidosis kutis inguinalis pada pekerja bagian "Press 3" dan bagian "Line 9" di pabrik sepatu olah raga PT. A - Balaraja dan mengetahui hubungan lingkungan kerja panas dan lembab dengan prevalensi kandidosis kutis inguinalis. Metode penelitian ini menggunakan kros-seksional dengan uji statistik chi-kuadrat dan Kolmogorov Smirnov (bivariat) dan analisa multivariat dengan logistik regresi . Parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pajanan panas adalah "Indeks Suhu Basah Bola" (ISBB). Penelitian dilakukan terhadap 200 responden yang bekerja di lingkungan kerja yang berbeda, yang terdiri dari 100 responden terpajan panes dan 100 responden lainnya terpajan panas yang kadarnya lebih rendah. Untuk melihat pengaruh tekanan panas dan kelembaban terhadap tenaga kerja yang terpajan dilakukan dengan menggunakan kuesioner, pengamatan, perneriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium serta pengukuran lingkungan kerja. Hasil penelitian menunjukkan tekanan panas di lingkungan kerja bagian "Press 3" dan bagian "Line 9" melebihi batas yang diperkenankan ? sedangkan tingkat kelembaban masih dalam batas kenyamanan. Hasil pemeriksaan pada semua responden menunjukkan 56% responden mengalami kandidosis kutis inguinalis. Disamping itu dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang bekerja di lingkungan kerja yang mempunyai tekanan panas lebih tinggi (bagian "Press 3), prevalensi kandidosis kutis inguinalis lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan pekerja yang bekerja dengan lingkungan kerja yang mempunyai tekanan panas lebih rendah (bagian "Line 9). Hal ini ditunjang dari hasil uji statistik (p<0,05 dan OR>1). Faktor lain yang berpengaruh pada penelitian ini adalah higiene perorangan (p<0,05dan OR>l).
ABSTRACT The Relation Between Exposure To Heat And Humidity In The Work Environment With Prevalence Of Inguinal Cutaneous Candidiasis In Workers At Sport Shoe Factory At "A" Factory ? BalarajaThe objectives of this study are to know the prevalence of inguinal cutaneous candidiasis in workers at" Press 3" and "Line 9" sections at "A" factory a sport shoe factory in Balaraja and to know it's relationship with exposure to heat stress and humidity in the work environment. The design used in this study is cross sectional method. Chi-square and Kolmogorov Smimov test (bivaried) and Logistic regression (multivaried) were used for statistical analysis. Heat exposure level in the working environment was measured by using the Wet Bulb Globe Temperature Index. This study examined 200 workers who were exposed to heat stress; 100 workers who were exposed to higher heat stress and another 100 workers who were exposed to a lower heat stress. Questionnaire, physical & laboratory examinations, survey and the measurement of working environment have been used to know the influence of heat stress and humidity on exposed workers. This study shows that heat exposure level of working environment at "Press 3" and "Line 9" sections is above the recomended limits, meanwhile the humidity level is as the recomended limits. The result of the examinations prevalence of all workers shows 56% workers were inguinal cutaneous candidiasis. It also shows that workers who were exposed to higher heat stress ("Press 3" sections workers) have a higher prevalence of inguinal cutaneous candidiasis significantly compared to workers who were exposed to lower heat stress ("Line 9" sections workers) (p < 0,05 and OR>1). Another important factor associated the prevalence are individual hygiene (p.0,05 and OR>l).
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setyo Edi
Abstrak :
Aging is closely associated with physical disability that mostly causes by the onset of degenerative diseases. Due to the increasing mean age in most of the societies, the relationship between nutrition and aging is growing interest. The study aims to investigate the association of diet and biological age. A cross sectional study was conducted amongst male elderly (60 years and over) living in Jakarta. Eighty-four subjects were selected randomly. Biological age was determined by measuring skin wrinkling using skin microtopograph and serum dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS). Data collection was done using interviewer-administrated structured questionnaire and semi quantitatvive food frequency questionnaire (FFQ). After adjustment for age, elderly with high sosioeconomic status had higher energy, protein, meat, fish, and egg intakes. Low sosioeconomic class ad more extensive hand skin wrinkling and although not significant, arm sites. Serum DHEAS level was similar, respectively for high and low socioeconomic class. Serum DHEAS was positively correlated with the vitamin c intake and negatively correlated with cereal consumption. Skin wrinkling was positively collerated with cereal consumption. Since the design of this study was cross sectional, further studies are recommended to elaborate the protective effect of vitamin C and damaging effect of high cereal consumption on biological age as indicated by serum DHEAS levels and skin wrinkling.
2000
T1695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Sudewi
Abstrak :
Sejumlah besar penyakit pada anak memiliki manifestasi pada kulit, yang merupakan bagian tubuh terluas dan paling mudah diamat. Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai adalah timbulnya ruam kemerahan. Ruam kemerahan dapat disebabkan oleh proses setempat pada kulit, misalnya akibat penetrasi suatu mikoorganisme pada stratum korneum yang selanjutnya bermultiplikasi secara lokal, namun dapat pula merupakan bagian dari suatu penyakit yang bersifat sistemik. Lebih dari 50 infeksi virus serta beberapa infeksi bakteri dan parasit dapat menyebabkan terjadinya ruam kemerahan pada kulit seorang anak. Ruam juga dapat terjadi pada penyakit yang bukan disebabkan oleh proses infeksi, misalnya pada kasus reaksi obat. Terdapatnya ruam kemerahan, terutama yang berupa eksantema, sering menimbulkan kekhawatiran orangtua. Hal ini disebabkan karena ruam pada eksantema timbul secara serentak dalam waktu singkat dan umumnya didahului oleh demam. Dari suatu penelitian dengan 126 pasien anak yang menderita penyakit meningococcemis temyata 66 pasien dibawa berobat karena timbulnya ruam makulopapular, 41 pasien karena demam, 32 karena alergi dan hanya 5 pasien dibawa berobat karena sakit kepala dan kaki kuduk. Meskipun ruam pada beberapa penyakit dengan eksantema memiliki gambaran yang cukup spesifik, namun tidak jarang diagnosis sulit ditegakkan karena gambaran ruam yang membingungkan. Hal tersebut terjadi pada 103 pasien anak berusia di bawah 2 tahun yang secara klinis didiagnosis sebagai campak dan rubela, ternyata 88 pasien (85%) sebenarnya menderita eksantema subitum yang dibuktikan dengan basil uji serologi yang positif terhadap Human Herpesvirus-6.Identifikasi awal sera kewaspadaan bahwa suatu ruam sebenarnya merupakan bagian dari suatu penyakit sistemik sanO dahlia menentukan tata laksana selanjutnya, terutama pada penyakit berlangsung progresif. Kesalahan intepretasi ruam pada penyakit Kawasaki sebagai penyakit kulit biasa akan mengakibatkan keterlambatan dalam pemberian imunoglobulin intravena yang dapat berakhir fatal dengan terjadinya areurisma pembuluh darah koroner. Dalam praktek sehari-hari penyakit dengan eksantema seringkali dianggap sebagai penyakit kulit biasa sehingga pasien umumnya langsung dirujuk ke dokter spesialis kulit Manifestasi eksantema yang kerap membingungkan juga menambah kecenderungan dilakukannya rujukan tersebut Hal demikian sebenarnya merupakan tindakan yang kurang tepat karena penyakit dengan eksantema tidak selalu merupakan penyakit kulit yang bersifat lokal, terlebih lagi bila didahului oleh demam. Oleh karena itu seorang dokter spesialis anak seyogyanya memiliki cara pandang serta pola berpikir secara terpadu dan komprehensif agar mampu mengidentifikasi ruam yang sebenarnya merupakan bagian dan suatu penyakit sistemik.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>