Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frida Oesman
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitin : Perubahan glikoprotein
membrari sel sering dihubungkan dengan transformasi
keganasan. Salah satu komponen karbohidrat glikopro
tein membren adalah L?fukosa. . Diketahui bahwa kadar L?
fukosa glikoprotein dalam serum penderita berbagai
keganasan lebih tinçgi dibandinçkan dengan normal.
Jika peningkatan kadar fukosa glikoprotein terjadi
cukup dini, penentuannya mungkin dapat menuniukkan awal
perubahan ke arah keganasan. Untuk nengetahui apakah
peningkatan kadar luko?a serum terjadi pada awal peru?
bahan ke arch keganasan hati, maka diteliti bagaimana
hubungan perubahan kadar fukosa serum dan gambaran
mikroskopis jaringan hati tikus yang diberi aflatoksin
B1 (AFB1) untuk menginduksi kanker. Dalam penelitian
ini digunakan 36 tikus diberikan AFB1. dari 36 tikus
dlberikan pelarut Wb1. Aflatoksin dengan pelarut
dimetilformamida diberikan secara inkubasi lambung 20
ug, sekali 2 hari selama 12 minggu. Pengambilan serum
dari hati tikus dilakukan, setiap 4 minggu mulai minggu
ke?8 sampai minggu ke?40. Penentuan kadar fukosa serum
dilakuken sesuai dengan metode yang dilakukan oleh
Winzler dan sediaan jaringan hati dibuat dengan pewar
naan HE menurut Bhomer.
Hasil dan Kesjmpulan: Hasjl penelitian menunjukkan, bahwa
kenaikan kadar fukosa glikoprotein serum tikus yang
diberi AFB. lebih tinggi secara bermakna dibandingkan
dengan kontrol. Kadar rata?rata fukosa serum tikus
yang diberi AFB1 seluruh pengamatan adalah 13,09 ± 0,99
mgflOO mL dan tikus kontrel cdalah 11,72 ± 0,84 mg/lOO
mL. Disamping itu ternyata ada kecenderungan peningka
tan kadar lukosa serum sejalan dengan waktu, namun
kenaikan peningkatan ini secara statistik belum bermak
na untuk pengukuran pada waktu pengamatan yang sama.
Jaringan hati tikus yang diberi AFB1, memperlihatkan
gambaran, hiperplasia saluran empedu (perubahan awal ke
arah keganasan) mulai pengamatan minggu ke?36. Dari
hasil penelitian ini: dapat disimpulkan, bahwa pemberian
AFBJ menyebabkan peningkatan kadar lukosa serum, namun
pada penelitian ini belum depat dinyatakan perbedaan
yang bermakna pada seat sel menunjukkan perubahan awal
ke arah keganasan.

ABSTRACT
Scope and Method of Study: Cell membrane glycoprotein
changes is often related to malignant transformation.
One of the carbohydrate components of membrane glyco
protein, often observed to be increased in malignan
cies, is L?fucose. If this increase appears early
during the formation of malignancies it could be used
as a marker. The aim of this study was to determine
whether an increase of serum fucose concentration can
be detected during early malignant transformation.
Thirty six rats were administrated aflatoxin B1 in
dimethylformamide by gastric intubation and 36 rats
were used as controls. Aflatoxin was given in 20 ug
dosages every two days for a period of 12 weeks. Serum
and liver samples were collected once every 4 weeks
from week?8 until week?40. Serum fucose concentration
measured by the method introduced by Winzler ana
liver slices were stained with hematoxylin and .eosin
according to Bhomer.
Findings and conclusions: The serum protein?bound fucose
concentration in rats treated with aflatoxin B1, was
significantly higher than in the control group. The
mean concentration in the treated rats was 13.09 ± 0.99
mg/l00 mL and in the control group was 11.72 ± 0.84
mg/l00 mL. There was also a positive correlation
between the increase of serum fucose concentration and
the time of observation, although the increase in both
groups measured concurrently did not show significant
differences. The aflatoxin B1 treated rats show bile
duct hyperplasja (known as one of the earliest apparent
preneoplastic changes) as early as the 36th week. It
can be concluded that the administration of aflatoxin
8 causes increased serum fucose levels, although in
this study at the onset of cell differentiation toward
malignancy, this difference was still not significant."
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiyogo Prio Wicaksono
"[ABSTRAK
Antibodi poliklonal anti aflatoksin B1 telah berhasil diproduksi pada hewan uji kelinci betina New Zealand White setelah diimunisasikan hapten aflatoksin B1-CMO yang dikonjugasikan dengan Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai antigen. Hapten aflatoksin B1-CMO disintesis menggunakan metode karbodiimida dengan substrat aflatoksin B1 dan carboxymethyl hydroxylamine hemihydrochloride (CMO) sebagai linkernya. Hasil karakterisasi kromatografi lapis tipis dengan nilai Rf rata-rata sebesar 0.395, spektrum UV-Visibel dengan puncak λ maks pada 362, 264, 218 nm, spektrum IR dengan puncak 3448.126 cm-1 (3000-3600 cm-1) : OH, pada 1632.249 cm-1(1540-1725 cm-1) : C=O, dan 1642.451 cm-1 (1640-1690 cm-1) :C=N (Oksim), dan hasil fragmentasi spektrometri massa (MS/MS) pada m/z 386, 368.2, 310 membuktikan hapten aflatoksin B1-CMO berhasil disintesis. Hapten ini kemudian dikonjugasikan dengan BSA membentuk antigen aflatoksin B1-BSA (AFB1-BSA) sebelum diimunisasikan ke kelinci. Spesifitas antigen AFB1-BSA terhadap antibodinya dan uji konjugasi hapten ke BSA menunjukkan hasil positif menggunakan uji Dot Blot Immunoassay dengan konsentrasi BSA di dalam antigennya sebesar 1.74 mg/mL. Serum darah kelinci berdasarkan uji Agar Gel Precipitation Test (AGPT) positif mengandung antibodi poliklonal anti aflatoksin B1 setelah dua pekan (hari ke-11) sejak imunisasi primer antigen AFB1-BSA dilakukan. Dari serum darah bleeding panen, diperoleh konsentrasi antibodinya sebesar sebesar 2.19 mg/mL. Immunokromatogafi strip tes berhasil dibuat dengan nanopartikel iridium oksida (IrO2 NPs) sebagai kandidat label antibodinya dan dapat digunakan untuk mendeteksi sampel H IgG pada rentang 0.1 μg/mL sampai 10 μg/mL. Studi pendahuluan ini menunjukkan bahwa perangkat strip tes ini dapat digunakan untuk aplikasi konjugat sensor antibodi anti aflatoksin B1-nanopartikel iridium oksida untuk deteksi aflatoksin B1.

ABSTRACT
Polyclonal antibody against aflatoxin B1 have been successfully produced in New Zealand White Rabbit after immunized by hapten of aflatoxin B1-CMO conjugated with Bovine Serum Albumin (BSA) as antigen. Hapten of aflatoxin B1-CMO was synthesized using carbodiimide method with afltoksin B1 as substrate and carboxymethyl hydroxylamine hemihydrochloride (CMO) as its linker. The characterization results of thin layer chromatography with Rf value of 0.395, the spectrum of UV-Visible with λ max peaks at 362, 264, 218 nm, the IR spectrum with peak at 3448.126 cm-1 (3000-3600 cm-1): OH , 1632.249 cm-1(1540-1725 cm-1): C = O, 1642.451 cm-1 (1640-1690 cm-1): C = N (oxime), and the results of mass spectrometry fragmentation (MS / MS) at m/ z of 386, 368.2, 310 proved that hapten of aflatoxin B1 -CMO successfully synthesized. Then, the hapten was conjugated to BSA to form antigen of aflatoxin B1-BSA (AFB1-BSA) before immunized to rabbits. The specificity of antigen of AFB1-BSA to its antibody and the confirmation of hapten-BSA conjugated showed positive results using dot blot immunoassay with BSA concentration in the antigen of 1.74 mg/mL. Based on Agar Gel Precipitation Test (AGPT) shown the rabbit blood serum resulted positive for polyclonal antibody against aflatoxin B1 after two weeks (day 11st) since the primary immunization of its antigen. From blood serum bleeding at harvest obtained the concentration of antibodies was 2.19 mg / mL. An Immunochromatogaphic test strip was successfully fabricated using iridium oxide nanoparticles (IrO2 NPs) as a labeled antibody candidate and can be used to detect the IgG H sample between of 0.1 μg/mL to 10 μg/mL. This preliminary study shown that the device can be used for applications of antibody against aflatoxin B1-nanoparticle iridium oxide conjugate for detection of aflatoxin B1
, Polyclonal antibody against aflatoxin B1 have been successfully produced in New Zealand White Rabbit after immunized by hapten of aflatoxin B1-CMO conjugated with Bovine Serum Albumin (BSA) as antigen. Hapten of aflatoxin B1-CMO was synthesized using carbodiimide method with afltoksin B1 as substrate and carboxymethyl hydroxylamine hemihydrochloride (CMO) as its linker. The characterization results of thin layer chromatography with Rf value of 0.395, the spectrum of UV-Visible with λ max peaks at 362, 264, 218 nm, the IR spectrum with peak at 3448.126 cm-1 (3000-3600 cm-1): OH , 1632.249 cm-1(1540-1725 cm-1): C = O, 1642.451 cm-1 (1640-1690 cm-1): C = N (oxime), and the results of mass spectrometry fragmentation (MS / MS) at m/ z of 386, 368.2, 310 proved that hapten of aflatoxin B1 -CMO successfully synthesized. Then, the hapten was conjugated to BSA to form antigen of aflatoxin B1-BSA (AFB1-BSA) before immunized to rabbits. The specificity of antigen of AFB1-BSA to its antibody and the confirmation of hapten-BSA conjugated showed positive results using dot blot immunoassay with BSA concentration in the antigen of 1.74 mg/mL. Based on Agar Gel Precipitation Test (AGPT) shown the rabbit blood serum resulted positive for polyclonal antibody against aflatoxin B1 after two weeks (day 11st) since the primary immunization of its antigen. From blood serum bleeding at harvest obtained the concentration of antibodies was 2.19 mg / mL. An Immunochromatogaphic test strip was successfully fabricated using iridium oxide nanoparticles (IrO2 NPs) as a labeled antibody candidate and can be used to detect the IgG H sample between of 0.1 μg/mL to 10 μg/mL. This preliminary study shown that the device can be used for applications of antibody against aflatoxin B1-nanoparticle iridium oxide conjugate for detection of aflatoxin B1
]"
2015
T43541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta
"Aspergilli moulds were isolated from 27 Indonesian tobacco samples, which were collected from different areas in Indonesia. Isolation of moulds was carried out by direct plating in Tauge Extract Agar (TEA) medium and representative colonies were isolated. Identification was carried out in Czapek . Dox Agar (CDA) and Malt Extract Agar (MEA) media based on macroscopic and microscopic observation of colony morphology. Total aspergilli moulds identified were 44 isolates, which consisted of 11 species. Asp. awamori (14 isolates) was the dominant species followed by Asp. flavus (13 isolates).

The capability of 13 isolates of Asp. flavus to produce aflatoxin B1 was investigated. The isolates were cultivated in a semisynthetic liquid medium for aflatoxin B1 production, followed by extraction with organic solvents and quantification by High Performance Liquid Chromatography (HPLC). The results showed that only 12 isolates were able to produce aflatoxin al and the average concentration ranged from 3.28 to 351.26 ppb."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Martina
"Aflatoksin B1 adalah racun yang potensial bersifat karsinogenik, hepatotoksik, mutagenik, dan imunosupresif, yang merupakan metabolit sekunder dari galur tertentu jamur Aspergillus yang tumbuh pada berbagai bahan makanan dan minuman.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan aflatoksin dalam jus buah kemasan yang beredar di pasaran, yaitu jus buah jeruk, mangga, dan jambu secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) densitometri.
Kondisi optimum KLT terdiri atas fase diam berupa lempeng KLT silika gel 60 F254, 20 x 10 cm dengan tebal lapisan 0,25 mm (Merck); fase gerak berupa kloroform-etil asetat (7:3); dan metanol sebagai pelarut. Deteksi dan kuantitasi dilakukan dengan Camag TLC scanner III, menggunakan detektor fluoresensi pada panjang gelombang eksitasi maksimum 354 nm dan emisi 400 nm.
Hasil pengujian menunjukkan data kurva kalibrasi yang linear antara 20—160 pg dengan koefisien korelasi 0,9977; batas deteksi 10,70 pg; dan batas kuantitasi 35,67 pg. Rata-rata uji perolehan kembali jus buah mangga 95,82% dan jus buah jambu 83,59%. Penerapan metode ini terhadap masing-masing tiga merk sampel jus buah mangga dan jus buah jambu kemasan menunjukkan tidak satupun yang tercemar AFB1."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S32541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Aflatoksin merupakan metabolit yang diproduksi oleh kapang Aspergillus pada makanan dan pakan. Aflatoksin telah mendapatkan perhatian yang lebih besar dari mikotoksin lain karena menunjukkan efek karsinogenik pada hewan percobaan dan efek toksik akut pada manusia. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kandungan aflatoksin yang terdapat dalam kacang tanah dan jagung secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Kondisi optimum KCKT adalah dengan menggunakan kolom Supelcosil LC-18 25 cm x 4 mm ID, fase gerak metanol-asam asetat glasial-air (20:15:65) dengan laju alir 1,5 ml/menit. Analisis dilakukan dengan Shimadzu LC-6A, pemroses data Class C-R4A dan detektor Shimadzu RF-535 dengan panjang gelombang eksitasi 365 nm dan panjang gelombang emisi 425 nm. Hasil pengujian menunjukkan data kurva kalibrasi yang linear antara 10 -100 ng/ml dengan koefisien korelasi 0,9999; batas deteksi 1,913 ng/ml dan batas kuantitasi 6,379 ng/ml. Rata-rata uji perolehan kembali pada jagung 98,29% ±1,86%. Penerapan metode ini terhadap tiga sampel jagung rebus dan dua sampel jagung mentah menunjukkan tidak satupun yang tercemar AFB1."
Universitas Indonesia, 2006
S32558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Timotius Rudolf Diophantus Oei
"Aflatoksin B1 merupakan metabolit sekunder jamur bersifat paling karsinogenik yang diproduksi oleh jamur dari genus Aspergillus, khususnya Aspergillus flavus. Aflatoksin B1 dapat didegradasi dengan metode biologis yang dilaporkan merupakan metode yang paling cocok. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasi produksi, meningkatkan kemurnian, mengevaluasi kemampuan inhibisi pertumbuhan Aspergillus flavus, dan kemampuan mendegradasi aflatoksin oleh enzim ligninolitik dari Trametes versicolor. Skrining media dan waktu inkubasi dilakukan terhadap substrat sabut kelapa, kayu jati, bonggol jagung, dan daun nanas. Purifikasi enzim dilakukan menggunakan presipitasi garam amonium sulfat, dialisis, dan kromatografi penukar ion DEAE-cellulose. Aktivitas enzim diukur menggunakan substrat 2,6-dimethoxyphenol untuk mangan peroksidase, ABTS untuk lakase, dan veratryl alcohol untuk lignin peroksidase. Ukuran enzim diprediksi menggunakan metode SDS-PAGE. Uji inhibisi pertumbuhan Aspergillus flavus dilakukan dengan metode cakram. Kemampuan degradasi aflatoksin B1 oleh enzim ligninolitik dianalisis menggunakan KLT-densitometri. Hasil skrining media dan waktu inkubasi terbaik menunjukkan substrat sabut kelapa dan kayu jati paling cocok untuk menghasilkan mangan peroksidase dan lakase, namun, tidak untuk lignin peroksidase. Hasil purifikasi menunjukkan nilai peningkatan kemurnian sebesar 3,46 dan 6,79 untuk mangan peroksidase dan lakase dengan ukuran enzim sebesar ⁓43 kDa dan ⁓65 kDa, secara beruturut-turut. Uji cakram menunjukkan tidak adanya aktivitas penghambatan oleh mangan peroksidase dan lakase. Dalam waktu 24 jam, mangan peroksidase (154,53 U/mL) dan lakase (38,77 U/mL) dapat mendegradasi aflatoksin B1 hingga 76,07% dan 63,84%, secara berturut-turut. Penelitian ini menunjukkan bahwa substrat sabut kelapa dan kayu jati dapat menjadi substrat yang baik untuk menghasilkan enzim mangan peroksidase dan lakase dari Trametes versicolor dan dapat dimanfaatkan untuk mendegradasi aflatoksin B1

Aflatoxin B1 is the most carcinogenic secondary metabolite produced by fungi of the genus Aspergillus, especially Aspergillus flavus. Aflatoxin B1 can be degraded through biological methods, which have been reported as the most suitable approach. This study aimed to optimize production, improve purity, evaluate the growth inhibition ability against Aspergillus flavus, and assess the aflatoxin degradation by ligninolytic enzymes from Trametes versicolor. Screening of media and incubation times was conducted using coconut husk, teak wood, corn cobs, and pineapple leaves. Enzyme purification involved ammonium sulfate precipitation, dialysis, and DEAE-cellulose ion exchange chromatography. Enzyme activities were measured using 2,6-dimethoxyphenol for manganese peroxidase, ABTS for laccase, and veratryl alcohol for lignin peroxidase. Enzyme sizes were predicted using SDS-PAGE. Growth inhibition tests on Aspergillus flavus were performed using disc diffusion method. Aflatoxin B1 degradation ability of ligninolytic enzymes was analyzed using TLC-densitometry. Screening results indicated that coconut husk and teak wood substrates were most suitable for producing manganese peroxidase and laccase, but not lignin peroxidase. Purification results showed purity increases of 3.46 and 6.79 for manganese peroxidase and laccase, with enzyme sizes approximately ~43 kDa and ~65 kDa, respectively. Disc diffusion tests revealed no inhibition activity by manganese peroxidase and laccase. Within 24 hours, manganese peroxidase (154.53 U/mL) and laccase (38.77 U/mL) could degrade aflatoxin B1 by 76.07% and 63.84%, respectively. This study demonstrates that coconut husk and teak wood substrates can be effective for producing manganese peroxidase and laccase enzymes from Trametes versicolor, which can be utilized for aflatoxin B1 degradation."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library